Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, September 05, 2015

[Cerpen] - Haruan Baubar Uma


Dimuat di majalah Good Housekeeping edisi Agustus 2015 


 Jarang-jarang Ratih nampak gundah. Dua tahun lewat pernikahannya, tak sekalipun Akhmad, suaminya gagal melengkungkan senyum di wajah bulat telurnya. Namun, selalu ada satu hari dalam setahun, hatinya mengembang risau. Begitu pandai awalnya dia menyembunyikan cemarut itu dari raut wajah, sampai-sampai Akhmad tak menangkap gelagat apa-apa. Hari semakin dekat dengan masa yang ia cemaskan. Hari meninggalnya sang ibu mertua, karena di hari itulah, Akhmad mendadak manja tak keruan. Selalu minta dimasakkan Haruan Baubar1. Tak mau makan jika bukan itu menunya.
Ketika tiga tahun lalu, kali pertama Akhmad minta dimasakkan Haruan Baubar, Ratih mengernyitkan dahi. Kenapa bukan Soto Banjar yang jelas-jelas lebih terkenal sebagai makanan khas daerah suaminya? Sebagai perempuan Jawa, tentu Ratih tidak fasih dengan menu-menu itu. Dia masih ingat, tiga bulan pertama pernikahannya, Ratih memasakkan Soto Banjar nyaris tiap dua kali seminggu. Akhmad tertawa saat tahu alasannya, semata ingin menyenangkan hati suami di masa bulan madu. Lelaki jangkung kurus itu membelai rambut Ratih dan berbisik, masaklah apa saja, karena masakan penuh cinta selalu memuaskan selera. Mendengar itu, berjam-jam tak pudar pipi bulat Ratih memerah persis tomat buah, tersipu karenanya.
Kembali ke Haruan Baubar tadi, Akhmad tadinya enggan menjelaskan. Matanya dilemparkan ke sudut bertentangan dari tatap teduh Ratih. Namun, Ratih perempuan liat, giat mencari jawaban menuntaskan penasarannya. Akhmad akhirnya bercerita dan hati Ratih langsung tergerus saat menyimaknya.
Uma2, begitu Akhmad memanggil ibunya, dulu susah sekali hamil. Maka saat Akhmad lahir, sukacita itu tumpah ruah di dada uma dan memanjakan Akhmad tak kira-kira. Akhmad kecil susah makan, sama susahnya dengan rupiah yang tersemat di dompet uma. Sebagai buruh cuci, tak seberapalah uang yang bisa mereka genggam setiap bulan. Bapaknya sopir ekspedisi, lebih sering singgah lalu berangkat tugas kembali, sampai-sampai ingatan Akhmad tentang bapak melamur.
Mata Akhmad menerawang saat ceritanya henti sejenak. Ratih mengusap punggung suaminya. Akhmad pun melanjutkan, sembari menyemburkan bulat asap rokoknya ke sisi berlawanan wajah istrinya. Suatu hari, seperti biasa Akhmad kecil bertingkah tak mau makan. Tentu uma bingung tak kepalang, berusaha membujuk agar anak tunggalnya mau makan barang sesuap saja. Tak lama tercium aroma gurih iwak baubar3 dari jendela tetangga.
“Biar kutebak, kau minta ibumu memasak iwak baubar?” tanya Ratih dengan bola mata membulat.
“Aku bilanglah pada uma, masakkan Haruan Baubar, ulun4 janji akan habiskan dua piring lah.”
“Ah, ibumu pasti bersemangat.”
“Padahal waktu itu badan uma meriang karena sehari sebelumnya kelelahan membantu di pernikahan saudara.”
“Tapi ibumu tetap berangkat ke pasar?”
“Iya. Padahal hari hujan. Petir menyambar rasanya nyaris membakar ubun-ubun. Tapi tetaplah uma berangkat.”
“Lalu?”
“Aku yakin di kepala uma sudah merancang akan juga memasak Terong Baparung5 dan sambal acan6. Sepertinya aku di rumah juga membayangkan hal yang sama. Manalah aku tahu kalau ternyata uma tak pulang-pulang lagi.”
Ratih menghela napas. Ia tahu cerita selanjutnya. Tentang mertua perempuan yang tak pernah ia temui karena kecelakaan. Pick-up sayur penuh muatan tergelincir di jalan kampung yang licin, memelantingkan tubuh ibu Akhmad. Napasnya terpenggal tepat saat raganya mendarat di tanah becek. Ikan yang dibelinya ikut tergeletak di sana-sini, tak menemukan jalan tiba di piring Akhmad untuk disantap.
“Kalau aku tidak memaksa uma memasak Haruan Baubar, mungkinkah...,” Akhmad mematikan bara di batang rokok. “Sejak itu, di hari kematian uma, aku selalu mengingat cintanya dengan memakan Haruan Baubar.”
Mana bisa Ratih menolak memasakkannya menu itu, melihat duka yang melayang-layang di mata suaminya. Lagipula, apa susahnya sekadar memasak ikan bakar. Jika menu serumit Soto Banjar saja ia menuai pujian, tentu Haruan Baubar bukanlah masalah besar.
***
Ratih salah. Ada hal-hal yang luput dari perhitungannya. Memang mudah sekadar memanggang ikan dan menghidangkannya di atas meja. Yang sukar justru memuaskan dahaga Akhmad akan kenangan ibunya.
Tahun pertama Ratih memasakkan Haruan Baubar, kalau tidak salah di bulan kelima pernikahan mereka, Akhmad nyaris dibuatnya muntah. Haruan yang cokelat kehitaman itu hanya disentuh suaminya secuil saja.
“Tidak enaklah,” begitu ujarnya.
Ratih mengernyitkan dahi, mengingat-ingat di bagian manakah ia salah meracik bumbunya. Bawang putih, asam, dan garam, cuma itu yang ia perlukan sebelum memanggang iwak tersebut. Ketika Ratih mencicipinya, dengan nasi mengepul hangat dan secolek sambal, rasanya tak ada yang aneh, walau tak bisa dibilang wah juga.
Seharian itu Akhmad tak mau menyuapkan apapun ke mulutnya. Hanya rokok dan air putih yang sudi ia kecap. Lelaki itu duduk di depan rumah. Matanya menatap ke langit, mungkin sedang meminta izin pada Tuhan, untuk diredakan gulana di dadanya. Atau sekadar menikmati rindu yang menggulung-gulung siap pecah di ujung mata. Namun, Akhmad pantang menangis. Baginya menangis pekerjaan perempuan. Lelaki cukup diam dan meredam kecamuknya bersama puntung-puntung tembakau yang bergelimpangan.
Tahun kedua, sesuai permintaan Akhmad, Ratih memasakkan Haruan Baubar lagi. Kali ini ia tak hendak main-main. Ia memilih iwak terbaik. Walau bumbu rendamnya sama, kali ini Ratih juga menyertakan cacapan asam7 sebagai pendamping menyantap Haruan Baubar.
Akhmad masih menggeleng, walau tak sampai mual seperti tahun lalu. Ratih tak sabar lalu bertanya tentang rasanya.
“Ada yang kurang,” jawab Akhmad.
“Apanya?”
“Entahlah. Tidak bisa kujelaskan.”
“Terlalu asin? Pahit karena terlalu gosong?” Ratih makin tak sabar. “Bilang padaku.”
“Sudahlah. Kenyang.”
Hanya dua suap yang bisa lelaki itu habiskan. Lagi-lagi ia menyendiri di beranda rumah. Merokok dan minum air putih, sampai larut sekali. Selepas tengah malam, barulah ia masuk ke rumah dan memeluk Ratih dari belakang. Pulas sekali tidurnya sampai-sampai subuh tiba, membuat Ratih terkunci di rengkuhannya. Seberapa dalam suaminya tenggelam dalam duka kehilangan ibunya, batin Ratih mengusap dahi Akhmad lalu mengecupnya beberapa kali. Lelaki itu menggeliat, sehingga Ratih bisa beranjak dari tempat tidur, menyambut azan dari arah seberang.
