ditulis oleh Putri Widi Saraswati yang memenangkan kontes menulis #KuisUltahAnggun
Kata Mbok Mi, pernah
ada naga di rumahku.
Aku
ingat, hari itu panas terik. Aku berdiri di depan kotak-kotak beras yang dipajang
Babah Ahlo di tokonya, menunggu dengan hati jeri sementara Mbok Mi membungkusi
kedelai dengan plastik dan karet gelang. Mendadak, aku ingin kencing.
Mbok
Mi, dengan jarit kumal, tangan kasar, dan kejudesannya, sudah selalu membuatku
ngeri. Kurasa semua anak tujuh tahun tiga bulan juga akan ngeri padanya. Tapi
semua pembicaraan tentang naga ini memperparahnya.
“Nanti
lihat sendiri,” kata Mbok Mi. Ctar.
Suara jepretan karet gelangnya membuatku terlonjak. “Tanya ibukmu itu kalau ndak percaya.”
Tenggorokanku
berdeguk. Besok-besok, aku takkan mau lagi kalau disuruh perempuan itu belanja
di sini. Sialnya, tiga hari lagi Cap Go Meh. Saat ini perempuan itu sedang
sibuk di dapur, dikelilingi bahan makanan dan segunung bumbu dapur. Tak ada
lagi yang bisa disuruh-suruhnya selain aku.
Lontong Cap Go Meh
bikinan perempuan itu adalah yang paling nikmat sekota raya, dicari pejabat
hingga pemadat, dari ujung timur ke ujung barat, baik Tionghoa maupun bukan.
Tak ada yang lebih ditunggu warga saat Cap Go Meh selain dua hal: pertunjukan
liong dan barongsai, serta lontong yang cuma dijajakan Anggun Sasmita Han
setahun sekali.
“Kenapa naga?”
cericitku pelan.
Mbok Mi memelototiku, lalu
mengangsurkan plastik hitam dengan gerakan menggusah yang selalu dilakukannya
padaku.
Maka aku pulang.
***
Aku
takut gelap. Aku takut tidur sendiri. Kurasa, aku takut pada seisi dunia.
“Jangan
tinggal aku,” aku akan berbisik pada perempuan itu. Bisikanku akan menyelip
dari celah selimut yang kutarik ke bawah daguku, bertiup melalui celah pintu
yang seinci lagi tertutup sempurna, mencari jalan menuju kedua daun telinga
putih milik perempuan itu.
Meski
begitu, tetap saja perempuan itu akan menutup pintu. Dan, setelah itu, gelap.
Kadang,
aku akan kencing di celana. Kadang, gigiku akan bergemeletuk tanpa kusuruh.
Tapi pada akhirnya, aku akan memejam juga, melayang jatuh ke dalam mimpi-mimpi
yang sebagian kuingini dan sebagian tidak.
Satu
dari dua mimpiku adalah tentang perempuan itu.
Setibaku
di rumah, kencingku sudah betul-betul di ujung. Terbirit-birit aku berlari ke kamar
mandi agar jangan sampai celanaku basah duluan. Perempuan itu tak suka jika aku
mengompol.
Setelah
itu, masih menggenggam erat plastik yang berat, aku mulai mencarinya. Kuintip
dapur. Udara berbau bawang putih dan kencur, yang sudah bersih dan siap disangrai
bersama kedelai, lalu ditumbuk jadi bubuk koya gurih. Tapi perempuan itu tak
ada.
“Mami…?”
suaraku bergaung di dinding-dinding.
Aku
lupa melepas sandal tadi. Jejak-jejak tanah berceceran di lantai dapur. Tapi
tetap saja, kuteruskan mengendap-endap menuju ruang tengah.
Sesuatu dalam dadaku
mengepak-ngepak. Aku rindu perempuan itu. Aku rindu melihatnya.
“Mami…?
Ini kedelainya….”
Ruang
tengah gelap. Meja makan gelap. Tapi di seberangku, sinar kekuningan mengintip
dari bawah pintu tertutup. Pintu kamar perempuan itu.
Aku
melangkah cepat-cepat, siapa tahu ada monster yang lahir di kegelapan ini dan
sedang bersembunyi untuk memakanku. Syukurlah, aku sampai di pintu dengan
selamat.
Nah,
sekarang…. Mengetuk, atau tidak?
Ayo,
putuskan cepat, Yos! Hati-hati, jangan-jangan ada monster di belakangmu!
Kuhitung
jari kakiku dengan cepat. Ketuk, buka, ketuk, buka….
Dengan
amat pelan, kuangkat tanganku untuk meraih kenop pintu setinggi pelipisku. Dengan
amat pelan, kuputar kenop itu ke kanan.
Amaaaat…
pelaaaan… kreeeek….
Di dalam, tirai jendela
ditutup dan lampu dimatikan. Cahaya lilinlah yang ruap-ruap. Aku hanya berani
membuka pintu selebar dua senti, lalu tanpa sadar berjinjit.
Kulihat perempuan itu.
Ia bersimpuh membelakangiku, garis tubuhnya berombak ditimpa api lilin yang
bergoyang. Aih. Kurasakan dorongan
besar di perutku; sesuatu menyuruhku merangsek masuk dan memeluknya. Tapi
kurapatkan tumitku, kuluruskan lututku. Aku bergeming.
Di hadapan perempuan
itu, ada sebuah bingkai foto di atas meja. Bingkai itu kosong. Sementara aku
mengawasi dengan jantung mengerut, perempuan itu mengangkat selembar foto
dengan kedua tangannya. Khidmat sekali, seolah di telapak tangannya ada hidup
dan mati, ia memasangkan foto itu pada bingkai.
Lilin meredup. Mungkin
terkena angin yang juga menyelinap ke balik singletku. Tapi sebelum cahaya
bergeser dan aku jadi rabun, mataku sempat menangkap gambar di dalam foto.
Lelaki berbaju kuning, membawa tongkat kayu panjang, dan di atas tongkat ada….
Kedua mataku membelalak.
Naga!
***
“Lusa…
aku boleh pergi kelenteng, Mi?”
Aku
suka Cap Go Meh, Imlek, dan semua perayaan besar lainnya. Ada kelenteng dekat
sini. Mereka punya halaman luas sekali, dan jika Cap Go Meh tiba, kau bisa
datang ke sana untuk menonton akrobat liong dan barongsai dari sanggar Babah
Ahlo, mengagumi lentera warna-warni dan melompat-lompat untuk menyentuhnya,
sertamenyaksikan arak-arakan.
Perempuan
itu tak menjawab.
Aku
ingin memohon padanya. Sungguh. Aku tak pernah bisa pergi ke kelenteng,
walaupun itu Cap Go Meh, Imlek, atau apa pun. Setiap tanggal-tanggal itu tiba,
perempuan itu hanya akan membawaku ke mulut gang, di mana aku bisa melihat
secuil keramaian di halaman kelenteng. Setelah itu ia akan mengunciku di rumah
dan pergi membuka kiosnya sampai malam.
Sebagai
ganti jawaban, perempuan itu meletakkan piring berisi seporsi lontong di
hadapanku. Uapnya mengepul. Lontong-lontong itu dipotong dadu, sisinya kehijauan,
dalamnya putih bersih. Di atasnya ada sambal goreng ati ampela, sepotong besar
paha ayam opor, sate telur puyuh andalan khas Lontong Cap Go Meh Ci Han, dan
taburan bubuk kedelai. Semua itu terendam dalam kuah santan lodeh terong kuning
kecokelatan.
Perempuan
itu duduk di sisi lain meja makan. Ia menopang dagunya, menatap lurus ke
dinding.
Perutku
berbunyi.
Aku
tahu, aku seharusnya makan. Habiskan, lalu bilang bahwa lontongnya enak sekali,
lalu perempuan itu akan menggiringku ke kamar mandi dan meninggalkanku untuk
mandi sendiri.
Aku
memandangi sisi wajahnya.
“Suapin
aku, Mi….” bisikku pelan. Perempuan itu menoleh, lalu menatapku. Mata kami
bertaut. Hening. Mata kami terus bertaut.
Kuambil
sendokku.
***
Dingin.
Kata
Engkong, saat ia masih suka memangkuku dulu, Cap Go Meh adalah waktunya bulan
baru. Bulan akan hilang dari langit, mogok menyinari bumi pada malam hari.
Mungkin karena itu malam ini sangat dingin.
Aku ingin dipeluk.
Ingin sekali. Aku bosan hanya dipeluk dalam mimpi.
Perempuan itu tak
pernah mau diganggu saat malam Cap Go Meh. Ia akan menutup pintuku lebih cepat,
lalu tak kelihatan lagi hingga esok pagi.
Saat menurunkan kakiku
ke lantai, aku merinding. Teringat perkataan Mbok Mi tadi siang, saat aku
terpaksa kembali lagi untuk membeli gula.
“Hati-hati, ibukmu
piara naga,” bisiknya parau. “Awas, nanti kamu dimakan.”
Selain takut gelap, aku
juga takut api. Di perut naga, pasti banyak api. Lututku mulai terasa selembek dodol.
Aku mengendap-endap
lagi menuju pintu. Mungkin, mungkin malam ini perempuan itu mau membukakan
pintu dan memelukku. Mungkin, mungkin besok perempuan itu mau membawaku ikut
bersamanya, melihat liong dan barongsai dan festival lentera dan para pendekar
silat. Mungkin, mungkin besok sore perempuan itu mau menyuapiku. Mungkin,
mungkin sesungguhnya memang tak ada yang namanya naga di dunia ini. Mungkin,
mungkin saja, kan?
Kubuka pintu itu,
harapan lamat-lamat jadi liat di hatiku.
Aku tertegun. Kamar itu
masih hanya diterangi cahaya lilin yang berdansa tanpa musik. Di atas meja,
foto lelaki dan naganya masih terpampang, diapit dua lilin merah besar dalam
gelas dan beberapa batang hio dengan wangi pekat menggelisahkan.
Di atas kasur,
perempuan itu mengesah. Selimutnya bergerak-gerak. Bunyi gemeresak yang aneh
menyertainya. Serta merta, aku mematung.
Tapi perempuan itu tak
bangun. Suaranya pelan-pelan memudar, dan napasnya kembali teratur. Di atas
bantal, rambutnya yang panjang terulur helai demi helai.
Gemetar, kuulurkan
jemariku. Samar-samar, sepotong kenangan mengintip di balik kelopak mataku.
Tirai rambut hitam yang harum, menggelitik hidungku, pipiku, wajahku. Aku
tertawa, membelitkannya di jariku, menciuminya…. Apakah itu aku? Atau anak lain
dalam mimpiku?
Kutarik lagi tanganku.
Alih-alih, aku duduk di lantai yang dingin, mengamati hela napas yang naik
turun.
Satu lengan perempuan
itu menjulur di atas selimut. Jemarinya yang berkuku mengilap memegang sehelai
robekan kertas koran kekuningan. Huruf-hurufnya begitu kecil. Aku memicingkan mata,
mengejanya pelan-pelan sambil menggigit bibir.
“Obi… obitu…
obituari….”
Candra
Purnama Tan
17
Maret 1980 – 2 Februari 2009
Apiboleh
merenggutmu, tapi cinta kami akan selalu membara untukmu.
Yang
ditinggalkan:
Istri
– Anggun Sasmita Han
Anak
– Yosi Wijaya Tan
Yosi,
itu namaku. Anggun, itu nama perempuan itu.
Candra itu siapa?
Ada foto hitam putih di
atasnya. Seorang lelaki tersenyum. Lelaki yang sama berfoto di atas meja.
Di rumahmu, pernah ada naga.
Dari celah
ventilasi, angin menjilat tubuhku. Lilin-lilin bergoyang. Kurasakan diriku
bergidik. Mungkin perempuan itu takkan keberatan jika aku ikut masuk ke balik
selimut. Ya, kan? Toh, aku belum pernah melakukannya. Aku takkan mengganggunya.
Aku cuma ingin hangat, dan ingin di dekatnya. Itu saja. Mungkin dia takkan
marah kalau hanya begitu saja.
Maka
kusibak selimut itu, dan kuangkat sebelah lututku untuk naik ke ranjang.
Tapi
lututku melayang di udara.
Sekejap,
aku nyaris menjerit. Tapi lalu kusadari, itu bukan naga betulan. Itu cuma
kepala liong berwarna kuning emas. Bukan liong yang gagah pula. Kepala itu
tercabik dari badannya. Puntung lehernya menghitam gosong seperti jelaga,
begitu pula satu tanduk dan sebagian besar sisi wajahnya.
Liong
jelek. Kenapa perempuan itu tidur bersama liong jelek ini?
Perlahan,
kuturunkan lututku. Kuletakkan kembali ujung selimut itu. Dengan ujung
telunjukku, kubelai rambut hitam yang tergerai di depanku. Halus. Sejuk.
Kurasakan
kedua mataku panas seperti pantat setrika.
Mbok
Mi benar. Naga memang betul-betul ada di dunia. Dan naga itu tinggal di
rumahku.
Tapi
aku benci naga.
Catatan
Penulis
- Cap Go Meh: salah satu perayaan
keagamaan dan budaya dalam tradisi Tionghoa. Merupakan hari ke-15 setelah Tahun
Baru Imlek, yang menjadi penutupan perayaan Imlek sekaligus hari pertama bulan
baru.
- liong: tiruan naga besar untuk
pertunjukan pada arak-arakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Liong berarti naga. Terbuat dari rangka
bambu dan kertas, memiliki kepala naga, badan ular, sisik ikan, tanduk rusa,
dan taring serigala. Dimainkan oleh beberapa orang yang memiliki keahlian bela
diri dengan cara ditopang menggunakan tongkat-tongkat kayu. Melambangkan
kebaikan dan kebajikan.
- barongsai: barongan Cina yang biasa
dipertunjukkan pada Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Barong dari kata barongan (tradisi lokal Indonesia), sai artinya singa. Terbuat dari rangka
bambu dan kertas, dimainkan oleh dua orang yang memiliki keahlian bela diri dan
akrobatik. Diberi “makan” oleh penonton berupa angpau, amplop kecil berisi
uang.
- lontong Cap Go Meh: makanan khas
perayaan Cap Go Meh di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Merupakan
makanan peranakan dengan pengaruh budaya Jawa yang kuat. Terdiri dari campuran
lontong, sambal goreng ati ampela, lodeh sayuran, sate, opor ayam, ditaburi
bubuk kedelai gurih.
- 2 Februari adalah
tanggal jatuhnya perayaan Cap Go Meh pada tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar