Jika ada yang bertanya, mana yang lebih sulit, menulis After
Rain atau merampungkan Perfect Pain, maka aku akan menjawab...,
Perfect Pain jauh, teramat sangat lebih menantang.
Aku menulis kisah Seren dalam After Rain dengan perasaan
ringan dan riang. Tak ada ekspektasi. Tidak membawa beban pesan atau perasaan
tertentu (walaupun banyak yang menganggap Seren itu sebenarnya aku sendiri,
padahal BUKAN).
Sesungguhnya, aku memiliki ketertarikan khusus tentang
isu-isu perempuan, mulai dari kesetaraan gender, kesamaan hak dasar perempuan,
hingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam perjalanannya, aku
mendapati banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi di kehidupan
sehari-hari, baik dari berita di televisi, artikel di koran dan majalah, bahkan
curhatan beberapa kenalan. Cerita-cerita itu berkelindan, menjalin sebuah
perasaan kuat.
Aku merasa, ini harus dituliskan.
Harus!
Saking kuatnya perasaan itu, aku seperti membayangkan
diriku tengah “dihampiri” sesosok perempuan kurus semampai, dengan gaun putih
yang ujungnya selalu meliuk dipermainkan angin. Dia mengenalkan dirinya bernama
Bi dan memintaku menuliskan kisahnya. Kisah tentang lukanya yang sempurna; luka
karena mencintai.
Absurd sih, dan agak horor, tapi kuanggap saja itu bagian
dari proses kreatif.
Akhirnya aku mulai menyusun premisnya. Dari premis itu,
kukembangkan menjadi sinopsis, lalu terus kupaparkan detailnya dalam bentuk
outline.
Seperti yang tadi kusampaikan, ada tantangan lebih besar
saat menuliskan Perfect Pain. Tantangan pertama adalah ketakutanku sendiri
tentang naskah ini. Bayang-bayang kesuksesan After Rain begitu kuat, sehingga
ekspektasi pembaca terhadap novel keduaku ini begitu tinggi. Mereka tentu ingin
cerita yang lebih menarik, yang ditulis dengan teknik penceritaan yang lebih
baik, serta karakter yang lebih memikat.
Tantangan kedua adalah emosi cerita yang terlalu kuat.
Tidak bisa dipungkiri, beberapa adegan dalam novel Perfect Pain begitu intens. Saking
pekatnya, sampai menyeretku menjadi pribadi yang emosional juga. Aku jadi
gampang sedih, mudah menangis, sedikit lebih temperamental; sampai-sampai aku
harus berhenti menulis dan menjaga jarak dengan cerita yang kutulis ini.
Di satu titik, aku merombak total alur Perfect Pain. Saat
itu draf ini sudah selesai sampai sekitar bab ke sepuluh. Aku mengubahnya dengan plot yang sama sekali
baru, tokoh-tokoh yang berbeda, walaupun fokusnya tetap mengenai kekerasan
terhadap perempuan. Beruntung, aku memiliki editor yang paham kegundahanku, Jia
Effendie. Bukannya mendesak atau menasehati ini itu, dia membiarkanku bermain-main plot baru itu. Namun, dalam
perjalanannya, aku hanya sanggup menuliskannya sampai bab empat atau lima,
lalu mandek begitu saja. Mau kuutak-atik, tetap saja cerita baru itu jalan di tempat. Pasrah! Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke plot awal dan
melanjutkannya sampai selesai.
Yang membantuku melewati proses “menyakitkan” menulis
Perfect Pain adalah dukungan tim first readers-ku,
teman-teman sesama penulis lainnya, serta editor-editor Gagas Media. Mereka tak
henti memberikan suntikan energi positif. Aku sadar, tak peduli sekelam apapun
cerita Bi ini, dia harus sampai di garis finish.
Memang benar, setelah membulatkan tekad, segalanya seperti dipermudah. Aku pun
tiba di kata TAMAT.
Aku selalu ingat sebuah pertanyaan yang dilontarkan
seorang penulis senior padaku: Kenapa kau
menulis sebuah cerita?
Buatku, menulis Perfect Pain, sesuai dengan namanya
adalah sebuah luka yang sempurna. Namun, aku menikmati prosesnya. Aku tumbuh beserta
cerita ini; karena pada akhirnya aku berhasil menaklukkan diriku sendiri,
mengalahkan ketakutanku, serta menjadi lebih kuat. Kurasa, pada titik-titik
tertentu kehidupan kita, sesungguhnya ada Bi dalam diri kita.
Aku tidak berani menggantungkan impian terlalu muluk
tentang Perfect Pain ini. Biarkan kalian yang membacanya menilai sendiri.
Selamat membaca.
Selamat mengenang lukamu sendiri; luka yang sempurna
karena mencintai.
Salam,
Anggun Prameswari
PS: Jangan lupa mampir ke blog-blog di bawah ini ya. Ada lebih banyak cerita menarik mengenai Perfect Pain, plus ada giveway-nya juga. Penasaran, kan? Yuk, ramaikan.
Aku punya satu novel Perfect Pain bertandatangan, GRATISSS, spesial buatmu. Jawab pertaanyaan berikut di kolom komentar:
Kalau kamu bisa mengucapkan sesuatu untuk orang yang kau cintai, sekaligus menyakitimu, apa yang ingin kau katakan?
Sampaikan jawabanmu di kolom komentar di bawah ini, disertai dengan nama lengkap dan alamat email (wajib) dan akun media sosial yang kamu miliki (bisa FB/twitter).
Aku punya satu novel Perfect Pain bertandatangan, GRATISSS, spesial buatmu. Jawab pertaanyaan berikut di kolom komentar:
Kalau kamu bisa mengucapkan sesuatu untuk orang yang kau cintai, sekaligus menyakitimu, apa yang ingin kau katakan?
Sampaikan jawabanmu di kolom komentar di bawah ini, disertai dengan nama lengkap dan alamat email (wajib) dan akun media sosial yang kamu miliki (bisa FB/twitter).
Ayo, mari merayakan luka yang paling sempurna!