***
Maka tahun ini, Ratih benar-benar enggan. Ia tak mau memasakkan Haruan Baubar lagi. Semalam sebelum hari meninggal mertuanya itu, Ratih duduk tegak di depan suaminya. Nadanya dipertegas, seakan Akhmad harus tahu bahwa ia tak main-main.
“Kenapakah begitu?” tanya Akhmad dengan nada tak kalah tegas. Sejenak Ratih gentar. Namun, tangannya mengepal lebih kuat mempertegas niatnya.
“Aku memasakkanmu Haruan Baubar dua kali, dan dua-duanya tak kau makan. Mubazir. Setiap tahun, aku harus memberikannya ke tetangga kanan-kiri karena kau tak sudi menghabiskannya.”
“Rasanya kurang. Tidak seperti masakan uma.”
Ratih terdiam.
“Kalau uma yang masak, entah kenapa, rasanya nikmat sekali.”
“Tapi aku bukan ibumu. Aku istrimu. Tentu saja berbeda.” Ratih bangkit dari duduknya. Siapa yang tidak kesal diperbandingkan. Apa Akhmad tidak tahu, wanita itu pada dasarnya pencemburu. “Aku sudah berusaha memasak sebaik mungkin, seenak mungkin. Tapi kurasa juru masak selihai apapun takkan memuaskanmu, karena sebenarnya bukan perutmu yang lapar, tapi hatimu. Lapar akan rasa bersalahmu sendiri.”
Akhmad menatap lekat istrinya. Tak sekalipun Ratih pernah berkata keras sepanjang usia pernikahan mereka. 
“Ratih, semalam aku bermimpi. Uma datang membawa sepiring iwak baubar. Haruan Baubar, komplit dengan nasi, cacapan asam, terong baparung, dan sambal. Yang aneh, uma tidak mau menyuapiku seperti ketika aku kecil dulu. Uma cuma berdiri, tersenyum, lalu membalikkan badan membawa piringnya pergi,” Akhmad menatap kosong ke arah langit-langit. “Menurutmu, pertanda apakah itu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Ratih setelah berpikir sejenak.
“Apa menurutmu uma masih marah padaku?”
“Kenapa kau selalu berpikir begitu? Sungguh, aku tidak tahu jawabannya. Yang pasti, aku tidak akan memasakkanmu Haruan baubar.”
Ia pun ikut bangkit. “Baiklah. Biar besok aku saja yang masak Haruan Baubar itu.”
Ratih tercenung mendengarnya. Dengan cepat, Akhmad berbalik badan meninggalkan rumah. Ratih belum sanggup menyurutkan kesal di dada, setengah melampiaskannya pada punggung Akhmad yang menjauh, “jangan lupa sekalian panggang juga hatimu yang penuh rasa bersalah itu.”
Tak ada yang tahu, bagaimana raut wajah suaminya selepas Ratih mengucapkan kalimat itu.
***
Kini ganti Ratih yang duduk gelisah di beranda rumah. Beberapa kali ia memanjangkan leher menatap ke ujung jalan, kalau-kalau sosok jangkung suaminya tertangkap mata. Akhmad pasti akan kerepotan membawa belanjaan di satu tangan dengan payung di tangan lainnya.
Sudah beberapa jam hujan tak putus-putus mencurah dari langit yang gelapnya bukan kepalang. Guntur dan kilat saling berkejaran, seakan berlomba mana yang lebih ampuh menciutkan hati manusia untuk keluar dari rumah.
Sejak pagi, Akhmad belum kembali. Ia pergi ke pasar selepas azan subuh. Sekarang lewat beberapa jam, Ratih masih sendiri di rumah. Sedari tadi ia menyesal, kenapa ia membiarkan suaminya pergi sendiri. Apakah Akhmad kehujanan? Ataukah tengah berteduh di pinggir jalan menanti langit kembali cerah, sebelum melanjutkan langkah menuju rumah? Atau jangan-jangan, persis seperti mertuanya bertahun-tahun silam, ada truk muatan sayur yang menghantam telak suaminya? Jantung Ratih nyaris ikut berhenti berdegup membayangkannya.
Tak seharusnya ia cemburu pada ibu mertuanya. Ia tak mengalami duka itu sebagaimana Akhmad menjalaninya. Di usia semuda itu, belum genap sepuluh tahun, Akhmad menyuburkan rasa bersalah di dada, merasa bahwa kepergian ibunya adalah murni salahnya.
Ratih mempererat genggaman di sisi tubuhnya. Tapi siapa juga yang rela diperbandingkan dengan mertua sendiri? Memang tidak ada yang mengalahkan cinta ibu dan anak. Namun, cinta suami dan istri tentulah beda bentuknya. Memintanya memasakkan haruan baubar persis sebagaimana cara ibunya dulu, rasanya Ratih sedang dituntut menjadi sosok yang bukan dirinya sendiri. Menjelma jadi ibu untuk lelakinya. Cemburu merambat naik melewati tengkuk Ratih, membuat kepalanya berdenyut-denyut.
Hujan menderas, tak menyisakan celah di antara rintiknya. Ratih membulatkan tekad. Ia harus menyusul Akhmad. Tak hendak ia dikubur rasa bersalah, persis yang membenamkan hati suaminya bertahun-tahun.
Ratih mengembangkan payung paling kuat dan lebar yang mereka punya, lalu membawa satu lagi, kalau-kalau Akhmad masih marah padanya dan tak mau berbagi payung. Setiap kakinya melangkah, ia mengucap doa, semoga Akhmad tengah berteduh tak kurang suatu apapun. Duh Gusti, Ratih tak sanggup membayangkan gambaran jahat yang tanpa permisi melintas. Akhmad tersungkur di tanah becek, dengan iwak haruan mengelilinginya. Persis ibunya dulu.
Rinai air mulai menipis saat Ratih meninggalkan jalan setapak kampung menuju jalan besar. Tak lama, ia nyaris terlonjak kegirangan saat melihat sosok jangkung berdiri merapatkan tubuh di sebuah pos jaga ronda yang atapnya mulai lapuk. Ratih berlari cepat menghampiri suaminya, yang menyambutnya dengan binar yang tak kalah gemilangnya.
“Kau kebasahan?” tanya Ratih.
Akhmad menggeleng. Bibirnya biru. Biru yang hampir sama bila Ratih hendak mengingat bayangan suaminya yang tumbang dihantam truk sayur.
“Ayo pulang. Cepat-cepatlah kita masak iwak itu.”
Ulun tidak beli iwak haruan,” ujar Akhmad tersenyum. “Sepanjang jalan, aku berpikir apa maksud mimpi uma. Mungkin uma menyuruhku berhenti makan iwak baubar dengan perasaan sedih seperti itu.”
“Lalu, hari ini mau masak apa?”
“Aku mendadak ingin menyantap soto banjar bikinanmu lah,” ujar Akhmad, “kurasa cuaca seperti ini memang lebih cocok menyantap makanan berkuah yang hangat.”
Ratih terperanjat lalu cepat-cepat melihat ke arah kantung di tangan suaminya. Segala bahan untuk memasak Soto Banjar ada di tentengan suaminya.
 “Tapi...,”
“Aku pernah bilangkah, Ratih,” ujar Akhmad setengah berbisik tepat di telinga istrinya, “soto banjar bikinanmu lebih enak dari yang dimasak uma?”
Begitulah Akhmad yang tak pernah gagal melengkungkan senyum di wajah bulat telur Ratih. Selepas itu, selama beberapa jam, sipu merah yang membulat di pipi wanita itu tak kunjung memudar.
***
Notes:
1 Haruan Baubar: ikan bakar, sejenis ikan gabus, khas Banjar yang dibakar (di-ubar) di atas bara api yang berasal dari tempurung kelapa.
2 uma : sebutan ibu untuk orang banjar hulu
3 iwak baubar : ikan bakar
4  ulun : aku, saya
5  Terong baparung: terong yang bakar di atas bara api dengan santan kelapa
6 Sambal Acan :  Sambal terasi
7 Cacapan asam : semacam side dish untuk menikmati iwak baubar

