Powered By Blogger

Rabu, Oktober 08, 2014

Membentuk Manusia Lewat Pendidikan

Tadi pagi, aku membahas topik menarik bersama murid-muridku di kelas 11. Aku melemparkan pertanyaan begini:

Menurut kalian, apa yang membentuk kepribadian seseorang, genetis atau lingkungan?

Tentu saja ada yang dengan yakin menjawab, “genetis, Miss, soalnya kan biasanya perilaku anak nggak jauh-jauh dari orangtuanya. Seperti watakku yang mirip watak papi.”
Lalu kutanya, “berarti, kalau Miss mengadopsimu, kira-kira watakmu tetap sama seperti papimu?”
“Belum tentu juga sih, Miss.”
“Kan keturunan papi.”
“Tapi kan lingkungannya beda.”
“Berarti, faktor genetis nggak punya andil dalam membentuk kepribadian seseorang?”
Dia tercenung sendiri. Lalu, kuminta para siswa melanjutkan diskusi sesuai panduan yang tersedia.


Mungkin di antara yang membaca tulisan ini, akan ada satu-dua yang merenung mencari jawaban yang sama dari pertanyaan di atas. Idealnya memang ada kombinasi proporsional mengenai yang manakah yang paling berperan dalam pembentukan karakter. Faktor genetis merupakan blue print manusia, tapi lingkungan tentu juga berkontribusi dalam pengembangan karakter manusia.

Menurut kalian, apakah Clark Kent tetap menjadi pahlawan pembela kebenaran bernama Superman jika kapal yang mendaratkannya di bumi ditemukan bukan oleh Jonathan Kent, melainkan Lionel Luthor?

Seorang filsuf bernama John Locke di abad ke-17 mengenalkan konsep tabula rasa, di mana dipahami bahwa setiap manusia terlahir sebagai kertas kosong. Yang membentuk manusia sedemikian rupa adalah melalui pengalaman-pengalaman empiris dalam hidupnya; terkadang mengubah identitas naluriahnya sebagai manusia, ada pula yang tak sanggup mengingkari kemanusiaannya.

Tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan salah satu media atau alat yang lumrah digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, serta intelektualitas. Pendidikan didesain sedemikian rupa. Dalam tatanan ideal, strukturnya dirancang imbang antara pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku. Diharapkan, dengan adanya pendidikan holistik yang menyentuh ketiga aspek ini, manusia-manusia “kertas kosong” ini bisa menjadi sosok-sosok berkualitas yang sanggup menjadi pribadi tangguh dalam hidupnya.

Semangat itulah yang kiranya mendasari perubahan aspek penilaian dalam kurikulum 2013 atau #K13 ini. Dengan tidak lagi dititikberatkan pada pengetahuan, pendidikan juga menyasar pada ketrampilan, serta yang tak kalah pentingnya, sikap.

Tahun ajaran ini, sesuai dengan instruksi yang tercantum dalam kurikulum 2013 atau #K13, aku dan semua guru di seluruh Indonesia yang sekolahnya menerapkan #K13 mulai melakukan penilaian sikap secara menyeluruh. Di kelas, aku menyebutnya attitude assessment. Nilai sikap ini diambil dari beberapa sudut pandang, yaitu siswa menilai diri sendiri, siswa menilai temannya, serta siswa dinilai melalui observasi dan jurnal guru. Aspek-aspek yang dinilai antara lain: aspek spiritual, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, disiplin, tenggang rasa, toleransi, dan sopan santun.

Tentu saja tidak mudah menerapkan penilaian sedetail ini. Waktu kegiatan belajar-mengajar bisa jadi habis hanya untuk melakukan penilaian saja, bukan untuk penyampaian materi dan pengayaan bahan pembelajaran. Nah, di sinilah peran guru sebagai manajer di kelas sangat diperlukan.

Setidaknya, dengan adanya penilaian sikap ini, siswa akan belajar untuk melakukan refleksi pada dirinya sendiri—apakah dia sudah bersikap baik, menurut indikator penilaian sikap yang tadi disebutkan. Siswa juga belajar untuk menilai orang, bercermin dari sikap orang lain dan membandingkannya dengan sikapnya sendiri. Siswa akan “dipaksa” berlaku baik, karena penilaian yang terus berkelanjutan, di mana pada akhirnya diharapkan menjadi kebiasaan, bukan sekadar kepura-puraan di kelas demi nilai semata. Guru pun lebih mengenal siswa-siswanya secara personal, sehingga mampu mengayomi dan mendidik mereka sesuai dengan keunikannya sendiri.


Begitulah, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “weakness of attitude becomes weakness of character,” maka jadikanlah pengembangan sikap yang baik sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan, yang nantinya berbuah manis dalam bentuk manusia-manusia Indonesia yang tangguh, siap bersaing, sekaligus berkarakter yang membanggakan.