Membaca 29 cerpen yang mengikuti #KuisUltahAnggun, aku jadi teringat masa-masa awal aku menulis cerpen. Sebagian besar cerpen yang masuk di sini ditulis oleh mereka yang sedang semangat-semangatnya belajar menulis cerpen dari dasar. Ada proses trial and error, mencoba menghadirkan ide cerita yang diramu dengan imajinasi dan teknik.
Namun, ada beberapa yang ingin aku sampaikan di sini, sebagai sedikit catatan tentang pengalamanku membaca cerpen-cerpen yang masuk di #KuisUltahAnggun.
1. Tema. Kebanyakan tema percintaan antara sepasang kekasih. Tentu saja, mengingat temanya roman depresi, maka wajarlah jika ini yang akhirnya sering muncul. Namun, aku mengacungkan jempol kepada mereka yang meluangkan waktu untuk menggali dan mengintepretasikan roman depresi dengan sudut pandang yang tak biasa. Ini bisa menjadi nilai plus, yaitu faktor kebaruan.
2. EYD dan tanda baca. Duh, sungguh kalau boleh mengutip kalimat yang diucapkan Bli Fajar Arcana yang juga editor Kompas Minggu, penulis yang baik itu mencintai bahasa, dan salah satu penandanya adalah bagaimana ia memperlakukan kata-kata dalam tulisannya. Ejaan yang benar, yang rapi, dan yang pada tempatnya, sangatlah penting karena akan membuat naskah menjadi ramah dibaca. Jika sejak awal memang sudah tidak ramah dibaca, tentu pembaca takkan segan untuk langsung membuangnya. Tanda baca pun begitu. Layout juga berpengaruh. Saat naskah sudah ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, maka penulis sudah setengah jalan untuk menuntaskan ceritanya.
3. LOGIKA CERITA. Ketika menulis, logika cerita luar biasa penting. Kenapa di dalam cerita ada adegan X, tentu ada sebabnya, ada asal usulnya. Tidak tahu-tahu simsalabim, ujug-ujug begitu saja. Pastikan cerita yang kamu tulis masuk akal, mengikuti alur logika. Bahkan dalam cerita-cerita fantasi sekalipun yang tidak real, tetap saja ada unsur logika yang menjadi benang merah penghubung antar adegan. Kalau penulis mengabaikan faktor ini, pembaca bisa-bisa mengernyitkan dahi dan memilih untuk tidak membaca cerita itu.
4. DINAMIKA CERITA. Plot dan karakter adalah dua faktor terpenting dalam bercerita. Keduanya saling menunjang karena keduanya saling menjalin menggerakkan cerita. Mulai dari konflik - komplikasi (perumitan masalah) - klimaks (puncak cerita) - resolusi (penutup). Ada beberapa yang menceritakannya begitu datar, seakan-akan tak ada cerita di dalamnya. Sayang sekali, padahal premisnya menarik. Andai dieksekusi dengan lebih baik lagi.
5. SHOW, NOT TELL. Jangan menyuapi pembaca. Dengan teknik tell, penulis cenderung mendikte pembaca, menyuapi mereka dengan segala informasi, sehingga tidak ada ruang bagi pembaca untuk berimajinasi. Padahal inilah dasar pembeda utama antara fiksi dan fakta. Imajinasi. Nah dengan teknik show, pembaca akan bisa berimajinasi dengan leluasa. Tidak monoton. Tidak seperti membaca sinopsis atau rangkuman cerita sekadarnya.
Nah, itu sedikit dariku. Memang tidak detail, karena aku ingin para penulis yang ikut #KuisUltahAnggun untuk menganalisa ceritanya sendiri. Pada elemen-elemen manakah ceritanya perlu diperbaiki dan dikembangkan. Aku percaya, setiap orang bisa jadi penulis jika ia terus belajar, tanpa pernah mengenal lelah.
Terus menulis ya!
