Dimuat di majalah Good Housekeeping edisi Agustus 2015
Jarang-jarang Ratih nampak gundah. Dua tahun lewat pernikahannya, tak
sekalipun Akhmad, suaminya gagal melengkungkan senyum di wajah bulat telurnya.
Namun, selalu ada satu hari dalam setahun, hatinya mengembang risau. Begitu
pandai awalnya dia menyembunyikan cemarut itu dari raut wajah, sampai-sampai
Akhmad tak menangkap gelagat apa-apa. Hari semakin dekat dengan masa yang ia
cemaskan. Hari meninggalnya sang ibu mertua, karena di hari itulah, Akhmad
mendadak manja tak keruan. Selalu minta dimasakkan Haruan Baubar1. Tak mau makan jika bukan itu menunya.
Ketika tiga tahun lalu, kali pertama Akhmad minta dimasakkan Haruan Baubar, Ratih mengernyitkan dahi.
Kenapa bukan Soto Banjar yang jelas-jelas lebih terkenal sebagai makanan khas
daerah suaminya? Sebagai perempuan Jawa, tentu Ratih tidak fasih dengan
menu-menu itu. Dia masih ingat, tiga bulan pertama pernikahannya, Ratih
memasakkan Soto Banjar nyaris tiap dua kali seminggu. Akhmad tertawa saat tahu
alasannya, semata ingin menyenangkan hati suami di masa bulan madu. Lelaki
jangkung kurus itu membelai rambut Ratih dan berbisik, masaklah apa saja, karena masakan penuh cinta selalu memuaskan selera.
Mendengar itu, berjam-jam tak pudar pipi bulat Ratih memerah persis tomat buah,
tersipu karenanya.
Kembali ke Haruan Baubar tadi,
Akhmad tadinya enggan menjelaskan. Matanya dilemparkan ke sudut bertentangan
dari tatap teduh Ratih. Namun, Ratih perempuan liat, giat mencari jawaban
menuntaskan penasarannya. Akhmad akhirnya bercerita dan hati Ratih langsung
tergerus saat menyimaknya.
Uma2, begitu Akhmad
memanggil ibunya, dulu susah sekali hamil. Maka saat Akhmad lahir, sukacita itu
tumpah ruah di dada uma dan
memanjakan Akhmad tak kira-kira. Akhmad kecil susah makan, sama susahnya dengan
rupiah yang tersemat di dompet uma.
Sebagai buruh cuci, tak seberapalah uang yang bisa mereka genggam setiap bulan.
Bapaknya sopir ekspedisi, lebih sering singgah lalu berangkat tugas kembali,
sampai-sampai ingatan Akhmad tentang bapak melamur.
Mata Akhmad menerawang saat ceritanya henti sejenak. Ratih mengusap
punggung suaminya. Akhmad pun melanjutkan, sembari menyemburkan bulat asap
rokoknya ke sisi berlawanan wajah istrinya. Suatu hari, seperti biasa Akhmad
kecil bertingkah tak mau makan. Tentu uma
bingung tak kepalang, berusaha membujuk agar anak tunggalnya mau makan barang
sesuap saja. Tak lama tercium aroma gurih iwak
baubar3 dari jendela tetangga.
“Biar kutebak, kau minta ibumu memasak iwak baubar?” tanya Ratih dengan bola mata membulat.
“Aku bilanglah pada uma,
masakkan Haruan Baubar, ulun4 janji akan habiskan dua
piring lah.”
“Ah, ibumu pasti bersemangat.”
“Padahal waktu itu badan uma
meriang karena sehari sebelumnya kelelahan membantu di pernikahan saudara.”
“Tapi ibumu tetap berangkat ke pasar?”
“Iya. Padahal hari hujan. Petir menyambar rasanya nyaris membakar
ubun-ubun. Tapi tetaplah uma
berangkat.”
“Lalu?”
“Aku yakin di kepala uma sudah
merancang akan juga memasak Terong Baparung5 dan sambal acan6.
Sepertinya aku di rumah juga membayangkan hal yang sama. Manalah aku tahu kalau ternyata uma tak pulang-pulang lagi.”
Ratih menghela napas. Ia tahu cerita
selanjutnya. Tentang mertua perempuan yang tak pernah ia temui karena
kecelakaan. Pick-up sayur penuh
muatan tergelincir di jalan kampung yang licin, memelantingkan tubuh ibu
Akhmad. Napasnya terpenggal tepat saat raganya mendarat di tanah becek. Ikan
yang dibelinya ikut tergeletak di sana-sini, tak menemukan jalan tiba di piring
Akhmad untuk disantap.
“Kalau aku tidak memaksa uma memasak Haruan Baubar, mungkinkah...,”
Akhmad mematikan bara di batang rokok. “Sejak itu, di hari kematian uma, aku selalu mengingat cintanya
dengan memakan Haruan Baubar.”
Mana bisa Ratih menolak memasakkannya menu
itu, melihat duka yang melayang-layang di mata suaminya. Lagipula, apa susahnya
sekadar memasak ikan bakar. Jika menu serumit Soto Banjar saja ia menuai
pujian, tentu Haruan Baubar bukanlah
masalah besar.
***
Ratih salah. Ada
hal-hal yang luput dari perhitungannya. Memang mudah sekadar memanggang ikan
dan menghidangkannya di atas meja. Yang sukar justru memuaskan dahaga Akhmad
akan kenangan ibunya.
Tahun pertama Ratih memasakkan Haruan
Baubar, kalau tidak salah di bulan kelima pernikahan mereka, Akhmad nyaris
dibuatnya muntah. Haruan yang cokelat
kehitaman itu hanya disentuh suaminya secuil saja.
“Tidak enaklah,” begitu
ujarnya.
Ratih mengernyitkan dahi, mengingat-ingat di bagian manakah ia salah
meracik bumbunya. Bawang putih, asam, dan garam, cuma itu yang ia perlukan
sebelum memanggang iwak tersebut.
Ketika Ratih mencicipinya, dengan nasi mengepul hangat dan secolek sambal,
rasanya tak ada yang aneh, walau tak bisa dibilang wah juga.
Seharian itu Akhmad tak mau menyuapkan apapun ke mulutnya. Hanya rokok
dan air putih yang sudi ia kecap. Lelaki itu duduk di depan rumah. Matanya
menatap ke langit, mungkin sedang meminta izin pada Tuhan, untuk diredakan
gulana di dadanya. Atau sekadar menikmati rindu yang menggulung-gulung siap
pecah di ujung mata. Namun, Akhmad pantang menangis. Baginya menangis pekerjaan
perempuan. Lelaki cukup diam dan meredam kecamuknya bersama puntung-puntung
tembakau yang bergelimpangan.
Tahun kedua, sesuai permintaan Akhmad, Ratih memasakkan Haruan Baubar lagi. Kali ini ia tak
hendak main-main. Ia memilih iwak
terbaik. Walau bumbu rendamnya sama, kali ini Ratih juga menyertakan cacapan asam7 sebagai
pendamping menyantap Haruan Baubar.
Akhmad masih menggeleng, walau tak sampai mual seperti tahun lalu. Ratih
tak sabar lalu bertanya tentang rasanya.
“Ada yang
kurang,” jawab Akhmad.
“Apanya?”
“Entahlah. Tidak bisa kujelaskan.”
“Terlalu asin? Pahit karena terlalu gosong?” Ratih makin tak sabar.
“Bilang padaku.”
“Sudahlah. Kenyang.”
Hanya dua suap yang bisa lelaki itu habiskan. Lagi-lagi ia menyendiri di
beranda rumah. Merokok dan minum air putih, sampai larut sekali. Selepas tengah
malam, barulah ia masuk ke rumah dan memeluk Ratih dari belakang. Pulas sekali
tidurnya sampai-sampai subuh tiba, membuat Ratih terkunci di rengkuhannya.
Seberapa dalam suaminya tenggelam dalam duka kehilangan ibunya, batin Ratih
mengusap dahi Akhmad lalu mengecupnya beberapa kali. Lelaki itu menggeliat,
sehingga Ratih bisa beranjak dari tempat tidur, menyambut azan dari arah
seberang.
***
Maka tahun ini, Ratih benar-benar enggan. Ia tak mau memasakkan Haruan Baubar lagi. Semalam sebelum hari
meninggal mertuanya itu, Ratih duduk tegak di depan suaminya. Nadanya
dipertegas, seakan Akhmad harus tahu bahwa ia tak main-main.
“Kenapakah begitu?” tanya
Akhmad dengan nada tak kalah tegas. Sejenak Ratih gentar. Namun, tangannya
mengepal lebih kuat mempertegas niatnya.
“Aku memasakkanmu Haruan Baubar dua
kali, dan dua-duanya tak kau makan. Mubazir. Setiap tahun, aku harus
memberikannya ke tetangga kanan-kiri karena kau tak sudi menghabiskannya.”
“Rasanya kurang. Tidak seperti masakan uma.”
Ratih terdiam.
“Kalau uma yang masak, entah
kenapa, rasanya nikmat sekali.”
“Tapi aku bukan ibumu. Aku istrimu. Tentu saja berbeda.” Ratih bangkit
dari duduknya. Siapa yang tidak kesal diperbandingkan. Apa Akhmad tidak tahu,
wanita itu pada dasarnya pencemburu. “Aku sudah berusaha memasak sebaik
mungkin, seenak mungkin. Tapi kurasa juru masak selihai apapun takkan memuaskanmu,
karena sebenarnya bukan perutmu yang lapar, tapi hatimu. Lapar akan rasa
bersalahmu sendiri.”
Akhmad menatap lekat istrinya. Tak sekalipun Ratih pernah berkata keras
sepanjang usia pernikahan mereka.
“Ratih, semalam aku bermimpi. Uma
datang membawa sepiring iwak baubar. Haruan Baubar, komplit dengan nasi, cacapan asam, terong baparung, dan
sambal. Yang aneh, uma tidak mau
menyuapiku seperti ketika aku kecil dulu. Uma
cuma berdiri, tersenyum, lalu membalikkan badan membawa piringnya pergi,”
Akhmad menatap kosong ke arah langit-langit. “Menurutmu, pertanda apakah itu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Ratih setelah berpikir sejenak.
“Apa menurutmu uma masih marah
padaku?”
“Kenapa kau selalu berpikir begitu? Sungguh, aku tidak tahu jawabannya.
Yang pasti, aku tidak akan memasakkanmu Haruan
baubar.”
Ia pun ikut bangkit. “Baiklah. Biar besok aku saja yang masak Haruan Baubar itu.”
Ratih tercenung mendengarnya.
Dengan cepat, Akhmad berbalik badan meninggalkan rumah. Ratih belum sanggup
menyurutkan kesal di dada, setengah melampiaskannya pada punggung Akhmad yang
menjauh, “jangan lupa sekalian panggang juga hatimu yang penuh rasa bersalah
itu.”
Tak ada yang tahu, bagaimana raut wajah suaminya selepas Ratih
mengucapkan kalimat itu.
***
Kini ganti Ratih yang duduk gelisah di beranda rumah. Beberapa kali ia
memanjangkan leher menatap ke ujung jalan, kalau-kalau sosok jangkung suaminya
tertangkap mata. Akhmad pasti akan kerepotan membawa belanjaan di satu tangan
dengan payung di tangan lainnya.
Sudah beberapa jam hujan tak putus-putus mencurah dari langit yang
gelapnya bukan kepalang. Guntur
dan kilat saling berkejaran, seakan berlomba mana yang lebih ampuh menciutkan
hati manusia untuk keluar dari rumah.
Sejak pagi, Akhmad belum kembali. Ia pergi ke pasar selepas azan subuh.
Sekarang lewat beberapa jam, Ratih masih sendiri di rumah. Sedari tadi ia
menyesal, kenapa ia membiarkan suaminya pergi sendiri. Apakah Akhmad kehujanan?
Ataukah tengah berteduh di pinggir jalan menanti langit kembali cerah, sebelum
melanjutkan langkah menuju rumah? Atau jangan-jangan, persis seperti mertuanya
bertahun-tahun silam, ada truk muatan sayur yang menghantam telak suaminya?
Jantung Ratih nyaris ikut berhenti berdegup membayangkannya.
Tak seharusnya ia cemburu pada ibu mertuanya. Ia tak mengalami duka itu
sebagaimana Akhmad menjalaninya. Di usia semuda itu, belum genap sepuluh tahun,
Akhmad menyuburkan rasa bersalah di dada, merasa bahwa kepergian ibunya adalah
murni salahnya.
Ratih mempererat genggaman di sisi tubuhnya. Tapi siapa juga yang rela
diperbandingkan dengan mertua sendiri? Memang tidak ada yang mengalahkan cinta
ibu dan anak. Namun, cinta suami dan istri tentulah beda bentuknya. Memintanya
memasakkan haruan baubar persis
sebagaimana cara ibunya dulu, rasanya Ratih sedang dituntut menjadi sosok yang
bukan dirinya sendiri. Menjelma jadi ibu untuk lelakinya. Cemburu merambat naik
melewati tengkuk Ratih, membuat kepalanya berdenyut-denyut.
Hujan menderas, tak menyisakan celah di antara rintiknya. Ratih
membulatkan tekad. Ia harus menyusul Akhmad. Tak hendak ia dikubur rasa
bersalah, persis yang membenamkan hati suaminya bertahun-tahun.
Ratih mengembangkan payung paling kuat dan lebar yang mereka punya, lalu
membawa satu lagi, kalau-kalau Akhmad masih marah padanya dan tak mau berbagi
payung. Setiap kakinya melangkah, ia mengucap doa, semoga Akhmad tengah
berteduh tak kurang suatu apapun. Duh
Gusti, Ratih tak sanggup membayangkan gambaran jahat yang tanpa permisi
melintas. Akhmad tersungkur di tanah becek, dengan iwak haruan mengelilinginya. Persis ibunya dulu.
Rinai air mulai menipis saat Ratih meninggalkan jalan setapak kampung
menuju jalan besar. Tak lama, ia nyaris terlonjak kegirangan saat melihat sosok
jangkung berdiri merapatkan tubuh di sebuah pos jaga ronda yang atapnya mulai
lapuk. Ratih berlari cepat menghampiri suaminya, yang menyambutnya dengan binar
yang tak kalah gemilangnya.
“Kau kebasahan?” tanya Ratih.
Akhmad menggeleng. Bibirnya biru. Biru yang hampir sama bila Ratih hendak
mengingat bayangan suaminya yang tumbang dihantam truk sayur.
“Ayo pulang. Cepat-cepatlah kita masak iwak itu.”
“Ulun tidak beli iwak haruan,” ujar Akhmad tersenyum.
“Sepanjang jalan, aku berpikir apa maksud mimpi uma. Mungkin uma menyuruhku
berhenti makan iwak baubar dengan
perasaan sedih seperti itu.”
“Lalu, hari ini mau masak apa?”
“Aku mendadak ingin menyantap soto
banjar bikinanmu lah,” ujar
Akhmad, “kurasa cuaca seperti ini memang lebih cocok menyantap makanan berkuah
yang hangat.”
Ratih terperanjat lalu cepat-cepat melihat ke arah kantung di tangan
suaminya. Segala bahan untuk memasak Soto Banjar ada di tentengan suaminya.
“Tapi...,”
“Aku pernah bilangkah, Ratih,”
ujar Akhmad setengah berbisik tepat di telinga istrinya, “soto banjar bikinanmu lebih enak dari yang dimasak uma?”
Begitulah Akhmad yang tak pernah gagal melengkungkan senyum di wajah
bulat telur Ratih. Selepas itu, selama beberapa jam, sipu merah yang membulat
di pipi wanita itu tak kunjung memudar.
***
Notes:
1 Haruan Baubar: ikan bakar,
sejenis ikan gabus, khas Banjar yang dibakar (di-ubar) di atas bara api yang berasal
dari tempurung kelapa.
2 uma :
sebutan ibu untuk orang banjar hulu
3 iwak baubar : ikan
bakar
4 ulun : aku, saya
5 Terong
baparung: terong yang bakar di atas
bara api dengan santan kelapa
6 Sambal Acan : Sambal terasi
7 Cacapan
asam : semacam side dish untuk menikmati iwak
baubar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar