Powered By Blogger

Rabu, November 05, 2014

Yang Terbaring di Dasar Danau

        
Muat di Harian Tribun Jabar, Minggu, 2 November 2014



           Tahukah kau, ada yang terbaring di dasar danau. Seorang perempuan cantik, terlalu memesona sampai bidadari-bidadari di langit menundukkan kesombongannya. Entah sejak kapan dia berbaring di sana, di dasar danau yang permukaannya selalu tenang. Konon hatinya ditikam belati. Bukan belati biasa, melainkan ditempa dari kesepian panjang. Kesepian yang lahir dari pedihnya ditinggalkan.
Matamu membulat. Setengah percaya. Selebihnya meremehkan. Wanita di hadapanmu terlalu banyak membual untuk ukuran orang yang baru dikenal. Kalian sedang berdiri di pinggir danau yang permukaannya lebih tenang dari ekspresi wajahmu yang selalu datar.
Tidak bisakah wanita ini menceritakan kisahnya pada orang lain saja?
Ujung gaunnya meliuk diterbangkan angin. Kau bisa melihat sepasang paha ramping seputih susu. Di kepalamu, pertama yang terlintas adalah bagaimana raut wajah perempuan itu, jika kau menyentuh sisi paha dalamnya, sekaligus mengecupnya.
Perempuan yang terbaring di dasar danau itu tahu, hati siapa saja yang dirundung kesepian. Kau tahu, kesepian bisa menajamkan telinga? Telinga seperti itulah yang bisa mendengarkan nyanyiannya.
Kau melemparkan pandangan ke danau. Diam-diam kaucoba menajamkan telinga. Apa benar ada suara perempuan bernyanyi, mengalun dari balik permukaan danau? Yang tertangkap inderanya hanya gemerisik angin, suara daun berjatuhan, dan irama napas wanita di sampingmu. Bagus, batinmu. Baru bertemu, sudah jadi pembohong.
Namun, hati-hati. Mendengarnya sekali, kau akan bersuka cita. Kedua kalinya, hatimu akan terpilin, diingatkan kembali akan kesunyian. Makin kau mendengarnya, makin kau tak bisa melupakannya. Terikat, tak bisa berpisah dengan yang terbaring di dasar permukaan danau; yang sesungguhnya tak kalah kesepiannya denganmu.
Kau menghela napas. Wanita ini harus dihentikan. Dengan wajah tak peduli, kau memanggul softcase gitar mendahuluinya ke mobil. Entah ide gila siapa yang memasangkanmu dengan wanita itu. Namun, pementasan segera digelar dan kalian harus berlatih. Dia penyanyi, kau mengiringinya dengan gitar. Sebatas itulah hubungan kalian. Namun, saat matamu tertumbuk pada selingkar cincin di jari manisnya, pikiranmu tak bisa lagi kau kendalikan.
Ada wanita-wanita yang tak boleh kaucintai. Semacam buah khuldi yang sengaja diciptakan untuk menguji hati. Wanita itu tersenyum. Senyum itu pun telah beranak pinak di benakmu, cepat persis infeksi virus, tahu-tahu malam nanti, kau memimpikannya.
Semua orang memanggilnya Senandung. Dan di atas panggung itu, kau memangku gitarmu. Guyuran lampu sorot melimpah menghujani Senandung. Kau hanya seorang pendenting gitar; pendamping biduanita yang menjadi pusat semesta sebenarnya. Tepat pada detik dia melantunkan dendangnya, kau terbius. Ada perasaan girang, bahagia, rindu, pengharapan; mendesak-desak. Membuncah. Terlebih saat sesekali, matanya yang sayu ditembakkan ke arahmu. Jarimu di atas dawai gitar makin menggila, menyesuaikan nada merdunya. Mata kalian bertautan, persis sorot proyektor yang memutarkan film di benak masing-masing. Sejak itu, kalianlah bintang  kisah roman kalian sendiri.

