Powered By Blogger

Rabu, Februari 18, 2015

Berjanji Seribu Tahun





Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari  
#TiketBaliGratis.

oleh: Anggun Prameswari 
 

Tak ada yang tahu bahwa di Kota Janji, menjulang sebuah patung perempuan. Jika kau pendatang seperti diriku, maka tentu kau takkan tahu apa sejarah patung itu. Namun, kalau kakek buyut dari kakekmu sempat menurunkan cerita, turun-temurun tak kurang suatu apapun, maka kau akan tahu bahwa patung itu jelmaan seorang perempuan yang menunggu kekasihnya.
“Berapa lama?”
“Jari siapa yang bisa menghitung?”
“Cari saja angka yang mudah.”
“Seribu tahun.”
“Kenapa seribu? Buka sejuta?”
“Kenapa pula bukan seratus?”
“Ah siapa yang peduli? Intinya, ada perempuan yang jadi batu, dikutuk perasaan merananya sendiri .”
“Apa kutukan itu bisa dihilangkan?”
“Tentu. Tidak ada kutukan yang abadi.”
“Caranya?”
Orang-orang yang bergumam itu saling berpandangan. Mereka saling melemparkan sorot mata, sebagian tak tahu, sisanya entah bermakna apa.
Aku yang mematung, menyapukan tangan ke permukaan batu itu. Tingginya hanya beda dua senti, dengan lumut nyaris melumuri setiap jengkal  permukaannya. Tiap kusentuh, makin lekat di telapakku, makin erat pula perasaan aneh yang menyelimutiku.
Ada lubang besar yang menganga, yang tak tersentuh kedalamannya, mendadak muncul di hatiku. Begitu tanganku tak lagi menyentuh permukaan batu itu, perasaan itu cepat  menguap. Namun, sekejap kembali begitu aku menyentuhnya.
Maka, aku menekankan telapak tanganku, membiarkan dinginnya memboboti kulit, menarikku lebih dalam. Kesedihan begitu mudah menarik hati siapapun yang tengah berduka.
Sejak itu, setiap hari aku datang ke batu itu. Awalnya hanya untuk makan siang. Lama kelamaan, aku makan tiga kali—sarapan, makan siang, dan makan malam—di samping batu itu. Aku sering menawarinya macam-macam. Kadang bubur ayam, kue lapis, roti isi, atau susu coklat. Kuharap makanan bisa membantunya kembali bahagia. Siapa tahu, setelah bahagia, batu itu kembali menjelma menjadi perempuan yang dulu pernah menunggu kekasihnya di Kota Janji. Sayangnya, batu itu bergeming, tetap membatu.
“Kau lihat perempuan itu?”
“Iya, aneh. Setiap hari mengunjungi batu.”
“Penyembah berhala?”
“Ah, dia sekedar perempuan patah hati lainnya, senasib dengan legenda si batu.”
Aku diam saja, berusaha abai. Tak ada yang memahamiku. Memahami betapa besarnya perasaan cinta yang harus kupendam selama seribu tahun. Hanya batu berlekuk tubuh perempuan inilah yang mengerti.
Maka, kami makin akrab. Makin tak terpisahkan. Aku tidur di sana. Membaca, mengudap, melamun, bahkan memeluknya minimal tiga kali sehari. Berbagi kesedihan tidaklah dosa, bukan?
Sampai akhirnya dia menemuiku. Kekasih yang selama ini kutunggu. Yang matanya bulat purnama dengan kulit cokelat madu. Dia menjemputku, di Kota Janji yang berprasasti batu perempuan merana.
Tanpa sadar pipiku basah. Haru mengembangkan dadaku dengan harapan-harapan.
“Pa,” tanya gadis cilik itu lagi. “Batunya aneh. Bentuknya mirip manusia.”
“Iya, batunya ada sepasang. Dua-duanya perempuan.”
“Pa, lihat, yang di sebelah kiri wajahnya basah.”
“Mungkin kena hujan.”
“Mungkin menangis?”
“Mana ada batu perempuan menangis, Sayang?”
Lelaki itu menjauh membawa putrinya yang berpipi bakpao merah jambu. Meninggalkan sepasang patung batu perempuan, yang membatu karena merana. Dimakan rindu, digerus cinta. Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa lama, mungkin seribu tahun lamanya.

Kota Janji


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari  
#TiketBaliGratis.


oleh: Anggun Prameswari





Tersebutlah sebuah kota; Kota Janji. Di sana, takkan kautemukan bangunan-bangunan menjulang mencakar langit. Atau jalan-jalan beton melintang pukang. Di Kota Janji, yang bisa kautemui hanyalah harapan-harapan yang bertumbuhan, mekar, mengayun-ayun ditiup angin. Harapan yang lahir dari percintaan janji dengan waktu. Dan di sanalah aku memutuskan, di Kota Janji, kita akan bertemu.
Keningmu berkerut saat tahu kita akan melepas rindu di Kota Janji, yang seperti namanya, akan menjanjikan harapan-harapan yang mengembang wangi, persis adonan roti di tungku bakar.
“Di Kota Janji selalu senja sepanjang hari. Langitnya merah. Semburatnya kuning, kadang ungu atau jingga. Di Kota Janji, kita menanam harapan supaya nanti bisa kupetik,” ujarku malu-malu, menyelipkan rambut ke belakang telinga.
“Apa harapanmu?” Lengan kami bersinggungan. Kulitnya berkilat cokelat madu.
“Kamu.”
Dalam debar yang bertubi-tubi, kubiarkan angin menerbangkan rambutku menutupi wajah. Jarimu menyibak, merapikannya kembali. Napas hangat menyapu pipiku. Kini aku tahu, kulitmu lebih mirip dingin embun di tanah bekas hujan. Lembap menelusup bibirku, menggetarkan pundakku.
Aku terpejam. Lirih kutangkap suaramu, “maka tanamlah harapan itu, di Kota Janji.”
Tepat saat kubuka mata, kau hanya berkata, “Aku harus pergi.”
“Kapan kembali?”
Kau tak menjawab.
“Kalau begitu, biar aku menanam harapan,” ujarku tersenyum. “Nanti kita sama-sama petik saat bertemu.”
Kupejamkan mata. Bibirmu mengecupku sekali lagi. Lebih lama, seakan berpesan, bahwa perpisahan ini tak lebih lama dari sebuah ciuman.
***
Di Kota Janji, kutanam harapan. Kini bibitnya menyeruak, tumbuh meliar, menjalarkan tunas-tunas menjadi kembang.
Kukenakan gaun terbaikku. Sebuah gaun bertali spaghetti, berbahan brokat putih, yang kecil di pinggang, berlipit mengembang di bawah.
“Aku pasti datang, tapi tidak sekarang. Aku sedang bersamanya,”
“Tapi kau selalu bersamanya.”
“Karena dia terlalu mencintaiku.”
“Menurutmu, aku tidak cukup mencintaimu, sehingga hanya bisa menunggu?”
Kurasakan lembar kelopak harapan yang kutanam berguguran.
“Cintamu tak pernah kurang,” katamu. “Kadang cinta saja tidak cukup.”
“Cintaku cukup,” ujarku. “Kau yang selalu merasa kurang.”
***
Kau adalah harapan yang kutanam di Kota Janji. Namun, di Kota Janji tak selalu senja sepanjang hari. Ada kalanya akan turun malam-malam yang gelap. Saat harapan yang ditanam berguguran, maka malam akan datang. Langit akan terlalu pekat untuk ditembus cahaya. Bukankah seperti itulah hidup, gelap bila harapan ternyata padam, pekat tak ternoda?
Aku tahu betul, di Kota Janji, pantang menangis. Bila ada air mata yang tumpah, artinya ada harapan yang telah patah. Tapi aku telanjur menangis. Di bulirnya, tersimpan rindu yang lama kutabung, untuk suatu hari kuhamburkan di pelukmu.
Malam turun makin cepat. Kelamnya mengganti merah senja. Aku memeluk diri sendiri yang menggigil kesepian. Kulihat harapan yang pernah kutanam, perlahan menguncup, layu, merunduk menyambut malam.
Kelak, aku akan datang ke Kota Janji, bisikmu diantarkan angin.
Kapan?
Kau membisu. Air mataku meluncur lagi ke pucuk rerumputan yang menyapu telapak kakiku. Kujumput sisa harapan. Kutanam sekali lagi. Seperti hukum di Kota Janji, saat harapan kembali ditanam, maka hari kembali senja. Di langit muncul warna jingga seperti titik noda, meluas, hingga senja datang sepenuhnya.
Maka kau tetap kutunggu di Kota Janji, kembali kutangkupkan tangan di atas paha. Kuatur gaunku hingga menutupi dudukan bangku panjang. Kubiarkan kakiku mengayun tak terbalut apapun. Aku terus menunggumu di Kota Janji, yang selalu senja sepanjang hari.
***

