Powered By Blogger

Selasa, Juli 22, 2014

PENDONGENG KEMATIAN

sebuah cerpen duet karya Ade Yusuf dan Anggun Prameswari


dimuat di harian Tribun Jabar, Minggu, 20 Juli 2014

Dari kasak-kusuk yang kudengar, ada seorang pria yang suka bertandang, mengunjungi pemakaman-pemakaman. Baginya, pemakaman adalah perayaan. Dia sering mengunjungi pemakaman, upacara kremasi, atau ruang persemayaman. Datang paling awal, berdiri di sudut terpisah dari pelayat lainnya, dan pulang paling akhir. Selalu ada senyum penuh debar di wajahnya. Seakan ada yang dia tunggu. Dari kasak-kusuk yang sama, aku tahu bahwa dia juru dongeng; dan yang didongengkannya adalah dongeng kematian.
Kami tidak saling kenal, tapi punya satu persamaan. Kami sama-sama dekat dengan kematian. Jika dia pendongeng kematian, maka aku tumbuh di antara makam-makam dan wajah-wajah pelayat yang silih berganti. Rumah yang kutinggali persis di samping pemakaman. Jika kupikir-pikir, entah sejak kapan aku tinggal di sana. Waktu seperti mengabur di benakku. Hari persis daun yang berguguran dan digantikan helai baru, terus berputar tanpa penanda.
Saat aku menyadari pagi ini berganti, aku mendengar suara-suara. Tangis. Hela napas. Gemerisik langkah. Kelopak kembang yang melayang-layang. Aku bergegas mendatangi tanah pekuburan. Jika ada yang meninggal hari ini, maka pria itu datang. Sang pendongeng kematian.
Benar dugaanku. Di sana dia berdiri. Di bawah bebatang kembang kamboja yang meranggas dan nyaris habis daunnya, dia menatap lurus ke sebuah makam. Dari senyumnya, aku tahu dia tengah merayakan kematian.
“Kenapa kau selalu datang setiap ada yang dimakamkan?” aku mendekat dan tak sanggup lagi mengunci mulut.
“Karena aku pendongeng kematian.”
“Kenapa kau bisa menjadi seorang pendongeng kematian? Itu bukan pekerjaan. Mana bisa kau menghasilkan uang dengan mendongeng.”
Pendongeng tua itu tak menjawab. Mendadak ia memutar kepalanya ke sisi kiri areal makam. Tangannya menunjuk saung kosong yang biasanya dipakai Mbok Darmi berjualan kembang dan air dalam botol kemasan, untuk para peziarah.
“Kasihan dia. Padahal kepalanya separuh gepeng, masih saja gelisah ingin menelepon isterinya. Seharusnya malam itu ia pulang kampung, menemani isterinya bersalin. Tapi di tengah jalan, motornya tersambar tronton.”
Aku memajamkan penglihatan ke arah saung Mbok Darmi. Tak ada lelaki yang kepalanya gepeng. Hanya ada saung butut beratap terpal rombeng.
“Tidak usah menakutiku. Aku tinggal di sini. Bualanmu tidak akan mempan buatku,” aku mengernyitkan dahi.
“Asal kau tahu, kuburan tidaklah sehening yang kau kira. Entah bagaimana awalnya, aku mudah mendengar suara. Memilukan. Rintih kesakitan. Raung kesepian. Isak kesedihan. Lalu, tanpa sempat kuijinkan, mereka menyembul satu persatu. Mengerubungi aku. Berebut menitip pesan. Memaksaku menyampaikan penyesalan mereka pada yang masih hidup.”
Sejenak aku menatapnya tak percaya, tapi akhirnya kuputuskan,kalau begitu, ceritakan satu dongeng buatku.”
Lelaki separuh baya berwajah tirus itu menoleh sambil tersenyum.
Pilih saja satu makam yang ada di sini. Akan kuceritakan dongeng kematian mereka, khusus untukmu.”
Bola mataku berbinar. Kulayangkan pandangan ke areal makam yang tampak seperti barak raksasa. Sekilas seperti ranjang yang penuh oleh orang-orang yang tertidur pulas. Rumput-rumput gajah di sekeliling makam meranggas akibat musim kemarau panjang. Hembusan angin ini sedikit menyejukkan di tengah sorotan sinar matahari yang mulai terik.
Setelah bingung memilih, kuarahkan telunjuk pada rombongan yang sedang berdoa sambil terisak, usai jenazah itu ditimbun tanah merah.
“Itu, yang baru dikuburkan saja.”
Mata sang pendongeng yang tertuju ke rombongan itu memicing sejenak. Tangan kanannya mengelus janggutnya yang sebagian sudah memutih.
“Baiklah, kuceritakan bagaimana lelaki itu kini terbujur kaku di liang lahat.”
Aku menegakkan tubuh, tanda waspada.
“Almarhum seorang pengusaha kayu sukses. Budiman Sanjaya namanya. Dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun. Memiliki seorang isteri yang setia dan dua anak yang dua-duanya kuliah di luar negeri. Mereka menikah di usia muda. Tiga tahun lalu baru saja merayakan ulangtahun pernikahan perak. Budiman itu pendiam, gila kerja. Maklum, dulu dia miskin. Terlalu miskin sampai dendam pada kehidupan. Dia tak sempat menjalin cinta. Perempuan adalah makhluk asing baginya. Bahkan pernikahannya dengan Aida adalah buah perjodohan orangtuanya.”
