Powered By Blogger

Senin, Juni 06, 2011

Sabtu Bersejarah

SEMUA TERJADI DI HARI SABTU,…

Pukul setengah tujuh kurang sedikit

Sasa merasakan ada sesuatu yang salah pada dirinya. Kepalanya agak pening. Perutnya terasa sakit, walau cuma agak sedikit. Yang paling mengganggunya adalah moodnya yang tiba-tiba bete, padahal tidak ada yang salah dengan hari ini. Sasa sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Sebuah lengan merangkul pundaknya. Farah mengedipkan sebelah matanya. Sasa cuma tersenyum. Sahabatnya ini selalu saja membuat kejutan.

“Rambutmu wangi banget, Far. Abis creambath, ya?” tanya Sasa.

Farah menyibakkan rambutnya yang agak mengombak itu. “Iya,sekalian nemenin mama.”

Sasa ternyum lagi.

“Kapan-kapan kamu ikut yuk, kita creambath bareng mama. Asyik lho,”

“Farah enak, ya? Semuanya masih diurusin mama. Beda banget sama aku. Papa mana ada waktu untuk hal semacam itu,”

“Iiih, kok ngomong gitu. Jangan sedih, dong. Kan mamaku mama kamu juga. Nanti siang ke rumahku,yuk. Mama lagi eksperimen resep baru. Udang Pedas Saus Tiram Spesial. Hmmm,”

“Boleh, boleh,”

Brakk! Bahu Sasa membentur bahu seseorang. Wajah Sasa memerah saat melihat cowok yang menabraknya minta maaf dan berlalu pergi

“Cieee, yang lagi puber.” sindir Farah. “eheemmm,…”

“Ah, biasa aja. Siapa sih yang gugup ditabrak sama cowok sekeren Rico,”

“Udah, deketin aja. Ntar nyesel lho kalo nggak kenalan. Tahun depan dia mau masuk SMU , kan?”

“Tapi mana mau dia kenalan sama anak kelas satu seperti kita ini. dia populer di mana-mana. Ketua ekskul band yang ditaksir banyak cewek. Ngga berani, ah!”

“Payah!”

Sasa merasakan perutnya agak melilit. Dipaksakannya pula untuk tersenyum. Dan rok biru mereka melambai-lambai rendah tertiup angin pagi yang sejuk.

Pukul setengah delapan

Perut Sasa semakin terasa dipilin. Dari tadi ia menahan sakit sampai keringat dingin mengalir sebutir demi sebutir.

“Ah, kenapa soal biologi ini jadi terasa susah?” ujar Sasa sambil menatap kertas ulangan.

Farah melihat sahabtnya dengan cemas.

Pukul delapan lebih tujuh belas

Sasa seperti orang paranoid. Jantungnya derdetak kencang. Kepalanya berdenyut-denyut walau pelan. Ia meraba perutnya. Tidak ditemukan satu utaspun tali tambang di sana. tapi kenapa perutnya semakin terasa kencang dan melilit.

Bolak-balik ia menyeka keringat. Huh hah huh hah.tarikan napasnya itu tidak berhasik menormalkan degup jantungnya.

“Apa yang terjadi padaku?” pertanyaan itu sejak tadi hilir mudik di kepalanya.

“Kamu kenapa?”

Sasa cuma menggeleng. Farah makin cemas.

Pukul sepuluh kurang sepuluh

Sasa semakin senewen melihat jarum jam yang terasa lambat sekali. Detik yang berdetik seakan mengejeknya dengan sara melambatkan langkahnya. Ia makin gelisah. Perutnya makin terasa sakit. gadis itu bersumpah, begitu bel berbunyi, ia akan langsung melesat ke ruang PMR untuk mencari obat.

Waktunya istirahat

Ia bangkit dari kursinya dan setengah berlari ia meninggalkan Farah yang masih membereskan buku. Farah cuma terbengong-bengong.

Lima menit menjelang bel masuk

Sasa merasakan darahnya mengalir begitu cepat melintasi setiap inci pembuluh darahnya. Panas menyelimuti wajahnya. Sepasang mata sengaja dibuka lebar-lebar untuk memastikan apa yang dilihatnya itu. Jantungnya semakin berdetak kencang.

Apa yang dilakukan Farah di sana? Untuk apa ia berbicara akrab dengan Rico di depan perpustakaan tanpa mengajakku? Kenapa ia tidak bilang kalau ia kenal dengan Rico? Apa-apaan ini? Jadi,…

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sasa kesal. Dihentakkannya kaki keras-keras di lantai sebelum ia berlari menuju kelasnya. Kesal. Sebal. Marah. Semua itu ditujukan untuk Farah.

Kriiiing,… bel masuk berbunyi

“Sa, kamu kenapa sih? Dari tadi tingkahmu aneh. Kamu sakit? Atau ada masalah?” tanya Farah tiba-tiba mengejutkannya.

Sasa tidak menjawab.

“Kok ngga dijawab sih?”

“Kamu tadi kenalan sama Rico ya?” tanya Sasa dengan nada tinggi. Dipasangnya tampang sebal. “Kok kenalannya ngga ajak-ajak aku sih?”

“Ituuu,…”

“Aku sebel sama kamu, Far. Kalau kamu emang temenku, buat apa kamu kenalan sama Rico di belakangku kayak gini. Keseeell!! Apa kamu juga suka dia?”

“Sa?”

“Ah, ngeselin!” Sasa menggebrak meja. Hampir seisi kelas melihatnya. Farah cuma terheran-heran melihat sahabatnya.

Sasa sendiri juga heran. Kenapa ia jadi seemosi ini. terhadap Farah pula. Aduuuuh, Sasa makin tersiksa dengan sakit perutnya sampai setetes air mata menggantung di ujung pelupuk matanya.

Hampir pukul setengah dua belas

Sasa sekarang duduk di sebelah Titin yang memang tidak punya teman sebangku. Dibiarkannya Farah duduk sendiri. Diam-diam ia memperhatikan sahabatnya itu. Farah memang manis. Kulitnya kuning tampak serasi dengan rambut ombaknya yang rapi terurai ke belakang. Alisnya tebal dan rapi. Kalau tersenyum, sepasang lesung pipi menghiasi wajahnya.

Farah lebih manis dariku, pikir Sasa. tiba-tiba ia merasa minder. Semakin ia memperhatikan Farah, semakin ia merasa bahwa dirinya bukan apa-apa. Mungkin Rico lebih pantas dengan Farah daripada dengan aku, batin Sasa. Apa jadinya kalau Farah ternyata juga suka kepada Rico? Akapah kami akan bersaing. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sasa melamun tanpa memikirkan kembali sakit perutnya.

Kriiiing, waktunya pulang sekolah

Farah menghampiri Sasa yang sedang membereskan buku-bukunya. Dipasangnya wajah menyesal. Sasa hanya meliriknya sekilas.

“Sa, kamu marah sama aku, ya?” tanya Farah lirih.

Sasa diam.

“Aku mau minta maaf. Aku ngga punya niat apa-apa kok waktu kenalan sama Rico. Itu demi kamu juga,”

Sasa tetap diam.

“Sa, kok kamu diam aja sih?”

“Bodo!” Sasa langsung bangkit dari kursinya dan berjalan membelakangi Farah tanpa berkata apa-apa lagi.

Farah melotot. “Sa!”

“Saa!”

Ia menengok sebentar.

“Sasaaa!!” Farah langsung menarik tangan Sasa dan berbisik di telinganya.

“Kamu lagi dapet, ya?”

“Dapet apa?” tanya Sasa mengerutkan dahi.

“Lagi datang bulan, ya? Rok kamu tuh!”

Refleks Sasa menengok ke roknya di bagian belakang. Kakinya hampir lemas saat melihat noda merah tercetak di atas rok birunya. Sebuah noda yang besar. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit dan melilit.

Farah meraih tasnya dengan cepat lalu berjalan tepat di belakang Sasa, “Ayo ke kamar mandi dulu,”

Sasa cuma menurut saja.

Sepuluh menit kemudian

“Jadi ini haid pertama kamu, Sa?” tanya Farah.

Sasa cuma mengangguk. Ia melihat roknya yang dicuci seadanya dan memasukkannya ke dalam tas plastik.

“Untungsaja aku tadi bawa pembalut dan rok cadangan. Hampir saja,” ujar Farah lagi. “Kebetulan sekitar tiga hari ini mungkin aku juga mau dapet. Jadi mama sudah siapin semuanya di tas,”

“Farah beruntung masih punya mama yang mengurusi semuanya. Coba kalau seperti aku. Mamaku kan sudah lama meninggal. Cuma ada papa dan mas Bimo di rumah. Wajar lah kalau hal-hal seperti ini aku tidak mengerti,”

“Pantas saja tadi tadi kamu kelihatan aneh. Pasti lagi bete ya? Aku juga sering begitu kalau pas hari-hari pertama dapet, suka bete sendiri. Bawaannya kepingin marah melulu,”

“Apa sakit perutnya juga wajar, Far?”

