Powered By Blogger

Senin, Maret 26, 2012

Holiday Writing Challenge - Rooftop Sunset

Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Seren yang dulu, sekretaris divisi ekspor-impor di perusahaan Jepang, yang tak membiarkan ujung bajunya kusut atau terlipat, yang selalu rapi tanpa cela dengan blush on dan pulas lipstick menghiasi wajah. Aku sekarang Miss Seren, seorang guru baru yang sederhana, dengan seragam kemeja putih dan rok biru gelap bermake-up tipis. Aku boleh berubah, tapi hatiku tetap sama. Mungkin tak peduli seberapa jauh aku melarikan diri, sejauh apa pun kuubah penampilanku, aku tetap Seren yang dulu.

Seren yang masih mencintai Andhit.

“Nah,” ujar Elang memecah keheningan yang kubuat, tepat saat pintu lift berdenting terbuka. “Selamat datang, Miss Seren, di atap SMA Pusaka satu, tempat terbaik untuk menikmati senja.”

Angin berhembus menerpa wajahku. Helai-helai tipis rambutku berkibaran dan dalam sekejap aku menghirup aroma sore yang khas. Aroma hangat matahari yang siap-siap kembali ke peraduannya. Aku memejamkan mata berusaha menangkap semua yang inderaku bisa tangkap. Desir angin menggemerisik dedaunan. Kepak sayap burung-burung yang kembali pulang. Mentari yang pelan-pelan bergeser di horison barat.

Aku membuka mata. Di sanalah dia. Elang berdiri membelakangi langit yang kini berubah oranye gradasi merah muda dan ungu. Senja tiga warna, senja yang langka. Sosok Elang kini tampak seperti siluet hitam dengan latar warna-warni.

“Di sini,… bagus banget.”
Senyum Elang merekah lebar. “Aku sudah bilang, kan?”
“Aku suka senja ini.”

Elang melangkah ke bagian pinggir atap yang dibuat bersusun lebih tinggi. Disandarkannya tas gitar itu di sana. Dia merentangkan tangan, menghirup udara sore sampai memenuhi dada, lalu berteriak, “I am the King of the world!”

Aku tersenyum dan menyusulnya ke sana. Entah kenapa langkahku terasa mantap menyusulnya. Lalu tepat di sampingnya, kubentuk corong di mulutku, lalu menjawabnya bahkan dengan suara yang jauh lebih lantang, “I am the Queen of universe!”

Kami berdua semburat tertawa terpingkal-pingkal. Elang mengacak rambutnya sendiri yang sudah berantakan dipermainkan angin. Lalu tangannya disandarkan di susuran, jari-jemari saling menggamit. Tatapannya lurus ke depan. Senyum seperti masih enggan meninggalkan wajahnya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menatap wajahnya lebih erat, lebih dekat. Rahangnya yang ramping dan tegas, dihiasi bulu-bulu halus sampai ke cambang di sisi telinga. Bibirnya tebal dan sempurna melengkungkan senyum. Bibir itu, kapan terakhir memagut dan mencium? Apakah hangatnya sanggup menelusup, menderas bersama aliran darah? Apakah,…

“Kamu mikirin apa?” tanya Elang tiba-tiba.
Aku tergagap. Ditatapnya wajah Elang yang berkernyit. Menggemaskan, seperti anak kecil yang penuh ingin tahu. “Ehm, aku penasaran,…”
“Penasaran apa?”
Penasaran seperti apakah rasanya mencium bibirmu. “Kenapa kau bawa gitar ke atas sini?” ujarku bohong.

“Karena aku ingin melihat kamu ketawa.”
“Hah?” aku harus berhenti dengan segala Hah? ini. Sumpah, wajahku pasti kelihatan konyol dengan ungkapan melongo seperti itu.
“Sejak pertama kali kau masuk ke sekolah ini, aku belum pernah melihatmu tersenyum.”
“Masa?”
“Kalau sekadar senyum biasa sih, sering. Senyum menipu gitu. Senyum basa-basi, for the sake of courtesy. Tapi senyum lepas, belum pernah. Dan itu sangat menggangguku.”

“Kenapa mengganggumu? Itu kan cuma senyum,”
“Lalu,” Elang tak menghiraukan tanggapanku. “Lalu aku lihat di bio twittermu, kamu pecinta senja, aku ajak kamu ke sini. Melihat senja. Mendengarku bernyanyi.”
“Kamu nyanyi? Terus bisa bikin aku senyum, gitu?” aku tergelak sendiri membayangkannya.
“Tuh, kan? Belum nyanyi aja kamu sudah ketawa.”

“Oke, oke, monggo, silakan. Kita lihat sehebat apa kamu,” ujarku tersenyum. Rasanya mulai nyaman. Sepertinya aku akan baik-baik saja di atas sini.
“Oke, Miss Seren. Karena namamu Serenade Senja, dan pementasanku ini ada di tengah senja, maka untuk menggenapi, aku akan memainkan lagu dari Secondhand Serenade.”
“Secondhand Serenade? Aku belum pernah dengar lagu-lagu mereka.”
“Nah, kalau begitu kamu dengar pertama kali dariku. Judulnya Goodbye. Ini lagu favoritku.”

Elang mulai membongkar gitarnya. Lalu dengan bersandar di susuran tepi atap gedung, dia mulai mengambil nada. Denting-denting beningnya mulai terdengar di sunyi senja sore itu. Nada-nada intro pembuka melantun. Tatapan Elang kembali serius dengan sorot tajamnya. Jemarinya lincah bermain, melompat-lompat lihai di kunci-kuncinya. Aku bisa merasakan wajahku hangat ditimpa sorot senja, sekaligus karena tersipu malu.

Dengan ditemani senja sebagai pengiringnya, dia mulai bernyanyi.

It’s a shame that it had to be this way,
It’s not enough to say I’m sorry

Pikiranku langsung melayang ke malam itu. Malam di mana semestinya malam terindah antara aku dan Andhit. Di malam hari jadi kami yang ke sepuluh tahun. Diterangi redup temaram cahaya lilin. Dengan aroma udang bakar saus barbecue yang berebutan di udara bersama wangi kembang sedap malam yang lembut. Gaun terusan brokat hitam yang melambai dan parfum yang menggoda. Aku dan Andhit. Tapi semua dibuka dengan kata-katanya, “Maafkan aku, Seren. Maaf.”

All I had to say is good bye, were better off this way

Tanpa terasa air mataku mulai menggenang. Sedikit lagi, pertahananku akan runtuh, dan sekali lagi aku akan menangis demi dia yang kucintai.

I’m alive but I’m losing all my drive.
‘Cause everything we’ve been through, and everything about you
Seemed to be a lie

Jadi, selama ini kita apa, Andhit? Kau cinta pertamaku. Aku mencintaimu sejak umurku lima belas tahun. Sepuluh tahun, selama itu kita bersama, dan kau bilang kau tidak lagi mencintaiku? Lalu selama ini, apa yang kita lakukan? Apa aku tidak sedikit pun layak untuk diperjuangkan? Layak dipertahankan?

“Berhenti, Lang,” ujarku lirih. Tapi sepertinya dia masih menikmati permainannya.
“Aku bilang berhenti,”
Dia seakan tak mendengarnya.

Take my hand away, spell it out
Tell me I was wrong

Kenapa kau tidak mencintaiku lagi, Andhit? Katakan di mana salahku, akan kuperbaiki. Katakan kau salah, kau masih mencintaimu. Katakan, kau ingin kembali padaku, Andhit.

“BERHENTI!” Aku berteriak. Bahkan aku terkejut dengan suaraku sendiri. Elang sontak menghentikan genjrengannya. Dia menatapku tanpa kedip. Aku merasakan ada yang hangat mengalir di pipiku. Semua perih dan nyeri itu kembali merajamku tanpa henti.

“Berhenti! Jangan bernyanyi lagi. Aku benci lagu itu. Berhenti!”
“Seren,”
“Aku nyesel ke sini. Buang-buang waktu,”
“Kamu kenapa?” tanya Elang kebingungan.

Ada sejuta pertanyaan dan kata-kata yang ingin aku ungkapkan, tapi semua untuk Andhit. Di hadapannya hanya ada Elang, yang semata mengajakku kemari agar aku tersenyum. Senja makin bergulir, langit menggelap. Seperti hatiku yang ditelan mentah-mentah oleh gelap yang tak berujung.

“Maafkan aku Elang, maaf. Aku harus pulang sekarang.” Aku langsung berlari menuju lift tanpa berkata apa-apa lagi. Elang hanya terpaku menatapku yang membelakanginya. Bahkan sampai pintu lift menutup, menelan tubuhku, aku tak menatap wajahnya lagi. Aku sibuk menyembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. Tanpa ada seorang pun yang melihat, sendiri di dalam lift, lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Air mataku tak berhenti mengalir.
Andhit. Andhit. Aku tak bisa melupakannya. Bahkan sampai detik ini, sakitnya masih ada. Kenapa aku harus mengingat Andhit, saat bersama Elang? Kenapa? Kesunyian menelan bulat-bulat suara tangisku.

Minggu, Februari 12, 2012

@jejakubikel dan "AKAD NIKAH"

Bulan Februari ini aku sibuk banget. Selain tugas-tugas yang harus diselesaikan sebagai seorang guru di sebuah sekolah, ada beberapa proyek menulis yang kuikuti. Suka tidak suka, aku harus memaksa diriku keluar dari belenggu mood dalam menulis. Itu sebabnya aku mulai "memaksa" diri untuk menulis. Untungnya ada mas Daniel dan program jejakubikel yang mendorongku untuk terus menulis.

Pada bulan Februari ini, mereka mengadakan tema #Troublove yaitu menulis cerpen selama satu bulan penuh dengan tema-tema yang silih berganti setiap tiga hari sekali. Pada tiga hari pertama, tema yang diusung adalah "Beda Etnis". Maka aku pun menulis cerpen "Akad Nikah" sebagai perwujudan tema itu. Kalau ingin baca, silakan baca di sini. Jangan lupa tinggalkan komen di sana. Masukan seperti apa pun akan kutunggu.

Thank you, guys. Looking forward for your comments!

Jumat, Februari 10, 2012

10 Tahun Perjalanan Cerpen "Cantik"

Sekitar lebih dari sembilan tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Oktober 2002, aku menyelesaikan sebuah cerpen berjudul "Cantik". Waktu itu aku baru berumur 17 tahun, dengan gaya penulisan masih sangat mentah. Sebenarnya tema cerpen ini sederhana tentang percintaan remaja dengan bumbu rendahnya rasa kepercayaan diri.

Akhirnya aku kirimkan cerpen itu ke sebuah majalah remaja tahun 2002, tapi ditolak. Kemudian tahun 2004, aku mencoba peruntungan lagi dengan mengirimkannya ke majalah remaja lainnya, tapi sama-sama ditolak. Dan akhirnya tahun 2005, tepatnya 13 Agustus, kuirimkan ke Majalah Aneka Yess!

Tunggu menunggu, tak ada kabar. Pikiran pertama yang terlintas di kepalaku adalah "Ah, cerpen ini pasti ditolak lagi." Oleh karena itu, akhirnya aku menyerah dan berhenti mengirimkan cerpen "Cantik" itu ke majalah lainnya.

Suatu hari di bulan Februari 2012, aku sedang bengong dan iseng mengetik keyword "Cerpen Anggun Prameswari" di Google. Dan di tautan pertama yang muncul adalah alamat situs majalah AnekaYess! berisi cerpen "Cantik" yang ditulis oleh Anggun Prameswari. Silakan cek tautannya di sini. Dari keterangan yang tercantum di situs itu, tanggal pemuatannya 12 Februari 2010.

Kaget dong! Tentu saja termasuk senang karena ada satu cerpenku, my baby, yang menemukan rumah bernaungnya. Nggak ada rasa kesal atau jengkel, tapi excited. Tapi kemudian, tanda tanya mulai bermunculan. "Kok aku nggak tahu cerpenku dimuat di majalah sebesar majalah Aneka Yess! Di mana nih missing link-nya?"

Seperti anak muda jaman sekarang, aku berbagi kisah di linimasa. Salah satu respons yang kuterima dari mbak Jia yang ternyata juga mengalami hal yang sama. Justru beberapa kali ia tahu kalau cerpennya dimuat dari teman atau followernya. Aku pun mention ke akun twitter Majalah Aneka Yess! dan ternyata mereka memberikan respons yang sangat baik. Mereka berjanji akan mengusut hal ini.

Keesokan harinya, mereka memberitahu via Direct Message kalau cerpenku memang dimuat di Majalah Aneka Yess! edisi 19 tahun 2005. Sedangkan tanggal pemuatan via situs adalah 12 februari 2010. Aku baru tahu kalau cerpen itu dimuat berkat Google tanggal 2 Februari 2012. Lucu ya. Jadi ada jeda hampir sepuluh tahun sejak cerpen itu selesai sampai blog ini ditulis. Sebuah perjalanan yang panjang! Tentang honor pemuatan pun sedang ditelusuri oleh pihak majalah Aneka Yess! Semoga aku masih bisa mendapatkan hak saya itu. Sekaligus majalah aslinya untuk arsip pribadi. Maklum, aku memiliki record yang cukup rapi untuk inventarisasi cerpen-cerpen itu. They are my babies, so I treat them carefully and nicely.

Sampai sekarang belum ada berita apa-apa lagi dari pihak majalah tersebut. Tapi semoga akan ada jalan terang tentang ini, setidaknya copy majalah Aneka Yess! yang memuat cerpenku supaya aku bisa melengkapi catatan cerpen di folder pribadiku.

Jumat, Desember 02, 2011

"Wanita Bergaun Merah" di antologi BookOfCheat#1



Potongan gambar menyambar benakku, seperti tebaran puzzle. Yang kuingat cuma selembar gaun berwarna merah. Tak ada yang istimewa dengan modelnya. Hanya sebuah gaun berpotongan dada terbuka dan bertali kecil mengait di bahu. Warnanya merah menyala. Warna merah tua yang sanggup menusuk-nusuk mataku. Apa arti warna merah itu? Sebuah kenangan yang lama. Hanya saja kenapa saat kupikirkan itu, rasanya seluruh energiku habis? Sepotong gaun merah. Tampaknya penuh arti. Lalu apa artinya? Di mana aku pernah melihatnya? Siapa pemiliknya? Semuanya begitu buram.

Itu kutipan cerpen "Wanita Bergaun Merah" yang masuk ke dalam antologi cerpen "Book Of Cheat#1" yang diterbitkan oleh @nulisbuku, sebuah self-publishing service. Awalnya saya tertarik dengan tawaran mbak @yuska77 ketika membuat proyek BOOK OF CHEAT ini. Saya percaya bahwa setiap karya selalu memiliki singgasananya sendiri. Maka saya pilihlah cerpen ini, sebuah cerpen lama yang menunggu terbang ke nirwana menjemput singgasananya.

Ini cerita seorang wanita yang jatuh cinta. Bukankah cinta itu indah? Tapi masa lalunya menghantui dalam potongan-potongan imaji berupa "Wanita Bergaun Merah". Lebih lanjutnya, silakan klik di sini.

Aku menyesal sudah bertanya. Jawabannya pasti akan menyakitiku. Karena aku benci realita. Tidak dulu atau sekarang. Entahlah, aku tidak pernah berteman baik dengan kenyataan. Aku selalu bermusuhan, selalu mencoba berlari walau pun selalu gagal.