Powered By Blogger

Rabu, Maret 19, 2014

WANITA DAN SEMUT-SEMUT DI KEPALANYA

dimuat di Kompas Minggu, 2 Maret 2014

Sungguh, tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah ribut besar dan berkata, lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya; “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
Para tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.
Sayangnya, semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat yang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh.
“Bu, kok pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.
“Bik, bagaimana caranya membunuh semut?”
“Hah?”
“Kudengar ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”
Pembantu itu makin bingung.
“Belikan selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”
“Banyak betul. Buat apa?”
“Mengusir semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”
Dengan bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan melipat surat itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
***
Wanita itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua. Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar.
Semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular sampai ke lubang kecil di dekat kusen.
Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.
Mendadak ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta, agar tak ada yang bisa menculiknya.
Sekilas ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.
Semalaman, wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah masuk semut.
Ia pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan habis kewarasannya.
***
Semut-semut itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.
Ia suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin ketara, tiap kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab, “Di dalam banyak semut.”
“Apa hubungannya?”
Nanti aku dikerubungi semut.”
“Masa takut sama semut?”
“Pernah hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,” bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.
Ia pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin rapat.
Terlampau kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya, mirip bazooka memborbardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.
Tak dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut, muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas. Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan kuat-kuat di dada.
Andai suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua. Semut-semut ini, juga kesepiannya.
***
Akhirnya ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan komplek. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia tebarkan butir-butir gula, agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.
Ternyata semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten mendengarkannya. Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.
Pria itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya. Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.
“Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut itu hening mendengarkan. “Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”
Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.
“Suatu hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya, apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia masih akan merindukanku?  Diam-diam membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”
Kini dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang sengaja ia tebarkan.
“Awalnya ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang padanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”
Wanita itu terkekeh. Matanya nampak lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.
“Mungkin wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”
Semut-semut merangsek merambati ranjang.
“Mungkin ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”
Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, perut, entah bagian manalagi yang tersisa.
“Boleh kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”
***
Esok hari, komplek itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya.
Suara-suara tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.
Wajahnya pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia tak jatuh cinta padanya.
Ia memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.
***
GM, 9 November 2013

DEMI RINDU DAN SAKURA

Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014


Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
***
Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Darah Indonesiaku terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta, sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura sudah bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea begitu lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik di televisi Indonesia. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang merekah menunggu cinta.
Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang – gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul dari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.
Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul. Maka aku cukup melihat-lihat saja.
Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.
“I’m going home two days later,” aku teringat kata-katanya. “My vacation is over.
“I know. I overheard your convo with Kim. Will you come back to Jakarta?”
“It depends. Kim said you rejected the heart donor. Why is it so, Sakura?”
“I had this heart problem since I was a baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only about 40%. Even if my body accepts the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”
“You should!” Ji Won setengah membentak. Aku terkesiap.
“Why should I?”
“Because I’ll be back soon to Jakarta, and I want you to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason, Sakura, for me to go back to Indonesia. Leaving everything behind in Seoul, because I,…”
“Stop it, Ji Won!” aku ganti membentaknya. “You have a perfect life in Seoul. You’re the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future like me? That’s insane.”
“It’s not! You do the surgery and you’ll be as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no reason to be away from me.”
Aku masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung. Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau cicipi.
Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenyataan, karena jika dia tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakarta dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.
“Please promise me, Sakura.” Ji Won menggenggam tanganku. “You’ll do the surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul. I’ll bring you to my favorite place, Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry. Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?”
 “I don’t know, Ji Won.”
“Just promise me. Please.”
Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling jatuh cinta.
Dan aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik University Area. Diam-diam aku ke Seoul tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.
Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?
Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.
Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.
I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.
***
Ji Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik University Area yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi. Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya pemandangan yang teramat indah. Indah di kala tak ada orang sebanyak ini.
Sekuntum bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia rindukan.
Ji Won bahkan bisa mendengar suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.
Ji Won, everytime you see cherry blossom, please remember me.
Dia memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya. Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.
Hanya ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri. Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya, tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya. Senyum itu jauh lebih indah dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya.
“Ji Won,” ujar Sakura.
Gadis itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah. Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.
Sakura mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.
“Aku,” Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”
Ji Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.
I love you.”
“Ji Won!”
Pemuda itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik University Area. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura.
“Ji Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”
“Eun Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.
“Ji Won! Kamu tidak mendengarkan ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.
Biip biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim mengiriminya pesan singkat.
“Operasi Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”
Kali ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan di Indonesia. Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,…
Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.
“Ayo pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya. Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini sinar putih di ujung jalan sana tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
GM, 12-13 Mei 2012