Rabu, November 05, 2014

Yang Terbaring di Dasar Danau

        
Muat di Harian Tribun Jabar, Minggu, 2 November 2014



           Tahukah kau, ada yang terbaring di dasar danau. Seorang perempuan cantik, terlalu memesona sampai bidadari-bidadari di langit menundukkan kesombongannya. Entah sejak kapan dia berbaring di sana, di dasar danau yang permukaannya selalu tenang. Konon hatinya ditikam belati. Bukan belati biasa, melainkan ditempa dari kesepian panjang. Kesepian yang lahir dari pedihnya ditinggalkan.
Matamu membulat. Setengah percaya. Selebihnya meremehkan. Wanita di hadapanmu terlalu banyak membual untuk ukuran orang yang baru dikenal. Kalian sedang berdiri di pinggir danau yang permukaannya lebih tenang dari ekspresi wajahmu yang selalu datar.
Tidak bisakah wanita ini menceritakan kisahnya pada orang lain saja?
Ujung gaunnya meliuk diterbangkan angin. Kau bisa melihat sepasang paha ramping seputih susu. Di kepalamu, pertama yang terlintas adalah bagaimana raut wajah perempuan itu, jika kau menyentuh sisi paha dalamnya, sekaligus mengecupnya.
Perempuan yang terbaring di dasar danau itu tahu, hati siapa saja yang dirundung kesepian. Kau tahu, kesepian bisa menajamkan telinga? Telinga seperti itulah yang bisa mendengarkan nyanyiannya.
Kau melemparkan pandangan ke danau. Diam-diam kaucoba menajamkan telinga. Apa benar ada suara perempuan bernyanyi, mengalun dari balik permukaan danau? Yang tertangkap inderanya hanya gemerisik angin, suara daun berjatuhan, dan irama napas wanita di sampingmu. Bagus, batinmu. Baru bertemu, sudah jadi pembohong.
Namun, hati-hati. Mendengarnya sekali, kau akan bersuka cita. Kedua kalinya, hatimu akan terpilin, diingatkan kembali akan kesunyian. Makin kau mendengarnya, makin kau tak bisa melupakannya. Terikat, tak bisa berpisah dengan yang terbaring di dasar permukaan danau; yang sesungguhnya tak kalah kesepiannya denganmu.
Kau menghela napas. Wanita ini harus dihentikan. Dengan wajah tak peduli, kau memanggul softcase gitar mendahuluinya ke mobil. Entah ide gila siapa yang memasangkanmu dengan wanita itu. Namun, pementasan segera digelar dan kalian harus berlatih. Dia penyanyi, kau mengiringinya dengan gitar. Sebatas itulah hubungan kalian. Namun, saat matamu tertumbuk pada selingkar cincin di jari manisnya, pikiranmu tak bisa lagi kau kendalikan.
Ada wanita-wanita yang tak boleh kaucintai. Semacam buah khuldi yang sengaja diciptakan untuk menguji hati. Wanita itu tersenyum. Senyum itu pun telah beranak pinak di benakmu, cepat persis infeksi virus, tahu-tahu malam nanti, kau memimpikannya.
Semua orang memanggilnya Senandung. Dan di atas panggung itu, kau memangku gitarmu. Guyuran lampu sorot melimpah menghujani Senandung. Kau hanya seorang pendenting gitar; pendamping biduanita yang menjadi pusat semesta sebenarnya. Tepat pada detik dia melantunkan dendangnya, kau terbius. Ada perasaan girang, bahagia, rindu, pengharapan; mendesak-desak. Membuncah. Terlebih saat sesekali, matanya yang sayu ditembakkan ke arahmu. Jarimu di atas dawai gitar makin menggila, menyesuaikan nada merdunya. Mata kalian bertautan, persis sorot proyektor yang memutarkan film di benak masing-masing. Sejak itu, kalianlah bintang  kisah roman kalian sendiri.

