Powered By Blogger

Selasa, Maret 26, 2013

DUNIA DI DALAM MATA, omnibook ke-7



 Setelah  antologi cerpen bersama yang ke-enam, yaitu #Singgah terbit, kembali diluncurkan antologi bersamaku yang ketujuh, yaitu "Dunia Di Dalam Mata". Ini merupakan proyek omnibook komunitas @fiksimini yang begitu tenar di dunia maya. Beberapa bulan sebelumnya, komunitas tersebut mengadakan sayembara cerpen. Aku ingin mencoba peruntungan dengan mengirimkan dua cerpen, "Peri Bermata Biru" dan "Calon Presiden".


Nothing to lose, itulah perasaanku saat kukirimkan kedua cerpen itu. Aku pun tidak terlalu mengikuti perkembangannya, karena para penggiat fiksimini yang mengirimkan cerpen-cerpen mereka pun, kondang oleh kemampuan menulis dan diksi yang luar biasa. Aku yang lebih sering menulis "pop" jadi keder dan tidak berharap banyak. Lalu, beberapa teman menyebut namaku di linimasa, dan ternyata aku bagian dari 19 cerpen terpilih yang masuk di kumcer "Dunia di Dalam Mata". Cerpenku, "Peri Bermata Biru" terpilih! Sujud syukur.
 
Akhirnya #kumcerfm ini diluncurkan di Gathering Nasional Fiksimini ke-3 di Bandung, tepatnya di Kafe Siete tanggal 9 Maret 2013, lengkap drama aku terjungkal di pintu kafe dengan hidung nyaris membentur lantai kalau-kalau tidak ditolong oleh @baracoedaz di sana. Blame it on my 10-cm heels.

Oh well, it's life! Yang penting aku bahagia, karena satu "bayi"-ku akhirnya menemukan rumahnya. Oh ya, kumcer ini siap edar di toko-toko buku nasional di bulan April 2013. Sebagai gambaran, karena aku berhasil menamatkannya sehari sebelum aku menulis blog ini, kumcer ini berisi 23 cerpen terpilih, termasuk empat karya cerpenis cetar membahana seperti Agus Noor, Clara Ng, Aan Mansyur, dan Eka Kurniawan. Ada juga fiksimini-fiksimini terbaik dari tahun 2010-2012 yang dirangkum dengan apik dan beberapa ilustrasi yang keren. Cerpen-cerpen di dalamnya lebih beraroma "sastra" dan "filosofis", bukan "pop urban" seperti dua kumcer sebelumnya, Cerita Sahabat 2 dan Singgah.

Berikut kutipan "Peri Bermata Biru" karyaku di dalam "Dunia Di Dalam Mata":

 Apakah kau pernah bertemu peri bermata biru? Peri tampan dengan mata bulat biru langit. Saking birunya sampai kau bisa melihat seluruh semesta tiap kali menatap matanya? Bila iya, maka kuperingatkan. Jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Karena peri itu sanggup membunuhmu, pelan-pelan, menyakitkan. 

SELAMAT MEMBACA!