Rabu, November 05, 2014

Yang Terbaring di Dasar Danau

        
Muat di Harian Tribun Jabar, Minggu, 2 November 2014



           Tahukah kau, ada yang terbaring di dasar danau. Seorang perempuan cantik, terlalu memesona sampai bidadari-bidadari di langit menundukkan kesombongannya. Entah sejak kapan dia berbaring di sana, di dasar danau yang permukaannya selalu tenang. Konon hatinya ditikam belati. Bukan belati biasa, melainkan ditempa dari kesepian panjang. Kesepian yang lahir dari pedihnya ditinggalkan.
Matamu membulat. Setengah percaya. Selebihnya meremehkan. Wanita di hadapanmu terlalu banyak membual untuk ukuran orang yang baru dikenal. Kalian sedang berdiri di pinggir danau yang permukaannya lebih tenang dari ekspresi wajahmu yang selalu datar.
Tidak bisakah wanita ini menceritakan kisahnya pada orang lain saja?
Ujung gaunnya meliuk diterbangkan angin. Kau bisa melihat sepasang paha ramping seputih susu. Di kepalamu, pertama yang terlintas adalah bagaimana raut wajah perempuan itu, jika kau menyentuh sisi paha dalamnya, sekaligus mengecupnya.
Perempuan yang terbaring di dasar danau itu tahu, hati siapa saja yang dirundung kesepian. Kau tahu, kesepian bisa menajamkan telinga? Telinga seperti itulah yang bisa mendengarkan nyanyiannya.
Kau melemparkan pandangan ke danau. Diam-diam kaucoba menajamkan telinga. Apa benar ada suara perempuan bernyanyi, mengalun dari balik permukaan danau? Yang tertangkap inderanya hanya gemerisik angin, suara daun berjatuhan, dan irama napas wanita di sampingmu. Bagus, batinmu. Baru bertemu, sudah jadi pembohong.
Namun, hati-hati. Mendengarnya sekali, kau akan bersuka cita. Kedua kalinya, hatimu akan terpilin, diingatkan kembali akan kesunyian. Makin kau mendengarnya, makin kau tak bisa melupakannya. Terikat, tak bisa berpisah dengan yang terbaring di dasar permukaan danau; yang sesungguhnya tak kalah kesepiannya denganmu.
Kau menghela napas. Wanita ini harus dihentikan. Dengan wajah tak peduli, kau memanggul softcase gitar mendahuluinya ke mobil. Entah ide gila siapa yang memasangkanmu dengan wanita itu. Namun, pementasan segera digelar dan kalian harus berlatih. Dia penyanyi, kau mengiringinya dengan gitar. Sebatas itulah hubungan kalian. Namun, saat matamu tertumbuk pada selingkar cincin di jari manisnya, pikiranmu tak bisa lagi kau kendalikan.
Ada wanita-wanita yang tak boleh kaucintai. Semacam buah khuldi yang sengaja diciptakan untuk menguji hati. Wanita itu tersenyum. Senyum itu pun telah beranak pinak di benakmu, cepat persis infeksi virus, tahu-tahu malam nanti, kau memimpikannya.
Semua orang memanggilnya Senandung. Dan di atas panggung itu, kau memangku gitarmu. Guyuran lampu sorot melimpah menghujani Senandung. Kau hanya seorang pendenting gitar; pendamping biduanita yang menjadi pusat semesta sebenarnya. Tepat pada detik dia melantunkan dendangnya, kau terbius. Ada perasaan girang, bahagia, rindu, pengharapan; mendesak-desak. Membuncah. Terlebih saat sesekali, matanya yang sayu ditembakkan ke arahmu. Jarimu di atas dawai gitar makin menggila, menyesuaikan nada merdunya. Mata kalian bertautan, persis sorot proyektor yang memutarkan film di benak masing-masing. Sejak itu, kalianlah bintang  kisah roman kalian sendiri.

***

 Sesungguhnya kau sudah melupakan dongeng perempuan yang terbaring di dasar danau. Namun, selayaknya wanita itu pandai membuatmu tergila-gila; padahal kau terbiasa membuat perempuan-perempuan mabuk oleh kecup peluk dan rayu--dia lihai mengingatkanmu kembali pada kisah itu.
Pagi itu kau dapati dia tercenung. Tangannya mencengkeram tirai putih yang jendelanya menebarkan pandangan ke arah danau. Dia mengenakan kemeja putihmu; kebesaran nyaris mencapai setengah pahanya. Kau bertanya-tanya, apa kemeja itu masih menyimpang aroma peluk kalian semalam. Pula, apa yang menunggumu jika satu demi satu kancingnya kau lepaskan.
Kau hanya telentang dengan kepala tertopang lengan, memandanginya. Dia menoleh. Hatimu mencelus, mendapati sepasang matanya yang digeluti duka.
Seperti apa sepi yang menemani perempuan yang terbaring di dasar danau itu? Pagi ini, aku mendengar nyanyiannya. Apa artinya telingaku menajam karena sepi?
Kau bangkit lalu memeluknya dari belakang. Kau hirup dalam-dalam aroma yang menguar dari tengkuknya.
“Bicara apa kau ini? Ada aku. Bagaimana kau bisa kesepian?”
Aku selalu membayangkan dada perempuan di dasar danau itu mengeras ditancap belati. Seperti dadaku kini. Beku oleh sepi, keras oleh sunyi. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh lantunan suaranya.
Bahkan detik itu juga, kau masih belum menganggapnya gila. Kau memandanginya dengan limpahan kasih, memagut bibirnya yang dingin.
“Ada aku yang mencintaimu. Masih kurang apalagi?”
Bagaimana kalau kau meninggalkanku? Kau lelaki pemuja kebebasan. Tak ada satu peluk perempuan pun yang sanggup mengikatmu. Belum lagi aku wanita dengan naluri merawat, itu akan membuatmu sesak suatu hari.
Mungkin harus ada yang menamparmu. Memberitahumu, bahwa kali ini kau jatuh cinta pada wanita berisi kepala rumit.
Belum lagi aku wanita dengan rumah untuk pulang. Bagaimana jika suatu hari aku yang akan meninggalkanmu? Kau akan berkubang dalam kesepian. Telingamu akan tajam karena duniamu terlalu sunyi. Kau akan mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau itu. Dia akan memintamu mengiringinya bernyanyi.
Kau melonggarkan pelukan dan membalikkan tubuhnya. Baru kali ini kau mendapati matanya yang sesungguhnya terbuat dari kristal. Dekapanmu kali ini lebih erat. Benar, sayup-sayup kau mendengar ada yang bernyanyi di kejauhan. Jauh sekali, rasa-rasanya seperti berasal dari dasar danau.

***

Kini kau dan dia berdiri berdampingan di susuran setapak di pinggir danau. Kalian tak berani saling menatap. Ada yang runcing hendak menancapi bola matanya. Siap meledak.
Kau bisa dengar yang sekarang kudengar? Kadang aku bertanya, lelaki mana yang tega menancapkan belati kesunyian di dadanya. Jika mencintai ternyata menyakitinya sedemikian rupa, apakah lebih baik sedari awal mematikan rasa?
Kau tak menjawab. Matamu lurus menatap bola matanya bergulung-gulung persis mendung yang nyaris pecah jadi hujan. Selama ini, kau mengenal perempuan sebagai taklukan. Kau bertemu, bermanis kata dengan bius mata, bercinta tanpa melibatkan hati, dan berlalu begitu saja keesokan pagi. Wanita ini berbeda. Selalu memperumit segalanya. Bahkan sampai hatimu tak lagi sanggup mengikutinya. Namun, bukankah hati memang tak sesederhana persamaan matematika?
“Kita masih bisa saling mencintai dan bersama,” katamu. “Walaupun aku pemuja kebebasan dan kau wanita yang mempunyai rumah untuk pulang.”
Cinta apa yang seperti itu? Kita bisa saja bercinta berkali-kali, tapi di penghujung hari kita kembali bergelung sepi. Bukan seperti itu cinta yang kucari.
“Lalu apa? Kenapa cintamu rumit sekali?” kau setengah membentak.
Kau sederhana. Aku rumit. Itulah yang membuat kita tak saling memiliki. Itulah kenapa aku sering merasa kosong, bila bersamamu. Dan telingaku sudah lelah mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau.
Lama mereka bertatapan. Dalam tarikan napas kesekian, dia menghambur ke pelukmu. Kau menariknya seperti kubangan pasir isap. Pada bibir yang saling bersentuhan, kalian menuliskan kenangan. Kau melihatnya memagutmu dengan mata terpejam dan air mata berlinangan. Tepat saat dia menarik bibirnya lepas, ada retak di dadamu. Sebuah belati dia tikamkan di sana.
Untuk pertama kalinya, bukan sayup-sayup lagi, kau kini jelas mendengar suara merdu itu. Rasa-rasanya seperti dari dasar danau di hadapanmu. Jadi perempuan yang terbaring di dasar danau itu benar ada?

***

Entah sudah pagi ke berapa kau mendapati dirimu berdiri di sini. Mencengkeram susuran pembatas danau dan jalan setapak. Malam-malam sebelumnya kau terjaga. Sepertinya wanita itu pergi dengan membawa kantukmu. Kauhabiskan waktu menulis banyak lagu. Ratusan lirik. Seakan kepalamu adalah sumur yang terus meluapkan lumpur. Orang-orang bilang kau patah hati. Namun, kau tahu betul, hatimu tak sekadar patah. Hatimu jatuh pecah. Kepingnya berhamburan, terserak angin ke segala arah.
Kau dipeluk kesepian yang tak kau ketahui di mana ujungnya. Benar, kesepian menajamkan telinga. Kau pun mulai menangkap lantunan merdu dari kejauhan. Sangat jauh, seakan berasal dari dasar danau.
Lama-lama suara itu nyata. Seakan asalnya dari hatimu sendiri. Mungkin sesungguhnya hatimu dan danau itu serupa. Di dasarnya sama-sama didiami oleh seseorang yang terbaring dengan luka tikam di dada. Di danau, ada perempuan itu. Di hatimu, ada kau sendiri.
Kau mulai melangkah. Mengawang tak bisa kau kendalikan. Kau menuruni ujung susuran yang tersambung ke arah pinggir danau. Suara itu tak kasat mata. Tapi kau bisa merasakan ada jerat yang membungkus tubuhmu.
Mungkin ketimbang sepi sendiri, kau merasa lebih baik sepi berbagi. Tak kau pedulikan lagi basah yang makin menyergap. Danau itu perlahan merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan. Menelanmu pelan-pelan. Tepat saat kau tak tersentuh udara lagi, kau bertekad untuk mengiringi perempuan yang terbaring di dasar danau itu dengan denting gitarmu. Karena kau tahu, kesepian lebih baik bila dibagi.

***

Ada sepasang muda-mudi berangkulan. Keduanya terbius menatap lembayung yang berhamburan di langit. Sang pemuda menoleh ke arah gadisnya. Ada yang tergenapi dalam hatinya saat melihat senyum mengembang di bibir ranum itu.
“Kau tahu mitos di danau ini?” tanya gadis itu menoleh cepat.
“Siapa yang tidak tahu? Kalau ada sepasang kekasih kemari, maka hubungan mereka akan kandas. Karena kutukan perempuan yang terbaring di dasar danau.”
“Banyak juga yang bunuh diri di sini karena patah hati,” sambung si gadis menatap kekasihnya lekat. “Kalau aku meninggalkanmu, apa kamu akan bunuh diri?”
“Kamu sendiri?”
Keduanya melemparkan pandangan ke arah permukaan danau yang tenang. Benak mereka penuh oleh banyak hal. Riuh oleh gelora cinta yang teredam oleh sekadar genggaman tangan.
Tanpa mereka sadari, sayup-sayup terdengar lantunan suara. Seakan berasal dari tempat di kejauhan, tapi juga dekat. Mungkin dari dasar danau; atau dari dasar hati, tempat segala kesunyian bermuara.
***

Rabu, Oktober 08, 2014

Membentuk Manusia Lewat Pendidikan

Tadi pagi, aku membahas topik menarik bersama murid-muridku di kelas 11. Aku melemparkan pertanyaan begini:

Menurut kalian, apa yang membentuk kepribadian seseorang, genetis atau lingkungan?

Tentu saja ada yang dengan yakin menjawab, “genetis, Miss, soalnya kan biasanya perilaku anak nggak jauh-jauh dari orangtuanya. Seperti watakku yang mirip watak papi.”
Lalu kutanya, “berarti, kalau Miss mengadopsimu, kira-kira watakmu tetap sama seperti papimu?”
“Belum tentu juga sih, Miss.”
“Kan keturunan papi.”
“Tapi kan lingkungannya beda.”
“Berarti, faktor genetis nggak punya andil dalam membentuk kepribadian seseorang?”
Dia tercenung sendiri. Lalu, kuminta para siswa melanjutkan diskusi sesuai panduan yang tersedia.


Mungkin di antara yang membaca tulisan ini, akan ada satu-dua yang merenung mencari jawaban yang sama dari pertanyaan di atas. Idealnya memang ada kombinasi proporsional mengenai yang manakah yang paling berperan dalam pembentukan karakter. Faktor genetis merupakan blue print manusia, tapi lingkungan tentu juga berkontribusi dalam pengembangan karakter manusia.

Menurut kalian, apakah Clark Kent tetap menjadi pahlawan pembela kebenaran bernama Superman jika kapal yang mendaratkannya di bumi ditemukan bukan oleh Jonathan Kent, melainkan Lionel Luthor?

Seorang filsuf bernama John Locke di abad ke-17 mengenalkan konsep tabula rasa, di mana dipahami bahwa setiap manusia terlahir sebagai kertas kosong. Yang membentuk manusia sedemikian rupa adalah melalui pengalaman-pengalaman empiris dalam hidupnya; terkadang mengubah identitas naluriahnya sebagai manusia, ada pula yang tak sanggup mengingkari kemanusiaannya.

Tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan salah satu media atau alat yang lumrah digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, serta intelektualitas. Pendidikan didesain sedemikian rupa. Dalam tatanan ideal, strukturnya dirancang imbang antara pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku. Diharapkan, dengan adanya pendidikan holistik yang menyentuh ketiga aspek ini, manusia-manusia “kertas kosong” ini bisa menjadi sosok-sosok berkualitas yang sanggup menjadi pribadi tangguh dalam hidupnya.

Semangat itulah yang kiranya mendasari perubahan aspek penilaian dalam kurikulum 2013 atau #K13 ini. Dengan tidak lagi dititikberatkan pada pengetahuan, pendidikan juga menyasar pada ketrampilan, serta yang tak kalah pentingnya, sikap.

Tahun ajaran ini, sesuai dengan instruksi yang tercantum dalam kurikulum 2013 atau #K13, aku dan semua guru di seluruh Indonesia yang sekolahnya menerapkan #K13 mulai melakukan penilaian sikap secara menyeluruh. Di kelas, aku menyebutnya attitude assessment. Nilai sikap ini diambil dari beberapa sudut pandang, yaitu siswa menilai diri sendiri, siswa menilai temannya, serta siswa dinilai melalui observasi dan jurnal guru. Aspek-aspek yang dinilai antara lain: aspek spiritual, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, disiplin, tenggang rasa, toleransi, dan sopan santun.

Tentu saja tidak mudah menerapkan penilaian sedetail ini. Waktu kegiatan belajar-mengajar bisa jadi habis hanya untuk melakukan penilaian saja, bukan untuk penyampaian materi dan pengayaan bahan pembelajaran. Nah, di sinilah peran guru sebagai manajer di kelas sangat diperlukan.

Setidaknya, dengan adanya penilaian sikap ini, siswa akan belajar untuk melakukan refleksi pada dirinya sendiri—apakah dia sudah bersikap baik, menurut indikator penilaian sikap yang tadi disebutkan. Siswa juga belajar untuk menilai orang, bercermin dari sikap orang lain dan membandingkannya dengan sikapnya sendiri. Siswa akan “dipaksa” berlaku baik, karena penilaian yang terus berkelanjutan, di mana pada akhirnya diharapkan menjadi kebiasaan, bukan sekadar kepura-puraan di kelas demi nilai semata. Guru pun lebih mengenal siswa-siswanya secara personal, sehingga mampu mengayomi dan mendidik mereka sesuai dengan keunikannya sendiri.


Begitulah, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “weakness of attitude becomes weakness of character,” maka jadikanlah pengembangan sikap yang baik sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan, yang nantinya berbuah manis dalam bentuk manusia-manusia Indonesia yang tangguh, siap bersaing, sekaligus berkarakter yang membanggakan.