***

 Sesungguhnya kau sudah melupakan dongeng perempuan yang terbaring di dasar danau. Namun, selayaknya wanita itu pandai membuatmu tergila-gila; padahal kau terbiasa membuat perempuan-perempuan mabuk oleh kecup peluk dan rayu--dia lihai mengingatkanmu kembali pada kisah itu.
Pagi itu kau dapati dia tercenung. Tangannya mencengkeram tirai putih yang jendelanya menebarkan pandangan ke arah danau. Dia mengenakan kemeja putihmu; kebesaran nyaris mencapai setengah pahanya. Kau bertanya-tanya, apa kemeja itu masih menyimpang aroma peluk kalian semalam. Pula, apa yang menunggumu jika satu demi satu kancingnya kau lepaskan.
Kau hanya telentang dengan kepala tertopang lengan, memandanginya. Dia menoleh. Hatimu mencelus, mendapati sepasang matanya yang digeluti duka.
Seperti apa sepi yang menemani perempuan yang terbaring di dasar danau itu? Pagi ini, aku mendengar nyanyiannya. Apa artinya telingaku menajam karena sepi?
Kau bangkit lalu memeluknya dari belakang. Kau hirup dalam-dalam aroma yang menguar dari tengkuknya.
“Bicara apa kau ini? Ada aku. Bagaimana kau bisa kesepian?”
Aku selalu membayangkan dada perempuan di dasar danau itu mengeras ditancap belati. Seperti dadaku kini. Beku oleh sepi, keras oleh sunyi. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh lantunan suaranya.
Bahkan detik itu juga, kau masih belum menganggapnya gila. Kau memandanginya dengan limpahan kasih, memagut bibirnya yang dingin.
“Ada aku yang mencintaimu. Masih kurang apalagi?”
Bagaimana kalau kau meninggalkanku? Kau lelaki pemuja kebebasan. Tak ada satu peluk perempuan pun yang sanggup mengikatmu. Belum lagi aku wanita dengan naluri merawat, itu akan membuatmu sesak suatu hari.
Mungkin harus ada yang menamparmu. Memberitahumu, bahwa kali ini kau jatuh cinta pada wanita berisi kepala rumit.
Belum lagi aku wanita dengan rumah untuk pulang. Bagaimana jika suatu hari aku yang akan meninggalkanmu? Kau akan berkubang dalam kesepian. Telingamu akan tajam karena duniamu terlalu sunyi. Kau akan mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau itu. Dia akan memintamu mengiringinya bernyanyi.
Kau melonggarkan pelukan dan membalikkan tubuhnya. Baru kali ini kau mendapati matanya yang sesungguhnya terbuat dari kristal. Dekapanmu kali ini lebih erat. Benar, sayup-sayup kau mendengar ada yang bernyanyi di kejauhan. Jauh sekali, rasa-rasanya seperti berasal dari dasar danau.

***

Kini kau dan dia berdiri berdampingan di susuran setapak di pinggir danau. Kalian tak berani saling menatap. Ada yang runcing hendak menancapi bola matanya. Siap meledak.
Kau bisa dengar yang sekarang kudengar? Kadang aku bertanya, lelaki mana yang tega menancapkan belati kesunyian di dadanya. Jika mencintai ternyata menyakitinya sedemikian rupa, apakah lebih baik sedari awal mematikan rasa?
Kau tak menjawab. Matamu lurus menatap bola matanya bergulung-gulung persis mendung yang nyaris pecah jadi hujan. Selama ini, kau mengenal perempuan sebagai taklukan. Kau bertemu, bermanis kata dengan bius mata, bercinta tanpa melibatkan hati, dan berlalu begitu saja keesokan pagi. Wanita ini berbeda. Selalu memperumit segalanya. Bahkan sampai hatimu tak lagi sanggup mengikutinya. Namun, bukankah hati memang tak sesederhana persamaan matematika?
“Kita masih bisa saling mencintai dan bersama,” katamu. “Walaupun aku pemuja kebebasan dan kau wanita yang mempunyai rumah untuk pulang.”
Cinta apa yang seperti itu? Kita bisa saja bercinta berkali-kali, tapi di penghujung hari kita kembali bergelung sepi. Bukan seperti itu cinta yang kucari.
“Lalu apa? Kenapa cintamu rumit sekali?” kau setengah membentak.
Kau sederhana. Aku rumit. Itulah yang membuat kita tak saling memiliki. Itulah kenapa aku sering merasa kosong, bila bersamamu. Dan telingaku sudah lelah mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau.
Lama mereka bertatapan. Dalam tarikan napas kesekian, dia menghambur ke pelukmu. Kau menariknya seperti kubangan pasir isap. Pada bibir yang saling bersentuhan, kalian menuliskan kenangan. Kau melihatnya memagutmu dengan mata terpejam dan air mata berlinangan. Tepat saat dia menarik bibirnya lepas, ada retak di dadamu. Sebuah belati dia tikamkan di sana.
Untuk pertama kalinya, bukan sayup-sayup lagi, kau kini jelas mendengar suara merdu itu. Rasa-rasanya seperti dari dasar danau di hadapanmu. Jadi perempuan yang terbaring di dasar danau itu benar ada?

***

Entah sudah pagi ke berapa kau mendapati dirimu berdiri di sini. Mencengkeram susuran pembatas danau dan jalan setapak. Malam-malam sebelumnya kau terjaga. Sepertinya wanita itu pergi dengan membawa kantukmu. Kauhabiskan waktu menulis banyak lagu. Ratusan lirik. Seakan kepalamu adalah sumur yang terus meluapkan lumpur. Orang-orang bilang kau patah hati. Namun, kau tahu betul, hatimu tak sekadar patah. Hatimu jatuh pecah. Kepingnya berhamburan, terserak angin ke segala arah.
Kau dipeluk kesepian yang tak kau ketahui di mana ujungnya. Benar, kesepian menajamkan telinga. Kau pun mulai menangkap lantunan merdu dari kejauhan. Sangat jauh, seakan berasal dari dasar danau.
Lama-lama suara itu nyata. Seakan asalnya dari hatimu sendiri. Mungkin sesungguhnya hatimu dan danau itu serupa. Di dasarnya sama-sama didiami oleh seseorang yang terbaring dengan luka tikam di dada. Di danau, ada perempuan itu. Di hatimu, ada kau sendiri.
Kau mulai melangkah. Mengawang tak bisa kau kendalikan. Kau menuruni ujung susuran yang tersambung ke arah pinggir danau. Suara itu tak kasat mata. Tapi kau bisa merasakan ada jerat yang membungkus tubuhmu.
Mungkin ketimbang sepi sendiri, kau merasa lebih baik sepi berbagi. Tak kau pedulikan lagi basah yang makin menyergap. Danau itu perlahan merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan. Menelanmu pelan-pelan. Tepat saat kau tak tersentuh udara lagi, kau bertekad untuk mengiringi perempuan yang terbaring di dasar danau itu dengan denting gitarmu. Karena kau tahu, kesepian lebih baik bila dibagi.