***

 Sesungguhnya kau sudah melupakan dongeng perempuan yang terbaring di dasar danau. Namun, selayaknya wanita itu pandai membuatmu tergila-gila; padahal kau terbiasa membuat perempuan-perempuan mabuk oleh kecup peluk dan rayu--dia lihai mengingatkanmu kembali pada kisah itu.
Pagi itu kau dapati dia tercenung. Tangannya mencengkeram tirai putih yang jendelanya menebarkan pandangan ke arah danau. Dia mengenakan kemeja putihmu; kebesaran nyaris mencapai setengah pahanya. Kau bertanya-tanya, apa kemeja itu masih menyimpang aroma peluk kalian semalam. Pula, apa yang menunggumu jika satu demi satu kancingnya kau lepaskan.
Kau hanya telentang dengan kepala tertopang lengan, memandanginya. Dia menoleh. Hatimu mencelus, mendapati sepasang matanya yang digeluti duka.
Seperti apa sepi yang menemani perempuan yang terbaring di dasar danau itu? Pagi ini, aku mendengar nyanyiannya. Apa artinya telingaku menajam karena sepi?
Kau bangkit lalu memeluknya dari belakang. Kau hirup dalam-dalam aroma yang menguar dari tengkuknya.
“Bicara apa kau ini? Ada aku. Bagaimana kau bisa kesepian?”
Aku selalu membayangkan dada perempuan di dasar danau itu mengeras ditancap belati. Seperti dadaku kini. Beku oleh sepi, keras oleh sunyi. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh lantunan suaranya.
Bahkan detik itu juga, kau masih belum menganggapnya gila. Kau memandanginya dengan limpahan kasih, memagut bibirnya yang dingin.
“Ada aku yang mencintaimu. Masih kurang apalagi?”
Bagaimana kalau kau meninggalkanku? Kau lelaki pemuja kebebasan. Tak ada satu peluk perempuan pun yang sanggup mengikatmu. Belum lagi aku wanita dengan naluri merawat, itu akan membuatmu sesak suatu hari.
Mungkin harus ada yang menamparmu. Memberitahumu, bahwa kali ini kau jatuh cinta pada wanita berisi kepala rumit.
Belum lagi aku wanita dengan rumah untuk pulang. Bagaimana jika suatu hari aku yang akan meninggalkanmu? Kau akan berkubang dalam kesepian. Telingamu akan tajam karena duniamu terlalu sunyi. Kau akan mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau itu. Dia akan memintamu mengiringinya bernyanyi.
Kau melonggarkan pelukan dan membalikkan tubuhnya. Baru kali ini kau mendapati matanya yang sesungguhnya terbuat dari kristal. Dekapanmu kali ini lebih erat. Benar, sayup-sayup kau mendengar ada yang bernyanyi di kejauhan. Jauh sekali, rasa-rasanya seperti berasal dari dasar danau.

***

Kini kau dan dia berdiri berdampingan di susuran setapak di pinggir danau. Kalian tak berani saling menatap. Ada yang runcing hendak menancapi bola matanya. Siap meledak.
Kau bisa dengar yang sekarang kudengar? Kadang aku bertanya, lelaki mana yang tega menancapkan belati kesunyian di dadanya. Jika mencintai ternyata menyakitinya sedemikian rupa, apakah lebih baik sedari awal mematikan rasa?
Kau tak menjawab. Matamu lurus menatap bola matanya bergulung-gulung persis mendung yang nyaris pecah jadi hujan. Selama ini, kau mengenal perempuan sebagai taklukan. Kau bertemu, bermanis kata dengan bius mata, bercinta tanpa melibatkan hati, dan berlalu begitu saja keesokan pagi. Wanita ini berbeda. Selalu memperumit segalanya. Bahkan sampai hatimu tak lagi sanggup mengikutinya. Namun, bukankah hati memang tak sesederhana persamaan matematika?
“Kita masih bisa saling mencintai dan bersama,” katamu. “Walaupun aku pemuja kebebasan dan kau wanita yang mempunyai rumah untuk pulang.”
Cinta apa yang seperti itu? Kita bisa saja bercinta berkali-kali, tapi di penghujung hari kita kembali bergelung sepi. Bukan seperti itu cinta yang kucari.
“Lalu apa? Kenapa cintamu rumit sekali?” kau setengah membentak.
Kau sederhana. Aku rumit. Itulah yang membuat kita tak saling memiliki. Itulah kenapa aku sering merasa kosong, bila bersamamu. Dan telingaku sudah lelah mendengar nyanyian perempuan yang terbaring di dasar danau.
Lama mereka bertatapan. Dalam tarikan napas kesekian, dia menghambur ke pelukmu. Kau menariknya seperti kubangan pasir isap. Pada bibir yang saling bersentuhan, kalian menuliskan kenangan. Kau melihatnya memagutmu dengan mata terpejam dan air mata berlinangan. Tepat saat dia menarik bibirnya lepas, ada retak di dadamu. Sebuah belati dia tikamkan di sana.
Untuk pertama kalinya, bukan sayup-sayup lagi, kau kini jelas mendengar suara merdu itu. Rasa-rasanya seperti dari dasar danau di hadapanmu. Jadi perempuan yang terbaring di dasar danau itu benar ada?

