Powered By Blogger

Selasa, Juni 03, 2014

PEREMPUAN LIONG

ditulis oleh Putri Widi Saraswati yang memenangkan kontes menulis #KuisUltahAnggun

            Kata Mbok Mi, pernah ada naga di rumahku.
            Aku ingat, hari itu panas terik. Aku berdiri di depan kotak-kotak beras yang dipajang Babah Ahlo di tokonya, menunggu dengan hati jeri sementara Mbok Mi membungkusi kedelai dengan plastik dan karet gelang. Mendadak, aku ingin kencing.
            Mbok Mi, dengan jarit kumal, tangan kasar, dan kejudesannya, sudah selalu membuatku ngeri. Kurasa semua anak tujuh tahun tiga bulan juga akan ngeri padanya. Tapi semua pembicaraan tentang naga ini memperparahnya.
            “Nanti lihat sendiri,” kata Mbok Mi. Ctar. Suara jepretan karet gelangnya membuatku terlonjak. “Tanya ibukmu itu kalau ndak percaya.”
            Tenggorokanku berdeguk. Besok-besok, aku takkan mau lagi kalau disuruh perempuan itu belanja di sini. Sialnya, tiga hari lagi Cap Go Meh. Saat ini perempuan itu sedang sibuk di dapur, dikelilingi bahan makanan dan segunung bumbu dapur. Tak ada lagi yang bisa disuruh-suruhnya selain aku.
Lontong Cap Go Meh bikinan perempuan itu adalah yang paling nikmat sekota raya, dicari pejabat hingga pemadat, dari ujung timur ke ujung barat, baik Tionghoa maupun bukan. Tak ada yang lebih ditunggu warga saat Cap Go Meh selain dua hal: pertunjukan liong dan barongsai, serta lontong yang cuma dijajakan Anggun Sasmita Han setahun sekali.
“Kenapa naga?” cericitku pelan.
Mbok Mi memelototiku, lalu mengangsurkan plastik hitam dengan gerakan menggusah yang selalu dilakukannya padaku.
Maka aku pulang.
***
            Aku takut gelap. Aku takut tidur sendiri. Kurasa, aku takut pada seisi dunia.
            “Jangan tinggal aku,” aku akan berbisik pada perempuan itu. Bisikanku akan menyelip dari celah selimut yang kutarik ke bawah daguku, bertiup melalui celah pintu yang seinci lagi tertutup sempurna, mencari jalan menuju kedua daun telinga putih milik perempuan itu.
            Meski begitu, tetap saja perempuan itu akan menutup pintu. Dan, setelah itu, gelap.
            Kadang, aku akan kencing di celana. Kadang, gigiku akan bergemeletuk tanpa kusuruh. Tapi pada akhirnya, aku akan memejam juga, melayang jatuh ke dalam mimpi-mimpi yang sebagian kuingini dan sebagian tidak.
            Satu dari dua mimpiku adalah tentang perempuan itu.
            Setibaku di rumah, kencingku sudah betul-betul di ujung. Terbirit-birit aku berlari ke kamar mandi agar jangan sampai celanaku basah duluan. Perempuan itu tak suka jika aku mengompol.
            Setelah itu, masih menggenggam erat plastik yang berat, aku mulai mencarinya. Kuintip dapur. Udara berbau bawang putih dan kencur, yang sudah bersih dan siap disangrai bersama kedelai, lalu ditumbuk jadi bubuk koya gurih. Tapi perempuan itu tak ada.
            “Mami…?” suaraku bergaung di dinding-dinding.
            Aku lupa melepas sandal tadi. Jejak-jejak tanah berceceran di lantai dapur. Tapi tetap saja, kuteruskan mengendap-endap menuju ruang tengah.
Sesuatu dalam dadaku mengepak-ngepak. Aku rindu perempuan itu. Aku rindu melihatnya.
            “Mami…? Ini kedelainya….”
            Ruang tengah gelap. Meja makan gelap. Tapi di seberangku, sinar kekuningan mengintip dari bawah pintu tertutup. Pintu kamar perempuan itu.
            Aku melangkah cepat-cepat, siapa tahu ada monster yang lahir di kegelapan ini dan sedang bersembunyi untuk memakanku. Syukurlah, aku sampai di pintu dengan selamat.
            Nah, sekarang…. Mengetuk, atau tidak?
            Ayo, putuskan cepat, Yos! Hati-hati, jangan-jangan ada monster di belakangmu!
            Kuhitung jari kakiku dengan cepat. Ketuk, buka, ketuk, buka….    
            Dengan amat pelan, kuangkat tanganku untuk meraih kenop pintu setinggi pelipisku. Dengan amat pelan, kuputar kenop itu ke kanan.
Amaaaat… pelaaaan… kreeeek….
Di dalam, tirai jendela ditutup dan lampu dimatikan. Cahaya lilinlah yang ruap-ruap. Aku hanya berani membuka pintu selebar dua senti, lalu tanpa sadar berjinjit.
Kulihat perempuan itu. Ia bersimpuh membelakangiku, garis tubuhnya berombak ditimpa api lilin yang bergoyang. Aih. Kurasakan dorongan besar di perutku; sesuatu menyuruhku merangsek masuk dan memeluknya. Tapi kurapatkan tumitku, kuluruskan lututku. Aku bergeming.
Di hadapan perempuan itu, ada sebuah bingkai foto di atas meja. Bingkai itu kosong. Sementara aku mengawasi dengan jantung mengerut, perempuan itu mengangkat selembar foto dengan kedua tangannya. Khidmat sekali, seolah di telapak tangannya ada hidup dan mati, ia memasangkan foto itu pada bingkai.
Lilin meredup. Mungkin terkena angin yang juga menyelinap ke balik singletku. Tapi sebelum cahaya bergeser dan aku jadi rabun, mataku sempat menangkap gambar di dalam foto. Lelaki berbaju kuning, membawa tongkat kayu panjang, dan di atas tongkat ada….
Kedua mataku membelalak.
Naga!
***
            “Lusa… aku boleh pergi kelenteng, Mi?”
            Aku suka Cap Go Meh, Imlek, dan semua perayaan besar lainnya. Ada kelenteng dekat sini. Mereka punya halaman luas sekali, dan jika Cap Go Meh tiba, kau bisa datang ke sana untuk menonton akrobat liong dan barongsai dari sanggar Babah Ahlo, mengagumi lentera warna-warni dan melompat-lompat untuk menyentuhnya, sertamenyaksikan arak-arakan.
            Perempuan itu tak menjawab.
            Aku ingin memohon padanya. Sungguh. Aku tak pernah bisa pergi ke kelenteng, walaupun itu Cap Go Meh, Imlek, atau apa pun. Setiap tanggal-tanggal itu tiba, perempuan itu hanya akan membawaku ke mulut gang, di mana aku bisa melihat secuil keramaian di halaman kelenteng. Setelah itu ia akan mengunciku di rumah dan pergi membuka kiosnya sampai malam.
            Sebagai ganti jawaban, perempuan itu meletakkan piring berisi seporsi lontong di hadapanku. Uapnya mengepul. Lontong-lontong itu dipotong dadu, sisinya kehijauan, dalamnya putih bersih. Di atasnya ada sambal goreng ati ampela, sepotong besar paha ayam opor, sate telur puyuh andalan khas Lontong Cap Go Meh Ci Han, dan taburan bubuk kedelai. Semua itu terendam dalam kuah santan lodeh terong kuning kecokelatan.
            Perempuan itu duduk di sisi lain meja makan. Ia menopang dagunya, menatap lurus ke dinding.
            Perutku berbunyi.
            Aku tahu, aku seharusnya makan. Habiskan, lalu bilang bahwa lontongnya enak sekali, lalu perempuan itu akan menggiringku ke kamar mandi dan meninggalkanku untuk mandi sendiri.
            Aku memandangi sisi wajahnya.
            “Suapin aku, Mi….” bisikku pelan. Perempuan itu menoleh, lalu menatapku. Mata kami bertaut. Hening. Mata kami terus bertaut.
            Kuambil sendokku.
***
            Dingin.
            Kata Engkong, saat ia masih suka memangkuku dulu, Cap Go Meh adalah waktunya bulan baru. Bulan akan hilang dari langit, mogok menyinari bumi pada malam hari. Mungkin karena itu malam ini sangat dingin.
Aku ingin dipeluk. Ingin sekali. Aku bosan hanya dipeluk dalam mimpi.
Perempuan itu tak pernah mau diganggu saat malam Cap Go Meh. Ia akan menutup pintuku lebih cepat, lalu tak kelihatan lagi hingga esok pagi.
