Powered By Blogger

Jumat, Maret 20, 2015

Love and The City ~ Pilih Karir atau Asmara?

Dalam Cinta, Tak Ada Pilihan Sederhana

Pernah nggak sih, kamu bingung memilih antara cinta dan karir. Masalah ini memang dialami banyak kaum perempuan ibukota, yang sering mengalami dilema dalam urusan karir dan asmara. Maklum, perempuan dituntut menjadi istri dan ibu yang baik, sekaligus dalam beberapa kondisi berkarir cemerlang.





Embedded image permalink

Itulah ide awal Mas Andi dari komunitas @NBC_IPB dan mas Ijul, penggiat komunitas baca fiksi metropop. Mereka adalah bidan lahirnya buku ini. Setelah membuka kompetisi menulis dan menjaring naskah-naskah jempolan, aku (bersama beberapa penulis lainnya pula) diajak bergabung untuk memeriahkan proyek menulis ini. Lahirlah "Love and the City", yang merupakan omnibus cerpenku yang ke sebelas, sepanjang karirku menulis prosa.

Di "Love and The City" ini, aku menulis satu cerpen berjudul "Langkahan". Di cerpen ini, aku menggunakan tiga sudut pandang tokoh, di mana mereka melihat problematika karir dan asmara dari perspektif yang berbeda. Ada kultur Jawa, terlebih budaya Langkahan, yang sengaja kusisipkan sebagai nuansa penguat benang merah cerita.

Seperti apa sih, boleh ngintip nggak? Nih...



Kalau ada yang bertanya harta saya yang paling berharga, tentulah kedua anak perempuan saya. Diajeng Maheswari dan Anjani Kusumaputeri. Ajeng dan Jani, begitu saya memanggilnya. Kalau melihat pemandangan ini, sepertinya saya takkan percaya, kemarin keduanya bertengkar hidup tentang pilihan masing-masing.

Lusa Jani akan menikah dengan lelaki pilihannya. Dia bilang menikah adalah caranya membahagiakan diri sendiri. Walaupun tidak mudah bagi Ajeng, dia tetap merestui adiknya menikah duluan. 
Dan pagi ini, saya sengaja mengadakan upacara langkahan manten Jawa, di mana secara ritual adat, Jani memohon restu kakaknya. Agar pernikahannya lancar dan keduanya sama-sama bahagia.


Makin penasaran dengan ceritanya? Yuk, mampir dulu ke ulasannya di Goodreads dan di sini.
Dan daripada makin nggak keruan penasarannya, mari beli buku ini di toko buku kesayanganmu atau beli langsung di www.bukubukularis.com karena ada promo menarik di sana.

#LoveAtSchool, Ada Cinta di Sekolah!

24383907 

"Ia selalu ada.. Rasakan kehadirannya.."
Pernahkah kamu bertanya, mengapa senyuman yang selalu dia perlihatkan ketika melintasi kelasmu setiap pagi membuat jantungmu memompa darah lebih cepat?
Pernahkah kamu bertanya, mengapa obrolan tak serius di perpustakaan dengan dia menjadi pemicu mimpi indahmu di malam hari?
Atau, mengapa cemburu yang muncul setelah melihat dia berjalan ke kantin dengan yang lain membuat harimu terasa berantakan di sekolah?
Jangan menduga-duga jawaban. Mungkin itu cinta.
Sama seperti enam belas kisah yang ditulis oleh Guntur Alam, Anggun Prameswari, Faisal Oddang, Pretty Angelia, Ria Destriana, Fakhrisina Amalia Rovieq, Afgian Muntaha, Pipit Indah Mentari, Mel Puspita, Fitriyah, Karina Indah Pertiwi, Afin Yulia. Ruth Ismayati Munthe, juga Dilbar Dilara.
Mereka merasakan kehadirannya. Tak pernah absen.
Cinta itu selalu ada... di sekolah.

Ini adalah antologi bersama pertamaku di tahun 2015, sekaligus merupakan omnibus ke sepuluhku selama berkarir sebagai penulis prosa. Awalnya, ini merupakan proyek besutan sahabatku, Guntur Alam, yang memang berdedikasi tinggi memajukan dunia penulisan Indonesia melalui tangan-tangan penulis baru.

Napas utama serta benang merah buku ini adalah cinta di sekolah, persis dengan judulnya "Love at School". Tentu sudah bisa ditebak bahwa banyak cerita merah jambu dengan latar sekolah terangkum di buku ini. 

Cerpen yang kutulis di buku ini berjudul "Dongeng Bunga Matahari". Ide awalnya adalah seorang murid yang naksir gurunya sendiri, terinspirasi dari beberapa pengalamanku sebagai guru. Untuk mengaitkannya dengan gaya roman depresi yang sering kupakai dalam tulisan, aku membubuhkan puisi dan ending yang membilurkan hati. Seperti apa ceritanya? Nih, kuberi sedikit cuplikannya...

Dulu bunga matahari adalah penjelmaan seorang dewi di khayangan. Dewi yang sangat cantik, berkulit kuning langsat dan berambut emas. Tapi dewi ini jatuh cinta pada mentari yang menyinari bumi. Sang dewi ingin sekali memiliki mentari yang memiliki senyum yang bisa menghangatkan dunia, tapi itu menyalahi aturan semesta. Ia pun dikutuk menjadi bunga. Ia memohon, walaupun telah dikutuk menjadi bunga, ia masih tetap bisa menatap senyum mentari yang ia cintai, dan jadilah ia bunga matahari yang mengikuti ke mana sang mentari pergi.


Kisah cinta yang menyedihkan, bukan? Karena itulah, aku sungguh suka bunga matahari. Karena seperti itulah kisah cintaku. Seperti dewi khayangan yang jatuh cinta pada sang mentari, aku jatuh cinta pada yang tak boleh dicintai. Pasti sebentar lagi aku akan dikutuk. 


Penasaran dengan ceritanya? Yuk intip juga ulasannya di Goodreads dan di sini
Buruan beli bukunya dan kenanglah masa sekolahmu dengan cara yang manis, 
... karena selalu ada cinta di sekolah!

Rabu, Februari 18, 2015

Berjanji Seribu Tahun





Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari  
#TiketBaliGratis.

oleh: Anggun Prameswari 
 

Tak ada yang tahu bahwa di Kota Janji, menjulang sebuah patung perempuan. Jika kau pendatang seperti diriku, maka tentu kau takkan tahu apa sejarah patung itu. Namun, kalau kakek buyut dari kakekmu sempat menurunkan cerita, turun-temurun tak kurang suatu apapun, maka kau akan tahu bahwa patung itu jelmaan seorang perempuan yang menunggu kekasihnya.
“Berapa lama?”
“Jari siapa yang bisa menghitung?”
“Cari saja angka yang mudah.”
“Seribu tahun.”
“Kenapa seribu? Buka sejuta?”
“Kenapa pula bukan seratus?”
“Ah siapa yang peduli? Intinya, ada perempuan yang jadi batu, dikutuk perasaan merananya sendiri .”
“Apa kutukan itu bisa dihilangkan?”
“Tentu. Tidak ada kutukan yang abadi.”
“Caranya?”
Orang-orang yang bergumam itu saling berpandangan. Mereka saling melemparkan sorot mata, sebagian tak tahu, sisanya entah bermakna apa.
Aku yang mematung, menyapukan tangan ke permukaan batu itu. Tingginya hanya beda dua senti, dengan lumut nyaris melumuri setiap jengkal  permukaannya. Tiap kusentuh, makin lekat di telapakku, makin erat pula perasaan aneh yang menyelimutiku.
Ada lubang besar yang menganga, yang tak tersentuh kedalamannya, mendadak muncul di hatiku. Begitu tanganku tak lagi menyentuh permukaan batu itu, perasaan itu cepat  menguap. Namun, sekejap kembali begitu aku menyentuhnya.
Maka, aku menekankan telapak tanganku, membiarkan dinginnya memboboti kulit, menarikku lebih dalam. Kesedihan begitu mudah menarik hati siapapun yang tengah berduka.
Sejak itu, setiap hari aku datang ke batu itu. Awalnya hanya untuk makan siang. Lama kelamaan, aku makan tiga kali—sarapan, makan siang, dan makan malam—di samping batu itu. Aku sering menawarinya macam-macam. Kadang bubur ayam, kue lapis, roti isi, atau susu coklat. Kuharap makanan bisa membantunya kembali bahagia. Siapa tahu, setelah bahagia, batu itu kembali menjelma menjadi perempuan yang dulu pernah menunggu kekasihnya di Kota Janji. Sayangnya, batu itu bergeming, tetap membatu.
“Kau lihat perempuan itu?”
“Iya, aneh. Setiap hari mengunjungi batu.”
“Penyembah berhala?”
“Ah, dia sekedar perempuan patah hati lainnya, senasib dengan legenda si batu.”
Aku diam saja, berusaha abai. Tak ada yang memahamiku. Memahami betapa besarnya perasaan cinta yang harus kupendam selama seribu tahun. Hanya batu berlekuk tubuh perempuan inilah yang mengerti.
Maka, kami makin akrab. Makin tak terpisahkan. Aku tidur di sana. Membaca, mengudap, melamun, bahkan memeluknya minimal tiga kali sehari. Berbagi kesedihan tidaklah dosa, bukan?
Sampai akhirnya dia menemuiku. Kekasih yang selama ini kutunggu. Yang matanya bulat purnama dengan kulit cokelat madu. Dia menjemputku, di Kota Janji yang berprasasti batu perempuan merana.
Tanpa sadar pipiku basah. Haru mengembangkan dadaku dengan harapan-harapan.
“Pa,” tanya gadis cilik itu lagi. “Batunya aneh. Bentuknya mirip manusia.”
“Iya, batunya ada sepasang. Dua-duanya perempuan.”
“Pa, lihat, yang di sebelah kiri wajahnya basah.”
“Mungkin kena hujan.”
“Mungkin menangis?”
“Mana ada batu perempuan menangis, Sayang?”
Lelaki itu menjauh membawa putrinya yang berpipi bakpao merah jambu. Meninggalkan sepasang patung batu perempuan, yang membatu karena merana. Dimakan rindu, digerus cinta. Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa lama, mungkin seribu tahun lamanya.