***

Ada sepasang muda-mudi berangkulan. Keduanya terbius menatap lembayung yang berhamburan di langit. Sang pemuda menoleh ke arah gadisnya. Ada yang tergenapi dalam hatinya saat melihat senyum mengembang di bibir ranum itu.
“Kau tahu mitos di danau ini?” tanya gadis itu menoleh cepat.
“Siapa yang tidak tahu? Kalau ada sepasang kekasih kemari, maka hubungan mereka akan kandas. Karena kutukan perempuan yang terbaring di dasar danau.”
“Banyak juga yang bunuh diri di sini karena patah hati,” sambung si gadis menatap kekasihnya lekat. “Kalau aku meninggalkanmu, apa kamu akan bunuh diri?”
“Kamu sendiri?”
Keduanya melemparkan pandangan ke arah permukaan danau yang tenang. Benak mereka penuh oleh banyak hal. Riuh oleh gelora cinta yang teredam oleh sekadar genggaman tangan.
Tanpa mereka sadari, sayup-sayup terdengar lantunan suara. Seakan berasal dari tempat di kejauhan, tapi juga dekat. Mungkin dari dasar danau; atau dari dasar hati, tempat segala kesunyian bermuara.
***

Selasa, Juli 22, 2014

PENDONGENG KEMATIAN

sebuah cerpen duet karya Ade Yusuf dan Anggun Prameswari


dimuat di harian Tribun Jabar, Minggu, 20 Juli 2014

Dari kasak-kusuk yang kudengar, ada seorang pria yang suka bertandang, mengunjungi pemakaman-pemakaman. Baginya, pemakaman adalah perayaan. Dia sering mengunjungi pemakaman, upacara kremasi, atau ruang persemayaman. Datang paling awal, berdiri di sudut terpisah dari pelayat lainnya, dan pulang paling akhir. Selalu ada senyum penuh debar di wajahnya. Seakan ada yang dia tunggu. Dari kasak-kusuk yang sama, aku tahu bahwa dia juru dongeng; dan yang didongengkannya adalah dongeng kematian.
Kami tidak saling kenal, tapi punya satu persamaan. Kami sama-sama dekat dengan kematian. Jika dia pendongeng kematian, maka aku tumbuh di antara makam-makam dan wajah-wajah pelayat yang silih berganti. Rumah yang kutinggali persis di samping pemakaman. Jika kupikir-pikir, entah sejak kapan aku tinggal di sana. Waktu seperti mengabur di benakku. Hari persis daun yang berguguran dan digantikan helai baru, terus berputar tanpa penanda.
Saat aku menyadari pagi ini berganti, aku mendengar suara-suara. Tangis. Hela napas. Gemerisik langkah. Kelopak kembang yang melayang-layang. Aku bergegas mendatangi tanah pekuburan. Jika ada yang meninggal hari ini, maka pria itu datang. Sang pendongeng kematian.
Benar dugaanku. Di sana dia berdiri. Di bawah bebatang kembang kamboja yang meranggas dan nyaris habis daunnya, dia menatap lurus ke sebuah makam. Dari senyumnya, aku tahu dia tengah merayakan kematian.
“Kenapa kau selalu datang setiap ada yang dimakamkan?” aku mendekat dan tak sanggup lagi mengunci mulut.
“Karena aku pendongeng kematian.”
“Kenapa kau bisa menjadi seorang pendongeng kematian? Itu bukan pekerjaan. Mana bisa kau menghasilkan uang dengan mendongeng.”
Pendongeng tua itu tak menjawab. Mendadak ia memutar kepalanya ke sisi kiri areal makam. Tangannya menunjuk saung kosong yang biasanya dipakai Mbok Darmi berjualan kembang dan air dalam botol kemasan, untuk para peziarah.
“Kasihan dia. Padahal kepalanya separuh gepeng, masih saja gelisah ingin menelepon isterinya. Seharusnya malam itu ia pulang kampung, menemani isterinya bersalin. Tapi di tengah jalan, motornya tersambar tronton.”
Aku memajamkan penglihatan ke arah saung Mbok Darmi. Tak ada lelaki yang kepalanya gepeng. Hanya ada saung butut beratap terpal rombeng.
“Tidak usah menakutiku. Aku tinggal di sini. Bualanmu tidak akan mempan buatku,” aku mengernyitkan dahi.
“Asal kau tahu, kuburan tidaklah sehening yang kau kira. Entah bagaimana awalnya, aku mudah mendengar suara. Memilukan. Rintih kesakitan. Raung kesepian. Isak kesedihan. Lalu, tanpa sempat kuijinkan, mereka menyembul satu persatu. Mengerubungi aku. Berebut menitip pesan. Memaksaku menyampaikan penyesalan mereka pada yang masih hidup.”
Sejenak aku menatapnya tak percaya, tapi akhirnya kuputuskan,kalau begitu, ceritakan satu dongeng buatku.”
Lelaki separuh baya berwajah tirus itu menoleh sambil tersenyum.
Pilih saja satu makam yang ada di sini. Akan kuceritakan dongeng kematian mereka, khusus untukmu.”
Bola mataku berbinar. Kulayangkan pandangan ke areal makam yang tampak seperti barak raksasa. Sekilas seperti ranjang yang penuh oleh orang-orang yang tertidur pulas. Rumput-rumput gajah di sekeliling makam meranggas akibat musim kemarau panjang. Hembusan angin ini sedikit menyejukkan di tengah sorotan sinar matahari yang mulai terik.
Setelah bingung memilih, kuarahkan telunjuk pada rombongan yang sedang berdoa sambil terisak, usai jenazah itu ditimbun tanah merah.
“Itu, yang baru dikuburkan saja.”
Mata sang pendongeng yang tertuju ke rombongan itu memicing sejenak. Tangan kanannya mengelus janggutnya yang sebagian sudah memutih.
“Baiklah, kuceritakan bagaimana lelaki itu kini terbujur kaku di liang lahat.”
Aku menegakkan tubuh, tanda waspada.
“Almarhum seorang pengusaha kayu sukses. Budiman Sanjaya namanya. Dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun. Memiliki seorang isteri yang setia dan dua anak yang dua-duanya kuliah di luar negeri. Mereka menikah di usia muda. Tiga tahun lalu baru saja merayakan ulangtahun pernikahan perak. Budiman itu pendiam, gila kerja. Maklum, dulu dia miskin. Terlalu miskin sampai dendam pada kehidupan. Dia tak sempat menjalin cinta. Perempuan adalah makhluk asing baginya. Bahkan pernikahannya dengan Aida adalah buah perjodohan orangtuanya.”
Ada yang berdesir di dadaku. Aku melirik ke arah kerumunan pelayat. Wajah-wajah sembab memenuhi tanah yang membusung. Seorang gadis muda, mungkin anak almarhum, histeris dan sedikit lagi mungkin pingsan. Ah, serindu itukah dia pada ayahnya? Seperti menelan empedu, pecah di dalam perut, aku merasa pahit. Bolehkah aku mencicip rindu itu? Tapi buat apa, toh aku tak tahu siapa ayahku.
“Budiman dan Aida hidup seperti di dalam dongeng. Tenang. Datar. Bahagia selamanya. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya. Aidalah pemilik kehidupan Budiman sesungguhnya. Persis gurita raksasa, Aida melilitkan tentakelnya, menjadikan Budiman boneka bertali yang bisa dia kendalikan.”
Aku melirik lagi. Yang mana Aida itu? Apakah wanita kurus jangkung di sisi makam Budiman, yang menatap kosong? Tatapannya setengah lega, selebihnya mengutuk. Mana sorot kehilangan atau merindu, kucari-cari di matanya. Aku menelan ludah. Mungkin cintanya ikut dipendam di liang lahat.
Lalu masuklah Rosie, reporter majalah bisnis. Dia mendapat tugas menulis profil Budiman untuk dimuat di majalah tempatnya bekerja. Kau pernah dengar witing tresno jalaran soko kulino? Begitulah.”
“Aida tidak curiga?”
“Saat kau merasa sudah mengendalikan seseorang sepenuhnya, kau akan lengah. Aida dengan santai menepis setiap gosip Budiman dan Rosie. Hingga suatu hari,...”
Nadanya menggantung di udara, menarik bulu kudukku bangkit.
“Apa? Apa yang terjadi?”
“Ada paket pos. Tanpa identitas pengirim.”
Sial, pendongeng ini benar-benar menggiringku dalam penasaran yang berputar-putar.
 “Dan hening malam itu digantikan lengking pembantu tua yang menemukan tuannya terbujur. Kaku berlumuran darah. Sepertinya sofa krem Da Vinci itu tuntas memerah. Televisi LCD di depannya, memutar adegan panas.”
“Budiman dan Rosie?” aku menelan ludah.
“Siapa lagi?”
Mata pendongeng kematian itu mengilat. Aku bergidik, entah ngeri mendengar dongengnya, atau melihat bola mata yang yang seakan berpendar. Dia membicarakan kematian, seakan itu hal yang menyenangkan, seperti gula-gula. Kurapatkan baju hangat. Entah dari mana angin kering berkesiur, menegakkan bulu-bulu kuduk. Aku tumbuh di tanah pemakaman, seharusnya tidak gampang ditakuti.
Terus bagaimana?” Aku mengatur posisiku, menyamankan diri.
“Ah, kau masih ingin mendengar kelanjutannya?”
“Tentu. Setiap cerita ada akhirnya. Apa mungkin dongeng tak memiliki akhir?”
“Apa mungkin manusia tidak mati?” dia balik menatapku dengan geletar binar yang menyambar-nyambar.
“Jika tidak ada yang mati, maka kau tak lagi bisa mendongeng.”
“Dan itulah akhir hidupku.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa yang akan terjadi kalau dongeng ini tamat?”
Seringainya merekah. Matanya liat menatap.
“Baiklah, akan kulanjutkan, seperti yang kau minta. Tentu dengan konsekuensi yang kau siap terima,” lengkung senyumnya melebar. Aku bisa melihat isi mulutnya. Kelam persis kedalaman lubang-lubang kubur yang nyaris menyentuh batas neraka.
Seketika itu juga intuisiku menjerit. Memintaku menarik kembali permintaan itu. Perasaan tak enak, tak nyaman, menggerayangi batinku. Namun, seperti manusia pada umumnya, rasa penasaran selalu membungkamnya.
“Budiman ditemukan terbujur kaku di sofa itu dengan jantung tertancap belati yang dihujamkan oleh isterinya. Persis dua minggu setelah Budiman membunuh Rosie, karena dia bersikukuh tak mau menggugurkan kandungannya. ”
“Apa,... apa Rosie sudah mati?” Ada yang menggeliat di dadaku. Perih. Bara yang menyala. Duka yang berkepanjangan. Bertumpuk-tumpuk, bertindihan. Padahal aku tak mengenal nama-nama dalam kisah pendongeng kematian, kenapa terasa lekat? Kenapa jantungku seperti diikat kuat-kuat?
“Berarti bayi yang dikandungnya juga ikut mati?” tanyaku lirih.
Bagai menerima gelombang supersonik, kepalaku tiba-tiba merasakan sakit yang sangat. Kutempelkan kedua tanganku di telinga yang mendengung usai mendengar kisah si pendongeng. Kenapa pula kini tubuhku menggigil.
“Sekarang, apa kau siap dengan konsekuensi saat dongeng ini diakhiri?”
Sakitku kini mulai menjalar ke dada. Seperti dirajam ribuan jarum. Tubuhku kian bergemeletak kala desir angin semakin kencang. Lalu samar kulihat butiran pasir yang tersapu angin, perlahan membentuk bayangan lelaki separuh baya, serta seorang wanita cantik berdiri di sampingku, dengan raut wajah penyesalan yang sangat dalam.
Untuk pertama kalinya aku didera rasa takut. Segera aku mencari si pendongeng. Aku membutuhkan akhir dari cerita ini. Kupalingkan pandanganku ke seluruh penjuru areal makam, namun sosoknya sudah tak nampak lagi. Hanya suara sayup di tengah heningnya tanah pekuburan yang terbakar terik matahari.
“Kuanggap kau sudah tahu akhir dari kisahku. Selamat tinggal dan maafkanlah kedua orangtuamu.”
***
Tangerang-Bekasi, 27 April – 7 Agustus 2013
 
*catatanku:
Menulis cerpen duet itu berat banget, terlebih gaya penulisanku dan Ade berbeda banget. Aku menulis dengan manis, romantis, lembut mendayu. Sedangkan Ade lebih lugas, gelap, dan meledak-ledak (sebagai penggiat Fiksimini, Ade terbiasa memasang bom di tulisannya). Jujur, aku yang beberapa kali menyerah dalam proyek penulisan ini. Namun, salut untuk Ade yang nggak rewel dan sabar menunggu, sampai aku merasa nggak enak sendiri dan akhirnya membulatkan tekad untuk menyelesaikannya. Proses penulisannya seperti ini: Aku membuka dengan fragmen pertama, sepanjang beberapa paragraf awal. Kemudian setelah aku "puas", aku memberikan tongkat estafet dan Ade melanjutkannya. Karena aku membuka, maka Ade yang menutup ceritanya. Kami sama sekali tidak merancang arah cerita. Tokohnya bercerita sesuai kehendaknya sendiri. Aku dan Ade hanya medium untuk menyampaikan. Selebihnya proses duet ini seru banget! Sayangnya, dalam waktu dekat baik aku dan Ade belum memutuskan membuat cerpen duet lagi. Mungkin segera. Mungkin duetnya bukan dalam bentuk cerpen. Enthalah. :)
Anyway, terima kasih telah membaca. Ditunggu komentarnya. :*