Salam,
Anggun
Selasa, Juni 03, 2014
PEREMPUAN LIONG
ditulis oleh Putri Widi Saraswati yang memenangkan kontes menulis #KuisUltahAnggun
Kata Mbok Mi, pernah
ada naga di rumahku.
Aku
ingat, hari itu panas terik. Aku berdiri di depan kotak-kotak beras yang dipajang
Babah Ahlo di tokonya, menunggu dengan hati jeri sementara Mbok Mi membungkusi
kedelai dengan plastik dan karet gelang. Mendadak, aku ingin kencing.
Mbok
Mi, dengan jarit kumal, tangan kasar, dan kejudesannya, sudah selalu membuatku
ngeri. Kurasa semua anak tujuh tahun tiga bulan juga akan ngeri padanya. Tapi
semua pembicaraan tentang naga ini memperparahnya.
“Nanti
lihat sendiri,” kata Mbok Mi. Ctar.
Suara jepretan karet gelangnya membuatku terlonjak. “Tanya ibukmu itu kalau ndak percaya.”
Tenggorokanku
berdeguk. Besok-besok, aku takkan mau lagi kalau disuruh perempuan itu belanja
di sini. Sialnya, tiga hari lagi Cap Go Meh. Saat ini perempuan itu sedang
sibuk di dapur, dikelilingi bahan makanan dan segunung bumbu dapur. Tak ada
lagi yang bisa disuruh-suruhnya selain aku.
Lontong Cap Go Meh
bikinan perempuan itu adalah yang paling nikmat sekota raya, dicari pejabat
hingga pemadat, dari ujung timur ke ujung barat, baik Tionghoa maupun bukan.
Tak ada yang lebih ditunggu warga saat Cap Go Meh selain dua hal: pertunjukan
liong dan barongsai, serta lontong yang cuma dijajakan Anggun Sasmita Han
setahun sekali.
“Kenapa naga?”
cericitku pelan.
Mbok Mi memelototiku, lalu
mengangsurkan plastik hitam dengan gerakan menggusah yang selalu dilakukannya
padaku.
Maka aku pulang.
***
Aku
takut gelap. Aku takut tidur sendiri. Kurasa, aku takut pada seisi dunia.
“Jangan
tinggal aku,” aku akan berbisik pada perempuan itu. Bisikanku akan menyelip
dari celah selimut yang kutarik ke bawah daguku, bertiup melalui celah pintu
yang seinci lagi tertutup sempurna, mencari jalan menuju kedua daun telinga
putih milik perempuan itu.
Meski
begitu, tetap saja perempuan itu akan menutup pintu. Dan, setelah itu, gelap.
Kadang,
aku akan kencing di celana. Kadang, gigiku akan bergemeletuk tanpa kusuruh.
Tapi pada akhirnya, aku akan memejam juga, melayang jatuh ke dalam mimpi-mimpi
yang sebagian kuingini dan sebagian tidak.
Satu
dari dua mimpiku adalah tentang perempuan itu.
Setibaku
di rumah, kencingku sudah betul-betul di ujung. Terbirit-birit aku berlari ke kamar
mandi agar jangan sampai celanaku basah duluan. Perempuan itu tak suka jika aku
mengompol.
Setelah
itu, masih menggenggam erat plastik yang berat, aku mulai mencarinya. Kuintip
dapur. Udara berbau bawang putih dan kencur, yang sudah bersih dan siap disangrai
bersama kedelai, lalu ditumbuk jadi bubuk koya gurih. Tapi perempuan itu tak
ada.
“Mami…?”
suaraku bergaung di dinding-dinding.
Aku
lupa melepas sandal tadi. Jejak-jejak tanah berceceran di lantai dapur. Tapi
tetap saja, kuteruskan mengendap-endap menuju ruang tengah.
Sesuatu dalam dadaku
mengepak-ngepak. Aku rindu perempuan itu. Aku rindu melihatnya.
“Mami…?
Ini kedelainya….”
Ruang
tengah gelap. Meja makan gelap. Tapi di seberangku, sinar kekuningan mengintip
dari bawah pintu tertutup. Pintu kamar perempuan itu.
Aku
melangkah cepat-cepat, siapa tahu ada monster yang lahir di kegelapan ini dan
sedang bersembunyi untuk memakanku. Syukurlah, aku sampai di pintu dengan
selamat.
Nah,
sekarang…. Mengetuk, atau tidak?
Ayo,
putuskan cepat, Yos! Hati-hati, jangan-jangan ada monster di belakangmu!
Kuhitung
jari kakiku dengan cepat. Ketuk, buka, ketuk, buka….
Dengan
amat pelan, kuangkat tanganku untuk meraih kenop pintu setinggi pelipisku. Dengan
amat pelan, kuputar kenop itu ke kanan.
Amaaaat…
pelaaaan… kreeeek….
Di dalam, tirai jendela
ditutup dan lampu dimatikan. Cahaya lilinlah yang ruap-ruap. Aku hanya berani
membuka pintu selebar dua senti, lalu tanpa sadar berjinjit.
Kulihat perempuan itu.
Ia bersimpuh membelakangiku, garis tubuhnya berombak ditimpa api lilin yang
bergoyang. Aih. Kurasakan dorongan
besar di perutku; sesuatu menyuruhku merangsek masuk dan memeluknya. Tapi
kurapatkan tumitku, kuluruskan lututku. Aku bergeming.
Di hadapan perempuan
itu, ada sebuah bingkai foto di atas meja. Bingkai itu kosong. Sementara aku
mengawasi dengan jantung mengerut, perempuan itu mengangkat selembar foto
dengan kedua tangannya. Khidmat sekali, seolah di telapak tangannya ada hidup
dan mati, ia memasangkan foto itu pada bingkai.
Lilin meredup. Mungkin
terkena angin yang juga menyelinap ke balik singletku. Tapi sebelum cahaya
bergeser dan aku jadi rabun, mataku sempat menangkap gambar di dalam foto.
Lelaki berbaju kuning, membawa tongkat kayu panjang, dan di atas tongkat ada….
Kedua mataku membelalak.
Naga!
***
“Lusa…
aku boleh pergi kelenteng, Mi?”
Aku
suka Cap Go Meh, Imlek, dan semua perayaan besar lainnya. Ada kelenteng dekat
sini. Mereka punya halaman luas sekali, dan jika Cap Go Meh tiba, kau bisa
datang ke sana untuk menonton akrobat liong dan barongsai dari sanggar Babah
Ahlo, mengagumi lentera warna-warni dan melompat-lompat untuk menyentuhnya,
sertamenyaksikan arak-arakan.
Perempuan
itu tak menjawab.
Aku
ingin memohon padanya. Sungguh. Aku tak pernah bisa pergi ke kelenteng,
walaupun itu Cap Go Meh, Imlek, atau apa pun. Setiap tanggal-tanggal itu tiba,
perempuan itu hanya akan membawaku ke mulut gang, di mana aku bisa melihat
secuil keramaian di halaman kelenteng. Setelah itu ia akan mengunciku di rumah
dan pergi membuka kiosnya sampai malam.
Sebagai
ganti jawaban, perempuan itu meletakkan piring berisi seporsi lontong di
hadapanku. Uapnya mengepul. Lontong-lontong itu dipotong dadu, sisinya kehijauan,
dalamnya putih bersih. Di atasnya ada sambal goreng ati ampela, sepotong besar
paha ayam opor, sate telur puyuh andalan khas Lontong Cap Go Meh Ci Han, dan
taburan bubuk kedelai. Semua itu terendam dalam kuah santan lodeh terong kuning
kecokelatan.
Perempuan
itu duduk di sisi lain meja makan. Ia menopang dagunya, menatap lurus ke
dinding.
Perutku
berbunyi.
Aku
tahu, aku seharusnya makan. Habiskan, lalu bilang bahwa lontongnya enak sekali,
lalu perempuan itu akan menggiringku ke kamar mandi dan meninggalkanku untuk
mandi sendiri.
Aku
memandangi sisi wajahnya.
“Suapin
aku, Mi….” bisikku pelan. Perempuan itu menoleh, lalu menatapku. Mata kami
bertaut. Hening. Mata kami terus bertaut.
Kuambil
sendokku.
***
Dingin.
Kata
Engkong, saat ia masih suka memangkuku dulu, Cap Go Meh adalah waktunya bulan
baru. Bulan akan hilang dari langit, mogok menyinari bumi pada malam hari.
Mungkin karena itu malam ini sangat dingin.
Aku ingin dipeluk.
Ingin sekali. Aku bosan hanya dipeluk dalam mimpi.
Perempuan itu tak
pernah mau diganggu saat malam Cap Go Meh. Ia akan menutup pintuku lebih cepat,
lalu tak kelihatan lagi hingga esok pagi.
Saat menurunkan kakiku
ke lantai, aku merinding. Teringat perkataan Mbok Mi tadi siang, saat aku
terpaksa kembali lagi untuk membeli gula.
“Hati-hati, ibukmu
piara naga,” bisiknya parau. “Awas, nanti kamu dimakan.”
Selain takut gelap, aku
juga takut api. Di perut naga, pasti banyak api. Lututku mulai terasa selembek dodol.
Aku mengendap-endap
lagi menuju pintu. Mungkin, mungkin malam ini perempuan itu mau membukakan
pintu dan memelukku. Mungkin, mungkin besok perempuan itu mau membawaku ikut
bersamanya, melihat liong dan barongsai dan festival lentera dan para pendekar
silat. Mungkin, mungkin besok sore perempuan itu mau menyuapiku. Mungkin,
mungkin sesungguhnya memang tak ada yang namanya naga di dunia ini. Mungkin,
mungkin saja, kan?
Kubuka pintu itu,
harapan lamat-lamat jadi liat di hatiku.
Aku tertegun. Kamar itu
masih hanya diterangi cahaya lilin yang berdansa tanpa musik. Di atas meja,
foto lelaki dan naganya masih terpampang, diapit dua lilin merah besar dalam
gelas dan beberapa batang hio dengan wangi pekat menggelisahkan.
Di atas kasur,
perempuan itu mengesah. Selimutnya bergerak-gerak. Bunyi gemeresak yang aneh
menyertainya. Serta merta, aku mematung.
Tapi perempuan itu tak
bangun. Suaranya pelan-pelan memudar, dan napasnya kembali teratur. Di atas
bantal, rambutnya yang panjang terulur helai demi helai.
Gemetar, kuulurkan
jemariku. Samar-samar, sepotong kenangan mengintip di balik kelopak mataku.
Tirai rambut hitam yang harum, menggelitik hidungku, pipiku, wajahku. Aku
tertawa, membelitkannya di jariku, menciuminya…. Apakah itu aku? Atau anak lain
dalam mimpiku?
Kutarik lagi tanganku.
Alih-alih, aku duduk di lantai yang dingin, mengamati hela napas yang naik
turun.
Satu lengan perempuan
itu menjulur di atas selimut. Jemarinya yang berkuku mengilap memegang sehelai
robekan kertas koran kekuningan. Huruf-hurufnya begitu kecil. Aku memicingkan mata,
mengejanya pelan-pelan sambil menggigit bibir.
“Obi… obitu…
obituari….”
Candra
Purnama Tan
17
Maret 1980 – 2 Februari 2009
Apiboleh
merenggutmu, tapi cinta kami akan selalu membara untukmu.
Yang
ditinggalkan:
Istri
– Anggun Sasmita Han
Anak
– Yosi Wijaya Tan
Yosi,
itu namaku. Anggun, itu nama perempuan itu.
Candra itu siapa?
Ada foto hitam putih di
atasnya. Seorang lelaki tersenyum. Lelaki yang sama berfoto di atas meja.
Di rumahmu, pernah ada naga.
Dari celah
ventilasi, angin menjilat tubuhku. Lilin-lilin bergoyang. Kurasakan diriku
bergidik. Mungkin perempuan itu takkan keberatan jika aku ikut masuk ke balik
selimut. Ya, kan? Toh, aku belum pernah melakukannya. Aku takkan mengganggunya.