***

Entah sudah pagi ke berapa kau mendapati dirimu berdiri di sini. Mencengkeram susuran pembatas danau dan jalan setapak. Malam-malam sebelumnya kau terjaga. Sepertinya wanita itu pergi dengan membawa kantukmu. Kauhabiskan waktu menulis banyak lagu. Ratusan lirik. Seakan kepalamu adalah sumur yang terus meluapkan lumpur. Orang-orang bilang kau patah hati. Namun, kau tahu betul, hatimu tak sekadar patah. Hatimu jatuh pecah. Kepingnya berhamburan, terserak angin ke segala arah.
Kau dipeluk kesepian yang tak kau ketahui di mana ujungnya. Benar, kesepian menajamkan telinga. Kau pun mulai menangkap lantunan merdu dari kejauhan. Sangat jauh, seakan berasal dari dasar danau.
Lama-lama suara itu nyata. Seakan asalnya dari hatimu sendiri. Mungkin sesungguhnya hatimu dan danau itu serupa. Di dasarnya sama-sama didiami oleh seseorang yang terbaring dengan luka tikam di dada. Di danau, ada perempuan itu. Di hatimu, ada kau sendiri.
Kau mulai melangkah. Mengawang tak bisa kau kendalikan. Kau menuruni ujung susuran yang tersambung ke arah pinggir danau. Suara itu tak kasat mata. Tapi kau bisa merasakan ada jerat yang membungkus tubuhmu.
Mungkin ketimbang sepi sendiri, kau merasa lebih baik sepi berbagi. Tak kau pedulikan lagi basah yang makin menyergap. Danau itu perlahan merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan. Menelanmu pelan-pelan. Tepat saat kau tak tersentuh udara lagi, kau bertekad untuk mengiringi perempuan yang terbaring di dasar danau itu dengan denting gitarmu. Karena kau tahu, kesepian lebih baik bila dibagi.

***

Ada sepasang muda-mudi berangkulan. Keduanya terbius menatap lembayung yang berhamburan di langit. Sang pemuda menoleh ke arah gadisnya. Ada yang tergenapi dalam hatinya saat melihat senyum mengembang di bibir ranum itu.
“Kau tahu mitos di danau ini?” tanya gadis itu menoleh cepat.
“Siapa yang tidak tahu? Kalau ada sepasang kekasih kemari, maka hubungan mereka akan kandas. Karena kutukan perempuan yang terbaring di dasar danau.”
“Banyak juga yang bunuh diri di sini karena patah hati,” sambung si gadis menatap kekasihnya lekat. “Kalau aku meninggalkanmu, apa kamu akan bunuh diri?”
“Kamu sendiri?”
Keduanya melemparkan pandangan ke arah permukaan danau yang tenang. Benak mereka penuh oleh banyak hal. Riuh oleh gelora cinta yang teredam oleh sekadar genggaman tangan.
Tanpa mereka sadari, sayup-sayup terdengar lantunan suara. Seakan berasal dari tempat di kejauhan, tapi juga dekat. Mungkin dari dasar danau; atau dari dasar hati, tempat segala kesunyian bermuara.
***

Rabu, Oktober 08, 2014

Membentuk Manusia Lewat Pendidikan

Tadi pagi, aku membahas topik menarik bersama murid-muridku di kelas 11. Aku melemparkan pertanyaan begini:

Menurut kalian, apa yang membentuk kepribadian seseorang, genetis atau lingkungan?

Tentu saja ada yang dengan yakin menjawab, “genetis, Miss, soalnya kan biasanya perilaku anak nggak jauh-jauh dari orangtuanya. Seperti watakku yang mirip watak papi.”
Lalu kutanya, “berarti, kalau Miss mengadopsimu, kira-kira watakmu tetap sama seperti papimu?”
“Belum tentu juga sih, Miss.”
“Kan keturunan papi.”
“Tapi kan lingkungannya beda.”
“Berarti, faktor genetis nggak punya andil dalam membentuk kepribadian seseorang?”
Dia tercenung sendiri. Lalu, kuminta para siswa melanjutkan diskusi sesuai panduan yang tersedia.


Mungkin di antara yang membaca tulisan ini, akan ada satu-dua yang merenung mencari jawaban yang sama dari pertanyaan di atas. Idealnya memang ada kombinasi proporsional mengenai yang manakah yang paling berperan dalam pembentukan karakter. Faktor genetis merupakan blue print manusia, tapi lingkungan tentu juga berkontribusi dalam pengembangan karakter manusia.

Menurut kalian, apakah Clark Kent tetap menjadi pahlawan pembela kebenaran bernama Superman jika kapal yang mendaratkannya di bumi ditemukan bukan oleh Jonathan Kent, melainkan Lionel Luthor?

Seorang filsuf bernama John Locke di abad ke-17 mengenalkan konsep tabula rasa, di mana dipahami bahwa setiap manusia terlahir sebagai kertas kosong. Yang membentuk manusia sedemikian rupa adalah melalui pengalaman-pengalaman empiris dalam hidupnya; terkadang mengubah identitas naluriahnya sebagai manusia, ada pula yang tak sanggup mengingkari kemanusiaannya.

Tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan salah satu media atau alat yang lumrah digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, serta intelektualitas. Pendidikan didesain sedemikian rupa. Dalam tatanan ideal, strukturnya dirancang imbang antara pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku. Diharapkan, dengan adanya pendidikan holistik yang menyentuh ketiga aspek ini, manusia-manusia “kertas kosong” ini bisa menjadi sosok-sosok berkualitas yang sanggup menjadi pribadi tangguh dalam hidupnya.

Semangat itulah yang kiranya mendasari perubahan aspek penilaian dalam kurikulum 2013 atau #K13 ini. Dengan tidak lagi dititikberatkan pada pengetahuan, pendidikan juga menyasar pada ketrampilan, serta yang tak kalah pentingnya, sikap.

Tahun ajaran ini, sesuai dengan instruksi yang tercantum dalam kurikulum 2013 atau #K13, aku dan semua guru di seluruh Indonesia yang sekolahnya menerapkan #K13 mulai melakukan penilaian sikap secara menyeluruh. Di kelas, aku menyebutnya attitude assessment. Nilai sikap ini diambil dari beberapa sudut pandang, yaitu siswa menilai diri sendiri, siswa menilai temannya, serta siswa dinilai melalui observasi dan jurnal guru. Aspek-aspek yang dinilai antara lain: aspek spiritual, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, disiplin, tenggang rasa, toleransi, dan sopan santun.

Tentu saja tidak mudah menerapkan penilaian sedetail ini. Waktu kegiatan belajar-mengajar bisa jadi habis hanya untuk melakukan penilaian saja, bukan untuk penyampaian materi dan pengayaan bahan pembelajaran. Nah, di sinilah peran guru sebagai manajer di kelas sangat diperlukan.

Setidaknya, dengan adanya penilaian sikap ini, siswa akan belajar untuk melakukan refleksi pada dirinya sendiri—apakah dia sudah bersikap baik, menurut indikator penilaian sikap yang tadi disebutkan. Siswa juga belajar untuk menilai orang, bercermin dari sikap orang lain dan membandingkannya dengan sikapnya sendiri. Siswa akan “dipaksa” berlaku baik, karena penilaian yang terus berkelanjutan, di mana pada akhirnya diharapkan menjadi kebiasaan, bukan sekadar kepura-puraan di kelas demi nilai semata. Guru pun lebih mengenal siswa-siswanya secara personal, sehingga mampu mengayomi dan mendidik mereka sesuai dengan keunikannya sendiri.


Begitulah, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “weakness of attitude becomes weakness of character,” maka jadikanlah pengembangan sikap yang baik sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan, yang nantinya berbuah manis dalam bentuk manusia-manusia Indonesia yang tangguh, siap bersaing, sekaligus berkarakter yang membanggakan.

Minggu, September 21, 2014

Guru dan Kurikulum-(Baru)-nya

Tepat 4 Juli 2011, itu hari pertamaku jadi guru. Padahal, ketika masih bersekolah dulu, guru bukan jadi profesi idamanku sama sekali. Kenapa? Karena dulu, belajar di sekolah bersama guru itu tidak menyenangkan.
Waktu itu, aku masih belajar di sebuah SLTP negeri sebuah kota kecil di Jawa Timur. Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran favoritku (mungkin itu salah satu alasannya aku sekarang mengajar bahasa Inggris). Kesukaanku mendengarkan musik dan film barat membuat bahasa Inggrisku di atas rata-rata teman-temanku. Namun itu menjadi masalah, karena aku cenderung bosan dan malas di kelas, karena materi pelajarannya kurang menantang.
Buatku, belajar bahasa dari lagu lebih asyik. Pembelajarannya mencakup listening (mendengarkan bagimana tiap kata dilafalkan), reading (membaca lirik, mengasosiasikan makna tiap kata sehingga konteks lagu dipahami), speaking (menyanyikan liriknya sesuai pelafalan penyanyi aslinya), dan writing (aku dulu punya kebiasaan menyalin lirik-lirik itu di buku tulis, sehingga melatih ejaan dan tata bahasa secara tidak langsung). Sedangkan proses yang sama tidak kudapatkan dari guruku dan aktivitas belajar di kelas.
Ketika hari-hari pertama aku menjadi guru, aku punya ketakutan.
Mau jadi guru yang seperti apa?
Bagaimana kalau aku punya murid seperti “aku” masa kecil dulu, terlalu pintar sehingga jadi pembosan dan pemalas karena gurunya tidak bisa “memahami kebutuhan muridnya”?
Bagaimana kalau ternyata muridku nanti lebih pandai dariku?

Ilustrasi diambil dari sini

Aku sempat mengajar menggunakan kurikulum KTSP selama 3 tahun. 2014-2015 adalah tahun ajaran pertamaku bersama Kurikulum 2013. Kebetulan, aku mengajar di sekolah nasional plus, di mana fasilitas lengkap, terdapat integrasi kurikulum nasional dengan internasional, serta murid-muridku punya dasar bahasa Inggris yang cukup kuat. Jangan salah. Poin terakhir ini justru krusial, karena tugasku kini bertitik pada mengembangkan skills mereka, bukan malah menumpulkannya.
Teknologi jaman sekarang memungkinkan anak mudah mengakses informasi seluas-luasnya. Terlepas apapun polemik penerapan Kurikulum 2013, guru tetaplah salah satu ujung tombak fasilitator pembelajaran. Kurikulum boleh tidak sempurna, tapi guru yang paling memahami kondisi di lapangan. Maka benarlah kutipan Kepala Sekolahku, teaching is an art.
Kurikulum 2013 atau disingkat K-13 merupakan pengembangan dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Di KTSP, kegiatan inti proses belajar terbagi menjadi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Sedangkan kegiatan inti pembelajaran dalam K-13 diperluas menjadi observing, questioning, collecting information, associating, dan communicating. Maaak, itu bahasa dewa semua. Mana mengerti?
Singkat kata begini, kegiatan inti pembelajaran K-13 dititikberatkan pada aktivitas siswa, sementara guru merupakan fasilitator. Pada tahap observing, siswa akan diajak mengamati topik yang hendak dipelajari. Di tahap ini, guru bisa menggunakan banyak media misalnya buku, musik, film, video, artikel, foto, dsb. Nah, saat mengamati ini, guru memberikan stimulus, sehingga siswa terpancing untuk bertanya (tahap questioning). Siswa belajar menjadi kritis. Segala bentuk pertanyaan ditampung, dipertajam, tidak dihakimi, sekaligus diarahkan. Nah, dari pertanyaan-pertanyaan itu, siswa dan guru mencari informasi (tahap collecting information) dari buku dan sumber-sumber lain. Ingat, anak jaman sekarang adalah generasi melek teknologi, jadi guru memberikan kebebasan mengakses informasi, walau tetap diawasi sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. Dari informasi tersebut, anak menghubungkan dan memilah informasi mana yang diperlukan (tahap associating) dan menerapkannya dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran (tahap communicating).
Hasil akhirnya pun memiliki bentuk beragam. Misalnya pada bahasa Inggris SMP-SMA yang kuajar tahun ajaran ini, murid-murid membuat booklet makanan khas Indonesia dengan narasi pengantar bahasa Inggris menggunakan grammar point kata kerja to-infinitive, poster diri yang membahas pengalaman unik di masa kecil yang merupakan penerapan penggunaan simple past tense dalam kehidupan sehari-hari, presentasi badan kemanusiaan yang ada di Indonesia setelah membahas artikel sebuah gerakan kemanusiaan di dunia, menggambar peta dan petunjuk arah sederhana setelah mempelajari prepositions and indirect questions, atau membuat talk show sederhana yang direkam (integrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan TIK). Masih banyak hal-hal lain yang bisa membuat siswa bersemangat—belajar tapi seakan tidak belajar—karena melalui aktivitas yang menyenangkan dan menantang, tentunya sesuai dengan tujuan pembelajaran di awal.