Rabu, Januari 01, 2014

AYAM BANGKOK

cerpen ini dimuat di Tabloid Nova edisi 16-22 Desember 2013



Pagi ini Rohim bersiul riang. Dinginnya air sumur yang baru mengguyur membuatnya makin bersemangat. Di depan cermin, ia berjoget sambil menyisir rambut tipis kelabunya. Alunan musik dangdut terdenger kemeresek dari radio tua. Istrinya mengeryit curiga, gelagatnya sepeti lelaki sedang jatuh cinta. Hanya saja, Rohim tak cukup tampan, apalagi kaya untuk mencari istri muda.
“Hari ini aku mau ke rumahnya Koh Endi,” ujar Rohim menjawab pertanyaan di wajah istrinya.
Mendengar nama Koh Endi, istri Rohim cuma menghela napas tanda paham.
“Koh Endi katanya baru dapat stok ayam Bangkok baru. Katanya ayamnya top, bodinya tegap, gede, kakinya kokoh. Petarung sejati pokoknya,”
Istri Rohim hapal betul sikap suaminya yang tergila-gila dengan ayam Bangkok aduan. Lebih baik ia tak berkata apa-apa, tapi Diro, anak semata wayang mereka bergegas keluar dari kamar. Rambutnya kusut berdiri di sana-sini dengan wajah cemberut. Lingkaran hitam menggelayut di bawah mata hasil semalam kurang tidur.
“Pokoknya, kalau bapak sudah beli ayam itu, terus diadu, terus menang, kamu pasti aku belikan gelang baru,” ujar Rohim pada istrinya.
“Pak, mana janji bapak?” tagih Diro tanpa basa-basi.
“Janji apa?” tanya Rohim setengah tersedak.
“Uang untuk daftar ulang sekolah,”
“Oh itu. Bapak nggak ada duit.”
“Bohong. Buktinya bapak mau beli ayamnya Koh Endi. Ayam Koh Endi kan enggak murah, pak,” Diro menjawab sengit, “lebih baik uangnya buat bayarin sekolah Diro,”
“Uang bapak cuma tujuh ratus ribu. Pas seharga ayam itu. Untuk bayar sekolahmu nggak ada,”
“Bayar daftar ulang itu juga tujuh ratus ribu, pak. Bapak nggak usah beli ayam dulu. Kalau nggak bayar uang daftar ulang, aku nggak bisa naik ke kelas tiga, pak.”
“Tapi di rapot kemarin kan kamu naik kelas.”
“Kalau nggak bayar juga nggak akan naik kelas,” bentak Diro. “Pantas keluarga kita melarat terus. Lha wong bapaknya sering sabung ayam.”
“Kamu ini kecil-kecil sudah bisa ngajarin bapak!” mata Rohim menatap nyalang, tapi Diro tidak gentar. Ia balas menatap tanpa berkedip.
“Bapak lebih sayang ayam daripada anak sendiri!”
Diro langsung keluar rumah tanpa banyak berkata. Rohim terengah-engah menahan marah dan menahan tangan untuk tidak menampar mulut Diro. Istrinya terduduk lesu sembari menahan mual melihat pertengkaran barusan. Anaknya baru empat belas tahun dan suaminya sudah kepala empat. Keduanya tidak ada yang berkepala dingin, sedangkan ia terjepit di tengah-tengah tanpa tahu harus membela siapa.
“Nafsu makanku jadi hilang. Siapa yang betah tinggal di rumah seperti ini.” Rohim membanting serbet makannya.
Istrinya hanya diam memandangi Rohim. Gundah yang ia simpan mulai luber meluncur di wajahnya yang lelah.
***
Rohim mengayuh sepeda tuanya dengan berat. Rodanya sedikit kempes dan jalanan sedikit berbatu. Sesekali Rohim menyeka peluh yang meleleh terbakar matahari. Hasratnya begitu menggebu. Jantungnya berdetak seakan hendak menjebol tulang rusuknya. Kualitas ayam Bangkok ternakan Koh Endi memang terkenal. Konon kabarnya Koh Endi mengambil bibitnya langsung ke Bangkok. Bagi Rohim itu bukan masalah. Sepanjang ayam itu selalu menang di arena sabung, selama ia terus bisa mereguk rupiah hasil sabung, ia tak peduli.
Kepala Rohim mendadak berdenyut-denyut. Bayangan Diro juga tak kunjung pergi dari benaknya. Diro anak satu-satunya. Umurnya masih baru empat belas. Tahun depan sudah mau masuk STM. Tapi itu terancam gagal karena tak bisa membayar uang daftar ulang syarat kenaikan kelas. Semakin dipikirkan semakin terbelit-belit isi otak Rohim yang cuma mengeyam bangku SD.
Dari kejauhan ada keramaian. Keramaian itu seperti gumpalan bola salju yang meluncur dari atas gunung. Mulanya satu dua orang, lama-lama sekian puluh jumlahnya. Rohim heran, bagaimana bisa ada kerumunan orang di depan rumah Koh Endi. Kerumunan itu terus meluber sampai ke halaman belakang, tempat bisnis Koh Endi. Apalagi kalau bukan rentetan kandang ayamnya.
Rohim menggaruk-garuk kepala. Kasak-kusuk orang begitu berisik. Kerumunan begitu padat untuk ditembus. Ada apa ini? Rohim lompat jinjit dua kali, lalu menelusup di antara bahu dan punggung, mencari Koh Endi. Tapi pria setengah baya itu entah kenapa tak terlihat.
“Kasihan Koh Endi,”
“Iya, kan ayamnya bagus-bagus. Kok apes ya?”
“Siapa sih yang tega?”
“Gila, lima ayam Bangkok yang baru digorok semua!”
“Jangan-jangan saingannya si Kokoh yang melakukan,”
“Padahal, ayamnya kan kualitas impor.”
“Mati aku! Nanti sore aku mau adu sama kampung sebelah. Cari ayam di mana lagi?”
Orang-orang tak henti bicara. Rohim mendengarkannya sampai merinding. Apa benar ayam Bangkok baru Koh Endi digorok orang? Lima-limanya? Rohim mulai menyikut sebelahnya, menyeruak ke depan. Ia mencari jalan untuk sampai ke kandang ayam Koh Endi.