“Namanya juga haid pertama. Wajar kok. Mendingan nanti kamu nanya aja ama mama. Kamu jadi kan makan siang di rumahku?”

Sasa mengangguk beberapa kali. Ia merasakan pembalut yang baru dipakainya pertama kali itu membuatnya agak aneh. Untung saja ukuran pinggang Farah sama dengan ukuran pinggangnya. Diam-diam ia melirik ke arah Farah. Farah baik sekali. Ia merasa bersalah telah bersikap kasar kepada sahabatnya sejak TK itu.

“Sa, masalah Rico yang tadi itu,…”

Sasa langsung menegakkan telinganya seperti kucing. Ia menarik napas panjang dan mengatur emosinya. Farah juga tampak sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk Sasa.

“Aku bukannya suka sama Rico, tapi,…”

“Tapi apa?”

“Eeh, kalian belum pulang?”

Sapaan itu membuyarkan semua pembicaraan. Rico mencegat mereka. Pipi Sasa langsung merona menjadi merah jambu. Ditatapnya lekat sosok di hadapannya itu. Tinggi, kulitnya cokelat, dan senyumnya manis sekali.

“Rico,… kenalin ini Sasa yang tadi aku ceritain itu,” ujar Farah tiba-tiba.

Sasa hampir melompat mendengarnya. Tapi tangannya menyambut uluran tangan Rico. Sasa merasa tangannya mungil sekali tergenggam telapak tangan Rico yang kokoh. Jantungnya terasa menggedor-gedor dada dan hampir menerobos keluar. Sasa benar-benar speechless.

“Kamu cerita apa ke Rico, Far?”

“Kebetulan Rico sedang mencari vokalis baru untuk bandnya.Jadi aku promosikan kamu,”

“Iya. Aku jadi penasaran sama kamu, Sa. Tadi waktu ketemu Farah di depan perpustakaan dia cerita kalau kamu sering menang lomba nyanyi. Berarti suara kamu bagus, kan?”

Jadi begitu,…? batin Sasa.

“Besok Minggu bisa datang ke ruang band sekolah buat audisi, Sa? Jam sembilan pagi ya? Jangan telat, lho!”

Suara Rico terasa meresap di setiap pori-pori tubuhnya. Spontan saja Sasa mengangguk beberapa kali.

“Kalau begitu aku pulang dulu ya?” ujar Rico. “Daaah!”

“Dadaaah!” sambut Sasa dan Farah berbarengan.

Sasa mengamati sosok Rico yang berjalan menuju pintu keluar. Jantungnya masih berlompatan kegirangan, begitu pula dirinya.

“Makasih ya, Far!” Sasa memeluk sahabatnya kegirangan.

Sabtu bersejarah. Sasa merasa hari ini indah sekali. []

Tangerang, 28 September 2002

Muat Majalah Kawanku no. 28/XXXII tgl. 6-12 Januari 2003

Jeruk Untuk Mereka

Matahari bersinar cukup terik pagi ini. Tugu jam yang berdiri di tengah alun-alun menunjukkan pukul setengah sebelas lebih sedikit. Mang Sadi mengusap peluh dari balik topi rotan lusuhnya. Handuk yang tergantung di pundaknya telah bolak balik menyeka setiap butir keringat yang meluncur melewati kulitnya yang gelap.

Sudah tidak terhitung berapa mobil yang berseliweran di hadapan Mang Sadi. Namun, tak satupun yang menyempatkan waktu untuk membeli dagangannya. Dua keranjang besar yang penuh berisi Jeruk Pontianak belum tersentuh satu pembelipun.

Mang Sadi menghela napas berat. Sebenarnya hari ini tidak terlalu panas. Badannya saja yang agak kurang sehat. Rasanya ingin sekali ia pulang untuk beristirahat sekedarnya. Tapi dagangannya masih banyak yang belum laku.

Saat mobil sedan itu melambat, matanya mulai terang. Apalagi begitu menyadari mobil itu berhenti tepat di depannya. Mang Sadi merasakan darahnya bergejolak. Ia bersemangat.

“Ma, adek pingin jeruk!” seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun melongok dari kaca mobil yang terbuka. Tangannya menunjuk-nunjuk jeruk-jeruk Mang Sadi. Jeruk yang bulat-bulat, kulitnya mengkilap berwarna oranye, dan wanginya yang khas menggoda hidung.

“Ayo coba dek, jeruknya manis-manis lho.” tawar Mang Sadi. “Murah lagi,”

“Hussh! Adek apa-apaan sih?”

Senyum Mang Sadi menguncup. Seorang wanita setengah baya memasang wajah galak pada Mang Sadi. Matanya dihiasi alis yang dilukis tinggi dan bibirnya dipulas warna merah tua. Rambutnya disasak mengembang. Mang Sadi bisa mencium parfum yang wanginya menyengat.

“Adek pingin jeruk itu. Beli ya ma,” bujuk anak itu.

“Nanti mama beliin jeruk yang di supermarket aja ya. Jeruknya lebih manis dan lebih gede. Jeruk sunkis lebih seger lho dek,”

“Tapi jeruk saya ngga kalah seger, bu. Manis-manis lagi,” Mang Sadi menyahut.

“Saya ngga percaya sama tukang-tukang jualan yang di pinggir trotoar begini. Banyak bo’ongnya. Mendingan saya beli di supermarket. Lebih bagus kualitasnya,”

“Tapi adek pingin jeruk, ma. Adek pingin jeruk,” rengeknya makin menjadi-jadi.

“Iya iya, mama beliin. Pak sopir, kita langsung ke supermarket ya!”ujarnya sembari menutup kaca mobilnya yang gelap.

Mang Sadi ingin sekali mengutuk ibu yang sombong tadi. Dari dandanannya, Mang Sadi tahu dia orang berada. Boleh saja ia tidak membeli jeruk-jeruknya, tapi bukan berarti wanita itu boleh mencerca Mang Sadi sembarangan. Ia menatap jeruk-jeruknya. Mereka masih saja tergolek segar di sana tanpa mengeluh sedikitpun.

Matahari makin bersinar terik. Kepala Mang Sadi mulai berdenyut-denyut. Tubuhnya agak meriang. Mungkin debu-debu dan asap kendaraan bermotor yang ia hirup tiap hari ssebagai hasil kerjanya berjualan jeruk di trotoar mulai menunjukkan pengaruhnya. Setiap pagi Mang Sadi suka berpikir. Mengapa orang-orang kaya begitu jahat. Mereka hanya memberinya asap-asap mobil yang kotor, padahal ia tidak pernah memberikan hal buruk pada mereka.

Bapak sih tidak beternak ayam di kampung. Daripada keliling kota jualan jeruk, ngga menjanjikan, bergitulah ocehan Idah, istrinya. Pasti Idah akan meracau tentang nasibburuknya dan mulai menyalahkanku karena tidak bisa memberikan hidup yang lebih baik, batinnya menjawab miris.

Ingin rasanya Mang Sadi pulang. Ia masih kuat memikul dua keranjang besar yang penuh berisi jeruk. Tapi Idah pasti akan ngambek bila ia pulang tidak membawa uang. Semalaman ia pasti akan memasang wajah masam. Bahkan akan mulai mengomelinya. Tapi ada yang masih Mang Sadi syukuri. Idah selalu saja setia mendampinginya dalam kondisi apapun, walau keadaan ekonominya yang tidak pernah bisa diperkirakan.

Mang Sadi pun bertekad pulang lebih awal hari ini. Badannya terlalu lelah. Rasanya tulangnya akan rontok dalam hitungan detik bila ia tidak segera beristirahat. Dengan sisa kekuatannya dan kepalanya yang masih berdenyut-denyut, ia memikul dagangannya pulang.

Panas. Jakarta panas. Peluh Mang Sadi makin membasahi tubuhnya.

Ada pemandangan menarik sepasang matanya yang sayu. Di halaman sebuah kantor penerbitan, ada orang-orang berkerumun dan berkumpul. Ada yang berdiri di atas kotak kayu dan berbicara lantang ke arah teman-temannya. Lalu teman-temannya menyambut dengan mengelu-elukan sesuatu. Ada yang membawa karton, ada yang membawa spanduk, atau cuma sekedar berteriak sambil mengacung-acungkan tangannya. Mang Sadi jadi teringat demo-demo yang sering ditayangkan di tivi.

“Pak, ada demo ya?” tanya Mang Sadi kepada seseorang yang berjalan di sebelahnya.

“Iya, demo karyawan PT Percetakan Express. Mereka demo dari kemarin pak,”

“Buat apa mereka demo?”

“Menuntut pengunduran diri bosnya. Katanya sih bosnya itu dipilih karena KKN, apalagi orangnya diktator. Mungkin mereka tidak betah,”

Mang Sadi memperhatikan para pendemo itu. Seumur hidupnya ia tidak pernah berdemo. Seperti apa ya rasanya berdemo. Berdiri di tengah tempat lapang di bawah sengatan matahri sambil berteriak-teriak menuntut banyak hal. apakah tidak capek? Apakah tidak haus? Apa tidak kepanasan? Mang Sadi yang setiap hari bekerja di bawah matahari saja masih suka kalah tempur karena kepanasan.

Dua orang yang baru saja lewat menarik perhatian Mang Sadi. merka memakai pakaian yang sama dengan para pendemo itu. Mereka sibuk membicarakan sesuatu agak keras, sampai-sampai Mang Sadi bisa ikut mendengarkan.

“Aduh, bagaimana lagi? Kasihan teman-teman kalau terus-terusan berdemo. Hari ini terlalu panas. Aku takut banyak yang pingsan nanti,” ujar laki-laki yang bertubuh tinggi gempal.

“Habis bagaiman? Apa mau beli minum? Uang dari mana?” tanya temannya yang berkumis tipis dan badannya agak bungkuk.

“Dasar bos gendut. Punya hati nurani ngga sih,” umpat orang pertama. “Kita sudah susah payah berdemo sampai hampir pingsan, masa dia masih ngga tahu diri.”

Mang Sadi tercenung. Ia semakin penasaran bagaimana rasanya berdemo di bawah matahari yang hari ini sangat garang. Mang Sadi melihat mereka kelelahan, kepanasan, dan seperti hilang semangat. Ia tahu rasanya bertempur di bawah matahari. Tiba-tiba terbersit keinginannya untuk membantu ala kadarnya.

“Anu,…” Mang Sadi menghampiri kedua orang itu. “Boleh saya membantu?”

“Bapak siapa?” tanya laki-laki pertama.

“Saya penjual jeruk. Kebetulan hari ini jeruk saya masih belum terjual sama sekali. Bagaimana kalau semua jeruk saya untuk mereka? Jeruk saya manis-manis dan bikin segar tenggorokan,” ujarnya sambil menunjukkan kedua keranjangnya.

Pria yang kedua makin heran, “Apa bapak tidak rugi?”

Mang Sadi terdiam. Di benaknya terbayang Idah yang akan ngambek saat ia pulang tanpa membawa hasil. Apalagi ditambah jeruknya telah diamalkan untuk para pendemo. Namun, jeruk-jeruk ini akan membusuk bila tidak segera dimakan. Apalagi mereka nampak sangat membutuhkan jeruk ini.

“Ah, tidak apa-apa. namanya juga amal,” Mang Sadi membulatkan tekadnya. Ia tidak tega membiarkan orang-orang itu setengah terkapar.

“Yakin pak?” tanya mereka berbarengan diikuti anggukan mantap Mang Sadi.

Dengan sigap mereka bertiga menggotong keranjang besar jeruk itu ke arah kerumunan massa. Mang Sadi bisa menangkap sinar mata yang cerah dari para pendemo itu. Satu orang bisa mendapatkan sampai tiga jeruk sekaligus. Mereka tersenyum tidak percaya. Kedua lelaki menunjuk ke arah Mang Sadi dan mengelukan kebesaran hati Mang Sadi. para pendemo tersenyum dan tertawa. Mereka menepuk pundak Mang Sadi sebagai tanda bangga dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Rasanya Mang Sadi ingin menangis. Ia merasa seperti seorang pahlawan yang telah menyelamatkan hidup banyak orang. Orang-orang semakin terus menyalaminya. Hatinya langsung terasa sejuk. Walaupun kepalanya semakin terasa sakit.

***

“Apa? bapak memberikan semua jeruk bapak kepada orang-orang yang berdemo tanpa ada imbalan sedikitpun?” teriakan Idah hampir memekakkan telinga Mang Sadi.

“Amal bu,”

“Apanya yang amal? Pak, kita ini bukan orang kaya, jadi jangan meniru tingkah orang kaya.”

“Memang cuma orang kaya saja yang boleh beramal. Kita juga boleh kok,”

“Repot banget tho pak, orang kaya juga banyak yang ngga beramal. Sekarang bapak pulang ngga bawa duit, mana bapak juga lagi sakit. Kita hidup ini sudah susah pak, jangan dibikin tambah susah,”

“Udah bu, bapak lagi sakit. Ibu masih mau ngomel atau mengantarkan bapak ke Puskesmas?”

Idah diam. Dia ngambek.

“Yo wis, aku tak pergi dhewe,” Mang Sadi langsung bangkit menuju pintu.

Idah menatap suaminya. “Ya udah, aku temani bapak berobat,” Idah tidak tega membiarkan suaminya yang sakit itu berjalan sendiri ke Puskesmas.

Bau obat menyambut saat mereka tiba di Puskesmas yang sedang sepi. Tak banyak orang yang berobat. Selain mereka, cuma ada seorang ibu hamil tua dengan suaminya serta seorang bocah berusia empat tahun yang meringkuk di pelukan bapaknya.

TV 14 inch yang diletakkan di sudut ruang tunggu sedang menayangkan siaran berita sore. Mata Mang Sadi hampir terbelalak saat melihat siaran itu. Kamera mengarah ke halaman kantor yang tadi disinggahinya. Seorang reporter mewawancarai lelaki tinggi tegap yang tadi membantunya membagikan jeruk.

“Wah, saya bersyukur sekali ternyata bos-bos besar sudah memberhentikan bos gendut. Ternyata aspirasi kami didengar juga. Tidak sia-sia kami berdemo panas-panas begini,”ujarnya mantap.

“Oh iya,” tambahnya. “Saya ingin berterima kasih kepada penjual jeruk yang membantu kami tadi. Dia rela membagikan jeruknya cuma-cuma agar kami tidak kehausan. Saya salut padanya di jaman begini masih ada orang yang memperdulikan sesamanya seperti ini,”

“Ada pesan yang ingin bapak sampaikan?” tanya si reporter.

“Terima kasih ya, bapak penjual jeruk. Terima kasih sekali. Semoga amalmu dibalas Yang Maha Kuasa,” ujarnya sambil mengembangkan senyum yang sangat lebar.

Diliriknya Idah. istrinya itu melemparkan pandangan penuh tanya. Mang Sadi mengangguk beberapa kali seakan tahu apa yang sedang dipertanyakan Idah. Mang Sadi t

(Mengenang satu-satunya demo yang pernah aku lakukan)
Tangerang, 18 September 2002
Muat Kakilangit Horison Maret 2003

Cerita Dari Toilet

12 Desember, jam delapan tepat di toilet sekolah

Ya Tuhan, perutku terasa melilit. Kram perut yang biasa mendatangiku saat datang bulan seperti ini benar-benar membuatku sangat menderita. Aku menatap diriku di cermin. Jeleknya wajahku saat aku meringis menahan sakit sambil mengelus-elus perutku yang kacau itu.

“Eva!” tiba-tiba Hana, teman sekelasku datang. “Kamu yakin baik-baik saja?”

“Tenang saja,” jawabku sambil mencuci tangan di wastafel. “Aku mengalaminya sebulan sekali. Sudah biasa,”

Hana tampak tidak yakin. Wajahku pucat dan berkeringat dingin. badanku agak membungkuk sambil melindungi perut. Wajar saja dia kelihatan cemas.

“Aku cari obat dulu di PMR, ya? Kamu di sini saja,” hiburnya.

“Jangan lama-lama.”

Begitu Hana keluar, aku langsung masuk ke salah satu bilik. Toilet memang sepi saat jam pelajaran. Untung saja Pak Maryo, guru sejarah, sedang absen. Aku duduk di atas closet sambil menggosok-gosok perutku. Baru semenit Hana pergi, tapi aku mulai tidak sabar.

Braaakk!! Pintu toilet dibuka keras. aku mendengar suara berdebam membentur tembok lalu suara pintu ditutup kembali dengan keras. spontan saja aku mengangkat kakiku bersila. Suara langkah kaki dua orang memasuki toilet. Salah satu dari mereka mengecek bilik toilet satu-persatu dari bawah pintu. Aku benar-benar baru bisa bernapas saat salah satu dari mereka berkata, “Bersih,”

“Menyebalkan!” teriak salah satu dari mereka. suaranya agak melengking.

“Tahu tidak? Gara-gara test pack sialan itu, kelas kita jadi jelek. Siapa sih yang usil menaruh barang begituan di meja guru. Mana tandanya positif lagi. Sudah dua hari guru-guru bersikap seperti mata-mata di kelas kita. Sialan!”

