Powered By Blogger

Senin, Juni 30, 2014

PEREMPUAN SEPI DI UJUNG JALAN

Photo: Silakan baca cerpenku "Perempuan Sepi di Ujung Jalan" yang dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014. Cerpen ini merupakan caraku berduka atas kepergian sepupuku, alm. Devi Hardinata. Semoga dia bahagia di sisi-Nya.
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014
Bertahun-tahun aku bertetangga dengan Mak Ndari, tak sekalipun aku melihat dia tinggal bersama orang lain. Sepertinya dia lebih tua dari ibuku. Kutebak itu dari rambut kelabu dan kerut yang persis akar rambat menjalari wajahnya. Namun, jangan minta aku menerka siapa suaminya, berapa anaknya, dan di mana mereka kini. Kisah hidup Mak Ndari sama seperti pintu rumahnya; selalu rapat tak tercungkil, tak bisa dimasuki.
Kami bertetangga di sebuah jalan sepi, melengkapi keterpencilan kota kecil kami. Rumah yang dia tinggali ikut menua bersamanya. Warna tembaga atapnya memudar. Dindingnya mengelupas di beberapa sisi. Ada noda-noda tak beraturan bekas bocor musim penghujan lalu. Aku selalu melewati rumah berpagar setinggi dahi orang dewasa itu tiap hendak ke pasar. Yang terlihat hanya teras sepi penuh pucuk lidah buaya dan kembang yang menggerumbul di pot-pot gantung. Jika beruntung, bisa kulihat ujung kepalanya terangguk-angguk mengantuk di sandaran kursi malas. Terkadang ia menyirami taman kecilnya. Bibirnya bersenandung, beriringan dengan semilir angin, seakan hendak memecah kesunyian yang melingkupinya.
Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa betah dalam hening seperti itu? Tanpa suami, tiada anak. Sering aku tergoda membunyikan selot pagar rumahnya, lalu menanyakannya itu.
Suamiku menanggapi hal ini dengan kalem. “Kalau mau berkunjung, tinggal datang saja. Tak perlu alasan.”
“Mungkin aku bisa membawakannya pisang goreng? Menurutmu dia apa suka? Atau lebih baik ubi rebus saja?”
“Entahlah.”
“Aku penasaran apa Mak Ndari pernah menikah. Punya anak? Seperti apa masa mudanya dulu? Kurasa dia perempuan yang cantik. Lihat saja matanya yang bulat besar dengan bulu mata lentik. Mata seperti itu pasti banyak melumpuhkan laki-laki.”
“Perempuan cantik tidak selalu kekasihnya banyak.”
“Pasti banyak yang menggodanya. Rasa-rasanya dulu juga banyak lelaki yang menggodaku. Aku rindu masa-masa itu.”
“Kau ingin digoda laki-laki?” Alis matanya naik sebelah.
“Bukan dalam konteks genit dan merendahkan. Rasanya menyenangkan jika menjadi pusat semesta seseorang. Membayangkan hanya diri kita yang ada di pikirannya, membuatnya tergila-gila dan berdebar. Seperti memasang kembang api di dada seseorang dan meledakkannya. Dan kalau kupikir-kupikir…,”
“Apa?”
“Sudah lama kau tak menggodaku.”
Begitulah kami. Menikah sekian lama dengan sifat bertolak belakang. Watak rumit dan sederhana jalin-menjalin seperti kepang anak perempuan kami yang makin kebas dengan perdebatan konyol kami. Namun, aku sangat mencintai suamiku. Kurasa hanya dia lelaki yang betah meladeniku, yang selalu merumitkan segalanya.
Itulah sebabnya aku sungguh tak paham bagaimana Mak Ndari kuat hidup sendiri; tanpa dikelilingi orang yang dicintai, dalam sebuah rumah yang ikut menua bersama dirinya.
***
Pagi itu dadaku busung oleh niat bulat mengunjungi Mak Ndari. Tepat setelah suami dan anakku berangkat, aku mandi cukup lama. Berbekal blus terbaik dan parfum aroma vanilla, aku menuju rumah itu. Di tanganku tergenggam kotak berisi pisang goreng yang hangatnya menggigit-gigit kulitku. Ragu pun mulai tumbuh. Awalnya berupa tunas, tahu-tahu sekejap merimbun oleh gentar kalau-kalau nanti aku diusirnya.
Kudentangkan selot pagar yang bau karatnya menyodok hidung. Yang kali kedua lebih nyaring, takut tak cukup terdengar. Penuh cemas, aku berjinjit mencuri lihat. Akhirnya pintu itu berderit. Nyaris aku meloncat kegirangan melihat Mak Ndari datang.
“Ya?” Mak Ndari berdiri di ujung teras dengan atasan putih dan rok batik yang lusuh. Rambutnya digelung, menunjukkan leher yang mungkin di masa kejayaannya, mengundang banyak lelaki tergiur mengecupnya.
“Kubawakan pisang goreng untuk Mak,” ujarku sesopan mungkin. “Mak suka pisang goreng, kan?”
“Kata siapa?”
“Siapa yang tidak suka pisang goreng, Mak?” aku tersenyum canggung.
Kami pun duduk di teras. Ada gelembung penasaran yang nyaris meletus di dada. Pintu rumahnya sedikit terkuak. Aku persis anak kecil yang menempelkan muka di etalase toko permen. Seperti apa perabotan di dalam? Adakah bingkai besar yang memasang foto Mak Ndari bersama suaminya? Kubayangkan Mak muda mengenakan kebaya pengantin putih menggamit lengan kokoh seorang letnan berseragam lengkap dengan mata tajam.
Pertemuan itu berakhir dalam lima menit. Mak Ndari memindahkan pisang goreng ke piringnya sendiri, lalu mengembalikannya kembali tanpa bicara. Namun, sorot matanya menatapku penuh makna. Sekilas tangan Mak Ndari terangkat hendak membelaiku, tapi diurungkannya. Tepat sebelum aku pulang, dengan suara pelan sekali dia berkata, “Kemarilah lagi besok. Ganti aku yang membuatkanmu pisang goreng.”
Ah, tak sabar rasanya kuceritakan ini kepada suamiku yang tentu hanya berdeham tanpa ekspresi.