Itu dia Koh Endi. Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu jongkok menatap ayam-ayamnya. Semua kesayangannya itu tergeletak tak beraturan di tanah. Leher mereka hampir putih. Darah membanjir menodai coklatnya bumi. Bau amis darah samar-samar menguar di udara. Rohim mengelus dada. Satu di antara ayam-ayam itu pasti pesanannya. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ayam kualitas nomor satu.
“Oalah, mimpi apa aku? Si Burik, si Jabrik, si Cebol, si Bohai, terus andalanku si Bantam, semuanya mati. Siapa yang tega begini?” ratap Koh Endi
Koh Endi sibuk mengelap air matanya. Pria kurus kering itu bahkan tak mengenali Rohim yang berdiri di sebelahnya. Diambilnya sebuah sekop besar. Ia menggali tanah di samping jajaran kandangnya. Dalam beberapa saat, Koh Endi menyiapkan lima lubang kecil. Rohim langsung paham. Koh Endi dengan rapi memasukkan ayam-ayam itu ke liang kuburnya masing-masing. Tidak sampai setengah jam lima gundukan tanah itu berbaris rapi. Rohim semakin mengurut dada. Air mata yang terus berleleran mewakili gemuruh apa yang ada di hati Koh Endi.
“Oalah, oalah, ayam-ayamku,…”
Kerumunan orang tidak berkurang. Mereka masih bergumam. Gumaman yang terus membumbung tinggi ke udara seperti gerombolan lebah. Tak satu pun turun tangan mem-bantu Koh Endi. Menghiburnya. Membantunya mengubur bangkai-bangkai itu. Mereka cuma melihat dan berkasak-kusuk. Termasuk Rohim. Semuanya masih terpana oleh kejadian ini.
Pikiran Rohim melayang. Akhirnya benaknya membentur bayangan wajah Diro. Anak sulungnya yang dua hari lalu mendatanginya. Tanpa bicara. Cuma menyodorkan selembar kertas berstempel. Di dalamnya terdapat rincian biaya, mulai dari biaya uang daftar ulang, uang sekolah bulan pertama, iuran OSIS, iuran koperasi, sumbangan a, sumbangan b, semuanya runtun rapi terperinci. Totalnya tujuh ratus ribu. Harus dibayar segera, tepatnya hari ini, supaya Diro bisa melanjutkan tahun ketiga menengah pertamanya.
Hanya saja, Rohim lebih sayang hobinya. Rohim lebih memilih pada ayam Bangkok Koh Endi seharga tujuh ratus ribu yang ternyata hari ini terkapar dan membusuk di liang karena ulah entah siapa.
Rohim menghela napas. Siapa yang tega melakukannya? Biasanya ayam-ayam Bangkok dicuri, bukan dieksekusi lalu digeletakkan begitu saja. Orang usil mana yang punya waktu seperti itu. Rohim tetap tak habis pikir.
Wajah Diro kembali terbayang. Ia harus segera pulang dan segera membayarkan uang ini ke sekolah. Rohim baru saja memutar langkahnya. Tangannya merogoh saku celana. Saku itu kempes. Uang pecahan seribu, lima ribu, dan sepuluh ribu yang terkumpul selama lima bulan itu ke mana? Rohim merogoh saku satunya. Mencari di saku bajunya. Matanya berkeliling ke sekitar jalan yang baru dilewatinya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tak ada amplop coklat yang sejak tadi diselipkan di sakunya itu. Ke mana jatuhnya?
Ditatapnya mata-mata kerumunan orang yang sejak tadi menggerombol. Mata-mata mereka melukiskan banyak arti. Tak sanggup Rohim artikan. Apa mungkin jatuh di jalan? Tidak mungkin. Saku celananya sudah dikancingkan, amplop itu tak mungkin merosot jatuh.
 Apa jangan-jangan,…
“Ya Allah, aku kecopetan!”
***
Rohim membanting topinya di meja. Rasanya lelah menyeret kaki yang seperti enggan untuk digerakkan. Di meja sudah terhidang secangkir kopi yang sudah dingin. Sebentar lagi maghrib. Istrinya mungkin masih dalam perjalanan pulang kerja di pabrik garmen di pinggir kota. Lalu ke mana anaknya?
Rohim menemukannya sedang duduk di undakan anak tangga pintu dapur. Diro sedang mengelap parang kesayangannya. Sesaat lalu, parang itu dia cuci bersih dan diasah agar tidak tumpul. Parang besar itu modalnya kerja memotong rumput di komplek perumahan di tengah kota. Biasanya seminggu sekali dia keliling untuk menawarkan jasa tukang kebun dadakan dengan berbekal parang itu.
“Kamu baru potong rumput di rumah juragan siapa?” tanya Rohim.
Diro mendongak. Ia tak menyangka bapaknya akan pulang secepat ini. Ia sedikit gugup. Apalagi ia tak sempat menyembunyikan parang itu. Tapi begitu melihat tangan bapaknya tidak membopong seekor ayam pun, matanya langsung berbinar.
“Enggak, pak. Cuma dibersihkan saja,”
“Diro, masalah uang daftar ulang sekolahmu itu,” tenggorokan Rohim seperti tercekat. Ia tak tega menatap mata anaknya yang bening, yang penuh harap.
Diro girang menatap bapaknya. Pasti bapak akan segera menyerahkan uang itu.
“Maaf, Diro, ” ujar Rohim lirih, “bapak baru kecopetan di rumah Koh Endi,”
Jantung Diro seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak. Parangnya pun meluncur mulus dari pegangannya dan jatuh membentur lantai.
“Bapak enggak bisa bayar biaya daftar ulangmu,” Rohim tertunduk. Ia tak kuasa menatap Diro yang syok. Matanya terbeliak seakan terguncang. Rohim maklum. Kesempatan anaknya untuk menyelesaikan SMP-nya yang kurang setahun lagi mulai samar.
“Jadi?”
“Maafkan bapak, Dir.” Rohim meratap.
“Jadi sia-sia tadi malam ayam-ayam itu aku gorok?”
Rohim tersentak kaget. Diro tak percaya apa yang baru keluar dari mulutnya.
Mereka cuma saling pandang.
***