MAKAN MALAM TERAKHIR



Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini.
Sandy menatap ragu undakan menuju teras rumahnya. Bangunannya masih tetap sama, minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Ada pintu besar dari kayu meranti, berpulas pelitur mengkilat dengan sedikit ornamen ukir di beberapa sudut. Jendela-jendela mengapit pintu. Penampangnya berbatas dengan besi ulir teralis yang berjajar ritmis dengan helai-helai tirai putih bersih. Entah kenapa, detik ini rumahnya terasa dingin. Apa karena catnya? Apa karena teralis-teralis itu? Karena apa?
“Sandy, kok nggak masuk?”
Mama menyambut di depan pintu. Sosoknya terlihat lelah. Sepertinya garis-garis kerut di wajahnya menegas. Sandy mencari-cari bekas air mata di tiap lekuk sudut raut cantik mama, tapi sia-sia. Mungkin sekarang bukan waktunya mama menangis lagi.
Uluran tangan mama menanti jawaban. Jemari lentiknya kini terlihat kering. Mama sudah melepas cincin kawinnya.
“Papa menunggu di dalam.”
Sandy makin ragu. Untuk apa ia ada di sini? Menjadi saksi mata kalau kiamat itu memang ada? Mereka memintanya bersikap dewasa. Hanya saja, kedewasaan macam apa yang bisa dituntut dari anak berumur enam belas tahun seperti dirinya? Ia bahkan belum pernah jatuh cinta. Bagaimana ia bisa memahami rumitnya cinta papa mamanya?
Langkah kaki terasa berat. Bahkan, dinginnya marmer putih susu ini sanggup menembus sandal crocs­-nya, membekukan tiap jejak tapak kakinya.
“Kamu sudah makan? Mama sudah siapkan rawon kesukaanmu, dengan sambal terasi, kerupuk udang, dan telor asin. Ayo, mumpung rawonnya masih hangat.”
Mama menyambut Sandy layaknya tamu. Ini mama. Ini rumahnya sendiri. Memang ia baru saja menghabiskan akhir pekan di rumah nenek di Bandung. Namun, sambutan mama seakan menandakan Sandy sudah pergi sekian tahun lamanya. Ada nada getir di suara mama. Mana kehangatan mama yang seperti biasa? Mengapa ia terus diperlakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa?
Ada papa duduk di meja makan. Wajahnya sedikit tegang, pun juga lelah. Papa dan mama berbagi pedih yang sama. Namun, mereka sama-sama enggan membaginya dengan Sandy. Bukankah dirinya bagian dari keluarga ini?
Sandy tahu papa berusaha tenang. Sedikit senyum dan tatapan hangat itu masih belum sanggup menyembunyikan badai besar di hati papa. Gadis itu melirik ke tengah meja. Seluruh hidangan sempurna, dari aroma, warna, dan tentu rasa. Tapi, entah kenapa, Sandy merasa ia tak ingin menyantap menu ini. Selamanya.
“Kok diam? Ayo duduk. Kita bisa mulai makan sekarang?” tanya mama.
“Bagaimana liburanmu di rumah nenek?” tanya papa.
“Membosankan.”
“Tapi kamu bisa jalan-jalan di kebun kopi nenek.”
“Aku lebih suka di Jakarta.”
Percakapan ini ditutup oleh hening yang mencekik Piring-piring menyajikan masakan lezat mama yang semestinya menerbitkan air liur. Namun, perut Sandy bergolak hebat. Ada perih membekap jantungnya hingga nyaris sulit berdetak.
Gadis itu menatap mama. Mama menatap papa. Papa hanya tertunduk. Entah menatap apa. Entah menyembunyikan apa. Sandy akhirnya hanya menatap lilin. Nyalanya redup. Lidah apinya menari-nari. Mungkin api itu tahu kesedihan di hati ketiganya, sehingga bersusah payah meliuk menghibur ketiga manusia di hadapannya.
“Kamu mau nasinya satu atau separuh, sayang?” tanya mama lagi.
“Ma,…”
“Iya?”
“Kenapa kita semua berkumpul di sini?”
Mama terhenyak. Sandy juga sempet menangkap papa berhenti menarik napas. Tinggal menunggu waktu saja sebelum palu takdir diketuk. Mulai detik ini, kisah bahagia takkan pernah ada dalam hidup Sandy. Bahagia baginya hanya ilusi yang terperangkap di lembar-lembar buku dongeng.
“Kita keluarga kan? Wajar kalau kita makan malam bersama,” jawab mama parau, seakan ragu dengan kata-katanya sendiri.
Rasanya Sandy ingin berteriak. Sejak kapan mereka menjadi keluarga? Sandy sudah lupa terakhir kali mereka bercengkerama bersama. Mungkin ketika dia masih sepuluh atau sebelas tahun. Masih berambut panjang dengan pita merah jambu berkibar-kibar. Saat rambut papa masih hitam dan belum ada seutas kerut di wajah mama. Rasanya seperti seribu windu yang lalu. Sandy hampir lupa, entah bagaimana dengan papa mama. Apakah mereka masih bisa merasakan jejak-jejak kebahagiaan semacam itu?
“Bagaimana sidangnya, Ma?” tanya Sandy. “Pa?”
“Sandy,…”
“Pa, Ma, aku sudah enam belas. Perlakukan aku seperti anak enam belas tahun.”
“Sidangnya baik-baik saja,” ujar papa melelehkan keheningan.
“Pa,…” cegah mama.
“Biar. Sandy berhak tahu. Dia sudah besar,” sergah papa.
“Tapi,…”
“Besok sidang terakhir untuk membaca putusan.” Suara papa terdengar seperti gunung es yang berderak pecah.
Sandy bersumpah ia bisa mendengar hatinya sendiri meluncur jatuh dan semburat berkeping-keping. Ia tak tahu harus bagaimana. Marah. Sedih. Kecewa. Tertawa. Merana.
Tak ada sepatah kata apa pun. Semua rasa terkunci rapat di hati. Sandy sekuat tenaga berusaha tidak menangis. Kalau tidak, ia yakin sebentar lagi ia akan mati tenggelam oleh air matanya sendiri.
“Kenapa, Pa? Ma? Kenapa kalian harus pisah?” Sandy bangkit dari kursinya. Nafsu makannya menguap seketika. Ada hening yang kuat mencuat di antara ketiganya.
Setengah berlari, ia menuju sofa besar di depan televisi. Dulu, ketika masih kecil, ia sering meringkuk merajuk di sana. Terlebih saat papa memarahinya karena terlalu lama bermain game atau saat mama memaksanya makan brokoli. Ia biasanya tenggelam di antara bantal kursi isi bulu angsa agar tak ada siapa pun mendengarkan suara tangisnya. Tapi itu dulu. Ketika masih ada aroma bahagia menguar di rumah ini.
Mama ikut merebahkan diri di sofa itu. Samar Sandy mencium wangi lembut parfum mama. Ah, betapa ia akan merindukan wangi mama. Suara mama. Helai-helai rambut yang menempel di leher jenjang mama.
Sandy tak mengatakan apa-apa. Pun mama diam. Mereka hanya saling menyandarkan kepala di sandaran sofa. Sandy memejamkan mata. Mama menatap lampu gantung kristal yang bening berkilauan.
“Sayang, masih ingat Barbie?” ujar mama tiba-tiba. “Kucing anggoramu dulu?”
Sandy tak menjawab. Ia hanya berusaha membungkam gemuruh pedih di dadanya.
“Kamu dulu sibuk ikut les ini itu, OSIS, macam-macam. Akhirnya lupa memberi makan Barbie atau mengajaknya bermain. Barbie jadi kurus dan sakit-sakitan. Masih ingat apa yang akhirnya kamu lakukan?”
Sandy membuka mata. Silau cahaya lampu gantung menusuk matanya. “Aku kasih Barbie ke Melati, anaknya om Jono.”
“Kenapa?”
“Karena Melati sayang kucing dan bisa merawat Barbie dengan baik. Buktinya beberapa bulan setelah itu, Barbie gendut dan sehat. Lincah. Nggak seperti kucing yang hampir mati.”
“Terus? Pelajaran apa yang kamu bisa ambil?”
“Mama menyamakan pernikahan mama papa dengan Barbie? Barbie cuma kucing, Ma. Beda dong.”
“Mungkin memang sama, sayang. Mungkin. Kadang bahagia itu tidak selalu dengan bersama-sama.”
“Tapi aku bahagia kalau bersama papa dan mama,” nada bicara Sandy meninggi. “Kenapa papa mama berhenti mencintai?”
Mama menatapnya lekat. Sandy tahu mamanya terkejut. Mungkin memang mama juga tak tahu jawabannya.
Papa ikut mendekat dan duduk di sisi Sandy. Lengan besar papa terasa dingin, sekaligus hangat. Sedikit lagi pertahanan Sandy hampir jebol.
“Kami tidak berhenti mencintai, sayang. Kami masih saling cinta.”
“Terus kenapa papa mama pisah?”
“Kamu tahu pohon mangga yang kita tanam di halaman depan? Coba lihat dahannya. Dari satu batang yang kokoh, rantingnya bisa tumbuh ke arah yang berbeda.”
“Aku nggak ngerti, Pa.”
“Mungkin seperti itulah cinta papa dan mama. Tumbuh ke arah yang berbeda. Tapi masih satu. Berkat kamu. Kamulah penyatu kami, walau akhirnya kami berpisah.”
“Iya sayang. Kami tidak mungkin saling benci. Kalau mama benci papa, mama akan ikut membenci kamu. Karena ada papa di dalam dirimu. Begitu juga sebaliknya.”
Runtuhlah dinding-dinding pertahanan di batin Sandy. Luruh juga air matanya. Ia hanya melipat lutut dan membenamkan wajahnya. Semoga isakannya tak nyaring terdengar. Ia sudah enam belas tahun, tak seharusnya ia menangis lantang seperti balita.
“Aku nggak mau papa mama pisah.”
“Kamu mau papa mama terus-terusan bertengkar?” tanya papa. “Itu bikin kamu bahagia?”
“Tapi aku juga nggak akan bahagia kalau papa mama pisah.”
“Ini yang terbaik, sayang.” Mama mengelus rambut Sandy.
“Terus aku gimana? Aku nggak mau disuruh milih antara papa atau mama.”
“Kami nggak akan memintamu milih, karena kamu anak kami, bukan anak papa atau anak mama. Anak kami berdua, sayang.”
“Aku pasti akan kangen saat-saat seperti ini, Pa, Ma.”
“Papa juga.”
“Mama juga.”
“Malam ini, papa sama mama, sama-sama nemenin aku di sofa ini. Sampai aku tidur. Sampai pagi. Sebelum kita bertiga berangkat ke pengadilan besok pagi. Untuk terakhir kalinya.”
Bukan jawaban yang Sandy harapkan. Tapi lengan mama yang menggamit erat. Juga hangat sentuh tangan papa membelai rambut putri tunggalnya.
Di sofa cokelat susu itu, papa, Sandy, lalu mama saling meringkuk. Saling menghangatkan. Diam-diam dingin mulai merambati dinding-dinding hati. Juga rasa takut. Takut kehilangan. Takut tak bisa lagi bahagia. Di luar sayup-sayup terdengar deru hujan berangin yang mengempas segala. Sandy berharap, semoga hujan ikut menyapu semua rasa sakit di dadanya.
Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini. Aku ingin bersama mereka. Utuh. Selamanya.