Saat menurunkan kakiku ke lantai, aku merinding. Teringat perkataan Mbok Mi tadi siang, saat aku terpaksa kembali lagi untuk membeli gula.
“Hati-hati, ibukmu piara naga,” bisiknya parau. “Awas, nanti kamu dimakan.”
Selain takut gelap, aku juga takut api. Di perut naga, pasti banyak api. Lututku mulai terasa selembek dodol.
Aku mengendap-endap lagi menuju pintu. Mungkin, mungkin malam ini perempuan itu mau membukakan pintu dan memelukku. Mungkin, mungkin besok perempuan itu mau membawaku ikut bersamanya, melihat liong dan barongsai dan festival lentera dan para pendekar silat. Mungkin, mungkin besok sore perempuan itu mau menyuapiku. Mungkin, mungkin sesungguhnya memang tak ada yang namanya naga di dunia ini. Mungkin, mungkin saja, kan?
Kubuka pintu itu, harapan lamat-lamat jadi liat di hatiku.
Aku tertegun. Kamar itu masih hanya diterangi cahaya lilin yang berdansa tanpa musik. Di atas meja, foto lelaki dan naganya masih terpampang, diapit dua lilin merah besar dalam gelas dan beberapa batang hio dengan wangi pekat menggelisahkan.
Di atas kasur, perempuan itu mengesah. Selimutnya bergerak-gerak. Bunyi gemeresak yang aneh menyertainya. Serta merta, aku mematung.
Tapi perempuan itu tak bangun. Suaranya pelan-pelan memudar, dan napasnya kembali teratur. Di atas bantal, rambutnya yang panjang terulur helai demi helai.
Gemetar, kuulurkan jemariku. Samar-samar, sepotong kenangan mengintip di balik kelopak mataku. Tirai rambut hitam yang harum, menggelitik hidungku, pipiku, wajahku. Aku tertawa, membelitkannya di jariku, menciuminya…. Apakah itu aku? Atau anak lain dalam mimpiku?
Kutarik lagi tanganku. Alih-alih, aku duduk di lantai yang dingin, mengamati hela napas yang naik turun.
Satu lengan perempuan itu menjulur di atas selimut. Jemarinya yang berkuku mengilap memegang sehelai robekan kertas koran kekuningan. Huruf-hurufnya begitu kecil. Aku memicingkan mata, mengejanya pelan-pelan sambil menggigit bibir.
“Obi… obitu… obituari….”
Candra Purnama Tan
17 Maret 1980 – 2 Februari 2009
Apiboleh merenggutmu, tapi cinta kami akan selalu membara untukmu.
Yang ditinggalkan:
Istri – Anggun Sasmita Han
Anak – Yosi Wijaya Tan
            Yosi, itu namaku. Anggun, itu nama perempuan itu.
Candra itu siapa?
Ada foto hitam putih di atasnya. Seorang lelaki tersenyum. Lelaki yang sama berfoto di atas meja.
            Di rumahmu, pernah ada naga.
            Dari celah ventilasi, angin menjilat tubuhku. Lilin-lilin bergoyang. Kurasakan diriku bergidik. Mungkin perempuan itu takkan keberatan jika aku ikut masuk ke balik selimut. Ya, kan? Toh, aku belum pernah melakukannya. Aku takkan mengganggunya. Aku cuma ingin hangat, dan ingin di dekatnya. Itu saja. Mungkin dia takkan marah kalau hanya begitu saja.
            Maka kusibak selimut itu, dan kuangkat sebelah lututku untuk naik ke ranjang.
            Tapi lututku melayang di udara.
            Sekejap, aku nyaris menjerit. Tapi lalu kusadari, itu bukan naga betulan. Itu cuma kepala liong berwarna kuning emas. Bukan liong yang gagah pula. Kepala itu tercabik dari badannya. Puntung lehernya menghitam gosong seperti jelaga, begitu pula satu tanduk dan sebagian besar sisi wajahnya.
            Liong jelek. Kenapa perempuan itu tidur bersama liong jelek ini?
            Perlahan, kuturunkan lututku. Kuletakkan kembali ujung selimut itu. Dengan ujung telunjukku, kubelai rambut hitam yang tergerai di depanku. Halus. Sejuk.
            Kurasakan kedua mataku panas seperti pantat setrika.
            Mbok Mi benar. Naga memang betul-betul ada di dunia. Dan naga itu tinggal di rumahku.
            Tapi aku benci naga.
           