Ada yang berdesir di dadaku. Aku melirik ke arah kerumunan pelayat. Wajah-wajah sembab memenuhi tanah yang membusung. Seorang gadis muda, mungkin anak almarhum, histeris dan sedikit lagi mungkin pingsan. Ah, serindu itukah dia pada ayahnya? Seperti menelan empedu, pecah di dalam perut, aku merasa pahit. Bolehkah aku mencicip rindu itu? Tapi buat apa, toh aku tak tahu siapa ayahku.
“Budiman dan Aida hidup seperti di dalam dongeng. Tenang. Datar. Bahagia selamanya. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya. Aidalah pemilik kehidupan Budiman sesungguhnya. Persis gurita raksasa, Aida melilitkan tentakelnya, menjadikan Budiman boneka bertali yang bisa dia kendalikan.”
Aku melirik lagi. Yang mana Aida itu? Apakah wanita kurus jangkung di sisi makam Budiman, yang menatap kosong? Tatapannya setengah lega, selebihnya mengutuk. Mana sorot kehilangan atau merindu, kucari-cari di matanya. Aku menelan ludah. Mungkin cintanya ikut dipendam di liang lahat.
Lalu masuklah Rosie, reporter majalah bisnis. Dia mendapat tugas menulis profil Budiman untuk dimuat di majalah tempatnya bekerja. Kau pernah dengar witing tresno jalaran soko kulino? Begitulah.”
“Aida tidak curiga?”
“Saat kau merasa sudah mengendalikan seseorang sepenuhnya, kau akan lengah. Aida dengan santai menepis setiap gosip Budiman dan Rosie. Hingga suatu hari,...”
Nadanya menggantung di udara, menarik bulu kudukku bangkit.
“Apa? Apa yang terjadi?”
“Ada paket pos. Tanpa identitas pengirim.”
Sial, pendongeng ini benar-benar menggiringku dalam penasaran yang berputar-putar.
 “Dan hening malam itu digantikan lengking pembantu tua yang menemukan tuannya terbujur. Kaku berlumuran darah. Sepertinya sofa krem Da Vinci itu tuntas memerah. Televisi LCD di depannya, memutar adegan panas.”
“Budiman dan Rosie?” aku menelan ludah.
“Siapa lagi?”
Mata pendongeng kematian itu mengilat. Aku bergidik, entah ngeri mendengar dongengnya, atau melihat bola mata yang yang seakan berpendar. Dia membicarakan kematian, seakan itu hal yang menyenangkan, seperti gula-gula. Kurapatkan baju hangat. Entah dari mana angin kering berkesiur, menegakkan bulu-bulu kuduk. Aku tumbuh di tanah pemakaman, seharusnya tidak gampang ditakuti.
Terus bagaimana?” Aku mengatur posisiku, menyamankan diri.
“Ah, kau masih ingin mendengar kelanjutannya?”
“Tentu. Setiap cerita ada akhirnya. Apa mungkin dongeng tak memiliki akhir?”
“Apa mungkin manusia tidak mati?” dia balik menatapku dengan geletar binar yang menyambar-nyambar.
“Jika tidak ada yang mati, maka kau tak lagi bisa mendongeng.”
“Dan itulah akhir hidupku.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa yang akan terjadi kalau dongeng ini tamat?”
Seringainya merekah. Matanya liat menatap.
“Baiklah, akan kulanjutkan, seperti yang kau minta. Tentu dengan konsekuensi yang kau siap terima,” lengkung senyumnya melebar. Aku bisa melihat isi mulutnya. Kelam persis kedalaman lubang-lubang kubur yang nyaris menyentuh batas neraka.
Seketika itu juga intuisiku menjerit. Memintaku menarik kembali permintaan itu. Perasaan tak enak, tak nyaman, menggerayangi batinku. Namun, seperti manusia pada umumnya, rasa penasaran selalu membungkamnya.
“Budiman ditemukan terbujur kaku di sofa itu dengan jantung tertancap belati yang dihujamkan oleh isterinya. Persis dua minggu setelah Budiman membunuh Rosie, karena dia bersikukuh tak mau menggugurkan kandungannya. ”
“Apa,... apa Rosie sudah mati?” Ada yang menggeliat di dadaku. Perih. Bara yang menyala. Duka yang berkepanjangan. Bertumpuk-tumpuk, bertindihan. Padahal aku tak mengenal nama-nama dalam kisah pendongeng kematian, kenapa terasa lekat? Kenapa jantungku seperti diikat kuat-kuat?
“Berarti bayi yang dikandungnya juga ikut mati?” tanyaku lirih.
Bagai menerima gelombang supersonik, kepalaku tiba-tiba merasakan sakit yang sangat. Kutempelkan kedua tanganku di telinga yang mendengung usai mendengar kisah si pendongeng. Kenapa pula kini tubuhku menggigil.
“Sekarang, apa kau siap dengan konsekuensi saat dongeng ini diakhiri?”
Sakitku kini mulai menjalar ke dada. Seperti dirajam ribuan jarum. Tubuhku kian bergemeletak kala desir angin semakin kencang. Lalu samar kulihat butiran pasir yang tersapu angin, perlahan membentuk bayangan lelaki separuh baya, serta seorang wanita cantik berdiri di sampingku, dengan raut wajah penyesalan yang sangat dalam.
Untuk pertama kalinya aku didera rasa takut. Segera aku mencari si pendongeng. Aku membutuhkan akhir dari cerita ini. Kupalingkan pandanganku ke seluruh penjuru areal makam, namun sosoknya sudah tak nampak lagi. Hanya suara sayup di tengah heningnya tanah pekuburan yang terbakar terik matahari.
“Kuanggap kau sudah tahu akhir dari kisahku. Selamat tinggal dan maafkanlah kedua orangtuamu.”
***
Tangerang-Bekasi, 27 April – 7 Agustus 2013
 
*catatanku:
Menulis cerpen duet itu berat banget, terlebih gaya penulisanku dan Ade berbeda banget. Aku menulis dengan manis, romantis, lembut mendayu. Sedangkan Ade lebih lugas, gelap, dan meledak-ledak (sebagai penggiat Fiksimini, Ade terbiasa memasang bom di tulisannya). Jujur, aku yang beberapa kali menyerah dalam proyek penulisan ini. Namun, salut untuk Ade yang nggak rewel dan sabar menunggu, sampai aku merasa nggak enak sendiri dan akhirnya membulatkan tekad untuk menyelesaikannya. Proses penulisannya seperti ini: Aku membuka dengan fragmen pertama, sepanjang beberapa paragraf awal. Kemudian setelah aku "puas", aku memberikan tongkat estafet dan Ade melanjutkannya. Karena aku membuka, maka Ade yang menutup ceritanya. Kami sama sekali tidak merancang arah cerita. Tokohnya bercerita sesuai kehendaknya sendiri. Aku dan Ade hanya medium untuk menyampaikan. Selebihnya proses duet ini seru banget! Sayangnya, dalam waktu dekat baik aku dan Ade belum memutuskan membuat cerpen duet lagi. Mungkin segera. Mungkin duetnya bukan dalam bentuk cerpen. Enthalah. :)
Anyway, terima kasih telah membaca. Ditunggu komentarnya. :*

Sabtu, Juli 19, 2014

Menikmati Hidangan Kenangan di Kedai Bianglala

Selamat datang di Kedai Bianglala


Jauh sebelum aku menulis novel After Rain yang rilis di Gagas Media September 2013, aku sudah menulis sejumlah cerpen. Impianku sejak dulu adalah merilis kumpulan cerpen tunggal. Selama ini, aku selalu tergabung dalam karya antologi kolektif bersama penulis lain. Entah kenapa, ada lubang di dada, ada rasa tidak tergenapi. Aku semakin ingin menelurkan buku kumpulan cerpen tunggal.

Dan kemudian, seperti yang telah diatur tangan semesta melalui Penerbit Grasindo, Kedai Bianglala hadir. Ini karya kumpulan cerpen tunggal perdanaku. Kakak bagi kumcer-kumcer lainnya di masa depan. Di sini ada dua puluh cerpen beraura pop; sebagian sudah pernah dimuat dan sebagiannya lagi merupakan karya yang belum menetas di media manapun.

Kenapa kupilih judul Kedai Bianglala? Suatu hari, aku diajak makan es krim tempo doeloe di bilangan Malioboro, Jogjakarta. Suasana kedai es krimnya klasik, dengan langit-langit dicat merah jambu dan ungu. Kemudian, terbetik sebuah kisah tentang perempuan yang menikmati hidangan kenangan di sebuah kedai bernama Kedai Bianglala. Kuceritakan premisnya itu pada lelaki yang menemaniku, dan yang dia bilang hanya: tuliskan. Dia juga menyuruhku memotret seisi kedai, agar penggambaran latarnya lebih sempurna. Akhirnya, frase inilah yang kupilih untuk menjadi benang merah dari sekian banyak cerpen yang terangkum di sini.

demi seorang perempuan rumit, luka-duka, dan lelaki-lelakinya

Kurasa memang betul jika kujuduli kumcer ini Kedai Bianglala. Tentang sebuah kedai, yang menghidangkan kenangan, yang memuaskan lapar dan dahaga dalam hati perempuan yang mengunjunginya. Bukankah begitu,... Tidak kupungkiri ya kalau cerpen ini terasa sekali aura perempuannya. Mungkin jika yang membacanya para lelaki, tentu ada ketidakseimbangan bergolak, berujung pada ketidakpuasan. Namun, itulah indahnya sebuah karya. Menghadirkan rasa yang berbeda di setiap hati yang disentuhnya.

Cerpen-cerpen di sini mengisahkan relasi perempuan dengan lelaki-lelakinya; tentang hati seorang perempuan rumit yang mudah jatuh cinta kemudian sakit, kemudian jatuh cinta lagi hanya untuk kembali sakit. Siklus masokis hati. Tapi, hey, bukankah setiap manusia sesungguhnya pecandu rasa sakit dan setiap perempuan itu rumit?

Jadi, kau boleh saja lelaki atau perempuan atau di antaranya; kau tetap membutuhkan tempat untuk menikmati hidangan kenanganmu sendiri.

Selamat membaca!

PS: 
Silakan baca beberapa reviu teman-teman di bawah ini, yang entah kenapa sebagian besar laki-laki. 
1. Sungging Raga pertama kali mereviu buku ini di sini dan bilang, "Intinya, buku ini sangat perempuan, lengkap dengan kesenduannya, kemampuan mengolah perasaannya sendiri lewat ungkapan kata-kata, lewat kejadian-kejadian sederhana, lewat obrolan sehari-hari yang memang menjadi ciri khas perempuan."
2. Pringabdi Surya berkata, "Aku pikir buku ini telah memberikan aku penggambaran tersendiri tentang perempuan." di sini
3. Teguh Afandi pun bilang, "Anggun menarik kacamata pengamatan wanitanya lebih luas. " di sini
4. Guntur Alam berkata, "Dari sekian cerpen yang ada, aku mengamati jika Anggun seorang pencerita yang bagus. Jalinan kisah dalam bukunya manis. Tak membuat kening berkerut." di sini
5. Ada pula di sini yang bilang "Yang pasti, Buku Kumpulan Cerpen ini cocok banget buat kaum perempuan. Aura feminimnya berasa deh."


Jumat, Juli 04, 2014

Selamat Ulang Tahun, Gagas Media

Gagas Media yang kusayangi,

Selamat ulang tahun. Hari ini engkau genap sebelas tahun. Kalau kau murid SD, aku membayangkan rentetan permintaan kado atau ajakan jalan-jalan yang kau ingin dapatkan di hari spesialmu. Mungkin mainan robot-robotan ala transformer atau boneka Barbie; atau malah seperti anak jaman sekarang, kau minta dibelikan tongsis. 
Tapi kau bukan anak SD. Engkau adalah rumah.
Rumah pertama yang mengadopsi novel solo perdanaku; dan juga novel-novel selanjutnya.


Perkenalan intim pertamaku dengan GagasMedia tentu berkat tangan Alexander Thian. Suatu malam ketika aku ada acara di Kinokuniya, Plaza Senayan, Alex mengajak ketemuan. Kupikir hendak ditraktir Alex, karena kalau tidak salah Alex baru saja berulang tahun. 
Ternyata di sana, aku dikenalkan dengan kru GagasMedia, di sebuah restoran, kalau nggak salah Marche atau di mana ya, lupa hehehe... Tapi aku ingat kru GagasMedia yang datang: ada Mbak Windy Ariestanty, Mbak Resita, Patresia, dan Om Em. Seharusnya ada Jia Effendi juga, tapi nggak tahu kenapa malam itu dia nggak bergabung. 

Ngobrol-ngobrol, ternyata aku ditanya apakah tertarik menerbitkan novel. Waktu itu masih gamang. Sebagai penulis cerpen, tentunya aku tidak terbiasa menulis novel yang butuh perencanaan matang dan napas panjang. Aku pun ditanya, apakah ada naskah-naskah cerpenku yang mempunyai potensi untuk dijadikan novel. Setelah kupikir-pikir, aku teringat draft fragment pendek yang berjudul "Rooftop Sunset" yang pernah kuikutkan di salah satu event Gagas Media "Holiday Writing Challenge" tahun 2012, walau tidak menang. Aku pun menceritakan premis fragmen pendek itu. Akhirnya kami semua terlibat diskusi. Aku terkesan sekali dengan keakraban mbak Rere dan Patres yang mengulik premisku, memberikan masukan dan bahkan, semangat untukku menulis novel. 

Aku pun pulang dengan masih membawa pertanyaan, apa aku sanggup menulis novel?

Pertemuanku dengan tim Gagas Media selanjutnya, membawaku berkenalan dengan Abang Christian Simamora. Jia yang saat itu sedang bersama Abang, menanyakan kapan akhirnya aku menulis novel. Aku masih ragu. Mereka terus menyemangati dan Abang berkata; lebih atau kurangnya begini; sebagus atau sejelek apapun menurutmu sebuah cerita, kalau masih mengawang-awang di kepala dan belum dituliskan secara utuh, kita tidak akan pernah tahu.

Akhirnya aku memberanikan diri menggarap bibit awal cerita itu menjadi draf yang berjudul "Serenade Senja". Akhirnya aku mengalami apa itu namanya revisi editor. Bagaimana naskahku ditelaah, disunting, diberi catatan di sana-sini. Aku belajar banyak. Penulisan novel memang berbeda dengan cerpen yang selama ini aku geluti. Tertatih-tatih, tapi seru.
Setelah diskusi dan revisi bersama Jia Effendi dan Gita Romadhona selaku editor, perdebatan memilih judul dan menyusun blurb, akhirnya novel perdanaku rilis tanggal 2 September 2013. (Aku masih ingat karena 2 September = tanggal 2 bulan 9 = 2+9 = 11)


Rasanya mau menangis nggak percaya saat akhirnya aku bisa menelurkan sebuah novel. After Rain adalah novel solo perdanaku dan Gagas Media bersedia sejak awal terlibat dalam prosesnya, dengan sangat telaten sekali. Aku masih ingat bagaimana rempongnya ketika harus ke kantor Gagas Media pertama kalinya. Nyaris nyasar dan hampir nangis di Pasar Minggu karena nggak tahu harus ke mana untuk tiba di sana. Ketika akhirnya sampai, dengan suasana kantor yang rumahan, sambutannya sangat menyenangkan. Aku dan para editor Gagas Media ngobrol. Keakraban mereka membuatku betah. Dan aku sempat-sempatnya sharing tentang Food Combining di kubikelnya Jia, bareng Jia, mbak Rere, dan Patres. 

Aku beruntung sudah menjadi bagian dari keluarga besar Gagas Media. Keakraban dan kehangatannya membuatku nyaman dan selalu merasa diterima. Mbak Windy, Jia, Om Em, mbak Rere, Patres, Michan, mbak Gita, Bara, dan semuanya. Sunday Meeting-nya yang aku suka banget, program-program promo, sesi ngobrol setelah event-event Gagas yang selalu seru dan membawa ke A-Ha! moment. I'm glad to be with you. 

Seperti yang kubilang tadi, Gagas Media sudah bukan seperti penerbit semata, melainkan rumah.

Selamat ulang tahun ke-11, Gagas Media, semoga panjang umur tanpa batas, menerbitkan karya-karya yang menghidupkan dan memandaikan para pembaca seluruh Indonesia.

Terima kasih telah menjadi rumah untuk naskah-naskahku. 
Semoga hubungan ini seperti tagline ulang tahunmu kali ini, terus tak terputus tanpa batas. 

Senin, Juni 30, 2014

PEREMPUAN SEPI DI UJUNG JALAN

Photo: Silakan baca cerpenku "Perempuan Sepi di Ujung Jalan" yang dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014. Cerpen ini merupakan caraku berduka atas kepergian sepupuku, alm. Devi Hardinata. Semoga dia bahagia di sisi-Nya.
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014
Bertahun-tahun aku bertetangga dengan Mak Ndari, tak sekalipun aku melihat dia tinggal bersama orang lain. Sepertinya dia lebih tua dari ibuku. Kutebak itu dari rambut kelabu dan kerut yang persis akar rambat menjalari wajahnya. Namun, jangan minta aku menerka siapa suaminya, berapa anaknya, dan di mana mereka kini. Kisah hidup Mak Ndari sama seperti pintu rumahnya; selalu rapat tak tercungkil, tak bisa dimasuki.
Kami bertetangga di sebuah jalan sepi, melengkapi keterpencilan kota kecil kami. Rumah yang dia tinggali ikut menua bersamanya. Warna tembaga atapnya memudar. Dindingnya mengelupas di beberapa sisi. Ada noda-noda tak beraturan bekas bocor musim penghujan lalu. Aku selalu melewati rumah berpagar setinggi dahi orang dewasa itu tiap hendak ke pasar. Yang terlihat hanya teras sepi penuh pucuk lidah buaya dan kembang yang menggerumbul di pot-pot gantung. Jika beruntung, bisa kulihat ujung kepalanya terangguk-angguk mengantuk di sandaran kursi malas. Terkadang ia menyirami taman kecilnya. Bibirnya bersenandung, beriringan dengan semilir angin, seakan hendak memecah kesunyian yang melingkupinya.
Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa betah dalam hening seperti itu? Tanpa suami, tiada anak. Sering aku tergoda membunyikan selot pagar rumahnya, lalu menanyakannya itu.
Suamiku menanggapi hal ini dengan kalem. “Kalau mau berkunjung, tinggal datang saja. Tak perlu alasan.”
“Mungkin aku bisa membawakannya pisang goreng? Menurutmu dia apa suka? Atau lebih baik ubi rebus saja?”
“Entahlah.”
“Aku penasaran apa Mak Ndari pernah menikah. Punya anak? Seperti apa masa mudanya dulu? Kurasa dia perempuan yang cantik. Lihat saja matanya yang bulat besar dengan bulu mata lentik. Mata seperti itu pasti banyak melumpuhkan laki-laki.”
“Perempuan cantik tidak selalu kekasihnya banyak.”
“Pasti banyak yang menggodanya. Rasa-rasanya dulu juga banyak lelaki yang menggodaku. Aku rindu masa-masa itu.”
“Kau ingin digoda laki-laki?” Alis matanya naik sebelah.
“Bukan dalam konteks genit dan merendahkan. Rasanya menyenangkan jika menjadi pusat semesta seseorang. Membayangkan hanya diri kita yang ada di pikirannya, membuatnya tergila-gila dan berdebar. Seperti memasang kembang api di dada seseorang dan meledakkannya. Dan kalau kupikir-kupikir…,”
“Apa?”
“Sudah lama kau tak menggodaku.”
Begitulah kami. Menikah sekian lama dengan sifat bertolak belakang. Watak rumit dan sederhana jalin-menjalin seperti kepang anak perempuan kami yang makin kebas dengan perdebatan konyol kami. Namun, aku sangat mencintai suamiku. Kurasa hanya dia lelaki yang betah meladeniku, yang selalu merumitkan segalanya.
Itulah sebabnya aku sungguh tak paham bagaimana Mak Ndari kuat hidup sendiri; tanpa dikelilingi orang yang dicintai, dalam sebuah rumah yang ikut menua bersama dirinya.
***
Pagi itu dadaku busung oleh niat bulat mengunjungi Mak Ndari. Tepat setelah suami dan anakku berangkat, aku mandi cukup lama. Berbekal blus terbaik dan parfum aroma vanilla, aku menuju rumah itu. Di tanganku tergenggam kotak berisi pisang goreng yang hangatnya menggigit-gigit kulitku. Ragu pun mulai tumbuh. Awalnya berupa tunas, tahu-tahu sekejap merimbun oleh gentar kalau-kalau nanti aku diusirnya.
Kudentangkan selot pagar yang bau karatnya menyodok hidung. Yang kali kedua lebih nyaring, takut tak cukup terdengar. Penuh cemas, aku berjinjit mencuri lihat. Akhirnya pintu itu berderit. Nyaris aku meloncat kegirangan melihat Mak Ndari datang.
“Ya?” Mak Ndari berdiri di ujung teras dengan atasan putih dan rok batik yang lusuh. Rambutnya digelung, menunjukkan leher yang mungkin di masa kejayaannya, mengundang banyak lelaki tergiur mengecupnya.
“Kubawakan pisang goreng untuk Mak,” ujarku sesopan mungkin. “Mak suka pisang goreng, kan?”
“Kata siapa?”
“Siapa yang tidak suka pisang goreng, Mak?” aku tersenyum canggung.
Kami pun duduk di teras. Ada gelembung penasaran yang nyaris meletus di dada. Pintu rumahnya sedikit terkuak. Aku persis anak kecil yang menempelkan muka di etalase toko permen. Seperti apa perabotan di dalam? Adakah bingkai besar yang memasang foto Mak Ndari bersama suaminya? Kubayangkan Mak muda mengenakan kebaya pengantin putih menggamit lengan kokoh seorang letnan berseragam lengkap dengan mata tajam.
Pertemuan itu berakhir dalam lima menit. Mak Ndari memindahkan pisang goreng ke piringnya sendiri, lalu mengembalikannya kembali tanpa bicara. Namun, sorot matanya menatapku penuh makna. Sekilas tangan Mak Ndari terangkat hendak membelaiku, tapi diurungkannya. Tepat sebelum aku pulang, dengan suara pelan sekali dia berkata, “Kemarilah lagi besok. Ganti aku yang membuatkanmu pisang goreng.”
Ah, tak sabar rasanya kuceritakan ini kepada suamiku yang tentu hanya berdeham tanpa ekspresi.
***
Di hari-hari selanjutnya, di teras itu akan tampak aku dan Mak Ndari, dipisahkan meja bundar bertaplak rajut, penuh oleh kudapan dan minuman hangat. Mak Ndari tetaplah Mak Ndari yang lebih suka diam. Akhirnya akulah yang banyak bercerita. Tentang anakku yang beranjak remaja. Tentang resep baru yang kutemukan di majalah wanita. Tentang masa mudaku yang tentu sedikit kubumbui agar lebih menggigit. Namun, lebih sering aku mengadu tentang suamiku yang terlampau tenang.
“Kenapa dulu menikahinya?” tahu-tahu Mak Ndari bersuara.
Aku terdiam. Jawaban pertama yang terlintas adalah karena cinta. Entah kenapa aku merasa bukan itu jawaban yang dicarinya.
“Seperti apa cintamu untuknya? Ada cinta yang meledak-ledak. Membuatmu hidup hingga membakarmu hidup-hidup. Ada cinta yang hening. Membuat hidupmu tenang sampai menenggelamkanmu dalam-dalam.”
“Mak sudah lama hidup sendiri? Pernah jatuh cinta dan hidup bersama seseorang?”
Dia menyeruput tehnya. “Aku berhenti jatuh cinta. Kuputuskan hidup dalam sepi. Kau kira kau beruntung. Punya anak dan suami. Tapi apa jadinya kalau suatu hari kau terbangun dan mereka tak lagi ada di sisimu. Kau pun sadar, selama ini kau sendiri, tak pernah benar-benar memiliki seseorang untuk selamanya.”
Aku menelan ludah membayangkannya. Kutatap bola matanya yang sendu. Ada kenangan berenang-renang di sana. Apa dia pernah mengalami kehilangan yang terlampau besar? Siapa yang melukainya sedalam itu?
“Mak tidak takut hidup sendiri?”
“Kita lahir sendiri. Mati juga sendiri. Mereka yang ada di sekeliling kita diciptakan untuk pergi suatu hari nanti. Jadi apa gunanya hidup bersama seseorang? Lebih baik sendiri sejak awal.”
“Dulu aku sepertimu. Sebentar lagi kau yang akan sepertiku,”
Matanya mengunci tatapanku. Binarnya mengilat, seakan dipulas lapisan kaca hitam yang lama-lama meleleh. Meluber ke mana-mana, menularkan kesedihan. Tahu-tahu kudapati tanganku, bahuku, rambutku, semuanya diselimuti selaput bening kehitaman. Lama-lama mengerumuniku dalam hitam sebenar-benarnya.
Seketika aku meronta, cepat-cepat keluar dari sana. Kukibas tangan berkali-kali, berusaha menghilangkan selaput yang membungkusku tadi. Kulihat suamiku baru turun dari mobil. Langsung saja kupeluk dari belakang. Kuhirup wanginya dalam-dalam. Awalnya dia meronta, tapi pelukanku yang makin mengunci tubuhnya membuatnya pasrah.
“Kenapa kamu?” tanyanya tenang. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tak lagi kuinjakkan kaki ke rumah itu. Bahkan kupercepat langkah tiap melewatinya menuju pasar. Mak Ndari pun kembali mendekam dalam kesendiriannya. Namun, ucapannya seperti bibit kanker yang tumbuh di jiwaku. Kuperhatikan anak perempuanku. Semakin besar, semakin sering dia keluar bersama teman-temannya. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kehidupan benar-benar  merenggutnya dariku. Suamiku, yang tak pernah alpa mengecup keningku tiap berangkat kerja, hanya tertawa saat kuberitahu ketakutanku kalau dia pergi tak kembali lagi.
“Kau ini,” dia hanya mengusap rambutku dan mengecupku lebih dalam beberapa kali. Aku cuma berani menangis di dalam dada, tak ingin membebaninya dengan sulur sepi yang makin rimbun di kepalaku. Kurasa Mak Ndari berhasil membenamkan benih ketakutan ditinggalkan. Kini aku tak tahu bagaimana menebas habis itu semua.
Kupandangi punggung suami dan anakku yang menjauh setiap pagi. Sepanjang hari aku disiksa detik jam yang berputar, bertanya-tanya apa mereka akan pulang. Aku cuma memikirkan kepergian dan ditinggalkan; tentang sepi dan sendiri.
“Kau benar-benar setakut itu kalau aku tidak pulang?” tanya suamiku di sela pelukku. Kutatap matanya. Jernih tanpa prasangka; membuatku berpikir, apa dia tidak takut kalau suatu hari aku akan meninggalkannya? Bahwa bisa saja aku yang pergi dan dia hidup sendiri?
Kulepaskan pelukan dengan hambar, membiarkannya beranjak ke kamar mandi seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat pula anak perempuanku. Keduanya melesat makin cepat. Punggung-punggung mereka menjauh. Tiap kali kuulurkan tangan untuk meraih mereka, seperti makin lebar bentangan jarak itu. Untuk pertama kalinya aku merasa kosong. Sepanjang malam aku tak berani memejamkan mata, karena tiap kali kulakukan itu, aku melihat Mak Ndari menatapku. Dia benar. Sebentar lagi aku akan menjadi seperti dirinya. Menua dalam sepi.
Kami berpapasan lagi suatu pagi. Mak Ndari membuang sampah di depan rumah dan aku hendak ke pasar. Mata kami bertautan, menghantarkan dingin yang membuat bulu kudukku meremang. Sayu mata penuh kesepian itu bersiap mengisapku.
Aku bergegas berbalik arah, tak menoleh lagi. Dengan napas terengah, tanganku gemetar membuka pintu. Aku disambut bayangan sendiri di pantulan jendela depan. Bayanganku tampak lebih tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi serta baju lusuh. Ia tersenyum dengan tangan terulur. Bola matanya berpendar. Mengilat kelam, siap tumpah dan menyambar tubuhku—menyelimutiku dalam sepi.
Aku segera menelepon suamiku. Menyuruhnya berhenti kerja. Pulang detik ini juga dan tidak pergi-pergi lagi seterusnya. Ah, juga anak perempuanku. Dia harus tetap tinggal di sini, menghabiskan umurnya bersama ibu yang dia cintai.
Kau lihat itu, Mak Ndari? Aku tak akan jadi sepertimu—seorang perempuan sepi yang tinggal di ujung jalan.
***
GM, 15-17 April 2014
Ditulis dalam kenangan sepupuku, alm. Devi Hardinata
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014