Senin, Juni 30, 2014

PEREMPUAN SEPI DI UJUNG JALAN

Photo: Silakan baca cerpenku "Perempuan Sepi di Ujung Jalan" yang dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014. Cerpen ini merupakan caraku berduka atas kepergian sepupuku, alm. Devi Hardinata. Semoga dia bahagia di sisi-Nya.
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014
Bertahun-tahun aku bertetangga dengan Mak Ndari, tak sekalipun aku melihat dia tinggal bersama orang lain. Sepertinya dia lebih tua dari ibuku. Kutebak itu dari rambut kelabu dan kerut yang persis akar rambat menjalari wajahnya. Namun, jangan minta aku menerka siapa suaminya, berapa anaknya, dan di mana mereka kini. Kisah hidup Mak Ndari sama seperti pintu rumahnya; selalu rapat tak tercungkil, tak bisa dimasuki.
Kami bertetangga di sebuah jalan sepi, melengkapi keterpencilan kota kecil kami. Rumah yang dia tinggali ikut menua bersamanya. Warna tembaga atapnya memudar. Dindingnya mengelupas di beberapa sisi. Ada noda-noda tak beraturan bekas bocor musim penghujan lalu. Aku selalu melewati rumah berpagar setinggi dahi orang dewasa itu tiap hendak ke pasar. Yang terlihat hanya teras sepi penuh pucuk lidah buaya dan kembang yang menggerumbul di pot-pot gantung. Jika beruntung, bisa kulihat ujung kepalanya terangguk-angguk mengantuk di sandaran kursi malas. Terkadang ia menyirami taman kecilnya. Bibirnya bersenandung, beriringan dengan semilir angin, seakan hendak memecah kesunyian yang melingkupinya.
Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa betah dalam hening seperti itu? Tanpa suami, tiada anak. Sering aku tergoda membunyikan selot pagar rumahnya, lalu menanyakannya itu.
Suamiku menanggapi hal ini dengan kalem. “Kalau mau berkunjung, tinggal datang saja. Tak perlu alasan.”
“Mungkin aku bisa membawakannya pisang goreng? Menurutmu dia apa suka? Atau lebih baik ubi rebus saja?”
“Entahlah.”
“Aku penasaran apa Mak Ndari pernah menikah. Punya anak? Seperti apa masa mudanya dulu? Kurasa dia perempuan yang cantik. Lihat saja matanya yang bulat besar dengan bulu mata lentik. Mata seperti itu pasti banyak melumpuhkan laki-laki.”
“Perempuan cantik tidak selalu kekasihnya banyak.”
“Pasti banyak yang menggodanya. Rasa-rasanya dulu juga banyak lelaki yang menggodaku. Aku rindu masa-masa itu.”
“Kau ingin digoda laki-laki?” Alis matanya naik sebelah.
“Bukan dalam konteks genit dan merendahkan. Rasanya menyenangkan jika menjadi pusat semesta seseorang. Membayangkan hanya diri kita yang ada di pikirannya, membuatnya tergila-gila dan berdebar. Seperti memasang kembang api di dada seseorang dan meledakkannya. Dan kalau kupikir-kupikir…,”
“Apa?”
“Sudah lama kau tak menggodaku.”
Begitulah kami. Menikah sekian lama dengan sifat bertolak belakang. Watak rumit dan sederhana jalin-menjalin seperti kepang anak perempuan kami yang makin kebas dengan perdebatan konyol kami. Namun, aku sangat mencintai suamiku. Kurasa hanya dia lelaki yang betah meladeniku, yang selalu merumitkan segalanya.
Itulah sebabnya aku sungguh tak paham bagaimana Mak Ndari kuat hidup sendiri; tanpa dikelilingi orang yang dicintai, dalam sebuah rumah yang ikut menua bersama dirinya.
***
Pagi itu dadaku busung oleh niat bulat mengunjungi Mak Ndari. Tepat setelah suami dan anakku berangkat, aku mandi cukup lama. Berbekal blus terbaik dan parfum aroma vanilla, aku menuju rumah itu. Di tanganku tergenggam kotak berisi pisang goreng yang hangatnya menggigit-gigit kulitku. Ragu pun mulai tumbuh. Awalnya berupa tunas, tahu-tahu sekejap merimbun oleh gentar kalau-kalau nanti aku diusirnya.
Kudentangkan selot pagar yang bau karatnya menyodok hidung. Yang kali kedua lebih nyaring, takut tak cukup terdengar. Penuh cemas, aku berjinjit mencuri lihat. Akhirnya pintu itu berderit. Nyaris aku meloncat kegirangan melihat Mak Ndari datang.
“Ya?” Mak Ndari berdiri di ujung teras dengan atasan putih dan rok batik yang lusuh. Rambutnya digelung, menunjukkan leher yang mungkin di masa kejayaannya, mengundang banyak lelaki tergiur mengecupnya.
“Kubawakan pisang goreng untuk Mak,” ujarku sesopan mungkin. “Mak suka pisang goreng, kan?”
“Kata siapa?”
“Siapa yang tidak suka pisang goreng, Mak?” aku tersenyum canggung.
Kami pun duduk di teras. Ada gelembung penasaran yang nyaris meletus di dada. Pintu rumahnya sedikit terkuak. Aku persis anak kecil yang menempelkan muka di etalase toko permen. Seperti apa perabotan di dalam? Adakah bingkai besar yang memasang foto Mak Ndari bersama suaminya? Kubayangkan Mak muda mengenakan kebaya pengantin putih menggamit lengan kokoh seorang letnan berseragam lengkap dengan mata tajam.
Pertemuan itu berakhir dalam lima menit. Mak Ndari memindahkan pisang goreng ke piringnya sendiri, lalu mengembalikannya kembali tanpa bicara. Namun, sorot matanya menatapku penuh makna. Sekilas tangan Mak Ndari terangkat hendak membelaiku, tapi diurungkannya. Tepat sebelum aku pulang, dengan suara pelan sekali dia berkata, “Kemarilah lagi besok. Ganti aku yang membuatkanmu pisang goreng.”
Ah, tak sabar rasanya kuceritakan ini kepada suamiku yang tentu hanya berdeham tanpa ekspresi.
***
Di hari-hari selanjutnya, di teras itu akan tampak aku dan Mak Ndari, dipisahkan meja bundar bertaplak rajut, penuh oleh kudapan dan minuman hangat. Mak Ndari tetaplah Mak Ndari yang lebih suka diam. Akhirnya akulah yang banyak bercerita. Tentang anakku yang beranjak remaja. Tentang resep baru yang kutemukan di majalah wanita. Tentang masa mudaku yang tentu sedikit kubumbui agar lebih menggigit. Namun, lebih sering aku mengadu tentang suamiku yang terlampau tenang.
“Kenapa dulu menikahinya?” tahu-tahu Mak Ndari bersuara.
Aku terdiam. Jawaban pertama yang terlintas adalah karena cinta. Entah kenapa aku merasa bukan itu jawaban yang dicarinya.
“Seperti apa cintamu untuknya? Ada cinta yang meledak-ledak. Membuatmu hidup hingga membakarmu hidup-hidup. Ada cinta yang hening. Membuat hidupmu tenang sampai menenggelamkanmu dalam-dalam.”
“Mak sudah lama hidup sendiri? Pernah jatuh cinta dan hidup bersama seseorang?”
Dia menyeruput tehnya. “Aku berhenti jatuh cinta. Kuputuskan hidup dalam sepi. Kau kira kau beruntung. Punya anak dan suami. Tapi apa jadinya kalau suatu hari kau terbangun dan mereka tak lagi ada di sisimu. Kau pun sadar, selama ini kau sendiri, tak pernah benar-benar memiliki seseorang untuk selamanya.”
Aku menelan ludah membayangkannya. Kutatap bola matanya yang sendu. Ada kenangan berenang-renang di sana. Apa dia pernah mengalami kehilangan yang terlampau besar? Siapa yang melukainya sedalam itu?
“Mak tidak takut hidup sendiri?”
“Kita lahir sendiri. Mati juga sendiri. Mereka yang ada di sekeliling kita diciptakan untuk pergi suatu hari nanti. Jadi apa gunanya hidup bersama seseorang? Lebih baik sendiri sejak awal.”
“Dulu aku sepertimu. Sebentar lagi kau yang akan sepertiku,”
Matanya mengunci tatapanku. Binarnya mengilat, seakan dipulas lapisan kaca hitam yang lama-lama meleleh. Meluber ke mana-mana, menularkan kesedihan. Tahu-tahu kudapati tanganku, bahuku, rambutku, semuanya diselimuti selaput bening kehitaman. Lama-lama mengerumuniku dalam hitam sebenar-benarnya.
Seketika aku meronta, cepat-cepat keluar dari sana. Kukibas tangan berkali-kali, berusaha menghilangkan selaput yang membungkusku tadi. Kulihat suamiku baru turun dari mobil. Langsung saja kupeluk dari belakang. Kuhirup wanginya dalam-dalam. Awalnya dia meronta, tapi pelukanku yang makin mengunci tubuhnya membuatnya pasrah.
“Kenapa kamu?” tanyanya tenang. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tak lagi kuinjakkan kaki ke rumah itu. Bahkan kupercepat langkah tiap melewatinya menuju pasar. Mak Ndari pun kembali mendekam dalam kesendiriannya. Namun, ucapannya seperti bibit kanker yang tumbuh di jiwaku. Kuperhatikan anak perempuanku. Semakin besar, semakin sering dia keluar bersama teman-temannya. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kehidupan benar-benar  merenggutnya dariku. Suamiku, yang tak pernah alpa mengecup keningku tiap berangkat kerja, hanya tertawa saat kuberitahu ketakutanku kalau dia pergi tak kembali lagi.
“Kau ini,” dia hanya mengusap rambutku dan mengecupku lebih dalam beberapa kali. Aku cuma berani menangis di dalam dada, tak ingin membebaninya dengan sulur sepi yang makin rimbun di kepalaku. Kurasa Mak Ndari berhasil membenamkan benih ketakutan ditinggalkan. Kini aku tak tahu bagaimana menebas habis itu semua.
Kupandangi punggung suami dan anakku yang menjauh setiap pagi. Sepanjang hari aku disiksa detik jam yang berputar, bertanya-tanya apa mereka akan pulang. Aku cuma memikirkan kepergian dan ditinggalkan; tentang sepi dan sendiri.
“Kau benar-benar setakut itu kalau aku tidak pulang?” tanya suamiku di sela pelukku. Kutatap matanya. Jernih tanpa prasangka; membuatku berpikir, apa dia tidak takut kalau suatu hari aku akan meninggalkannya? Bahwa bisa saja aku yang pergi dan dia hidup sendiri?
Kulepaskan pelukan dengan hambar, membiarkannya beranjak ke kamar mandi seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat pula anak perempuanku. Keduanya melesat makin cepat. Punggung-punggung mereka menjauh. Tiap kali kuulurkan tangan untuk meraih mereka, seperti makin lebar bentangan jarak itu. Untuk pertama kalinya aku merasa kosong. Sepanjang malam aku tak berani memejamkan mata, karena tiap kali kulakukan itu, aku melihat Mak Ndari menatapku. Dia benar. Sebentar lagi aku akan menjadi seperti dirinya. Menua dalam sepi.
Kami berpapasan lagi suatu pagi. Mak Ndari membuang sampah di depan rumah dan aku hendak ke pasar. Mata kami bertautan, menghantarkan dingin yang membuat bulu kudukku meremang. Sayu mata penuh kesepian itu bersiap mengisapku.
Aku bergegas berbalik arah, tak menoleh lagi. Dengan napas terengah, tanganku gemetar membuka pintu. Aku disambut bayangan sendiri di pantulan jendela depan. Bayanganku tampak lebih tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi serta baju lusuh. Ia tersenyum dengan tangan terulur. Bola matanya berpendar. Mengilat kelam, siap tumpah dan menyambar tubuhku—menyelimutiku dalam sepi.
Aku segera menelepon suamiku. Menyuruhnya berhenti kerja. Pulang detik ini juga dan tidak pergi-pergi lagi seterusnya. Ah, juga anak perempuanku. Dia harus tetap tinggal di sini, menghabiskan umurnya bersama ibu yang dia cintai.
Kau lihat itu, Mak Ndari? Aku tak akan jadi sepertimu—seorang perempuan sepi yang tinggal di ujung jalan.
***
GM, 15-17 April 2014
Ditulis dalam kenangan sepupuku, alm. Devi Hardinata
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014

Rabu, Maret 19, 2014

DEMI RINDU DAN SAKURA

Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014


Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
***
Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Darah Indonesiaku terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta, sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura sudah bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea begitu lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik di televisi Indonesia. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang merekah menunggu cinta.
Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang – gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul dari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.
Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul. Maka aku cukup melihat-lihat saja.
Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.
“I’m going home two days later,” aku teringat kata-katanya. “My vacation is over.
“I know. I overheard your convo with Kim. Will you come back to Jakarta?”
“It depends. Kim said you rejected the heart donor. Why is it so, Sakura?”
“I had this heart problem since I was a baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only about 40%. Even if my body accepts the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”
“You should!” Ji Won setengah membentak. Aku terkesiap.
“Why should I?”
“Because I’ll be back soon to Jakarta, and I want you to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason, Sakura, for me to go back to Indonesia. Leaving everything behind in Seoul, because I,…”
“Stop it, Ji Won!” aku ganti membentaknya. “You have a perfect life in Seoul. You’re the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future like me? That’s insane.”
“It’s not! You do the surgery and you’ll be as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no reason to be away from me.”
Aku masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung. Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau cicipi.
Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenyataan, karena jika dia tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakarta dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.
“Please promise me, Sakura.” Ji Won menggenggam tanganku. “You’ll do the surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul. I’ll bring you to my favorite place, Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry. Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?”
 “I don’t know, Ji Won.”
“Just promise me. Please.”
Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling jatuh cinta.
Dan aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik University Area. Diam-diam aku ke Seoul tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.
Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?
Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.
Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.
I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.
***
Ji Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik University Area yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi. Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya pemandangan yang teramat indah. Indah di kala tak ada orang sebanyak ini.
Sekuntum bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia rindukan.
Ji Won bahkan bisa mendengar suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.
Ji Won, everytime you see cherry blossom, please remember me.
Dia memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya. Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.
Hanya ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri. Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya, tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya. Senyum itu jauh lebih indah dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya.
“Ji Won,” ujar Sakura.
Gadis itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah. Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.
Sakura mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.
“Aku,” Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”
Ji Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.
I love you.”
“Ji Won!”
Pemuda itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik University Area. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura.
“Ji Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”
“Eun Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.
“Ji Won! Kamu tidak mendengarkan ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.
Biip biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim mengiriminya pesan singkat.
“Operasi Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”
Kali ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan di Indonesia. Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,…
Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.
“Ayo pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya. Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini sinar putih di ujung jalan sana tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
GM, 12-13 Mei 2012