Powered By Blogger

Rabu, Oktober 08, 2014

Membentuk Manusia Lewat Pendidikan

Tadi pagi, aku membahas topik menarik bersama murid-muridku di kelas 11. Aku melemparkan pertanyaan begini:

Menurut kalian, apa yang membentuk kepribadian seseorang, genetis atau lingkungan?

Tentu saja ada yang dengan yakin menjawab, “genetis, Miss, soalnya kan biasanya perilaku anak nggak jauh-jauh dari orangtuanya. Seperti watakku yang mirip watak papi.”
Lalu kutanya, “berarti, kalau Miss mengadopsimu, kira-kira watakmu tetap sama seperti papimu?”
“Belum tentu juga sih, Miss.”
“Kan keturunan papi.”
“Tapi kan lingkungannya beda.”
“Berarti, faktor genetis nggak punya andil dalam membentuk kepribadian seseorang?”
Dia tercenung sendiri. Lalu, kuminta para siswa melanjutkan diskusi sesuai panduan yang tersedia.


Mungkin di antara yang membaca tulisan ini, akan ada satu-dua yang merenung mencari jawaban yang sama dari pertanyaan di atas. Idealnya memang ada kombinasi proporsional mengenai yang manakah yang paling berperan dalam pembentukan karakter. Faktor genetis merupakan blue print manusia, tapi lingkungan tentu juga berkontribusi dalam pengembangan karakter manusia.

Menurut kalian, apakah Clark Kent tetap menjadi pahlawan pembela kebenaran bernama Superman jika kapal yang mendaratkannya di bumi ditemukan bukan oleh Jonathan Kent, melainkan Lionel Luthor?

Seorang filsuf bernama John Locke di abad ke-17 mengenalkan konsep tabula rasa, di mana dipahami bahwa setiap manusia terlahir sebagai kertas kosong. Yang membentuk manusia sedemikian rupa adalah melalui pengalaman-pengalaman empiris dalam hidupnya; terkadang mengubah identitas naluriahnya sebagai manusia, ada pula yang tak sanggup mengingkari kemanusiaannya.

Tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan salah satu media atau alat yang lumrah digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, serta intelektualitas. Pendidikan didesain sedemikian rupa. Dalam tatanan ideal, strukturnya dirancang imbang antara pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku. Diharapkan, dengan adanya pendidikan holistik yang menyentuh ketiga aspek ini, manusia-manusia “kertas kosong” ini bisa menjadi sosok-sosok berkualitas yang sanggup menjadi pribadi tangguh dalam hidupnya.

Semangat itulah yang kiranya mendasari perubahan aspek penilaian dalam kurikulum 2013 atau #K13 ini. Dengan tidak lagi dititikberatkan pada pengetahuan, pendidikan juga menyasar pada ketrampilan, serta yang tak kalah pentingnya, sikap.

Tahun ajaran ini, sesuai dengan instruksi yang tercantum dalam kurikulum 2013 atau #K13, aku dan semua guru di seluruh Indonesia yang sekolahnya menerapkan #K13 mulai melakukan penilaian sikap secara menyeluruh. Di kelas, aku menyebutnya attitude assessment. Nilai sikap ini diambil dari beberapa sudut pandang, yaitu siswa menilai diri sendiri, siswa menilai temannya, serta siswa dinilai melalui observasi dan jurnal guru. Aspek-aspek yang dinilai antara lain: aspek spiritual, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, disiplin, tenggang rasa, toleransi, dan sopan santun.

Tentu saja tidak mudah menerapkan penilaian sedetail ini. Waktu kegiatan belajar-mengajar bisa jadi habis hanya untuk melakukan penilaian saja, bukan untuk penyampaian materi dan pengayaan bahan pembelajaran. Nah, di sinilah peran guru sebagai manajer di kelas sangat diperlukan.

Setidaknya, dengan adanya penilaian sikap ini, siswa akan belajar untuk melakukan refleksi pada dirinya sendiri—apakah dia sudah bersikap baik, menurut indikator penilaian sikap yang tadi disebutkan. Siswa juga belajar untuk menilai orang, bercermin dari sikap orang lain dan membandingkannya dengan sikapnya sendiri. Siswa akan “dipaksa” berlaku baik, karena penilaian yang terus berkelanjutan, di mana pada akhirnya diharapkan menjadi kebiasaan, bukan sekadar kepura-puraan di kelas demi nilai semata. Guru pun lebih mengenal siswa-siswanya secara personal, sehingga mampu mengayomi dan mendidik mereka sesuai dengan keunikannya sendiri.


Begitulah, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “weakness of attitude becomes weakness of character,” maka jadikanlah pengembangan sikap yang baik sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan, yang nantinya berbuah manis dalam bentuk manusia-manusia Indonesia yang tangguh, siap bersaing, sekaligus berkarakter yang membanggakan.

Minggu, September 21, 2014

Guru dan Kurikulum-(Baru)-nya

Tepat 4 Juli 2011, itu hari pertamaku jadi guru. Padahal, ketika masih bersekolah dulu, guru bukan jadi profesi idamanku sama sekali. Kenapa? Karena dulu, belajar di sekolah bersama guru itu tidak menyenangkan.
Waktu itu, aku masih belajar di sebuah SLTP negeri sebuah kota kecil di Jawa Timur. Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran favoritku (mungkin itu salah satu alasannya aku sekarang mengajar bahasa Inggris). Kesukaanku mendengarkan musik dan film barat membuat bahasa Inggrisku di atas rata-rata teman-temanku. Namun itu menjadi masalah, karena aku cenderung bosan dan malas di kelas, karena materi pelajarannya kurang menantang.
Buatku, belajar bahasa dari lagu lebih asyik. Pembelajarannya mencakup listening (mendengarkan bagimana tiap kata dilafalkan), reading (membaca lirik, mengasosiasikan makna tiap kata sehingga konteks lagu dipahami), speaking (menyanyikan liriknya sesuai pelafalan penyanyi aslinya), dan writing (aku dulu punya kebiasaan menyalin lirik-lirik itu di buku tulis, sehingga melatih ejaan dan tata bahasa secara tidak langsung). Sedangkan proses yang sama tidak kudapatkan dari guruku dan aktivitas belajar di kelas.
Ketika hari-hari pertama aku menjadi guru, aku punya ketakutan.
Mau jadi guru yang seperti apa?
Bagaimana kalau aku punya murid seperti “aku” masa kecil dulu, terlalu pintar sehingga jadi pembosan dan pemalas karena gurunya tidak bisa “memahami kebutuhan muridnya”?
Bagaimana kalau ternyata muridku nanti lebih pandai dariku?