           
Catatan Penulis

- 9.992 karakter dengan spasi, tidak termasuk judul dan catatan kaki ini.
- Cap Go Meh: salah satu perayaan keagamaan dan budaya dalam tradisi Tionghoa. Merupakan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek, yang menjadi penutupan perayaan Imlek sekaligus hari pertama bulan baru.
- liong: tiruan naga besar untuk pertunjukan pada arak-arakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Liong berarti naga. Terbuat dari rangka bambu dan kertas, memiliki kepala naga, badan ular, sisik ikan, tanduk rusa, dan taring serigala. Dimainkan oleh beberapa orang yang memiliki keahlian bela diri dengan cara ditopang menggunakan tongkat-tongkat kayu. Melambangkan kebaikan dan kebajikan.
- barongsai: barongan Cina yang biasa dipertunjukkan pada Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Barong dari kata barongan (tradisi lokal Indonesia), sai artinya singa. Terbuat dari rangka bambu dan kertas, dimainkan oleh dua orang yang memiliki keahlian bela diri dan akrobatik. Diberi “makan” oleh penonton berupa angpau, amplop kecil berisi uang.
- lontong Cap Go Meh: makanan khas perayaan Cap Go Meh di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Merupakan makanan peranakan dengan pengaruh budaya Jawa yang kuat. Terdiri dari campuran lontong, sambal goreng ati ampela, lodeh sayuran, sate, opor ayam, ditaburi bubuk kedelai gurih.
- 2 Februari adalah tanggal jatuhnya perayaan Cap Go Meh pada tahun 2009.

Cerpen Pemenang #KuisUltahAnggun

Teng teng teng, sekarang tanggal 3 Juni nih. Sesuai janjiku, aku akan mengumumkan cerpen terbaik yang ikut dalam #KuisUltahAnggun yang dipublikasikan tgl 8 Mei 2014 yang lalu. Kemudian, sesuai deadline, daftar cerpen yang masuk bisa diintip di sini lhooo... Ada namamu nggak?

Sebelum kuberitahu judul cerpen pemenangnya dan siapa penulisnya, biar kubocorkan sedikit kenapa aku memilihnya. Ini nih alasannya:
1. RAPI ~ Ini maksudnya cerpennya ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, yaitu rapi secara layout serta dari segi EYD dan penggunaan tanda baca.
2. MENARIK DAN UTUH ~ Aku suka tema yang dibawakannya. Kemudian karakterisasinya unik dan konsisten. Kemudian yang paling kusuka adalah bagaimana cara si penulis mengaturkan ketegangan bahkan sejak kalimat pertama. Kalimat pertamanya sangat aku suka dan penulisnya pandai membawa emosi pembaca untuk ingin tahu ceritanya lebih lanjut sampai di ending. Kemudian dinamika ceritanya juga mengalir. Menyenangkan sekali membacanya.
3. KONTEN LOKAL ~ Nah, penulisnya juga bisa mengombinasikan cerita dengan konten budaya lokal yang segmented, tapi tetap menarik dibaca bahkan untukku yang tidak mengerti apa-apa tentang budaya tersebut. Good job!

Dan pemenangnya adalah....
*DRUM ROLLS*

SELAMAT untuk PEREMPUAN LIONG karya PUTRI WIDI SARASWATI!
HOREEE!
Kamu berhak atas paket hadiah #KuisUltahAnggun yaitu satu novel #AfterRain, kumcer #KedaiBianglala, dan voucher Gramedia Rp.100rb ... Hasyeeek!
Terus menulis ya Putri Widi, semoga ini pintu pembukamu untuk terus melaju menjadi penulis mumpuni di jagad sastra Indonesia.
Nah yang ingin membaca cerpen ini, silakan klik di link ini ya...

