Powered By Blogger

Rabu, Maret 19, 2014

WANITA DAN SEMUT-SEMUT DI KEPALANYA

dimuat di Kompas Minggu, 2 Maret 2014

Sungguh, tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah ribut besar dan berkata, lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya; “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
Para tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.
Sayangnya, semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat yang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh.
“Bu, kok pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.
“Bik, bagaimana caranya membunuh semut?”
“Hah?”
“Kudengar ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”
Pembantu itu makin bingung.
“Belikan selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”
“Banyak betul. Buat apa?”
“Mengusir semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”
Dengan bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan melipat surat itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
***
Wanita itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua. Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar.
Semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular sampai ke lubang kecil di dekat kusen.
Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.
Mendadak ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta, agar tak ada yang bisa menculiknya.
Sekilas ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.
Semalaman, wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah masuk semut.
Ia pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan habis kewarasannya.
***
Semut-semut itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.
Ia suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin ketara, tiap kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab, “Di dalam banyak semut.”
“Apa hubungannya?”
Nanti aku dikerubungi semut.”
“Masa takut sama semut?”
“Pernah hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,” bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.
Ia pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin rapat.
Terlampau kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya, mirip bazooka memborbardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.
Tak dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut, muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas. Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan kuat-kuat di dada.
Andai suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua. Semut-semut ini, juga kesepiannya.
***
Akhirnya ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan komplek. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia tebarkan butir-butir gula, agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.
Ternyata semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten mendengarkannya. Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.
Pria itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya. Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.
“Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut itu hening mendengarkan. “Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”
Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.
“Suatu hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya, apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia masih akan merindukanku?  Diam-diam membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”
Kini dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang sengaja ia tebarkan.
“Awalnya ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang padanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”
Wanita itu terkekeh. Matanya nampak lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.
“Mungkin wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”
Semut-semut merangsek merambati ranjang.
“Mungkin ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”
Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, perut, entah bagian manalagi yang tersisa.
“Boleh kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”
***
Esok hari, komplek itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya.
Suara-suara tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.
Wajahnya pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia tak jatuh cinta padanya.
Ia memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.
***
GM, 9 November 2013

DEMI RINDU DAN SAKURA

Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014


Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
***
Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Darah Indonesiaku terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta, sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura sudah bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea begitu lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik di televisi Indonesia. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang merekah menunggu cinta.
Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang – gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul dari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.
Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul. Maka aku cukup melihat-lihat saja.
Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.
“I’m going home two days later,” aku teringat kata-katanya. “My vacation is over.
“I know. I overheard your convo with Kim. Will you come back to Jakarta?”
“It depends. Kim said you rejected the heart donor. Why is it so, Sakura?”
“I had this heart problem since I was a baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only about 40%. Even if my body accepts the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”
“You should!” Ji Won setengah membentak. Aku terkesiap.
“Why should I?”
“Because I’ll be back soon to Jakarta, and I want you to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason, Sakura, for me to go back to Indonesia. Leaving everything behind in Seoul, because I,…”
“Stop it, Ji Won!” aku ganti membentaknya. “You have a perfect life in Seoul. You’re the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future like me? That’s insane.”
“It’s not! You do the surgery and you’ll be as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no reason to be away from me.”
Aku masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung. Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau cicipi.
Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenyataan, karena jika dia tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakarta dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.
“Please promise me, Sakura.” Ji Won menggenggam tanganku. “You’ll do the surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul. I’ll bring you to my favorite place, Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry. Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?”
 “I don’t know, Ji Won.”
“Just promise me. Please.”
Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling jatuh cinta.
Dan aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik University Area. Diam-diam aku ke Seoul tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.
Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?
Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.
Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.
I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.
***
Ji Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik University Area yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi. Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya pemandangan yang teramat indah. Indah di kala tak ada orang sebanyak ini.
Sekuntum bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia rindukan.
Ji Won bahkan bisa mendengar suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.
Ji Won, everytime you see cherry blossom, please remember me.
Dia memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya. Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.
Hanya ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri. Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya, tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya. Senyum itu jauh lebih indah dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya.
“Ji Won,” ujar Sakura.
Gadis itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah. Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.
Sakura mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.
“Aku,” Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”
Ji Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.
I love you.”
“Ji Won!”
Pemuda itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik University Area. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura.
“Ji Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”
“Eun Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.
“Ji Won! Kamu tidak mendengarkan ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.
Biip biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim mengiriminya pesan singkat.
“Operasi Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”
Kali ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan di Indonesia. Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,…
Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.
“Ayo pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya. Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini sinar putih di ujung jalan sana tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
GM, 12-13 Mei 2012