GM, 5-6 Februari 2012
Dimuat Gadis no.07/2013 edar tgl 8-18Maret2013

Senin, Januari 07, 2013

#Singgah


Segera Terbit


SINGGAH

 Gramedia, 2013



Begitu banyak kisah di terminal, bandara, pelabuhan, dan stasiun. Cerita tentang pertemuan dan perpisahan, juga tentang orang-orang yang menanam kakinya di tempat-tempat persinggahan itu. Mereka berbagi luka dan cinta. Diam-diam mereka memendam rindu. Tempat yang selalu ingar bingar, tetapi juga melesapkan sepi yang menggerogoti jiwa. Tanpa suara.

Seorang lelaki menyusuri kembali jejak-jejak kekasihnya yang hilang ke sebuah dermaga, lelaki lainnya memancing bintang. Di stasiun, pak tua berpeci lusuh duduk menanti mataharinya setiap dini hari. Di bandara, koper-koper tertukar, dan ada hati yang menemukan pelabuhannya.

Sebelas penulis merangkai kenangan di empat tempat persinggahan, mengantar pergi, menjemput pulang.

Minggu, Desember 09, 2012

Berlian di Hati Tejo


Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Tejo teringat kalimat Dinda. Istrinya waktu itu pasti kecewa. Ia tak mendampinginya melahirkan di klinik bidan seberang kompleks kawasan industri. Ia meringkuk semalam di kantor polisi akibat berkelahi dengan atasan. Andai Dinda tahu, betapa Tejo merindukannya. Dinda selalu bisa melembutkan hatinya yang keras. Saat Dinda menyerah di ranjang rumah sakit karena demam berdarah, ia menitipkan Berlian, putri semata wayang mereka, untuk meneruskan tugasnya melembutkan hati Tejo.
Semburat jingga menyebar di penjuru langit. Tejo sesekali berjalan miring dan mengucap permisi agar tak menabrak orang saat melewati selasar sempit menuju kontrakan. Samar tercium bau deterjen dari rentetan cucian yang digantung sejajar pintu-pintu petakan.
Kontrakannya hanya empat kali enam meter. Ruang tamunya hanya diisi televisi mungil dan tiga bingkai berdebu yang tergantung layu. Senyum manis Dinda menyambutnya di balik kaca bingkai itu. Persis di balik ruang tamu, ada kamar berisi ranjang susun, yang terbawah untuknya, yang teratas untuk Berlian. Di samping ranjang, ada lemari kayu lapuk dan meja belajar usang.
“Ada teman-teman ayah mampir. Tolong bikin kopi ya?”
“Iya, tapi listriknya mati. Aku belum isi bak di kamar mandi.”
Tejo menghela napas. Sebulan lalu, petugas PLN memergoki banyak yang mencuri listrik di sekitar sini. Sejak itu listrik kadang menyala, lebih sering tidak. Pak Sunu, induk semangnya, malah didenda enam juta karena ketahuan mencuri juga. Diliriknya buku-buku di meja belajar Berlian. Kasihan Berlian kalau mengerjakan PR hanya ditemani lilin.
“Gampang, mandinya nanti saja.” ujar Tejo kembali ke ruang tamu. Bang Hendi, Mas Pram, dan Gimin sudah selonjor santai di sana.
“Rosyid sudah keterlaluan.” Gimin menimpali. “Kita harus bertindak!”
“Jadi apa rencanamu, Jo?“ tanya Bang Hendi menyulut rokok.
“Mestinya diskusi dulu dengan serikat pekerja. Semua ada prosedurnya, jangan sembarangan.” Mas Pram berusaha menengahi.
“SP dikendalikan Rosyid. Persis boneka. Nggak ada yang belain kita,” ujar Tejo.
“Mas Pram tahu sendiri banyak tunjangan disunat. Waktu istri Romi di-caesar, cuma dapat ganti lima ratus ribu. Padahal sesuai aturan perusahaan, Romi bisa dapat penggantian enam juta. Banyak juga kasus tunjangan keluarga ditilep,” ujar Gimin.
“Kalau waktu itu Rosyid nggak ngaku-ngaku, aku yang dapat bonus itu. Aku bisa belikan Berlian sepatu dan baju baru,” sergah Tejo teringat insidennya saat membuat efisiensi sistem produksi dari output 50.000 unit rangka lampu motor menjadi 80.000. Untuk diajukan ke bos besar, ia butuh tanda tangan Rosyid sebagai manager utama. Ia taruh konsep itu di meja Rosyid. Tak lama, Rosyidlah yang diberi bonus uang berkat rancangan efisiensi yang persis rancangan Tejo. Tejo naik pitam. Adu mulut tak terhindarkan. Wajah Rosyid pias saat tinju Tejo hampir mendarat di pipinya. Untung saja ia dihalangi buruh lainnya.
 “Kalau kamu dipecat, apa Berlian masih bisa sekolah?” sela Mas Pram.
Tejo terdiam. Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
“Om-om, silakan kopinya,” Berlian membawa empat cangkir kopi. Tejo menatap mata bening Berlian, lalu beralih menatap isi cangkir. Kopi hitam pekat itu bergerak memutar karena sisa adukan. Seperti itukah masa depan Berlian? Hitam dan berputar-putar mengulang pahit yang dicecap orang tuanya?
“Kita harus demo. Kumpulkan bukti-bukti, termasuk dari anak training yang sering dimintai uang supaya jadi karyawan tetap,” Gimin membuyarkan lamunan Tejo.  “Slip-slip gaji bermasalah difotokopi. Bikin petisi minta Rosyid mundur dan rencana lapangannya. Hati-hati, jangan bocor ke Sarno si penjilat!”
“Jo, konsekuensinya berat. Kamu bisa dipecat karena jadi korlap. Tahu sendiri Rosyid sentimen sama kamu. Salah gerak, kamu bisa out,” Mas Pram mengingatkan.
“Mas mau gaji kita cuma UMR tapi beban kerja tinggi. Lembur tanpa uang lembur. Mati pelan-pelan namanya,” bantah Tejo, “Walau cuma kuli pabrik, kita bukan kuli goblok yang bisa dikendalikan seenaknya.”
“Oke, kamu bikin konsepnya, kita yang jalankan. Kita serahkan semuanya sama kamu,” ujar Bang Hendi.
Ada kilat semangat di mata Tejo saat menatap mereka. Sepuluh sampai dua belas jam digerus kerja fisik tiap hari membuat mereka lebih tua dari usia sebenarnya. Kelelahan memakan habis harapan mereka. Hanya ia yang bisa mengubah keadaan.
“Ayah, lampunya sudah nyala!” teriak Berlian girang dari dalam kamar.
***

Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Kalimat itu mampu melirihkan gumaman teman-temannya yang bergerombol di depan pabrik. Hampir saja megaphone di tangannya jatuh ke tanah. Ia seperti melayang ke awan yang mendesak-desak langit, seperti kerumunan yang kini mendesak-desaknya. Mereka membawa spanduk dan karton bertuliskan provokasi pemecatan Rosyid.
“Jo, belum telat untuk berdiplomasi. Banyak yang dipertaruhkan,“ ujar Mas Pram.
Tejo tak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya ingat wajah Berlian saat menyodorkan surat dari sekolah. Surat itu meminta Tejo menemui kepala sekolah untuk membahas kemajuan pendidikan Berlian tanpa jelas apa masalahnya. Baru Tejo akan bertanya, Berlian telanjur tertunduk. Ia jadi tak tega. Apa nilai Berlian merosot karena lampu di kontrakan terlalu sering mati? Apa karena bayaran sekolahnya yang sudah telat dua bulan?
“Hari ini ayah nggak bisa. Ada demo di pabrik. Bilang sama kepala sekolah, ayah datang besok pagi. Gimana?”
“Janji ya Yah?”
“Jo!” ujar Mas Pram.Lamunannya terbang ditiup angin.Tangannya terkepal kuat.
“Iya, Mas. Ini buat kita-kita juga kan. Buat anak saya. Buat anak-anak Mas Pram juga,” jawabnya gemetar seakan mempertanyakan keyakinannya sendiri.
Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Tejo menaiki undakan untuk berorasi. Megaphone di tangannya kini mengacung di udara. Kata-katanya meluncur menyirami semangat kawan-kawan seperjuangan. Spanduk dan karton teracung tinggi, tak peduli matahari memanggang ubun-ubun mereka. Dari posisi yang lebih tinggi, Tejo mendongak menjawab bisikan istrinya ke arah langit. Dinda, mungkin seorang bapak harus keras hatinya demi masa depan putrinya.
Gerombolan buruh berubah menjadi ombak panas yang menghantam kokohnya gerbang pabrik. Semuanya mulai tak terkendali. Di kejauhan sirine truk polisi memuntahkan belasan petugas. Ketika seragam cokelat susu buruh berbaur dengan seragam coklat polisi, Tejo tak sanggup lagi membedakan wajah dan suara. Semuanya berteriak. Benda-benda beterbangan. Spanduk dan karton melayang. Ada batu terpental membentur perisai polisi. Entah siapa yang melempar. Tejo menjatuhkan megaphone-nya dan berusaha memisahkan pergulatan di depannya.
Kerah bajunya ditarik. Tak lama, ia didorong kuat dari belakang sampai terjerembab dan dagunya terparut aspal. Sebuah laras hitam tak henti menumbuknya. Lengan kiri. Punggung atas. Pinggang. Betis. Lalu lengannya lagi. Warna hitam pentungan itu tiba-tiba ikut melunturi warna-warna di sekelilingnya.
 Hanya suara Janji ya Yah?” terngiang di telinga. Suara itu memudar seiring ditelan pandangan hitam pekat.
***
Berlian bangkit dari tempat tidurnya. Ia tak bisa tidur semalaman. Ranjang Ayah masih rapi tanpa ada kerut bekas ditiduri. Sepatu kerja ayah yang biasa ditaruh di balik pintu juga tidak ada. Ayah belum pulang.
Hari ini ayah janji akan ke sekolah bersamanya. Sengaja ia tak bercerita bagaimana dirinya lolos ujian seleksi beasiswa sebuah bank swasta. Ia ingin membuat kejutan untuk ayah. Ia ingin melihat wajah bangga ayah karena tak perlu lagi membayar uang sekolah dan buku sampai lulus SD berkat beasiswa itu. 
Berlian melongok ke arah gang kecil di depan kontrakan. Ia ingin sekali meminta ayahnya untuk tidak berdemo di pabrik. Tapi wajah ayah begitu keras, sekeras niatnya. Mana berani ia membujuk ayah. Melunakkan hati ayah yang keras? Mana mungkin ia bisa. Ditemani ujung rok merahnya yang mulai pudar, Berlian hanya bisa duduk di pintu menunggu ayahnya pulang sambil ditemani suara detik jam yang terasa makin lambat.
***
 Tangerang, 17 April 2008
Pemenang 1 Lomba Cerpen Ummi. Muat edisi November 2012