Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014
Bunga
sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya
mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia
membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia
mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji
Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari
rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang
membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
***
Udara
musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju
lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam.
Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Darah
Ind onesia ku
terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta ,
sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul
sepuluh pagi dan Hongik
University Area sudah
begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura
sudah bermekaran. Aku selalu merasa oran g-orang Korea begitu
lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik
di televisi Indonesia .
Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang
merekah menunggu cinta.
Aku
berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang
– gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni,
juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan
tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang
ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal
nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan
itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi
cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku
teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga.
Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul
dari Jakarta ,
sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku.
Pertanyaan tentang cinta.
Aku
terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini
terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya
menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut
warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat
terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul . Maka aku cukup melihat-lihat saja.
Mataku
tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil
memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu
sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata
berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya
retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji
Won.
“I’m going home two days later,” aku teringat
kata-katanya. “My vacation is over.”
“I know. I overheard your convo with Kim.
Will you come back to Jakarta ?”
“It depends. Kim said you rejected the heart
donor. Why is it so, Sakura?”
“I had this heart problem since I was a
baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only
about 40%. Even if my body accepts
the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”
“You should!” Ji Won setengah membentak.
Aku terkesiap.
“Why should I?”
“Because I’ll be back soon to Jakarta , and I want you
to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason,
Sakura, for me to go back to Indonesia . Leaving
everything behind in Seoul ,
because I,…”
“Stop it, Ji Won!” aku ganti
membentaknya. “You have a perfect life in
Seoul . You’re
the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You
want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future
like me? That’s insane.”
“It’s not! You do the surgery and you’ll be
as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no
reason to be away from me.”
Aku
masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung.
Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang
teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari
untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan
penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi
seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau
cicipi.
Hanya
saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan
dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenya taan, karena jika dia tahu, dia akan
bersikeras menemaniku di Jakarta
dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan
seperti aku.
“Please promise me, Sakura.” Ji Won
menggenggam tanganku. “You’ll do the
surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul . I’ll bring you to my favorite place,
Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry.
Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?”
“I don’t
know, Ji Won.”
“Just promise me. Please.”
Tatap
mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku.
Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi
transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang
terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang
dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling
menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling
jatuh cinta.
Dan
aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik University
Area. Diam-diam aku ke Seoul
tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bern ama Sakura, datang membawakannya cinta,
tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.
Langkahku
terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang
berdiri di tengah sana .
Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji
Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampa nnya seperti
sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi.
Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?
Seakan
mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak
percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan
transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.
Aku
berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah.
Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat.
Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh
oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan
betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.
“I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya
aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan
aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.
***
Ji
Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini
terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik University
Area yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi.
Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon
Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya
pemandangan yang teramat ind ah.
Ind ah di kala tak ada oran g sebanyak ini.
Sekuntum
bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah
melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya
lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia
rindukan.
Ji
Won bahkan bisa menden gar
suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.
Ji Won, everytime you see cherry blossom,
please remember me.
Dia
memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan
dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya.
Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek
baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.
Hanya
ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri.
Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya,
tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya.
Senyum itu jauh lebih ind ah
dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya.
“Ji
Won,” ujar Sakura.
Gadis
itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa
dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah.
Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.
Sakura
mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak
luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi
begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.
“Aku,”
Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan
sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih
kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”
Ji
Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya
berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari
sebelumnya.
“I love you.”
“Ji
Won!”
Pemuda
itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya
kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik University
Area. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona
oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura.
“Ji
Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji
Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”
“Eun
Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha
mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam
pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.
“Ji
Won! Kamu tidak menden garkan
ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin
menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.
Biip
biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan
rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim
mengiriminya pesan singkat.
“Operasi
Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”
Kali
ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak
bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja
mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan
di Indonesia .
Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,…
Satu
lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang.
Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya,
lalu meremasnya kuat-kuat.
“Ayo
pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu.
Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau
pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya.
Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim
semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada
Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia
bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau
angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku
tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah
berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan , bibirnya lembut seperti lelehan madu.
Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti
berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku
jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini
sinar putih di ujung jalan sana
tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan.
Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau
gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon,
sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah,
maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam
yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
GM, 12-13 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar