Powered By Blogger

Senin, Agustus 17, 2015

TATO KUCING

dimuat di harian Media Indonesia, Minggu, 16 Agustus 2015



DI pagi yang lembap oleh hujan semalam, seorang lelaki tergantung di sudut pasar. 
 
Kucoba memperhalus bahasanya. Setidaknya agar masih terdengar beradab ketimbang ucapan bibik berkeranjang kosong yang tergopoh panik saat menemukan lelaki itu.
“Ada yang mati gantung diri. Bunuh diri!” 

Sisi barat dan sisi tengah pasar, pusat bongkar muat bahan pangan, sudah ramai sejak pukul tiga pagi. Sedangkan sayap timur, tempat pedagang pakaian, perabotan dapur, dan perhiasan, baru menggeliat selepas pukul enam. Di sana berjajar lapak tak beratap, dan tanpa penghuni. Senyap. Sesekali menjadi tempat tidur oleh para gelandangan, atau lahan jemur pakaian penghuni pasar. Di sudut paling sepi itulah, lelaki itu memilih tempat meregang nyawa.

Saat orang-orang sudah berkerumun di tempat kejadian, aku baru saja masuk pasar. Belakangan istriku gampang sekali tak enak badan. Jadi, akulah yang berbelanja ke pasar. Istriku hamil muda. Mual parah di bulan ketiga. Ia harus banyak istirahat. Bila terlalu lelah, janinnya bisa lepas dari rahim, seperti anak-anak kami sebelumnya.

“Bikinkan aku sup ceker ayam lagi,” pintanya beberapa malam terakhir, setengah merajuk dan mengusap perutnya yang belum buncit. “Anakmu cuma mau makan itu.” 
Sejak hamil, ia gemar makan sup ceker. Nyaris tiap hari aku ke pasar membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Penjualnya sampai hafal wajahku. Mungkin ia berpikir lelaki tak pantas belanja ke pasar. Padahal, menurutku memasak satu-dua kali untuk istri setelah setengah umurnya habis di dapur karena memasak untukku, tidaklah salah. Toh, yang dikandungnya anakku juga. Anak yang kami idamkan sejak lama. Yang untuk mendapatkannya, tak terhitung dokter dan ahli pengobatan alternatif, yang telah kami kunjungi.

Kulihat lelaki itu bertelanjang dada, membelakangiku. Ia seakan bersandar ke dinding kios yang tak beratap. Rangka bangunannya tak menyunggi genting sama sekali, mirip panggung teater dengan sinar matahari sebagai lampu sorotnya. Kematian tak pernah gagal menjadi atraksi bagi yang hidup. Ngeri bercampur penasaran membuat kerumunan makin padat. Kulihat kulitnya putih pucat. Tubuhnya sudah kaku. Celana cokelatnya tergulung setengah betis, menegaskan kaki yang melayang dari tanah. Matanya terpejam. Kepala plontosnya mengingatkanku pada pentol korek api. Sekilas ia mirip manekin yang tergantung di dinding. Tapi, manekin tentu tak punya kerut keriput dan bulu kaki. Lehernya terjerat tali cokelat, dan warnanya senada dengan celananya.

Erangan terkejut dan terhenyak berlesatan dari mereka yang masih punya nyali untuk melihat.

Apa yang terlintas di kepala yang hidup saat mendapati yang mati di hadapannya? Tak bisa kubayangkan diriku mati. Bagaimana istriku nanti? Ia tak bisa bekerja karena tubuhnya terus melemah, sementara kami butuh banyak biaya.
Kontrol ke bidan. 
Biaya persalinan. 
Beli popok, susu formula, ini dan itu. 
Untuk bisa hamil saja, aku berutang ke sana-sini. 
Orangtua. 
Mertua.
Kakak ipar. 
Sampai ke tukang kredit pasar, yang bunganya makin lama mencekik. 
Ini demi seorang anak. Simbol harapan masa depan bagi kami. Dan, laki-laki ini memilih menyerahkan hidupnya pada seutas tali?
Pandanganku terganggu oleh ulah orang yang mengambil beberapa foto dengan ponsel. Heran, apa menariknya memotret rupa orang mati? Seperti potret korban insiden maut yang berseliweran di televisi pada jam-jam makan siang atau makan malam. Perasaan macam apa yang sedang mereka gugah?

Bulan lalu aku melayat tetanggaku yang meninggal terkena serangan jantung. Jenazahnya disemayamkan dalam peti putih mengkilat berhias lukisan perjamuan terakhir. Ia terlihat tampan dengan setelan jas. Kami dipisahkan oleh sehelai kain tile berajut tanda salib saat aku mengucapkan doa perpisahan. Namun, tetangga lain yang ikut melayat malah sibuk memotret jasad kaku almarhum. Pasti beberapa saat lagi, foto itu beredar di media sosial, lengkap dengan salam perpisahan dan doa penghiburan. Setengah menyeret, kusuruh ia memotret foto almarhum di meja persemayaman, bersanding dengan sepasang lilin putih dan kembang sedap malam.

“Coba kau mati, lalu ada yang memotret jenazahmu dan menyebarkannya di media sosial. Kita lihat apa kau tetap bisa meninggal dengan tenang dan keluargamu masih bisa berduka dengan perasaan terhormat,” ujarku.

Kerumunan orang mulai bercakap-cakap. Membuat hipotesa sendiri-sendiri. Menakjubkan. Betapa orang mudah sok tahu tentang banyak hal yang tak diketahuinya.

“Kasihan, ya, anak-anaknya.” 
“Memangnya punya anak?” 
“Ah, di tangannya ada tato.” 
“Bunuh diri dosa yang tak terampuni!” 
“Itu kalau bunuh diri. Kalau dibunuh?” 
“Panggil polisi!” 
“Turunkan mayatnya.” 
“Nanti merusak TKP.” 
“Jadi bunuh diri atau dibunuh?” 
“Kalau benar gantung diri, pasti ada feses dan sperma keluar sebab talinya menjerat bagian otak yang mengatur saraf gerak. Begitulah yang kubaca di majalah.” 
“Duh Gusti, semoga tak jadi arwah penasaran.” 
“Tatonya gambar kucing hitam, ya?” 

Sontak aku menatap arah yang sama. Tanpa sadar, kuraba pergelangan tanganku sendiri, persis tempat tato lelaki itu berada. Di antara jutaan gambar di dunia, kenapa kucing hitam? Kenapa bukan naga atau perempuan seksi seperti beberapa preman yang pernah kulihat di pasar? 

Dua minggu lalu, istriku melihatnya. Seekor kucing hitam melintas di depan rumah, tiga hari berturut-turut. Ia tak henti-henti memikirkannya. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Kucing hitam dianggap simbol kematian. Banyak mitos dan takhayul tentang itu. Sebut saja kucing hitam dan penyihir sesat. Lalu, ada mitos menabrak kucing sampai mati akan membawa sial bagi pengendara manapun. Selain nyawanya sembilan, kucing juga dipercaya menjaga makam Firaun. Sebagai wakil Dewa Osiris, kucing pun perantara di dunia kematian untuk menghukum para pendosa.

Pikiran yang kuat akan mudah menggerogoti tubuhnya yang makin lemah. Ia jadi mudah berdarah. Sehari mimisan, beberapa hari kemudian darah pun merembes melewati pahanya. Wajahnya pucat seakan tak tersisa lagi darah di sana. Sepulang dari dokter, ia menangis hebat. Meminta maaf karena ia gagal sekali lagi. Hanya bisa kubelai rambutnya. Kubilang, semua akan baik-baik saja. Tak peduli tabungan habis. Masa bodoh dengan utang yang menjelma menjadi seutas tali yang liat. Kami akan punya anak lagi. Segera! Entah anak laki-laki atau perempuan, kami akan mendidiknya. Membuatnya jadi hebat. Tuhan memilihku menjadi ayah, karena aku bisa diandalkan. Bersamaku anak itu memiliki masa depan. Sesulit apapun, aku takkan menyerah seperti lelaki itu.

Suara-suara berdengung, membubung ke angkasa mirip segerombolan lebah yang keluar dari sarang. Kata-kata mereka berubah menjadi gumaman yang menderu, lebih seru dari pemandangan lelaki gantung diri. Semuanya berlomba menjadi yang maha tahu. Namun, tak ada yang berani mendekat, apalagi menurunkan jenazahnya. Sampai kapan mayat si bapak dibiarkan di sana? 

“Minggir, minggir, polisi datang!” Kerumunan menyeruak. Beberapa orang berseragam berderap. Angin berembus kencang. Tangan si bapak jadi bergoyang. Tato kucing hitam itu seperti bergerak, bagai hendak melarikan diri.

Polisi akan menurunkan jasadnya. Membawanya pulang pada istri yang cemas di rumah. Lelaki itu pasti tak memikirkan istrinya saat mengalungkan tali seliat itu ke rangka bangunan. Isi kepala manusia serupa palung tergelap. Hanya Tuhan yang tahu jalan menyelaminya. Kematian memang nampak lebih indah dari kehidupan. Terlebih ketika perkawinanmu tak bahagia atau uangmu tak cukup membeli kebahagiaan. Bahkan saat masa depan ditutup paksa oleh takdir, kematian bak jalan pembebasan. Kau mudah lupa seberapa banyak uangmu, seberapa luas masa depanmu (itu juga kalau kau bertahan), atau seberapa cantik istrimu.

“Itu kan pemilik rental PS di utara pasar,” celetuk anak muda, penjual kios buah langgananku. “Dia pernah beli mangga muda di lapakku.” 
“Mungkin bunuh diri karena stres.” 
“Kasihan istrinya. Kudengar kandungan istrinya lemah, makanya beberapa kali keguguran.”
“Bukannya rentalnya juga nyaris bangkrut?” 
“Oh, dia juga sering dicari Bang Samin. Utangnya numpuk!” 
“Utangnya banyak, terus gelap mata. Makanya bunuh diri.” 
“Atau, jangan-jangan bunuh diri karena mandul.” 
“Hus! Nanti hantunya datang mencarimu karena bicara sembarangan.” 
“Ya ampun!” pekik seseorang. “Dia hampir tiap hari beli ceker padaku. Raut mukanya selalu tegang. Setiap ditanya, ia bilang istrinya ngidam sup ceker.”
Aku mengedarkan pandangan sekali lagi. Wajah istriku, tato kucing hitam, dan raut pasi lelaki gantung diri. Silih berganti melintas di kepalaku. Lalu, aku ingat sesuatu.
Kenapa si bibik berkeranjang kosong itu yang menemukan jasadnya? 

Entahlah. Aku mengedikkan bahu, berusaha meredakan nyeri yang meremang di tengkuk, sambil terus melangkah, dan menggenggam pergelangan tanganku yang bertato kucing hitam.

Rabu, Juli 15, 2015

Lebaran Damai di Hati Bersama Cermati


Oleh: Anggun Prameswari

 

Tanggal 1 Syawal begitu dinanti oleh seluruh umat muslim di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di sini, lebaran merupakan asimilasi nilai religi keislaman dan kebudayaan lokal. Selain kekhusyukan ibadah, Lebaran identik dengan kegembiraan dan perayaan. Gaungnya terasa bahkan sebelum datangnya Ramadan. Pekerja yang menunggu libur panjangnya. Keluarga yang menanti waktu berkumpul bersama. Silaturahmi dan saling bermaafan menjadi ritual tak terpisahkan. Lebaranpun menjadi tonggak pengingat agar kita kembali pada fitrah sebagai makhluk sosial; tak lepas dari keluarga dan sahabat.
Setiap orang tentu memiliki keinginan di hari lebaran. Baju baru, gawai terkini, mudik ke kampung halaman, berbagi dengan keluarga, atau berlibur. Aku pun begitu. Beberapa bulan sebelum Lebaran, aku telah menyusun #ResolusiLebaranku.
Tentu saja, #ResolusiLebaranku membutuhkan dana besar. Untungnya aku—seperti kebanyakan pekerja di Indonesia--menerima THR untuk merayakan hari raya. Sekilas, THR seperti rejeki nomplok. Mendapat uang di luar gaji bulanan, ditambah tren diskon dan promo Lebaran, rasanya ingin langsung saja menghabiskan uang di tangan.
Namun, belajar dari pengalaman, serta curhatan keluarga dan sahabat, THR akan menguap sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. THR bukan uang jatuh dari langit yang bisa dihamburkan tanpa rencana. THR bersifat bantuan antisipatif, baik buruknya, tergantung bagaimana mengaturnya.
Sebagai generasi melek internet, akupun browsing mencari tip pengaturan THR. Beruntung kutemukan situs Cermati.Com! Sesuai dengan tagline-nya, Mari Jadikan Orang Indonesia Cermat Berfinansial, Cermati membantuku memperoleh wawasan lebih luas mengenai produk-produk perbankan sekaligus tip-tip mengatur keuangan. Bahkan dari salah satu artikel Cermati, aku disarankan membagi alokasi THR ke dalam beberapa pos dengan presentase tertentu.
Spesial tahun ini, #ResolusiLebaranku adalah:
1. Beramal untuk sesama,
2. Alokasi mudik, dan
3. Menambah dana darurat.
Langkah pertama, aku perlu mengetahui besaran THR yang kuterima, agar bisa membuat perencanaan. Ini bisa kuketahui dari jumlah gaji pokok atau prediksi THR tahun sebelumnya. Karena THR biasanya cair seminggu menjelang lebaran, kugunakan tabungan dana darurat untuk menalangi semua kebutuhan, yang nanti ditutup kembali dengan THR setelah cair.
Sejak kecil, orangtuaku mengajarkan untuk beramal—sedikit banyak rejeki yang kita terima. Aku ingat bagaimana orangtuaku mengajariku di setiap Rupiah yang kita punya ada 2,5% hak orang lain yang lebih membutuhkan. Selain dengan lisan, orangtuaku menunjukkannya dengan perbuatan, sehingga nilai itu begitu meresap di hati. Oleh karena itu, pos prioritas THR adalah zakat fitrah, zakat penghasilan, serta THR orang-orang yang bekerja membantu kita, misalnya asisten rumah tangga. Diperkirakan pos ini akan memakan 15% dari total THR. Untuk mempermudah pembagiannya, kuterapkan sistem amplop. Aku membuat pemetaan asumsi nominal untuk pos-pos tersebut, lalu memasukkan uangnya ke dalam amplop. Cara ini mempermudahkanku mengendalikan cash flow.
#ResolusiLebaranku berikutnya adalah mudik ke kampung halaman. Sebagai anak rantau, mudik merupakan momen dinanti untuk berkumpul bersama.
Untuk pos ini, aku mengatur maksimal 60% dari total THR. Sayangnya, harga tiket yang melambung tinggi pada arus mudik dan arus balik, membuatku kesulitan mengatur alokasi dana mudik. Kusiasati dengan memesan tiket pesawat 2-3 bulan sebelum tanggal keberangkatan. Kugunakan kartu kredit untuk membelinya secara online sebelum THR turun. Beruntung, aku bisa memperoleh tiket dengan harga di bawah perkiraan. Selain tiket lebaran, budget angpau kepada keponakan, hantaran untuk keluarga, baju baru, dan keperluan lebaran lainnya masuk pada pos ini. Apabila over-budget, ada solusi menggunakan tabungan dana darurat atau gadai barang. Dengan begini, aku tidak perlu memiliki utang tambahan setelah lebaran selesai.
Nah, sisa 25%-nya bisa dipecah menjadi dua bagian, yaitu membayar utang (15%) dan menambah dana investasi (10%). Untungnya, tahun ini aku tidak memiliki utang. Bahkan tagihan Kartu Kredit untuk membeli tiket masih jadi bagian dana mudik yang 60% tadi. Sisa dana 25% ini bisa langsung dialokasikan untuk investasi. Kali ini aku berencana untuk menambah nominal dana darurat, yang merupakan #ResolusiLebaranku yang ketiga.
Kerennya, situs Cermati memberikan informasi perbandingan produk-produk perbankan, mulai dari tabungan, deposito, kartu kredit, sampai aneka kredit. Aku jadi tahu deposito dan tabungan mana yang memberikan bunga maksimal sehingga investasiku terus berkembang. Ada juga info aneka kredit, di mana tersedia info rate bunga, persyaratan, dan simulasi lengkap dari beragam bank di Indonesia. Data di situs Cermati sangat membantuku membuat keputusan finansial. Makanya saat kumpul keluarga, aku tak segan bercerita pada keluarga dan sahabat mengenai fitur di Cermati. Sepupuku yang berencana mengambil KPR, adikku yang hendak membeli mobil, dan Budhe yang tengah bingung hendak membuka deposito di mana, semuanya jadi tahu. Mudah sekali, hanya tinggal klik situs www.cermati.com dan segala informasi tersaji di sana. Situs ini nyaman diakses secara mobile sehingga praktis. Memutuskan produk perbankan mana yang dipilih menjadi lebih mudah dan aman.
Lebaran kali ini, aku bersyukur #ResolusiLebaranku tercapai karena pengaturan yang cermat. Selain itu, aku belajar bahwa berbagi itu indah. Dengan berbagi, hati kita menjadi lebih kaya dan bahagia. Dari Cermati pula, aku sadar bahwa berbagi tak hanya dengan uang. Ilmu dan informasi menjadi tak kalah berharganya, untuk dibagi kepada sesama.

Tulisan ini merupakan bagian lomba blog #ResolusiLebaranku
bersama situs keuangan www.cermati.com