***
Di hari-hari selanjutnya, di teras itu akan tampak aku dan Mak Ndari, dipisahkan meja bundar bertaplak rajut, penuh oleh kudapan dan minuman hangat. Mak Ndari tetaplah Mak Ndari yang lebih suka diam. Akhirnya akulah yang banyak bercerita. Tentang anakku yang beranjak remaja. Tentang resep baru yang kutemukan di majalah wanita. Tentang masa mudaku yang tentu sedikit kubumbui agar lebih menggigit. Namun, lebih sering aku mengadu tentang suamiku yang terlampau tenang.
“Kenapa dulu menikahinya?” tahu-tahu Mak Ndari bersuara.
Aku terdiam. Jawaban pertama yang terlintas adalah karena cinta. Entah kenapa aku merasa bukan itu jawaban yang dicarinya.
“Seperti apa cintamu untuknya? Ada cinta yang meledak-ledak. Membuatmu hidup hingga membakarmu hidup-hidup. Ada cinta yang hening. Membuat hidupmu tenang sampai menenggelamkanmu dalam-dalam.”
“Mak sudah lama hidup sendiri? Pernah jatuh cinta dan hidup bersama seseorang?”
Dia menyeruput tehnya. “Aku berhenti jatuh cinta. Kuputuskan hidup dalam sepi. Kau kira kau beruntung. Punya anak dan suami. Tapi apa jadinya kalau suatu hari kau terbangun dan mereka tak lagi ada di sisimu. Kau pun sadar, selama ini kau sendiri, tak pernah benar-benar memiliki seseorang untuk selamanya.”
Aku menelan ludah membayangkannya. Kutatap bola matanya yang sendu. Ada kenangan berenang-renang di sana. Apa dia pernah mengalami kehilangan yang terlampau besar? Siapa yang melukainya sedalam itu?
“Mak tidak takut hidup sendiri?”
“Kita lahir sendiri. Mati juga sendiri. Mereka yang ada di sekeliling kita diciptakan untuk pergi suatu hari nanti. Jadi apa gunanya hidup bersama seseorang? Lebih baik sendiri sejak awal.”
“Dulu aku sepertimu. Sebentar lagi kau yang akan sepertiku,”
Matanya mengunci tatapanku. Binarnya mengilat, seakan dipulas lapisan kaca hitam yang lama-lama meleleh. Meluber ke mana-mana, menularkan kesedihan. Tahu-tahu kudapati tanganku, bahuku, rambutku, semuanya diselimuti selaput bening kehitaman. Lama-lama mengerumuniku dalam hitam sebenar-benarnya.
Seketika aku meronta, cepat-cepat keluar dari sana. Kukibas tangan berkali-kali, berusaha menghilangkan selaput yang membungkusku tadi. Kulihat suamiku baru turun dari mobil. Langsung saja kupeluk dari belakang. Kuhirup wanginya dalam-dalam. Awalnya dia meronta, tapi pelukanku yang makin mengunci tubuhnya membuatnya pasrah.
“Kenapa kamu?” tanyanya tenang. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tak lagi kuinjakkan kaki ke rumah itu. Bahkan kupercepat langkah tiap melewatinya menuju pasar. Mak Ndari pun kembali mendekam dalam kesendiriannya. Namun, ucapannya seperti bibit kanker yang tumbuh di jiwaku. Kuperhatikan anak perempuanku. Semakin besar, semakin sering dia keluar bersama teman-temannya. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kehidupan benar-benar  merenggutnya dariku. Suamiku, yang tak pernah alpa mengecup keningku tiap berangkat kerja, hanya tertawa saat kuberitahu ketakutanku kalau dia pergi tak kembali lagi.
“Kau ini,” dia hanya mengusap rambutku dan mengecupku lebih dalam beberapa kali. Aku cuma berani menangis di dalam dada, tak ingin membebaninya dengan sulur sepi yang makin rimbun di kepalaku. Kurasa Mak Ndari berhasil membenamkan benih ketakutan ditinggalkan. Kini aku tak tahu bagaimana menebas habis itu semua.
Kupandangi punggung suami dan anakku yang menjauh setiap pagi. Sepanjang hari aku disiksa detik jam yang berputar, bertanya-tanya apa mereka akan pulang. Aku cuma memikirkan kepergian dan ditinggalkan; tentang sepi dan sendiri.
“Kau benar-benar setakut itu kalau aku tidak pulang?” tanya suamiku di sela pelukku. Kutatap matanya. Jernih tanpa prasangka; membuatku berpikir, apa dia tidak takut kalau suatu hari aku akan meninggalkannya? Bahwa bisa saja aku yang pergi dan dia hidup sendiri?
Kulepaskan pelukan dengan hambar, membiarkannya beranjak ke kamar mandi seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat pula anak perempuanku. Keduanya melesat makin cepat. Punggung-punggung mereka menjauh. Tiap kali kuulurkan tangan untuk meraih mereka, seperti makin lebar bentangan jarak itu. Untuk pertama kalinya aku merasa kosong. Sepanjang malam aku tak berani memejamkan mata, karena tiap kali kulakukan itu, aku melihat Mak Ndari menatapku. Dia benar. Sebentar lagi aku akan menjadi seperti dirinya. Menua dalam sepi.
Kami berpapasan lagi suatu pagi. Mak Ndari membuang sampah di depan rumah dan aku hendak ke pasar. Mata kami bertautan, menghantarkan dingin yang membuat bulu kudukku meremang. Sayu mata penuh kesepian itu bersiap mengisapku.
Aku bergegas berbalik arah, tak menoleh lagi. Dengan napas terengah, tanganku gemetar membuka pintu. Aku disambut bayangan sendiri di pantulan jendela depan. Bayanganku tampak lebih tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi serta baju lusuh. Ia tersenyum dengan tangan terulur. Bola matanya berpendar. Mengilat kelam, siap tumpah dan menyambar tubuhku—menyelimutiku dalam sepi.
Aku segera menelepon suamiku. Menyuruhnya berhenti kerja. Pulang detik ini juga dan tidak pergi-pergi lagi seterusnya. Ah, juga anak perempuanku. Dia harus tetap tinggal di sini, menghabiskan umurnya bersama ibu yang dia cintai.
Kau lihat itu, Mak Ndari? Aku tak akan jadi sepertimu—seorang perempuan sepi yang tinggal di ujung jalan.
***
GM, 15-17 April 2014
Ditulis dalam kenangan sepupuku, alm. Devi Hardinata
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014