Ilustrasi diambil dari sini

Aku sempat mengajar menggunakan kurikulum KTSP selama 3 tahun. 2014-2015 adalah tahun ajaran pertamaku bersama Kurikulum 2013. Kebetulan, aku mengajar di sekolah nasional plus, di mana fasilitas lengkap, terdapat integrasi kurikulum nasional dengan internasional, serta murid-muridku punya dasar bahasa Inggris yang cukup kuat. Jangan salah. Poin terakhir ini justru krusial, karena tugasku kini bertitik pada mengembangkan skills mereka, bukan malah menumpulkannya.
Teknologi jaman sekarang memungkinkan anak mudah mengakses informasi seluas-luasnya. Terlepas apapun polemik penerapan Kurikulum 2013, guru tetaplah salah satu ujung tombak fasilitator pembelajaran. Kurikulum boleh tidak sempurna, tapi guru yang paling memahami kondisi di lapangan. Maka benarlah kutipan Kepala Sekolahku, teaching is an art.
Kurikulum 2013 atau disingkat K-13 merupakan pengembangan dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Di KTSP, kegiatan inti proses belajar terbagi menjadi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Sedangkan kegiatan inti pembelajaran dalam K-13 diperluas menjadi observing, questioning, collecting information, associating, dan communicating. Maaak, itu bahasa dewa semua. Mana mengerti?
Singkat kata begini, kegiatan inti pembelajaran K-13 dititikberatkan pada aktivitas siswa, sementara guru merupakan fasilitator. Pada tahap observing, siswa akan diajak mengamati topik yang hendak dipelajari. Di tahap ini, guru bisa menggunakan banyak media misalnya buku, musik, film, video, artikel, foto, dsb. Nah, saat mengamati ini, guru memberikan stimulus, sehingga siswa terpancing untuk bertanya (tahap questioning). Siswa belajar menjadi kritis. Segala bentuk pertanyaan ditampung, dipertajam, tidak dihakimi, sekaligus diarahkan. Nah, dari pertanyaan-pertanyaan itu, siswa dan guru mencari informasi (tahap collecting information) dari buku dan sumber-sumber lain. Ingat, anak jaman sekarang adalah generasi melek teknologi, jadi guru memberikan kebebasan mengakses informasi, walau tetap diawasi sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. Dari informasi tersebut, anak menghubungkan dan memilah informasi mana yang diperlukan (tahap associating) dan menerapkannya dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran (tahap communicating).
Hasil akhirnya pun memiliki bentuk beragam. Misalnya pada bahasa Inggris SMP-SMA yang kuajar tahun ajaran ini, murid-murid membuat booklet makanan khas Indonesia dengan narasi pengantar bahasa Inggris menggunakan grammar point kata kerja to-infinitive, poster diri yang membahas pengalaman unik di masa kecil yang merupakan penerapan penggunaan simple past tense dalam kehidupan sehari-hari, presentasi badan kemanusiaan yang ada di Indonesia setelah membahas artikel sebuah gerakan kemanusiaan di dunia, menggambar peta dan petunjuk arah sederhana setelah mempelajari prepositions and indirect questions, atau membuat talk show sederhana yang direkam (integrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan TIK). Masih banyak hal-hal lain yang bisa membuat siswa bersemangat—belajar tapi seakan tidak belajar—karena melalui aktivitas yang menyenangkan dan menantang, tentunya sesuai dengan tujuan pembelajaran di awal.

Satu yang kupelajari setelah nyaris empat tahun mengajar, ketika di kelas siswa belajar, sesungguhnya sang gurupun juga tengah belajar.

Orang akan menyebutku beruntung karena sekolah tempatku mengajar dan murid-murid yang kuajar memungkinkan aku menerapkan hal-hal ini. Mungkin aku takkan bisa melakukannya di sekolah-sekolah di desa-desa tertinggal di Indonesia. Namun, sekali lagi, teaching is an art. Kurikulum 2013 menyediakan panduannya, dan terlepas dari segala kekurangan dan polemiknya, gurulah fasilitatornya untuk membuat proses pembelajaran menjadi lebih “hidup”. Toh tujuannya tetap sama, memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi siswa.