Aku cuma ingin hangat, dan ingin di dekatnya. Itu saja. Mungkin dia takkan
marah kalau hanya begitu saja.
Maka
kusibak selimut itu, dan kuangkat sebelah lututku untuk naik ke ranjang.
Tapi
lututku melayang di udara.
Sekejap,
aku nyaris menjerit. Tapi lalu kusadari, itu bukan naga betulan. Itu cuma
kepala liong berwarna kuning emas. Bukan liong yang gagah pula. Kepala itu
tercabik dari badannya. Puntung lehernya menghitam gosong seperti jelaga,
begitu pula satu tanduk dan sebagian besar sisi wajahnya.
Liong
jelek. Kenapa perempuan itu tidur bersama liong jelek ini?
Perlahan,
kuturunkan lututku. Kuletakkan kembali ujung selimut itu. Dengan ujung
telunjukku, kubelai rambut hitam yang tergerai di depanku. Halus. Sejuk.
Kurasakan
kedua mataku panas seperti pantat setrika.
Mbok
Mi benar. Naga memang betul-betul ada di dunia. Dan naga itu tinggal di
rumahku.
Tapi
aku benci naga.
Catatan
Penulis
- Cap Go Meh: salah satu perayaan
keagamaan dan budaya dalam tradisi Tionghoa. Merupakan hari ke-15 setelah Tahun
Baru Imlek, yang menjadi penutupan perayaan Imlek sekaligus hari pertama bulan
baru.
- liong: tiruan naga besar untuk
pertunjukan pada arak-arakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Liong berarti naga. Terbuat dari rangka
bambu dan kertas, memiliki kepala naga, badan ular, sisik ikan, tanduk rusa,
dan taring serigala. Dimainkan oleh beberapa orang yang memiliki keahlian bela
diri dengan cara ditopang menggunakan tongkat-tongkat kayu. Melambangkan
kebaikan dan kebajikan.
- barongsai: barongan Cina yang biasa
dipertunjukkan pada Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Barong dari kata barongan (tradisi lokal Indonesia), sai artinya singa. Terbuat dari rangka
bambu dan kertas, dimainkan oleh dua orang yang memiliki keahlian bela diri dan
akrobatik. Diberi “makan” oleh penonton berupa angpau, amplop kecil berisi
uang.
- lontong Cap Go Meh: makanan khas
perayaan Cap Go Meh di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Merupakan
makanan peranakan dengan pengaruh budaya Jawa yang kuat. Terdiri dari campuran
lontong, sambal goreng ati ampela, lodeh sayuran, sate, opor ayam, ditaburi
bubuk kedelai gurih.
- 2 Februari adalah
tanggal jatuhnya perayaan Cap Go Meh pada tahun 2009.
Cerpen Pemenang #KuisUltahAnggun
Teng teng teng, sekarang tanggal 3 Juni nih. Sesuai janjiku, aku akan mengumumkan cerpen terbaik yang ikut dalam #KuisUltahAnggun yang dipublikasikan tgl 8 Mei 2014 yang lalu. Kemudian, sesuai deadline, daftar cerpen yang masuk bisa diintip di sini lhooo... Ada namamu nggak?
Sebelum kuberitahu judul cerpen pemenangnya dan siapa penulisnya, biar kubocorkan sedikit kenapa aku memilihnya. Ini nih alasannya:
1. RAPI ~ Ini maksudnya cerpennya ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, yaitu rapi secara layout serta dari segi EYD dan penggunaan tanda baca.
2. MENARIK DAN UTUH ~ Aku suka tema yang dibawakannya. Kemudian karakterisasinya unik dan konsisten. Kemudian yang paling kusuka adalah bagaimana cara si penulis mengaturkan ketegangan bahkan sejak kalimat pertama. Kalimat pertamanya sangat aku suka dan penulisnya pandai membawa emosi pembaca untuk ingin tahu ceritanya lebih lanjut sampai di ending. Kemudian dinamika ceritanya juga mengalir. Menyenangkan sekali membacanya.