Terima kasih untuk yang sudah mengirimkan cerpen di #KuisUltahAnggun ya. Yang kalian tulis sungguhlah berharga. Aku sangat menghargainya. :*

Selasa, Mei 27, 2014

INI DIA CERPEN-CERPEN #KuisUltahAnggun

Wah, kepesertaan #KuisUltahAnggun ditutup. Senang banget ternyata banyak yang ikut, memberanikan menjajal kemampuannya dalam menulis. Mungkin pesertanya tidak sebanyak lomba menulis sekelas nasional, tapi aku sangat amat terharu karena di luar sana ada beberapa orang yang menyediakan waktu, tenaga, dan biaya untuk menuliskanku cerpen.

Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.

Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1.   Ilam-ilam oleh Djamall
2.   Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3.   Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4.   Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5.   Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6.   Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7.   Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8.   Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9.   I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil

Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.

Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*

Kamis, Mei 08, 2014

Mari Rayakan Ulang Tahunku



Nggak terasa sebentar lagi aku akan merayakan ulang tahun. Belum, aku belum tiga puluh. Bulan depan aku akan genap berusia 29. Tua? Belum tentu. Jadi ingat perkataan seorang teman, Neng Farah namanya. Dia pernah bilang: "Kalau ditanya umur, jawablah dengan kata baru, bukan sudah."

"Jadi, umurmu berapa?"
"Ah, aku baru dua sembilan."

Dan, untuk merayakan ulang tahunku bulan depan, aku pengin bagi-bagi hadiah nih. Aku akan berikan paket hadiah cantik berisi:
Embedded image permalink
1 novel #AfterRain bertandatanganku
1 kumcer #KedaiBianglala bertandatanganku
plus... voucher senilai Rp.100.000,- dari Gramedia (ulalaaa...)
Tidak menutup kemungkinan kalau akan ada tambahan hadiah lainnya kalau aku sukses merayu-rayu beberapa pihak untuk jadi sponsor.





Caranya?
Yang pasti nggak gampang, tapi juga nggak susah.
Tulis cerpen untukku (ya iyalah, penulis dikadoinnya dengan cerpen, masa dikadoin pacar-dalam-selimut)
Syarat-syaratnya:
1. Tokoh utama harus bernama ANGGUN. (suka-suka gue ya, kan gue ini yang ultah) Tapi nggak perlu dimirip-miripin sama aku ya. Karakterisasinya boleh bebas kalian kembangkan sendiri.
2. Panjang cerita antara 5.000 - 10.000 karakter termasuk spasi, diketik di kertas ukuran A4, spasi 1,5 dengan margin atas-bawah-kiri-kanan 1 inchi. Kalau sesuai dengan format ini biasanya cerpennya akan jadi sepanjang 3-6 halaman.
3. Genre roman depresi. (aih, matek!)
Apa itu roman depresi? Kisah percintaan yang bikin depresi. Tidak harus selalu antara kekasih, tapi bisa kakak-adik, orangtua-anak, guru-murid, gadis kecil-bonekanya, dll. Cinta tak selalu antara sepasang kekasih kan? Semakin kamu eksplor dan berpikir out of the box, semakin menambah nilai plus.
4. Settingnya harus Indonesia. Kalau kalian mengangkat tema lokal, malah lebih bagus. Tapi jangan sampai jadi senjata makan tuan dan tempelan semata. Cek lagi. Budaya lokal itu harus menyatu dengan esensi cerita. Cara tahunya dari mana? Kalau budaya yang kalian gunakan itu diganti dengan budaya lain, kemudian tidak mengubah esensi cerita, itu artinya kalian gagal mengangkat budaya lokal.
5. Cerpen dikirim ke alamat emailku mbak.anggun@gmail.com cerpen dilampirkan, bukan diketik di bodi email dalam format MS Word (extension boleh .doc, .docx, .rtf). Setelah kirim, mention aku (@mbakanggun) di TL twitter dengan hashtag #KuisUltahAnggun
6. Tenggat 23 Mei 2014 pukul 23:59
7. Pengumuman pemenang 3 Juni 2014 pas ulang tahunku. Tapi jamnya entah hahahaha...
8. Lomba ini tertutup bagi keempat nama berikut: Yetti A.Ka, Guntur Alam, Faisal Oddang, Emil Amir *siap-siap ditoyor*

Oke. Sekarang siapkan cerpenmu. Tuliskan kado terbaikmu untukku.
Salam cium,
Anggun Prameswari