Satu yang kupelajari setelah nyaris empat tahun mengajar, ketika di kelas siswa belajar, sesungguhnya sang gurupun juga tengah belajar.

Orang akan menyebutku beruntung karena sekolah tempatku mengajar dan murid-murid yang kuajar memungkinkan aku menerapkan hal-hal ini. Mungkin aku takkan bisa melakukannya di sekolah-sekolah di desa-desa tertinggal di Indonesia. Namun, sekali lagi, teaching is an art. Kurikulum 2013 menyediakan panduannya, dan terlepas dari segala kekurangan dan polemiknya, gurulah fasilitatornya untuk membuat proses pembelajaran menjadi lebih “hidup”. Toh tujuannya tetap sama, memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi siswa.

Selasa, Juli 22, 2014

PENDONGENG KEMATIAN

sebuah cerpen duet karya Ade Yusuf dan Anggun Prameswari


dimuat di harian Tribun Jabar, Minggu, 20 Juli 2014

Dari kasak-kusuk yang kudengar, ada seorang pria yang suka bertandang, mengunjungi pemakaman-pemakaman. Baginya, pemakaman adalah perayaan. Dia sering mengunjungi pemakaman, upacara kremasi, atau ruang persemayaman. Datang paling awal, berdiri di sudut terpisah dari pelayat lainnya, dan pulang paling akhir. Selalu ada senyum penuh debar di wajahnya. Seakan ada yang dia tunggu. Dari kasak-kusuk yang sama, aku tahu bahwa dia juru dongeng; dan yang didongengkannya adalah dongeng kematian.
Kami tidak saling kenal, tapi punya satu persamaan. Kami sama-sama dekat dengan kematian. Jika dia pendongeng kematian, maka aku tumbuh di antara makam-makam dan wajah-wajah pelayat yang silih berganti. Rumah yang kutinggali persis di samping pemakaman. Jika kupikir-pikir, entah sejak kapan aku tinggal di sana. Waktu seperti mengabur di benakku. Hari persis daun yang berguguran dan digantikan helai baru, terus berputar tanpa penanda.
Saat aku menyadari pagi ini berganti, aku mendengar suara-suara. Tangis. Hela napas. Gemerisik langkah. Kelopak kembang yang melayang-layang. Aku bergegas mendatangi tanah pekuburan. Jika ada yang meninggal hari ini, maka pria itu datang. Sang pendongeng kematian.
Benar dugaanku. Di sana dia berdiri. Di bawah bebatang kembang kamboja yang meranggas dan nyaris habis daunnya, dia menatap lurus ke sebuah makam. Dari senyumnya, aku tahu dia tengah merayakan kematian.
“Kenapa kau selalu datang setiap ada yang dimakamkan?” aku mendekat dan tak sanggup lagi mengunci mulut.
“Karena aku pendongeng kematian.”
“Kenapa kau bisa menjadi seorang pendongeng kematian? Itu bukan pekerjaan. Mana bisa kau menghasilkan uang dengan mendongeng.”
Pendongeng tua itu tak menjawab. Mendadak ia memutar kepalanya ke sisi kiri areal makam. Tangannya menunjuk saung kosong yang biasanya dipakai Mbok Darmi berjualan kembang dan air dalam botol kemasan, untuk para peziarah.
“Kasihan dia. Padahal kepalanya separuh gepeng, masih saja gelisah ingin menelepon isterinya. Seharusnya malam itu ia pulang kampung, menemani isterinya bersalin. Tapi di tengah jalan, motornya tersambar tronton.”
Aku memajamkan penglihatan ke arah saung Mbok Darmi. Tak ada lelaki yang kepalanya gepeng. Hanya ada saung butut beratap terpal rombeng.
“Tidak usah menakutiku. Aku tinggal di sini. Bualanmu tidak akan mempan buatku,” aku mengernyitkan dahi.
“Asal kau tahu, kuburan tidaklah sehening yang kau kira. Entah bagaimana awalnya, aku mudah mendengar suara. Memilukan. Rintih kesakitan. Raung kesepian. Isak kesedihan. Lalu, tanpa sempat kuijinkan, mereka menyembul satu persatu. Mengerubungi aku. Berebut menitip pesan. Memaksaku menyampaikan penyesalan mereka pada yang masih hidup.”
Sejenak aku menatapnya tak percaya, tapi akhirnya kuputuskan,kalau begitu, ceritakan satu dongeng buatku.”
Lelaki separuh baya berwajah tirus itu menoleh sambil tersenyum.
Pilih saja satu makam yang ada di sini. Akan kuceritakan dongeng kematian mereka, khusus untukmu.”
Bola mataku berbinar. Kulayangkan pandangan ke areal makam yang tampak seperti barak raksasa. Sekilas seperti ranjang yang penuh oleh orang-orang yang tertidur pulas. Rumput-rumput gajah di sekeliling makam meranggas akibat musim kemarau panjang. Hembusan angin ini sedikit menyejukkan di tengah sorotan sinar matahari yang mulai terik.
Setelah bingung memilih, kuarahkan telunjuk pada rombongan yang sedang berdoa sambil terisak, usai jenazah itu ditimbun tanah merah.
“Itu, yang baru dikuburkan saja.”
Mata sang pendongeng yang tertuju ke rombongan itu memicing sejenak. Tangan kanannya mengelus janggutnya yang sebagian sudah memutih.
“Baiklah, kuceritakan bagaimana lelaki itu kini terbujur kaku di liang lahat.”
Aku menegakkan tubuh, tanda waspada.
“Almarhum seorang pengusaha kayu sukses. Budiman Sanjaya namanya. Dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun. Memiliki seorang isteri yang setia dan dua anak yang dua-duanya kuliah di luar negeri. Mereka menikah di usia muda. Tiga tahun lalu baru saja merayakan ulangtahun pernikahan perak. Budiman itu pendiam, gila kerja. Maklum, dulu dia miskin. Terlalu miskin sampai dendam pada kehidupan. Dia tak sempat menjalin cinta. Perempuan adalah makhluk asing baginya. Bahkan pernikahannya dengan Aida adalah buah perjodohan orangtuanya.”
Ada yang berdesir di dadaku. Aku melirik ke arah kerumunan pelayat. Wajah-wajah sembab memenuhi tanah yang membusung. Seorang gadis muda, mungkin anak almarhum, histeris dan sedikit lagi mungkin pingsan. Ah, serindu itukah dia pada ayahnya? Seperti menelan empedu, pecah di dalam perut, aku merasa pahit. Bolehkah aku mencicip rindu itu? Tapi buat apa, toh aku tak tahu siapa ayahku.
“Budiman dan Aida hidup seperti di dalam dongeng. Tenang. Datar. Bahagia selamanya. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalamnya. Aidalah pemilik kehidupan Budiman sesungguhnya. Persis gurita raksasa, Aida melilitkan tentakelnya, menjadikan Budiman boneka bertali yang bisa dia kendalikan.”
Aku melirik lagi. Yang mana Aida itu? Apakah wanita kurus jangkung di sisi makam Budiman, yang menatap kosong? Tatapannya setengah lega, selebihnya mengutuk. Mana sorot kehilangan atau merindu, kucari-cari di matanya. Aku menelan ludah. Mungkin cintanya ikut dipendam di liang lahat.
Lalu masuklah Rosie, reporter majalah bisnis. Dia mendapat tugas menulis profil Budiman untuk dimuat di majalah tempatnya bekerja. Kau pernah dengar witing tresno jalaran soko kulino? Begitulah.”
“Aida tidak curiga?”
“Saat kau merasa sudah mengendalikan seseorang sepenuhnya, kau akan lengah. Aida dengan santai menepis setiap gosip Budiman dan Rosie. Hingga suatu hari,...”
Nadanya menggantung di udara, menarik bulu kudukku bangkit.
“Apa? Apa yang terjadi?”
“Ada paket pos. Tanpa identitas pengirim.”
Sial, pendongeng ini benar-benar menggiringku dalam penasaran yang berputar-putar.
 “Dan hening malam itu digantikan lengking pembantu tua yang menemukan tuannya terbujur. Kaku berlumuran darah. Sepertinya sofa krem Da Vinci itu tuntas memerah. Televisi LCD di depannya, memutar adegan panas.”
“Budiman dan Rosie?” aku menelan ludah.
“Siapa lagi?”
Mata pendongeng kematian itu mengilat. Aku bergidik, entah ngeri mendengar dongengnya, atau melihat bola mata yang yang seakan berpendar. Dia membicarakan kematian, seakan itu hal yang menyenangkan, seperti gula-gula. Kurapatkan baju hangat. Entah dari mana angin kering berkesiur, menegakkan bulu-bulu kuduk. Aku tumbuh di tanah pemakaman, seharusnya tidak gampang ditakuti.
Terus bagaimana?” Aku mengatur posisiku, menyamankan diri.
“Ah, kau masih ingin mendengar kelanjutannya?”
“Tentu. Setiap cerita ada akhirnya. Apa mungkin dongeng tak memiliki akhir?”
“Apa mungkin manusia tidak mati?” dia balik menatapku dengan geletar binar yang menyambar-nyambar.
“Jika tidak ada yang mati, maka kau tak lagi bisa mendongeng.”
“Dan itulah akhir hidupku.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa yang akan terjadi kalau dongeng ini tamat?”
Seringainya merekah. Matanya liat menatap.
“Baiklah, akan kulanjutkan, seperti yang kau minta. Tentu dengan konsekuensi yang kau siap terima,” lengkung senyumnya melebar. Aku bisa melihat isi mulutnya. Kelam persis kedalaman lubang-lubang kubur yang nyaris menyentuh batas neraka.
Seketika itu juga intuisiku menjerit. Memintaku menarik kembali permintaan itu. Perasaan tak enak, tak nyaman, menggerayangi batinku. Namun, seperti manusia pada umumnya, rasa penasaran selalu membungkamnya.
“Budiman ditemukan terbujur kaku di sofa itu dengan jantung tertancap belati yang dihujamkan oleh isterinya. Persis dua minggu setelah Budiman membunuh Rosie, karena dia bersikukuh tak mau menggugurkan kandungannya. ”
“Apa,... apa Rosie sudah mati?” Ada yang menggeliat di dadaku. Perih. Bara yang menyala. Duka yang berkepanjangan. Bertumpuk-tumpuk, bertindihan. Padahal aku tak mengenal nama-nama dalam kisah pendongeng kematian, kenapa terasa lekat? Kenapa jantungku seperti diikat kuat-kuat?
“Berarti bayi yang dikandungnya juga ikut mati?” tanyaku lirih.
Bagai menerima gelombang supersonik, kepalaku tiba-tiba merasakan sakit yang sangat. Kutempelkan kedua tanganku di telinga yang mendengung usai mendengar kisah si pendongeng. Kenapa pula kini tubuhku menggigil.
“Sekarang, apa kau siap dengan konsekuensi saat dongeng ini diakhiri?”
Sakitku kini mulai menjalar ke dada. Seperti dirajam ribuan jarum. Tubuhku kian bergemeletak kala desir angin semakin kencang. Lalu samar kulihat butiran pasir yang tersapu angin, perlahan membentuk bayangan lelaki separuh baya, serta seorang wanita cantik berdiri di sampingku, dengan raut wajah penyesalan yang sangat dalam.
Untuk pertama kalinya aku didera rasa takut. Segera aku mencari si pendongeng. Aku membutuhkan akhir dari cerita ini. Kupalingkan pandanganku ke seluruh penjuru areal makam, namun sosoknya sudah tak nampak lagi. Hanya suara sayup di tengah heningnya tanah pekuburan yang terbakar terik matahari.
“Kuanggap kau sudah tahu akhir dari kisahku. Selamat tinggal dan maafkanlah kedua orangtuamu.”
***
Tangerang-Bekasi, 27 April – 7 Agustus 2013
 
*catatanku:
Menulis cerpen duet itu berat banget, terlebih gaya penulisanku dan Ade berbeda banget. Aku menulis dengan manis, romantis, lembut mendayu. Sedangkan Ade lebih lugas, gelap, dan meledak-ledak (sebagai penggiat Fiksimini, Ade terbiasa memasang bom di tulisannya). Jujur, aku yang beberapa kali menyerah dalam proyek penulisan ini. Namun, salut untuk Ade yang nggak rewel dan sabar menunggu, sampai aku merasa nggak enak sendiri dan akhirnya membulatkan tekad untuk menyelesaikannya. Proses penulisannya seperti ini: Aku membuka dengan fragmen pertama, sepanjang beberapa paragraf awal. Kemudian setelah aku "puas", aku memberikan tongkat estafet dan Ade melanjutkannya. Karena aku membuka, maka Ade yang menutup ceritanya. Kami sama sekali tidak merancang arah cerita. Tokohnya bercerita sesuai kehendaknya sendiri. Aku dan Ade hanya medium untuk menyampaikan. Selebihnya proses duet ini seru banget! Sayangnya, dalam waktu dekat baik aku dan Ade belum memutuskan membuat cerpen duet lagi. Mungkin segera. Mungkin duetnya bukan dalam bentuk cerpen. Enthalah. :)
Anyway, terima kasih telah membaca. Ditunggu komentarnya. :*