3. KONTEN LOKAL ~ Nah, penulisnya juga bisa mengombinasikan cerita dengan konten budaya lokal yang segmented, tapi tetap menarik dibaca bahkan untukku yang tidak mengerti apa-apa tentang budaya tersebut. Good job!
Dan pemenangnya adalah....
*DRUM ROLLS*
SELAMAT untuk PEREMPUAN LIONG karya PUTRI WIDI SARASWATI!
HOREEE!
Kamu berhak atas paket hadiah #KuisUltahAnggun yaitu satu novel #AfterRain, kumcer #KedaiBianglala, dan voucher Gramedia Rp.100rb ... Hasyeeek!
Terus menulis ya Putri Widi, semoga ini pintu pembukamu untuk terus melaju menjadi penulis mumpuni di jagad sastra Indonesia.
Nah yang ingin membaca cerpen ini, silakan klik di link ini ya...
Terima kasih untuk yang sudah mengirimkan cerpen di #KuisUltahAnggun ya. Yang kalian tulis sungguhlah berharga. Aku sangat menghargainya. :*
Sebelum kuberitahu judul cerpen pemenangnya dan siapa penulisnya, biar kubocorkan sedikit kenapa aku memilihnya. Ini nih alasannya:
1. RAPI ~ Ini maksudnya cerpennya ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, yaitu rapi secara layout serta dari segi EYD dan penggunaan tanda baca.
2. MENARIK DAN UTUH ~ Aku suka tema yang dibawakannya. Kemudian karakterisasinya unik dan konsisten. Kemudian yang paling kusuka adalah bagaimana cara si penulis mengaturkan ketegangan bahkan sejak kalimat pertama. Kalimat pertamanya sangat aku suka dan penulisnya pandai membawa emosi pembaca untuk ingin tahu ceritanya lebih lanjut sampai di ending. Kemudian dinamika ceritanya juga mengalir. Menyenangkan sekali membacanya.
3. KONTEN LOKAL ~ Nah, penulisnya juga bisa mengombinasikan cerita dengan konten budaya lokal yang segmented, tapi tetap menarik dibaca bahkan untukku yang tidak mengerti apa-apa tentang budaya tersebut. Good job!
Dan pemenangnya adalah....
*DRUM ROLLS*
SELAMAT untuk PEREMPUAN LIONG karya PUTRI WIDI SARASWATI!
HOREEE!
Kamu berhak atas paket hadiah #KuisUltahAnggun yaitu satu novel #AfterRain, kumcer #KedaiBianglala, dan voucher Gramedia Rp.100rb ... Hasyeeek!
Terus menulis ya Putri Widi, semoga ini pintu pembukamu untuk terus melaju menjadi penulis mumpuni di jagad sastra Indonesia.
Nah yang ingin membaca cerpen ini, silakan klik di link ini ya...
Terima kasih untuk yang sudah mengirimkan cerpen di #KuisUltahAnggun ya. Yang kalian tulis sungguhlah berharga. Aku sangat menghargainya. :*
Selasa, Mei 27, 2014
INI DIA CERPEN-CERPEN #KuisUltahAnggun
Wah, kepesertaan #KuisUltahAnggun ditutup. Senang banget ternyata banyak yang ikut, memberanikan menjajal kemampuannya dalam menulis. Mungkin pesertanya tidak sebanyak lomba menulis sekelas nasional, tapi aku sangat amat terharu karena di luar sana ada beberapa orang yang menyediakan waktu, tenaga, dan biaya untuk menuliskanku cerpen.
Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.
Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1. Ilam-ilam oleh Djamall
2. Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3. Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4. Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5. Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6. Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7. Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8. Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9. I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil
Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.
Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*
Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.
Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1. Ilam-ilam oleh Djamall
2. Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3. Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4. Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5. Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6. Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7. Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8. Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9. I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil
Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.
Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*
Langganan:
Postingan (Atom)