Selasa, Juli 22, 2014

PENDONGENG KEMATIAN

sebuah cerpen duet karya Ade Yusuf dan Anggun Prameswari


dimuat di harian Tribun Jabar, Minggu, 20 Juli 2014

Dari kasak-kusuk yang kudengar, ada seorang pria yang suka bertandang, mengunjungi pemakaman-pemakaman. Baginya, pemakaman adalah perayaan. Dia sering mengunjungi pemakaman, upacara kremasi, atau ruang persemayaman. Datang paling awal, berdiri di sudut terpisah dari pelayat lainnya, dan pulang paling akhir. Selalu ada senyum penuh debar di wajahnya. Seakan ada yang dia tunggu. Dari kasak-kusuk yang sama, aku tahu bahwa dia juru dongeng; dan yang didongengkannya adalah dongeng kematian.
Kami tidak saling kenal, tapi punya satu persamaan. Kami sama-sama dekat dengan kematian. Jika dia pendongeng kematian, maka aku tumbuh di antara makam-makam dan wajah-wajah pelayat yang silih berganti. Rumah yang kutinggali persis di samping pemakaman. Jika kupikir-pikir, entah sejak kapan aku tinggal di sana. Waktu seperti mengabur di benakku. Hari persis daun yang berguguran dan digantikan helai baru, terus berputar tanpa penanda.
Saat aku menyadari pagi ini berganti, aku mendengar suara-suara. Tangis. Hela napas. Gemerisik langkah. Kelopak kembang yang melayang-layang. Aku bergegas mendatangi tanah pekuburan. Jika ada yang meninggal hari ini, maka pria itu datang. Sang pendongeng kematian.
Benar dugaanku. Di sana dia berdiri. Di bawah bebatang kembang kamboja yang meranggas dan nyaris habis daunnya, dia menatap lurus ke sebuah makam. Dari senyumnya, aku tahu dia tengah merayakan kematian.
“Kenapa kau selalu datang setiap ada yang dimakamkan?” aku mendekat dan tak sanggup lagi mengunci mulut.
“Karena aku pendongeng kematian.”
“Kenapa kau bisa menjadi seorang pendongeng kematian? Itu bukan pekerjaan. Mana bisa kau menghasilkan uang dengan mendongeng.”
Pendongeng tua itu tak menjawab. Mendadak ia memutar kepalanya ke sisi kiri areal makam. Tangannya menunjuk saung kosong yang biasanya dipakai Mbok Darmi berjualan kembang dan air dalam botol kemasan, untuk para peziarah.
“Kasihan dia. Padahal kepalanya separuh gepeng, masih saja gelisah ingin menelepon isterinya. Seharusnya malam itu ia pulang kampung, menemani isterinya bersalin. Tapi di tengah jalan, motornya tersambar tronton.”
Aku memajamkan penglihatan ke arah saung Mbok Darmi. Tak ada lelaki yang kepalanya gepeng. Hanya ada saung butut beratap terpal rombeng.
“Tidak usah menakutiku. Aku tinggal di sini. Bualanmu tidak akan mempan buatku,” aku mengernyitkan dahi.
“Asal kau tahu, kuburan tidaklah sehening yang kau kira. Entah bagaimana awalnya, aku mudah mendengar suara. Memilukan. Rintih kesakitan. Raung kesepian. Isak kesedihan. Lalu, tanpa sempat kuijinkan, mereka menyembul satu persatu. Mengerubungi aku. Berebut menitip pesan. Memaksaku menyampaikan penyesalan mereka pada yang masih hidup.”
Sejenak aku menatapnya tak percaya, tapi akhirnya kuputuskan,kalau begitu, ceritakan satu dongeng buatku.”
Lelaki separuh baya berwajah tirus itu menoleh sambil tersenyum.
Pilih saja satu makam yang ada di sini. Akan kuceritakan dongeng kematian mereka, khusus untukmu.”
Bola mataku berbinar. Kulayangkan pandangan ke areal makam yang tampak seperti barak raksasa. Sekilas seperti ranjang yang penuh oleh orang-orang yang tertidur pulas. Rumput-rumput gajah di sekeliling makam meranggas akibat musim kemarau panjang. Hembusan angin ini sedikit menyejukkan di tengah sorotan sinar matahari yang mulai terik.
Setelah bingung memilih, kuarahkan telunjuk pada rombongan yang sedang berdoa sambil terisak, usai jenazah itu ditimbun tanah merah.
“Itu, yang baru dikuburkan saja.”
Mata sang pendongeng yang tertuju ke rombongan itu memicing sejenak. Tangan kanannya mengelus janggutnya yang sebagian sudah memutih.
“Baiklah, kuceritakan bagaimana lelaki itu kini terbujur kaku di liang lahat.”
Aku menegakkan tubuh, tanda waspada.
“Almarhum seorang pengusaha kayu sukses. Budiman Sanjaya namanya. Dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun. Memiliki seorang isteri yang setia dan dua anak yang dua-duanya kuliah di luar negeri. Mereka menikah di usia muda. Tiga tahun lalu baru saja merayakan ulangtahun pernikahan perak. Budiman itu pendiam, gila kerja. Maklum, dulu dia miskin. Terlalu miskin sampai dendam pada kehidupan. Dia tak sempat menjalin cinta. Perempuan adalah makhluk asing baginya. Bahkan pernikahannya dengan Aida adalah buah perjodohan orangtuanya.”
Ada yang berdesir di dadaku. Aku melirik ke arah kerumunan pelayat. Wajah-wajah sembab memenuhi tanah yang membusung. Seorang gadis muda, mungkin anak almarhum, histeris dan sedikit lagi mungkin pingsan. Ah, serindu itukah dia pada ayahnya? Seperti menelan empedu, pecah di dalam perut, aku merasa pahit. Bolehkah aku mencicip rindu itu? Tapi buat apa, toh aku tak tahu siapa ayahku.
“Budiman dan Aida hidup seperti di dalam dongeng. Tenang. Datar. Bahagia selamanya. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya. Aidalah pemilik kehidupan Budiman sesungguhnya. Persis gurita raksasa, Aida melilitkan tentakelnya, menjadikan Budiman boneka bertali yang bisa dia kendalikan.”
Aku melirik lagi. Yang mana Aida itu? Apakah wanita kurus jangkung di sisi makam Budiman, yang menatap kosong? Tatapannya setengah lega, selebihnya mengutuk. Mana sorot kehilangan atau merindu, kucari-cari di matanya. Aku menelan ludah. Mungkin cintanya ikut dipendam di liang lahat.
Lalu masuklah Rosie, reporter majalah bisnis. Dia mendapat tugas menulis profil Budiman untuk dimuat di majalah tempatnya bekerja. Kau pernah dengar witing tresno jalaran soko kulino? Begitulah.”
“Aida tidak curiga?”
“Saat kau merasa sudah mengendalikan seseorang sepenuhnya, kau akan lengah. Aida dengan santai menepis setiap gosip Budiman dan Rosie. Hingga suatu hari,...”
Nadanya menggantung di udara, menarik bulu kudukku bangkit.
“Apa? Apa yang terjadi?”
“Ada paket pos. Tanpa identitas pengirim.”
Sial, pendongeng ini benar-benar menggiringku dalam penasaran yang berputar-putar.
 “Dan hening malam itu digantikan lengking pembantu tua yang menemukan tuannya terbujur. Kaku berlumuran darah. Sepertinya sofa krem Da Vinci itu tuntas memerah. Televisi LCD di depannya, memutar adegan panas.”
“Budiman dan Rosie?” aku menelan ludah.
“Siapa lagi?”
Mata pendongeng kematian itu mengilat. Aku bergidik, entah ngeri mendengar dongengnya, atau melihat bola mata yang yang seakan berpendar. Dia membicarakan kematian, seakan itu hal yang menyenangkan, seperti gula-gula. Kurapatkan baju hangat. Entah dari mana angin kering berkesiur, menegakkan bulu-bulu kuduk. Aku tumbuh di tanah pemakaman, seharusnya tidak gampang ditakuti.
Terus bagaimana?” Aku mengatur posisiku, menyamankan diri.
“Ah, kau masih ingin mendengar kelanjutannya?”
“Tentu. Setiap cerita ada akhirnya. Apa mungkin dongeng tak memiliki akhir?”
“Apa mungkin manusia tidak mati?” dia balik menatapku dengan geletar binar yang menyambar-nyambar.
“Jika tidak ada yang mati, maka kau tak lagi bisa mendongeng.”
“Dan itulah akhir hidupku.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa yang akan terjadi kalau dongeng ini tamat?”
Seringainya merekah. Matanya liat menatap.
“Baiklah, akan kulanjutkan, seperti yang kau minta. Tentu dengan konsekuensi yang kau siap terima,” lengkung senyumnya melebar. Aku bisa melihat isi mulutnya. Kelam persis kedalaman lubang-lubang kubur yang nyaris menyentuh batas neraka.
Seketika itu juga intuisiku menjerit. Memintaku menarik kembali permintaan itu. Perasaan tak enak, tak nyaman, menggerayangi batinku. Namun, seperti manusia pada umumnya, rasa penasaran selalu membungkamnya.
“Budiman ditemukan terbujur kaku di sofa itu dengan jantung tertancap belati yang dihujamkan oleh isterinya. Persis dua minggu setelah Budiman membunuh Rosie, karena dia bersikukuh tak mau menggugurkan kandungannya. ”
“Apa,... apa Rosie sudah mati?” Ada yang menggeliat di dadaku. Perih. Bara yang menyala. Duka yang berkepanjangan. Bertumpuk-tumpuk, bertindihan. Padahal aku tak mengenal nama-nama dalam kisah pendongeng kematian, kenapa terasa lekat? Kenapa jantungku seperti diikat kuat-kuat?
“Berarti bayi yang dikandungnya juga ikut mati?” tanyaku lirih.
Bagai menerima gelombang supersonik, kepalaku tiba-tiba merasakan sakit yang sangat. Kutempelkan kedua tanganku di telinga yang mendengung usai mendengar kisah si pendongeng. Kenapa pula kini tubuhku menggigil.
“Sekarang, apa kau siap dengan konsekuensi saat dongeng ini diakhiri?”
Sakitku kini mulai menjalar ke dada. Seperti dirajam ribuan jarum. Tubuhku kian bergemeletak kala desir angin semakin kencang. Lalu samar kulihat butiran pasir yang tersapu angin, perlahan membentuk bayangan lelaki separuh baya, serta seorang wanita cantik berdiri di sampingku, dengan raut wajah penyesalan yang sangat dalam.
Untuk pertama kalinya aku didera rasa takut. Segera aku mencari si pendongeng. Aku membutuhkan akhir dari cerita ini. Kupalingkan pandanganku ke seluruh penjuru areal makam, namun sosoknya sudah tak nampak lagi. Hanya suara sayup di tengah heningnya tanah pekuburan yang terbakar terik matahari.
“Kuanggap kau sudah tahu akhir dari kisahku. Selamat tinggal dan maafkanlah kedua orangtuamu.”
***
Tangerang-Bekasi, 27 April – 7 Agustus 2013
 