KENALAN SAMA FOOD COMBINING YUK!

Puasa tahun ini adalah puasa keempatku dengan pola hidup Food Combining (FC). Nggak hanya di bulan puasa saja, sehari-harinya pun aku menerapkan pola ini, walau memang masih jauh dari sempurna. Banyak orang yang mempertanyakan atau cenderung “menyerang” saat tahu aku makan ala FC ini. Padahal kalau saja mereka tahu, bahwa FC ini sesungguhnya pola makan yang hakiki, mengikuti fungsi biologis dan fisiologis tubuh, mereka pasti berbondong-bondong mengikutinya.
Aku pertama kali tahu tentang FC ini saat penulis favoritku, Dee (yang seorang vegetarian kalau tidak salah) mention seorang pelatih Yoga sekaligus pelaku FC selama 10 tahun lebih, Mas Erikar Lebang di akun twitternya @erikarlebang, sehingga aku penasaran dan mulai stalking. Pelan-pelan dari twit mas Erik yang lumayan sadis, tapi mencerahkan itu, aku belajar tentang pola hidup FC ini.
Karena banyak juga yang bertanya tentang FC padaku, baik di akun medsos dan kehidupan sehari-hari, aku coba merangkumnya dengan bahasa sederhana.
Pada dasarnya, sistem pencernaan adalah sumber kesehatan kita secara umum. Karena makanan/minuman yang kita masukkan ke dalam saluran pencernaan PASTI BERPENGARUH pada kesehatan kita.  Sebagian besar problem kesehatan itu sesungguhnya jika dirunut, akan ada hubungannya dengan pola makan kita.
Food Combining adalah gaya hidup yang menerapkan pola makan sesuai fungsi biologis dan fisiologis kita. Hah, apaan itu? Maksudnya begini, badan manusia itu sudah dirancang dengan sistem Illahi yang luar biasa, bergerak secara otomatis sesuai dengan jam biologisnya, atau istilahny Ritme Sirkadian. Nah, makanan yang kita makan pun harus menyesuaikan pola ini, agar bisa dicerna dengan baik dan menghasilkan hal-hal baik pula bagi tubuh.
Ritme tubuh dibagi 3. Biar gampang, dalam 24 jam, dibagi 8 jam sama rata untuk setiap fasenya. Yuk kita lihat satu-satu:
1. WAKTU MAKAN (12.00 – 20.00). Di fase ini, kita bisa makan sesuai dengan kaidah makan FC yang benar. Nanti akan dibahas lebih lanjut.
2. WAKTU PROSES (20.00 – 04.00) Di fase ini, tubuh berkonsentrasi untuk mencerna dan memproses apa-apa saja yang kita makan di waktu makan sebelumnya.  Jadi memang sebaiknya di waktu ini, kita tidak mengonsumsi apa-apa lagi.
3. WAKTU PEMBUANGAN (04.00 – 12.00). Di fase ini, tubuh akan membuang sisa pencernaan melalui feses, urin, keringat, dsb. Besarnya energy yang dibutuhkan tubuh dalam fase ini, maka sebaiknya makanan yang kita makan adalah makanan mudah cerna sehingga tidak memperberat kerja tubuh dalam melakukan tugas sesuai ritme sirkadiannya.
Lah kan itu waktunya sarapan?!
Oleh karena itu, pelaku FC mengonsumsi buah-buahan di fase ke-3. Buah-buahannya bisa apa saja: Apel, Pear, Jeruk, semangka, melon, papaya (my favorite!), pisang, strawberry, dsb. Sepanjang buah itu berserat, kaya air, dan matang pohon, silakan dikonsumsi. Buah-buahan yang tidak disarankan yaitu Durian, Nangka, Cempedak. Yakali mau sarapan sama duren... -_-
Tapi mana kenyang????
Kalau memang terbiasa menu lengkap ala nasi uduk, nasi goreng, lontong sayur, dsb untuk sarapan, buah-buahan akan terasa “sepele dan kurang mengenyangkan”. Tapi pernah nggak, setelah sarapan seberat itu, 1-2jam kemudian tubuh lemas, ngantuk, perut kembung, dan jadi pengin makan lagi. Yak, itu tanda tubuh kelelahan mengolah makanan yang kita makan. Pada dasarnya, tubuh akan “meminta” asupan makanan (dengan mekanisme lapar/haus), bila yang masuk itu belum memenuhi nutrisi yang dibutuhkan, sebanyak apapun yang kita makan. Padahal seharusnya makanan yang kita makan itu memberikan energi tanpa bikin ngantuk atau istilahnya kenyang-bego.
Kuncinya biar kenyang saat makan buah adalah makan 3-4 jenis, dengan porsi sewajarnya. Kunyah dengan baik. Kalau setengah jam, mendadak lapar, ya makan buah lagi. Begitu seterusnya sampai jam 12.
NGGAK PRAKTIS!
Lebih pilih mana, repot makan buah setiap pagi tapi badan fit dan segar, atau makan full tiap pagi tapi penyakitan dan lemas? Pilih deh ya.

Kemudian beberapa tips praktis ala FC yang bisa diaplikasikan pelan-pelan yang kuterapkan itu begini, nih.
1. AIR JENIPER. Hah? Jeniper Aniston? Bukaaan. JENIPER itu singkatan dari air JEruk NIpis PERes. Maksudnya, setiap pagi, begitu melek mata, minumlah air jeniper ini. Segelas air hangat dengan perasan satu buah jeruk nipis (aku lebih suka jeruk lemon lokal, seperempat kg Rp4.000,- bisa untuk 5-7hari). Gunanya untuk mengaktifkan enzim-enzim serta sebagai penguat liver kita yang semalaman bekerja mencerna makanan kita.
WOI, dapat salam dari sakit maag!
Cobain dulu deh, sekaligus camkan baik-baik di pikiran bahwa yang kita minum ini menyehatkan, bukan menyakiti. Kadang kan sugesti berpengaruh besar. Toh sekian banyak pelaku FC yang punya sakit maag akut-kronis mengikuti pola makan ini dengan baik, dan bisa sembuh total, termasuk mas Erikar sendiri.
2. Baru lanjutkan SARAPAN BUAH 20-30 menit kemudian. Aku biasanya mengawali dengan jus. Karena bersifat cair, jadi mudah serap. Jus kesukaanku Guava, Strawberry-Pisang (Kayak smoothies), Buah Naga, atau Semangka. Lanjutkan dengan buah potong. Makan tiap kali lapar. Biasanya aku bawa sekantung buah ke kantor, misalnya pepaya, melon, apel, pear, pisang, dll. Kurang jelas? Cek di sini.
3. Baru jam 12 (kadang aku cheating jam 11 udah makan hehehe), makan seperti biasa. Tapi ada aturannya.

- Di fase ini, jangan makan buah lagi. 
Karena buah mengandung fruktosa yang bersifat merusak nutrisi makanan lain, jadi biar aman nggak usah makan buah lagi. Cukup di sesi pertama tadi aja. Kalau buahnya beragam dan porsinya cukup, sudah memenuhi kebutuhan harian tubuh kok.
- Karbohidrat tidak boleh dimakan bersama protein hewani. 
Di sekolah dulu belajar kan, apa saja yang masuk karbohidrat, apa yang masuk protein hewani. 
Karbo: Nasi, kentang, jagung, roti, gandum, mie, pasta, dll.
Protein hewani: telur, daging ayam, ikan, daging merah, dll.
Protein nabati: Tahu, tempe, jamur, kacang-kacangan, dll.
Jadi padanannya Karbo + Protein Nabati atau Protein hewani + Protein nabati
MANA ENAAAKKK...
Memang gurihnya protein hewani dan manisnya karbohidrat itu memanjakan indera perasa kita. Wenaaak tenan, tapi di saluran cernanya itu ampun-ampunan. Pernah nggak, abis makan nasi+rendang, atau nasi+ayam goreng, atau Steak+french fries, dll, terus perut terasa kembung, begah, gak enak, sembelit dst. Yaksip. tau kan kenapa? Cek di sini dan juga di sini.
4. Selalu makan sayuran segar dalam tiap kali menu makanan lengkap kita. Contoh selada, timun, kol, wortel, kacang panjang, ya ala-ala lalapan Sunda gitu lah. Sayuran segar berguna banget untuk membantu sistem perncernaan. Ingat, makanan yang minim proses, misalnya pemanasan, pengemasan, dll, semakin sehat untuk tubuh kita.
5. Stop susu, kopi, teh, karena ketiganya tidak baik. Kopi dan teh bersifat diuretik yang menguras cadangan air dalam tubuh kita, sehingga untuk mengembalikan kondisi normal, dibutuhkan 3x lipatnya. Misalnya minum teh 1 cangkir, harus diganti 3 cangkir air putih agar tidak dehidrasi. (kondisi impas, belum termasuk memenuhi kebutuhan hidrasi tubuh). Susu pun begitu. Ketiadaan enzim dalam tubuh kita, membuat laktosa susu sapi tak bisa dicerna tubuh. Coba deh, balita-balita dan anak-anak yang rajin minum susu formula itu, seberapa sering mereka batuk-pilek-panas-diare-alergi? Ketika dihentikan konsumsi susu dan diperbanyak konsumsi ala FC ini, bagaimana kondisi kesehatan mereka? Silakan coba di rumah.
6. Kurangi, bahkan stop gula. Duh, gula itu merusak ya. Yang manis itu yang berbahaya, bahkan termasuk gula untuk penyandang diabet sekalipun. Gula itu makanan prosesan, hilang semua kealamiannya. Yang tersisa hanya makanan yang berpotensi menjadi sampah dan menghabiskan cadangan enzim kita, yang nantinya akan menuntun pada kondisi-kondisi degeneratif.

Ribet ya FC... Itu karena kita belum terbiasa. Kita kan makan untuk sehat. Apa sih yang lebih penting dari sehat?
Serunya di FC itu adalah ketika bisa disiplin 5 hari menjalani FC, ada sabtu-minggu untuk kita "cheating". Makan makanan yang melanggar pola FC. Buat social-eating atau melampiaskan rindu pada makanan sampah. Gapapa kok. Tapi jangan kaget kalau tiba-tiba tubuh bereaksi keras, misalnya diare. Itu normal kok. Itu cara tubuh bereaksi pada "racun". Keren kan, tubuh kita sehat dan bisa memfilter sendiri apa yang baik atau tidak.

Dan bonus favoritku adalah nggak gampang sakit walaupun ada pancaroba seperti apapun. Kalau pun sakit batuk-pilek-demam, asal tetap menjalankan FC, kita bisa sembuh tanpa obat-obatan kimia. Daya tahan tubuh membaik, dan sssttt,... ini pasti disuka para perempuan... bodi keren dan kulit cling!

Jadi, masih mau menomorsekiankan kesehatan?
Untuk info lebih lanjut silakan intip web mas Erikar Lebang di http://www.erykar.com

Selasa, Juni 03, 2014

CATATAN PENDEK TENTANG CERPEN-CERPEN #KuisUltahAnggun

Membaca 29 cerpen yang mengikuti #KuisUltahAnggun, aku jadi teringat masa-masa awal aku menulis cerpen. Sebagian besar cerpen yang masuk di sini ditulis oleh mereka yang sedang semangat-semangatnya belajar menulis cerpen dari dasar. Ada proses trial and error, mencoba menghadirkan ide cerita yang diramu dengan imajinasi dan teknik.

Namun, ada beberapa yang ingin aku sampaikan di sini, sebagai sedikit catatan tentang pengalamanku membaca cerpen-cerpen yang masuk di #KuisUltahAnggun.

1. Tema. Kebanyakan tema percintaan antara sepasang kekasih. Tentu saja, mengingat temanya roman depresi, maka wajarlah jika ini yang akhirnya sering muncul. Namun, aku mengacungkan jempol kepada mereka yang meluangkan waktu untuk menggali dan mengintepretasikan roman depresi dengan sudut pandang yang tak biasa. Ini bisa menjadi nilai plus, yaitu faktor kebaruan.

2. EYD dan tanda baca. Duh, sungguh kalau boleh mengutip kalimat yang diucapkan Bli Fajar Arcana yang juga editor Kompas Minggu, penulis yang baik itu mencintai bahasa, dan salah satu penandanya adalah bagaimana ia memperlakukan kata-kata dalam tulisannya. Ejaan yang benar, yang rapi, dan yang pada tempatnya, sangatlah penting karena akan membuat naskah menjadi ramah dibaca. Jika sejak awal memang sudah tidak ramah dibaca, tentu pembaca takkan segan untuk langsung membuangnya. Tanda baca pun begitu. Layout juga berpengaruh. Saat naskah sudah ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, maka penulis sudah setengah jalan untuk menuntaskan ceritanya.

3. LOGIKA CERITA. Ketika menulis, logika cerita luar biasa penting. Kenapa di dalam cerita ada adegan X, tentu ada sebabnya, ada asal usulnya. Tidak tahu-tahu simsalabim, ujug-ujug begitu saja. Pastikan cerita yang kamu tulis masuk akal, mengikuti alur logika. Bahkan dalam cerita-cerita fantasi sekalipun yang tidak real, tetap saja ada unsur logika yang menjadi benang merah penghubung antar adegan. Kalau penulis mengabaikan faktor ini, pembaca bisa-bisa mengernyitkan dahi dan memilih untuk tidak membaca cerita itu.

4. DINAMIKA CERITA. Plot dan karakter adalah dua faktor terpenting dalam bercerita. Keduanya saling menunjang karena keduanya saling menjalin menggerakkan cerita. Mulai dari konflik - komplikasi (perumitan masalah) - klimaks (puncak cerita) - resolusi (penutup). Ada beberapa yang menceritakannya begitu datar, seakan-akan tak ada cerita di dalamnya. Sayang sekali, padahal premisnya menarik. Andai dieksekusi dengan lebih baik lagi.

5. SHOW, NOT TELL. Jangan menyuapi pembaca. Dengan teknik tell, penulis cenderung mendikte pembaca, menyuapi mereka dengan segala informasi, sehingga tidak ada ruang bagi pembaca untuk berimajinasi. Padahal inilah dasar pembeda utama antara fiksi dan fakta. Imajinasi. Nah dengan teknik show, pembaca akan bisa berimajinasi dengan leluasa. Tidak monoton. Tidak seperti membaca sinopsis atau rangkuman cerita sekadarnya.

Nah, itu sedikit dariku. Memang tidak detail, karena aku ingin para penulis yang ikut #KuisUltahAnggun untuk menganalisa ceritanya sendiri. Pada elemen-elemen manakah ceritanya perlu diperbaiki dan dikembangkan. Aku percaya, setiap orang bisa jadi penulis jika ia terus belajar, tanpa pernah mengenal lelah.

Terus menulis ya!
Salam,
Anggun

PEREMPUAN LIONG

ditulis oleh Putri Widi Saraswati yang memenangkan kontes menulis #KuisUltahAnggun

            Kata Mbok Mi, pernah ada naga di rumahku.
            Aku ingat, hari itu panas terik. Aku berdiri di depan kotak-kotak beras yang dipajang Babah Ahlo di tokonya, menunggu dengan hati jeri sementara Mbok Mi membungkusi kedelai dengan plastik dan karet gelang. Mendadak, aku ingin kencing.
            Mbok Mi, dengan jarit kumal, tangan kasar, dan kejudesannya, sudah selalu membuatku ngeri. Kurasa semua anak tujuh tahun tiga bulan juga akan ngeri padanya. Tapi semua pembicaraan tentang naga ini memperparahnya.
            “Nanti lihat sendiri,” kata Mbok Mi. Ctar. Suara jepretan karet gelangnya membuatku terlonjak. “Tanya ibukmu itu kalau ndak percaya.”
            Tenggorokanku berdeguk. Besok-besok, aku takkan mau lagi kalau disuruh perempuan itu belanja di sini. Sialnya, tiga hari lagi Cap Go Meh. Saat ini perempuan itu sedang sibuk di dapur, dikelilingi bahan makanan dan segunung bumbu dapur. Tak ada lagi yang bisa disuruh-suruhnya selain aku.
Lontong Cap Go Meh bikinan perempuan itu adalah yang paling nikmat sekota raya, dicari pejabat hingga pemadat, dari ujung timur ke ujung barat, baik Tionghoa maupun bukan. Tak ada yang lebih ditunggu warga saat Cap Go Meh selain dua hal: pertunjukan liong dan barongsai, serta lontong yang cuma dijajakan Anggun Sasmita Han setahun sekali.
“Kenapa naga?” cericitku pelan.
Mbok Mi memelototiku, lalu mengangsurkan plastik hitam dengan gerakan menggusah yang selalu dilakukannya padaku.
Maka aku pulang.
***
            Aku takut gelap. Aku takut tidur sendiri. Kurasa, aku takut pada seisi dunia.
            “Jangan tinggal aku,” aku akan berbisik pada perempuan itu. Bisikanku akan menyelip dari celah selimut yang kutarik ke bawah daguku, bertiup melalui celah pintu yang seinci lagi tertutup sempurna, mencari jalan menuju kedua daun telinga putih milik perempuan itu.
            Meski begitu, tetap saja perempuan itu akan menutup pintu. Dan, setelah itu, gelap.
            Kadang, aku akan kencing di celana. Kadang, gigiku akan bergemeletuk tanpa kusuruh. Tapi pada akhirnya, aku akan memejam juga, melayang jatuh ke dalam mimpi-mimpi yang sebagian kuingini dan sebagian tidak.
            Satu dari dua mimpiku adalah tentang perempuan itu.
            Setibaku di rumah, kencingku sudah betul-betul di ujung. Terbirit-birit aku berlari ke kamar mandi agar jangan sampai celanaku basah duluan. Perempuan itu tak suka jika aku mengompol.
            Setelah itu, masih menggenggam erat plastik yang berat, aku mulai mencarinya. Kuintip dapur. Udara berbau bawang putih dan kencur, yang sudah bersih dan siap disangrai bersama kedelai, lalu ditumbuk jadi bubuk koya gurih. Tapi perempuan itu tak ada.
            “Mami…?” suaraku bergaung di dinding-dinding.
            Aku lupa melepas sandal tadi. Jejak-jejak tanah berceceran di lantai dapur. Tapi tetap saja, kuteruskan mengendap-endap menuju ruang tengah.
Sesuatu dalam dadaku mengepak-ngepak. Aku rindu perempuan itu. Aku rindu melihatnya.
            “Mami…? Ini kedelainya….”
            Ruang tengah gelap. Meja makan gelap. Tapi di seberangku, sinar kekuningan mengintip dari bawah pintu tertutup. Pintu kamar perempuan itu.
            Aku melangkah cepat-cepat, siapa tahu ada monster yang lahir di kegelapan ini dan sedang bersembunyi untuk memakanku. Syukurlah, aku sampai di pintu dengan selamat.
            Nah, sekarang…. Mengetuk, atau tidak?
            Ayo, putuskan cepat, Yos! Hati-hati, jangan-jangan ada monster di belakangmu!
            Kuhitung jari kakiku dengan cepat. Ketuk, buka, ketuk, buka….    
            Dengan amat pelan, kuangkat tanganku untuk meraih kenop pintu setinggi pelipisku. Dengan amat pelan, kuputar kenop itu ke kanan.
Amaaaat… pelaaaan… kreeeek….
Di dalam, tirai jendela ditutup dan lampu dimatikan. Cahaya lilinlah yang ruap-ruap. Aku hanya berani membuka pintu selebar dua senti, lalu tanpa sadar berjinjit.
Kulihat perempuan itu. Ia bersimpuh membelakangiku, garis tubuhnya berombak ditimpa api lilin yang bergoyang. Aih. Kurasakan dorongan besar di perutku; sesuatu menyuruhku merangsek masuk dan memeluknya. Tapi kurapatkan tumitku, kuluruskan lututku. Aku bergeming.
Di hadapan perempuan itu, ada sebuah bingkai foto di atas meja. Bingkai itu kosong. Sementara aku mengawasi dengan jantung mengerut, perempuan itu mengangkat selembar foto dengan kedua tangannya. Khidmat sekali, seolah di telapak tangannya ada hidup dan mati, ia memasangkan foto itu pada bingkai.
Lilin meredup. Mungkin terkena angin yang juga menyelinap ke balik singletku. Tapi sebelum cahaya bergeser dan aku jadi rabun, mataku sempat menangkap gambar di dalam foto. Lelaki berbaju kuning, membawa tongkat kayu panjang, dan di atas tongkat ada….
Kedua mataku membelalak.
Naga!
***
            “Lusa… aku boleh pergi kelenteng, Mi?”
            Aku suka Cap Go Meh, Imlek, dan semua perayaan besar lainnya. Ada kelenteng dekat sini. Mereka punya halaman luas sekali, dan jika Cap Go Meh tiba, kau bisa datang ke sana untuk menonton akrobat liong dan barongsai dari sanggar Babah Ahlo, mengagumi lentera warna-warni dan melompat-lompat untuk menyentuhnya, sertamenyaksikan arak-arakan.
            Perempuan itu tak menjawab.
            Aku ingin memohon padanya. Sungguh. Aku tak pernah bisa pergi ke kelenteng, walaupun itu Cap Go Meh, Imlek, atau apa pun. Setiap tanggal-tanggal itu tiba, perempuan itu hanya akan membawaku ke mulut gang, di mana aku bisa melihat secuil keramaian di halaman kelenteng. Setelah itu ia akan mengunciku di rumah dan pergi membuka kiosnya sampai malam.
            Sebagai ganti jawaban, perempuan itu meletakkan piring berisi seporsi lontong di hadapanku. Uapnya mengepul. Lontong-lontong itu dipotong dadu, sisinya kehijauan, dalamnya putih bersih. Di atasnya ada sambal goreng ati ampela, sepotong besar paha ayam opor, sate telur puyuh andalan khas Lontong Cap Go Meh Ci Han, dan taburan bubuk kedelai. Semua itu terendam dalam kuah santan lodeh terong kuning kecokelatan.
            Perempuan itu duduk di sisi lain meja makan. Ia menopang dagunya, menatap lurus ke dinding.
            Perutku berbunyi.
            Aku tahu, aku seharusnya makan. Habiskan, lalu bilang bahwa lontongnya enak sekali, lalu perempuan itu akan menggiringku ke kamar mandi dan meninggalkanku untuk mandi sendiri.
            Aku memandangi sisi wajahnya.
            “Suapin aku, Mi….” bisikku pelan. Perempuan itu menoleh, lalu menatapku. Mata kami bertaut. Hening. Mata kami terus bertaut.
            Kuambil sendokku.
***
            Dingin.
            Kata Engkong, saat ia masih suka memangkuku dulu, Cap Go Meh adalah waktunya bulan baru. Bulan akan hilang dari langit, mogok menyinari bumi pada malam hari. Mungkin karena itu malam ini sangat dingin.
Aku ingin dipeluk. Ingin sekali. Aku bosan hanya dipeluk dalam mimpi.
Perempuan itu tak pernah mau diganggu saat malam Cap Go Meh. Ia akan menutup pintuku lebih cepat, lalu tak kelihatan lagi hingga esok pagi.
Saat menurunkan kakiku ke lantai, aku merinding. Teringat perkataan Mbok Mi tadi siang, saat aku terpaksa kembali lagi untuk membeli gula.
“Hati-hati, ibukmu piara naga,” bisiknya parau. “Awas, nanti kamu dimakan.”
Selain takut gelap, aku juga takut api. Di perut naga, pasti banyak api. Lututku mulai terasa selembek dodol.
Aku mengendap-endap lagi menuju pintu. Mungkin, mungkin malam ini perempuan itu mau membukakan pintu dan memelukku. Mungkin, mungkin besok perempuan itu mau membawaku ikut bersamanya, melihat liong dan barongsai dan festival lentera dan para pendekar silat. Mungkin, mungkin besok sore perempuan itu mau menyuapiku. Mungkin, mungkin sesungguhnya memang tak ada yang namanya naga di dunia ini. Mungkin, mungkin saja, kan?
Kubuka pintu itu, harapan lamat-lamat jadi liat di hatiku.
Aku tertegun. Kamar itu masih hanya diterangi cahaya lilin yang berdansa tanpa musik. Di atas meja, foto lelaki dan naganya masih terpampang, diapit dua lilin merah besar dalam gelas dan beberapa batang hio dengan wangi pekat menggelisahkan.
Di atas kasur, perempuan itu mengesah. Selimutnya bergerak-gerak. Bunyi gemeresak yang aneh menyertainya. Serta merta, aku mematung.
Tapi perempuan itu tak bangun. Suaranya pelan-pelan memudar, dan napasnya kembali teratur. Di atas bantal, rambutnya yang panjang terulur helai demi helai.
Gemetar, kuulurkan jemariku. Samar-samar, sepotong kenangan mengintip di balik kelopak mataku. Tirai rambut hitam yang harum, menggelitik hidungku, pipiku, wajahku. Aku tertawa, membelitkannya di jariku, menciuminya…. Apakah itu aku? Atau anak lain dalam mimpiku?
Kutarik lagi tanganku. Alih-alih, aku duduk di lantai yang dingin, mengamati hela napas yang naik turun.
Satu lengan perempuan itu menjulur di atas selimut. Jemarinya yang berkuku mengilap memegang sehelai robekan kertas koran kekuningan. Huruf-hurufnya begitu kecil. Aku memicingkan mata, mengejanya pelan-pelan sambil menggigit bibir.
“Obi… obitu… obituari….”
Candra Purnama Tan
17 Maret 1980 – 2 Februari 2009
Apiboleh merenggutmu, tapi cinta kami akan selalu membara untukmu.
Yang ditinggalkan:
Istri – Anggun Sasmita Han
Anak – Yosi Wijaya Tan
            Yosi, itu namaku. Anggun, itu nama perempuan itu.
Candra itu siapa?
Ada foto hitam putih di atasnya. Seorang lelaki tersenyum. Lelaki yang sama berfoto di atas meja.
            Di rumahmu, pernah ada naga.
            Dari celah ventilasi, angin menjilat tubuhku. Lilin-lilin bergoyang. Kurasakan diriku bergidik. Mungkin perempuan itu takkan keberatan jika aku ikut masuk ke balik selimut. Ya, kan? Toh, aku belum pernah melakukannya. Aku takkan mengganggunya. Aku cuma ingin hangat, dan ingin di dekatnya. Itu saja. Mungkin dia takkan marah kalau hanya begitu saja.
            Maka kusibak selimut itu, dan kuangkat sebelah lututku untuk naik ke ranjang.
            Tapi lututku melayang di udara.
            Sekejap, aku nyaris menjerit. Tapi lalu kusadari, itu bukan naga betulan. Itu cuma kepala liong berwarna kuning emas. Bukan liong yang gagah pula. Kepala itu tercabik dari badannya. Puntung lehernya menghitam gosong seperti jelaga, begitu pula satu tanduk dan sebagian besar sisi wajahnya.
            Liong jelek. Kenapa perempuan itu tidur bersama liong jelek ini?
            Perlahan, kuturunkan lututku. Kuletakkan kembali ujung selimut itu. Dengan ujung telunjukku, kubelai rambut hitam yang tergerai di depanku. Halus. Sejuk.
            Kurasakan kedua mataku panas seperti pantat setrika.
            Mbok Mi benar. Naga memang betul-betul ada di dunia. Dan naga itu tinggal di rumahku.
            Tapi aku benci naga.
           
           
Catatan Penulis

- 9.992 karakter dengan spasi, tidak termasuk judul dan catatan kaki ini.
- Cap Go Meh: salah satu perayaan keagamaan dan budaya dalam tradisi Tionghoa. Merupakan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek, yang menjadi penutupan perayaan Imlek sekaligus hari pertama bulan baru.
- liong: tiruan naga besar untuk pertunjukan pada arak-arakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Liong berarti naga. Terbuat dari rangka bambu dan kertas, memiliki kepala naga, badan ular, sisik ikan, tanduk rusa, dan taring serigala. Dimainkan oleh beberapa orang yang memiliki keahlian bela diri dengan cara ditopang menggunakan tongkat-tongkat kayu. Melambangkan kebaikan dan kebajikan.
- barongsai: barongan Cina yang biasa dipertunjukkan pada Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Barong dari kata barongan (tradisi lokal Indonesia), sai artinya singa. Terbuat dari rangka bambu dan kertas, dimainkan oleh dua orang yang memiliki keahlian bela diri dan akrobatik. Diberi “makan” oleh penonton berupa angpau, amplop kecil berisi uang.
- lontong Cap Go Meh: makanan khas perayaan Cap Go Meh di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Merupakan makanan peranakan dengan pengaruh budaya Jawa yang kuat. Terdiri dari campuran lontong, sambal goreng ati ampela, lodeh sayuran, sate, opor ayam, ditaburi bubuk kedelai gurih.
- 2 Februari adalah tanggal jatuhnya perayaan Cap Go Meh pada tahun 2009.

Cerpen Pemenang #KuisUltahAnggun

Teng teng teng, sekarang tanggal 3 Juni nih. Sesuai janjiku, aku akan mengumumkan cerpen terbaik yang ikut dalam #KuisUltahAnggun yang dipublikasikan tgl 8 Mei 2014 yang lalu. Kemudian, sesuai deadline, daftar cerpen yang masuk bisa diintip di sini lhooo... Ada namamu nggak?

Sebelum kuberitahu judul cerpen pemenangnya dan siapa penulisnya, biar kubocorkan sedikit kenapa aku memilihnya. Ini nih alasannya:
1. RAPI ~ Ini maksudnya cerpennya ramah dibaca dari segi tampilan fisiknya, yaitu rapi secara layout serta dari segi EYD dan penggunaan tanda baca.
2. MENARIK DAN UTUH ~ Aku suka tema yang dibawakannya. Kemudian karakterisasinya unik dan konsisten. Kemudian yang paling kusuka adalah bagaimana cara si penulis mengaturkan ketegangan bahkan sejak kalimat pertama. Kalimat pertamanya sangat aku suka dan penulisnya pandai membawa emosi pembaca untuk ingin tahu ceritanya lebih lanjut sampai di ending. Kemudian dinamika ceritanya juga mengalir. Menyenangkan sekali membacanya.
3. KONTEN LOKAL ~ Nah, penulisnya juga bisa mengombinasikan cerita dengan konten budaya lokal yang segmented, tapi tetap menarik dibaca bahkan untukku yang tidak mengerti apa-apa tentang budaya tersebut. Good job!

Dan pemenangnya adalah....
*DRUM ROLLS*

SELAMAT untuk PEREMPUAN LIONG karya PUTRI WIDI SARASWATI!
HOREEE!
Kamu berhak atas paket hadiah #KuisUltahAnggun yaitu satu novel #AfterRain, kumcer #KedaiBianglala, dan voucher Gramedia Rp.100rb ... Hasyeeek!
Terus menulis ya Putri Widi, semoga ini pintu pembukamu untuk terus melaju menjadi penulis mumpuni di jagad sastra Indonesia.
Nah yang ingin membaca cerpen ini, silakan klik di link ini ya...

Terima kasih untuk yang sudah mengirimkan cerpen di #KuisUltahAnggun ya. Yang kalian tulis sungguhlah berharga. Aku sangat menghargainya. :*