Jumat, Januari 21, 2011
Fragment #1
It's ADORATION
And you expect me to believe that,
But every day, every time I wake up,
I simply dare your words,
Tell me, how can love grow from its seed?
It grows by adoring.
You simply can't answer
I know you know that it's true.
And all I can hear from my cell phone is,
"Honey, breakfast is ready!"
*ini fragment. Ini bibit. Belum dipupuk. Belum disirami. Jadi belum bisa mencapai keutuhan menjadi sebuah cerpen*
Selasa, Januari 11, 2011
Berakhir
Itu kata yang pernah kuucapkan padamu. Aroma lapuk ruang gudang itu semakin membuatku sesak. Bukan karena luasnya yang memang sempit, tapi ruang hatiku tiba-tiba disesaki dengan entah perasaan apa. Kau selalu tertawa bila kusebut ruang itu gudang. Itu hanya ruang kecil, ukuran empat kali empat. Dicat kuning gading, tapi entah menua atau ternoda asap rokok, warna melapuk dan menyuram. Ada meja besar dengan lima atau enam kursi coklat tua. Kau selalu duduk membelakangi jendela dan aku pasti duduk di hadapanmu. Selalu begitu. Tak pernah ada yang berubah.
"Kalau saja waktu berputar kembali, sembilan atau sepuluh tahun lalu, apa akhirnya akan berbeda?" aku terus saja mengulangi pertanyaan itu.
Kau hanya diam. Jawaban apa yang kau cari? Jawaban yang tentu tidak menyakiti hati. Tapi hati siapa? Hatimu? Hatiku? Hatinya?
"Aku mencintai istriku," ujarnya. "I very love my wife,"
"Salah, yang benar I love my wife very much." ujarku pahit. Dan senyummu melingkar legit.
"Iya, itulah. I love my wife very much."
"Tapi kan pertanyaanku bukan itu. Pertanyaanku, kalau kita bertemu sembilan atau sepuluh tahun lalu, apakah akhirnya akan berbeda?"
Dan kau tertunduk. Aku jadi tak bisa melihat sinar matamu. Aku pun juga mempertanyakan hal yang sama pada diriku. Padahal kita berdua sama-sama tahu kalau kita berdua tak tahu jawabannya. Seharusnya bukan padamu aku bertanya.
"Kita masih bisa berteman baik." ujarmu. seperti ingin menghiburku. Tapi aku tahu juga itu sebenarnya menghibur hatimu sendiri.
"Janji tidak akan ada yang berubah?" tanyaku berusaha menembus kabut di matanya.
"Janji."
"Kita masih bisa ngobrol seperti dulu?"
"Bisa."
"Masih boleh BBM-an sampai malam?"
"Boleh."
Tring tring, getaran Blackberry-ku itu jauh lebih pelan dibandingkan degup jantungku sendiri. Aku sampai tak bisa mendengarnya. Tapi suara itu seperti lengkingan sangkakala yang menampar wajah kami berdua. Membangunkan kami untuk kembali ke realita.
Cinta, aku sudah di depan. Kamu sudah siap-siap mau pulang kan?
Dan kita sama-sama tahu, di semua yang terjadi di ruang sempit ini hanya akan tersimpan di ruang ini. Begitu kakiku melangkah, begitu kakimu menjejak, begitu kami berdua meninggalkan ruangan ini, semuanya akan terkubur, tak tergali, tak terucap.
"Aku,..."
"Iya, kamu sudah dijemput kan?"
"Bye."
Dia hanya mengangguk. Tanganku seperti enggan membuka pintu ruang ini dan meninggalkan semua kisah manis di dalamnya.
"Tunggu!"
Satu kata itu membuat aku hampir melompat ke angkasa. Apa kau berubah pikiran? Apa kau ingin aku tetap di sini, di sisimu, walau,...
"Ya?"
"Kamu belum pakai cincinmu. Nanti dia tanya."
Kau tak menatapku. Tapi suaramu mampu menjadi lubang hitam yang menghisap semua harapan yang tadi membuncah. Aku membuang muka. Cukup dengan satu bantingan pintu. Bahkan selamat tinggal pun tak sanggup kuucapkan.
Rabu, Desember 29, 2010
Kupu-kupu Menari di Pagi Hari
Aku tahu kau hampir memuntahkan potongan apel saat menatapku di ujung pintu. Aku paham betul tatapanmu yang seakan bicara, “sedang apa kau di sini?”. Tapi toh kamu tidak akan bersikap sekasar itu.
“Hai Rin,” aku menyapa dengan senyum terbaik yang kupunya.
Dan seperti itulah kau menanggapinya. Dingin. Seakan tidak ada cerita apa-apa di antara kita.
Memang tidak ada, bukan? Hampir saja ada. Tapi kita memilih jalan untuk membuatnya tidak ada.
Wanita yang ada di sebelahmu tersenyum. “Hai. Aduh makasih udah repot-repot kemari,”
Aku mencium pipinya. Satu di kanan. Satu lagi di kiri. Sekilas kulirik kau. Apa kau inginkan ciumanku juga? Aku tahu itu pasti. Kau hanya tidak berani.
“Gimana keadaan kamu?”
“Dokter bilang harus bed rest 2 minggu,”
Ada nada sedih yang mengakar di suaranya. Kami bertiga terdiam. Dia diam karena duka masih membekap mulutnya. Kau diam karena tak tahu harus bagaimana lagi menghapus dukanya. Aku juga diam. Antara senang dan kasihan, tapi bukan untukmu. Senang untukku. Dan kasihan padanya.
Aku menggenggam tangannya. Tangannya kurus, sepertinya beratnya turun 3 kg. Pucat dan hampir mongering. Mungkin hilang karena terlalu banyak air mata.
“Yang sabar Rin,”
“Makasih ya,”
“Kamu masih muda,”
“Iya,”
“Kalian masih punya banyak waktu,”
“Iya, ibuku juga bilang begitu.”
Aku tersenyum. Dia baik-baik saja. Tapi kenapa wajahmu seperti ketakutan setengah mati.
Kau takut?
Kau takut padaku?
Kau takut padaku karena aku mungkin saja,…
Bodoh,…
Di antara kita memang tidak ada apa-apa. Memang hampir saja ada, tapi kita memilih untuk menjadikannya tiada.
Kau meninggalkanku dan aku membiarkanmu meninggalkanmu.
Dia tak perlu tahu itu.
Aku menyentuh perutnya. Sedikit bergelombang, tapi tanpa nyawa.
“Nanti juga ada lagi,”
“Iya, nanti.”
“Yang penting sabar,”
Dan kau tak berani berucap sepatah kata pun.
Kau takut dia tahu apa yang kau dan aku ketahui.
“Waktu itu,” Rini tersenyum pahit. “Pagi-pagi aku terbangun. Ada kupu-kupu cantik sekali terbang di dalam kamar. Aneh, kan? Padahal jendela dan pintu tertutup. Lalu dia mendarat di perutku. Sebentar, lalu terbang lagi. Aku melompat dari ranjang untuk mengejarnya dan itulah saat,…”
“Ssstt,, nggak usah diingat.” Aku memeluknya. Tubuhnya dingin. Pantas hatimu mulai membeku untuknya. Atau memang tubuhku lebih hangat karena sentuhanmu di saat kisah kita hampir ada?
Kau tertunduk. Aku tahu apa yang ada di pikiranku.
Tapi dia tak tahu.
Bahkan kau pun takkan pernah tahu.
Betapa sakitnya aku saat kau meninggalkanku. Begitu sakit sampai aku melumpuh tak mampu mencegahmu. Begitu pedih sampai airmataku menghujan. Begitu pilu sampai dukaku memanggil kupu-kupu datang di pagi itu, tepat setelah kau meninggalkanku. Ia mendarat di atas perutku. Menari menggemulai begitu indah. Begitu indah. Begitu hidup. Sampai-sampai aku merasa ada yang hidup jauh ke dalam tubuhku, tepat di bawah pijakan tarian kupu-kupu.
Aku menatapmu.
Kau boleh saja meninggalkanku. Kau boleh saja terus berada di sisinya. Kau boleh saja melupakanku. Tapi kau takkan bisa lepas dariku. Aku tersenyum padamu. Dan diam-diam ada gerakan lembut di balik perutku, menggeliat pelan, tanpa suara.
Maaf. Aku tak bisa menjadikan tiada apa memang mestinya ada, walau kau memilih untuk menganggapnya tidak ada.
Jumat, Desember 03, 2010
Menunggu Hujan Kembali
Beserta pula mendung dan pelangi
Pria itu hanya tinggalkan janji
Kalau hanya hangatnya matahari
Yang akan kekasih hatinya temui setiap hari
Kekasih hati?
Wanita itu bahkan tak bermimpi jadi belahan hati
Dia hanya mau hujannya kembali
dengan mendung yang mengawali
dan pelangi yang mengiringi
Karena hanya hujanlah yang memberinya alasan bangun pagi
Bukan matahari
Karena hanya hujanlah yang bisa menutupi
Jejak tangisnya di malam hari
Bukan matahari
Karena hanya hujanlah yang bisa melucuti
Rindunya yang terus terenda tanpa bisa berhenti
Bukan matahari
Karena hanya hujanlah yang bisa bernyanyi
lagu kenangan akan pria yang takkan kembali
Bukan matahari
Dan duduklah dia di kursi taman ini
Menunggu hujannya kembali
Tapi nyala asanya semakin menepi
Ia tahu hujan takkan kembali, tapi ia tetap menanti