“Tenang, Pop! Omongan kamu nanti kedengaran.”

Aku manggut-manggut. Aku mendengarkan dari dalam bilik. Mungkin gadis yang berteriak itu adalah Poppy-anak kelas sosial satu-dan mungkin teman satunya lagi adalah Tara. Mereka selalu ke mana-mana berdua.

“Tar, menurut kamu siapa yang menaruh test pack itu?”

“Mungkin salah satu dari Abel and the gank. Siapa tahu Maudy? Rien? Dona? Atau Abel sendiri. Mereka kan terkenal gaul, doyan dandan, pokoknya cewek populer deh.” ujar Tara agak berbisik.

Aku berusaha keras menguping pembicaraan mereka sambil berhati-hati agar tidak ketahuan mereka.

“Pokoknya kita harus cari tahu siapa yang hamil itu.”

“Pasti mereka, deh.” Celetuk Tara penuh semangat.

“Udah ah, sebentar lagi jam Bu Henny yang killer itu. Yuk!”

Aku baru berani keluar setelah suasana toilet benar-benar hening. Aku agak merinding mendengar apa yang baru saja mereka bicarakan. Perutku sudah tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena terlalu asyik mendengarkan pembicaraan mereka.

“Eva?” Hana kemudian muncul. “Gimana perutmu?”

“Baikan!” aku menepuk pelan perutku dua kali.

“Barusan Tara dan Poppy keluar dengan wajah sangar. Kamu tahu sesuatu ngga?”

Aku cuma menggeleng dan tersenyum

12 Desember, jam setengah sepuluh di tempat yang sama

Empat jam pelajaran di kelasku kosong. Dan sekarang aku sedang duduk di atas closet yang tadi kududuki. Aku duduk bersila. Barusan aku kebelet buang air kecil, tapi sekarang aku jadi terperangkap di sini. Gara-gara Poppy dan Tara tiba-tiba masuk. Hal ini menarikku untuk menguping sekali lagi.

Anehnya sekarang mereka diam. yang bisa kudengar adalah suara kloset disiram di bilik sebelahku dan suara keran wastafel dibuka. Tak lama kemudian, suara langkah beberapa orang memasuki terdengar.

“Lihat siapa yang datang. Para cewek cantik.” sindir Poppy.

Aku berusaha melihat dari sela-sela sekat bilik. Meskipun sela-sela sekat agak kecil, aku bisa melihat Abel dan teman-temannya tampak tidak senang dengan sambutan Poppy.

“Maksud omonganmu apa?”

“Jangan pura-pura bego. Aku cuma menyambut kedatangan para cewek yang sering gaul di pub atau diskotek. Apa itu salah?”

To the point aja deh!” Abel mulai kehilangan kesabaran.

“Menurut kalian, siapa yang lebih dicurigai guru-guru sebagai pemilik test pack itu?”

“Ooo, jadi kalian menuduh kamu yang punya benda itu?” tanya Rien.

“Eeh, kami ngga bilang begitu. Atau ada salah satu dari kalian yang merasa?” ujar Tara.

“Gini-gini kami masih punya moral, jangan kurang aja kalo ngomong.” Maudy mulai marah. “Apa buktinya?”

“Hei, aku tahu kamu benci sama aku, Pop. Kamu iri kan sama popularitas kami,” ujar Abel. “Tapi jangan nuduh salah satu dari kami hamil dong. Itu fitnah!”

“Iri? Iri sama apa? Keglamoran kalian? Duit kalian? Yang ada kalianlah yang iri sama otak Poppy,” sambar Tara sengit.

“Eh, jangan ikut campur provokator!” sambung Dona ketus.

“Udah deh, biar nama kelas jadi baik lagi, terang-terangan deh! Siapa yang kemarin naruh test pack positif di meja guru? Becandanya keterlaluan, tau! Atau memang benar ada yang hamil di kelas kita?” tanya Poppy.

“Ketua kelas yang baik,” ujar Abel. “Jangan jadi sok pahlawan. Jangan merasa sok benar dengan menuduh kami. Kami ini bersih!”

“Aku ngga peduli omonganmu!” Tara mendorong Abel. “Cewek populer macam kalian bikin mataku pahit, tau!”

“Apa-apaan sih!” Abel balas mendorong.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah mereka saling adu mulut dan saling dorong. Toilet berubah menjadi riuh rendah. Aku benar-benar menikmati pemandangan dari dalam bilik, sekaligus juga ngeri. Bagaimana jika mereka saling pukul kemudian bergelut di lantai? Siapa yang menang? Parahnya, bagaimana jika aku ketahuan bersembunyi sini?

Braaakk!!

Terdengar kembali suara pintu toilet yang dibuka dan membentur dinding dengan keras. aku tidak bisa melihat siapa yang datang. Namun, para kakak kelasku itu langsung diam. suara hak sepatu yang menggema membuatku berkesimpulan ada guru yang datang.

“Kalian semua! Masuk ruang BP!”

Aku langsung membeku. Itu adalah Bu Juwita, guru BP yang terkenal akan ketegasannya. Rupanya pertengkaran mereka terdengar sampai keluar. Mungkin Bu Juwita tak sengaja lewat dan mendengarnya. Huh, apes sekali.

Kupasang telingaku erat-erat untuk mendengarkan suara-suara lankah kaki yang meninggalkan toilet. Dan aku benar-benar berani keluar dari bilik saat suasana menjadi sunyi kembali.

15 Desember, di salah satu toilet sebuah mal

toilet ini sepi. Saat keran mengucurkan air, aku teringat kejadian tiga hari lalu di toilet sekolah. Aku cuma tersenyum-senyum sendiri.

“Hei,…” celetuk Hana. “Ketawa sendiri. Gila, ya?”

Aku cuma menggeleng.

Kriieett,

Kami refleks langsung menoleh ke arah orang yang baru datang itu. Darahku seakan-akan berhenti mengalir melihat gadis yang mengenakan u can see hijau dan celana courdoray coklat itu. Dia adalah Tara. Ia melirik sekilas ke arah kami, tapi ia menatap kami seakan-akan kami adalah orang asing. Ia tidak mengenali kami.

Ia mencuci tangannya di wastafel sebentar lalu mengeluarkan kantong plastik hitam dari tasnya. Aku benar-benar tidak bisa melepaskan mata darinya.

“Hei!” hardiknya membuatku tersentak. “Apa lihat-lihat?”

“Memangnya dia tidak tahu kalau kita adik kelasnya?” bisik Hana setelah Tara masuk ke dalam bilik toilet.

Aku cuma mengangkat bahu.

“Aku pipis dulu, ya? Tungguin sebentar,” ujar Hana buru-buru masuk ke dalam bilik di sebelah bilik di mana Tara berada.

Tak lama kemudian Tara keluar. Wajahnya kelihatan sangar. Aku menunduk sambil pura-pura menata bajuku dan mematut diri di cermin. Diam-diam aku melirik ke arahnya saat dia tak memperhatikanku. Ia melongok sebentar ke dalam kantong plastik yang tadi dibawanya dan dilemparkannya kantong itu ke dalam tong sampah yang tak jauh dari situ. Ia sempat melirikku sebelum meninggalkan toilet. Untung saja aku langsung pura-pura mengoleskan lipgloss dan ia pergi begitu saja.

Aku benar-benar penasaran dengan isi kantong plastik itu. Buru-buru kuambil kantong itu dan melihat isinya. Jantungku hampir berhenti dan mataku terbelalak saat melihat apa yang ada di dalam sana. langsung saja kuikat kantong tersebut dan dengan cepat kubuang kembali.

“Kenapa kamu pucat, Va?” tanya Hana yang baru keluar dari bilik. Ia mencuci tangan sambil menatapku cemas. “Kamu sakit?”

“Tidak,”

aku menarik napas dan berusaha menormalkan degup jantungku. Ya Tuhan, aku tidak mempercayai apa yang kulihat. Pikiranku langsung berkecamuk dan menghubungkan semua kejadian yang kualami belakangan ini. Baru saja Tara membuang test pack yang bertanda positif di depan mataku. Jangan-jangan? Jadi dia yang sebenarnya,…

Tangerang, 17 Juli 2002

Muat Majalah Kawanku no.24/XXXII 9-15 Des 2002 dan antologi “Jati Diri” (Primamedia Kawanku,2004)

Jumat, Mei 20, 2011

Happy Ending

Do you believe in happy ending?
I don't.
I don't want to believe it;
because what makes it happy if it has to end.
So I believe in an endless happy story
which is too good to be true
and people said,
If it's to0 good, then maybe it's really too good to be true

Sometimes pain is needed
Because it makes you alive
And am I alive now?
No, I am not.
I have killed my own pain, and suddenly I am numb.
So, how can I ever feel an endless happy story if I'm numb?