Powered By Blogger

Jumat, Oktober 18, 2013

LELAKI KARTU POS

Cerpen ini dimuat di harian Koran Tempo, Minggu, 13 Oktober 2013


Aku tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.
Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah, setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi orang ini. Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.
“Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.
“Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.
Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”
Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini?
Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar, disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya.
Tanpa sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Ada bilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana.
Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi berterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa.
Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan air mata.
“Kartu pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.
Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng, setengah ketakutan.
Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum bertanya siapa nama lelaki itu.
***
Kini setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya.
Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwich terakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah.
Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepala.
“Kali ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.
Dia tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sana kemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana.
Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sana tak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu.
Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku.
“Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?”
Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.
Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami.
Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama takkan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kusakralkan, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri.
“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana.
Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis seorang diri?
Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?
***
Di sana aku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.
Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.
Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.
Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu sendiri?
Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.
Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.
Kenapa aku?
Kenapa seperti ini hidupku?
Kenapa aku mencintai dengan cara ini?
Siapa lelaki kartu pos itu?
Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?
Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?
Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu saling mencintai, dan kini saling menyakiti.
Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.
***
Sebuah lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?
Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua.
“Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”
Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu?
“Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam…,”
Namun, pelan-pelan kuingat, wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan.
“Anda mendengarkan pertanyaan saya?”
Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.
“Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.”
Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”
Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu posku itu tidak lagi terasa asing.
“Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.
***
GM, 5 Juli 2013