*catatanku:
Menulis cerpen duet itu berat banget, terlebih gaya penulisanku dan Ade berbeda banget. Aku menulis dengan manis, romantis, lembut mendayu. Sedangkan Ade lebih lugas, gelap, dan meledak-ledak (sebagai penggiat Fiksimini, Ade terbiasa memasang bom di tulisannya). Jujur, aku yang beberapa kali menyerah dalam proyek penulisan ini. Namun, salut untuk Ade yang nggak rewel dan sabar menunggu, sampai aku merasa nggak enak sendiri dan akhirnya membulatkan tekad untuk menyelesaikannya. Proses penulisannya seperti ini: Aku membuka dengan fragmen pertama, sepanjang beberapa paragraf awal. Kemudian setelah aku "puas", aku memberikan tongkat estafet dan Ade melanjutkannya. Karena aku membuka, maka Ade yang menutup ceritanya. Kami sama sekali tidak merancang arah cerita. Tokohnya bercerita sesuai kehendaknya sendiri. Aku dan Ade hanya medium untuk menyampaikan. Selebihnya proses duet ini seru banget! Sayangnya, dalam waktu dekat baik aku dan Ade belum memutuskan membuat cerpen duet lagi. Mungkin segera. Mungkin duetnya bukan dalam bentuk cerpen. Enthalah. :)
Anyway, terima kasih telah membaca. Ditunggu komentarnya. :*

Sabtu, Juli 19, 2014

Menikmati Hidangan Kenangan di Kedai Bianglala

Selamat datang di Kedai Bianglala


Jauh sebelum aku menulis novel After Rain yang rilis di Gagas Media September 2013, aku sudah menulis sejumlah cerpen. Impianku sejak dulu adalah merilis kumpulan cerpen tunggal. Selama ini, aku selalu tergabung dalam karya antologi kolektif bersama penulis lain. Entah kenapa, ada lubang di dada, ada rasa tidak tergenapi. Aku semakin ingin menelurkan buku kumpulan cerpen tunggal.

Dan kemudian, seperti yang telah diatur tangan semesta melalui Penerbit Grasindo, Kedai Bianglala hadir. Ini karya kumpulan cerpen tunggal perdanaku. Kakak bagi kumcer-kumcer lainnya di masa depan. Di sini ada dua puluh cerpen beraura pop; sebagian sudah pernah dimuat dan sebagiannya lagi merupakan karya yang belum menetas di media manapun.

Kenapa kupilih judul Kedai Bianglala? Suatu hari, aku diajak makan es krim tempo doeloe di bilangan Malioboro, Jogjakarta. Suasana kedai es krimnya klasik, dengan langit-langit dicat merah jambu dan ungu. Kemudian, terbetik sebuah kisah tentang perempuan yang menikmati hidangan kenangan di sebuah kedai bernama Kedai Bianglala. Kuceritakan premisnya itu pada lelaki yang menemaniku, dan yang dia bilang hanya: tuliskan. Dia juga menyuruhku memotret seisi kedai, agar penggambaran latarnya lebih sempurna. Akhirnya, frase inilah yang kupilih untuk menjadi benang merah dari sekian banyak cerpen yang terangkum di sini.

demi seorang perempuan rumit, luka-duka, dan lelaki-lelakinya

Kurasa memang betul jika kujuduli kumcer ini Kedai Bianglala. Tentang sebuah kedai, yang menghidangkan kenangan, yang memuaskan lapar dan dahaga dalam hati perempuan yang mengunjunginya. Bukankah begitu,... Tidak kupungkiri ya kalau cerpen ini terasa sekali aura perempuannya. Mungkin jika yang membacanya para lelaki, tentu ada ketidakseimbangan bergolak, berujung pada ketidakpuasan. Namun, itulah indahnya sebuah karya. Menghadirkan rasa yang berbeda di setiap hati yang disentuhnya.

Cerpen-cerpen di sini mengisahkan relasi perempuan dengan lelaki-lelakinya; tentang hati seorang perempuan rumit yang mudah jatuh cinta kemudian sakit, kemudian jatuh cinta lagi hanya untuk kembali sakit. Siklus masokis hati. Tapi, hey, bukankah setiap manusia sesungguhnya pecandu rasa sakit dan setiap perempuan itu rumit?

Jadi, kau boleh saja lelaki atau perempuan atau di antaranya; kau tetap membutuhkan tempat untuk menikmati hidangan kenanganmu sendiri.

Selamat membaca!

PS: 
Silakan baca beberapa reviu teman-teman di bawah ini, yang entah kenapa sebagian besar laki-laki. 
1. Sungging Raga pertama kali mereviu buku ini di sini dan bilang, "Intinya, buku ini sangat perempuan, lengkap dengan kesenduannya, kemampuan mengolah perasaannya sendiri lewat ungkapan kata-kata, lewat kejadian-kejadian sederhana, lewat obrolan sehari-hari yang memang menjadi ciri khas perempuan."
2. Pringabdi Surya berkata, "Aku pikir buku ini telah memberikan aku penggambaran tersendiri tentang perempuan." di sini
3. Teguh Afandi pun bilang, "Anggun menarik kacamata pengamatan wanitanya lebih luas. " di sini
4. Guntur Alam berkata, "Dari sekian cerpen yang ada, aku mengamati jika Anggun seorang pencerita yang bagus. Jalinan kisah dalam bukunya manis. Tak membuat kening berkerut." di sini
5. Ada pula di sini yang bilang "Yang pasti, Buku Kumpulan Cerpen ini cocok banget buat kaum perempuan. Aura feminimnya berasa deh."