Kota Janji


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari  
#TiketBaliGratis.


oleh: Anggun Prameswari





Tersebutlah sebuah kota; Kota Janji. Di sana, takkan kautemukan bangunan-bangunan menjulang mencakar langit. Atau jalan-jalan beton melintang pukang. Di Kota Janji, yang bisa kautemui hanyalah harapan-harapan yang bertumbuhan, mekar, mengayun-ayun ditiup angin. Harapan yang lahir dari percintaan janji dengan waktu. Dan di sanalah aku memutuskan, di Kota Janji, kita akan bertemu.
Keningmu berkerut saat tahu kita akan melepas rindu di Kota Janji, yang seperti namanya, akan menjanjikan harapan-harapan yang mengembang wangi, persis adonan roti di tungku bakar.
“Di Kota Janji selalu senja sepanjang hari. Langitnya merah. Semburatnya kuning, kadang ungu atau jingga. Di Kota Janji, kita menanam harapan supaya nanti bisa kupetik,” ujarku malu-malu, menyelipkan rambut ke belakang telinga.
“Apa harapanmu?” Lengan kami bersinggungan. Kulitnya berkilat cokelat madu.
“Kamu.”
Dalam debar yang bertubi-tubi, kubiarkan angin menerbangkan rambutku menutupi wajah. Jarimu menyibak, merapikannya kembali. Napas hangat menyapu pipiku. Kini aku tahu, kulitmu lebih mirip dingin embun di tanah bekas hujan. Lembap menelusup bibirku, menggetarkan pundakku.
Aku terpejam. Lirih kutangkap suaramu, “maka tanamlah harapan itu, di Kota Janji.”
Tepat saat kubuka mata, kau hanya berkata, “Aku harus pergi.”
“Kapan kembali?”
Kau tak menjawab.
“Kalau begitu, biar aku menanam harapan,” ujarku tersenyum. “Nanti kita sama-sama petik saat bertemu.”
Kupejamkan mata. Bibirmu mengecupku sekali lagi. Lebih lama, seakan berpesan, bahwa perpisahan ini tak lebih lama dari sebuah ciuman.
***
Di Kota Janji, kutanam harapan. Kini bibitnya menyeruak, tumbuh meliar, menjalarkan tunas-tunas menjadi kembang.
Kukenakan gaun terbaikku. Sebuah gaun bertali spaghetti, berbahan brokat putih, yang kecil di pinggang, berlipit mengembang di bawah.
“Aku pasti datang, tapi tidak sekarang. Aku sedang bersamanya,”
“Tapi kau selalu bersamanya.”
“Karena dia terlalu mencintaiku.”
“Menurutmu, aku tidak cukup mencintaimu, sehingga hanya bisa menunggu?”
Kurasakan lembar kelopak harapan yang kutanam berguguran.
“Cintamu tak pernah kurang,” katamu. “Kadang cinta saja tidak cukup.”
“Cintaku cukup,” ujarku. “Kau yang selalu merasa kurang.”
***
Kau adalah harapan yang kutanam di Kota Janji. Namun, di Kota Janji tak selalu senja sepanjang hari. Ada kalanya akan turun malam-malam yang gelap. Saat harapan yang ditanam berguguran, maka malam akan datang. Langit akan terlalu pekat untuk ditembus cahaya. Bukankah seperti itulah hidup, gelap bila harapan ternyata padam, pekat tak ternoda?
Aku tahu betul, di Kota Janji, pantang menangis. Bila ada air mata yang tumpah, artinya ada harapan yang telah patah. Tapi aku telanjur menangis. Di bulirnya, tersimpan rindu yang lama kutabung, untuk suatu hari kuhamburkan di pelukmu.
Malam turun makin cepat. Kelamnya mengganti merah senja. Aku memeluk diri sendiri yang menggigil kesepian. Kulihat harapan yang pernah kutanam, perlahan menguncup, layu, merunduk menyambut malam.
Kelak, aku akan datang ke Kota Janji, bisikmu diantarkan angin.
Kapan?
Kau membisu. Air mataku meluncur lagi ke pucuk rerumputan yang menyapu telapak kakiku. Kujumput sisa harapan. Kutanam sekali lagi. Seperti hukum di Kota Janji, saat harapan kembali ditanam, maka hari kembali senja. Di langit muncul warna jingga seperti titik noda, meluas, hingga senja datang sepenuhnya.
Maka kau tetap kutunggu di Kota Janji, kembali kutangkupkan tangan di atas paha. Kuatur gaunku hingga menutupi dudukan bangku panjang. Kubiarkan kakiku mengayun tak terbalut apapun. Aku terus menunggumu di Kota Janji, yang selalu senja sepanjang hari.
***