Jumat, Oktober 18, 2013

LELAKI KARTU POS

Cerpen ini dimuat di harian Koran Tempo, Minggu, 13 Oktober 2013


Aku tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.
Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah, setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi orang ini. Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.
“Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.
“Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.
Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”
Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini?
Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar, disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya.
Tanpa sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Ada bilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana.
Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi berterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa.
Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan air mata.
“Kartu pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.
Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng, setengah ketakutan.
Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum bertanya siapa nama lelaki itu.
***
Kini setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya.
Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwich terakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah.
Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepala.
“Kali ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.
Dia tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sana kemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana.
Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sana tak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu.
Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku.
“Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?”
Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.
Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami.
Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama takkan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kusakralkan, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri.
“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana.
Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis seorang diri?
Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?
***
Di sana aku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.
Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.
Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.
Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu sendiri?
Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.
Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.
Kenapa aku?
Kenapa seperti ini hidupku?
Kenapa aku mencintai dengan cara ini?
Siapa lelaki kartu pos itu?
Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?
Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?
Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu saling mencintai, dan kini saling menyakiti.
Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.
***
Sebuah lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?
Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua.
“Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”
Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu?
“Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam…,”
Namun, pelan-pelan kuingat, wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan.
“Anda mendengarkan pertanyaan saya?”
Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.
“Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.”
Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”
Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu posku itu tidak lagi terasa asing.
“Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.
***
GM, 5 Juli 2013