Wah, kepesertaan #KuisUltahAnggun ditutup. Senang banget ternyata banyak yang ikut, memberanikan menjajal kemampuannya dalam menulis. Mungkin pesertanya tidak sebanyak lomba menulis sekelas nasional, tapi aku sangat amat terharu karena di luar sana ada beberapa orang yang menyediakan waktu, tenaga, dan biaya untuk menuliskanku cerpen.
Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.
Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1. Ilam-ilam oleh Djamall
2. Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3. Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4. Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5. Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6. Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7. Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8. Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9. I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil
Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.
Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*
Selasa, Mei 27, 2014
Kamis, Mei 08, 2014
Mari Rayakan Ulang Tahunku
Nggak terasa sebentar lagi aku akan merayakan ulang tahun. Belum, aku belum tiga puluh. Bulan depan aku akan genap berusia 29. Tua? Belum tentu. Jadi ingat perkataan seorang teman, Neng Farah namanya. Dia pernah bilang: "Kalau ditanya umur, jawablah dengan kata baru, bukan sudah."
"Jadi, umurmu berapa?"
"Ah, aku baru dua sembilan."
Dan, untuk merayakan ulang tahunku bulan depan, aku pengin bagi-bagi hadiah nih. Aku akan berikan paket hadiah cantik berisi:

1 novel #AfterRain bertandatanganku
1 kumcer #KedaiBianglala bertandatanganku
plus... voucher senilai Rp.100.000,- dari Gramedia (ulalaaa...)
Tidak menutup kemungkinan kalau akan ada tambahan hadiah lainnya kalau aku sukses merayu-rayu beberapa pihak untuk jadi sponsor.
Caranya?
Yang pasti nggak gampang, tapi juga nggak susah.
Tulis cerpen untukku (ya iyalah, penulis dikadoinnya dengan cerpen, masa dikadoin pacar-dalam-selimut)
Syarat-syaratnya:
1. Tokoh utama harus bernama ANGGUN. (suka-suka gue ya, kan gue ini yang ultah) Tapi nggak perlu dimirip-miripin sama aku ya. Karakterisasinya boleh bebas kalian kembangkan sendiri.
2. Panjang cerita antara 5.000 - 10.000 karakter termasuk spasi, diketik di kertas ukuran A4, spasi 1,5 dengan margin atas-bawah-kiri-kanan 1 inchi. Kalau sesuai dengan format ini biasanya cerpennya akan jadi sepanjang 3-6 halaman.
3. Genre roman depresi. (aih, matek!)
Apa itu roman depresi? Kisah percintaan yang bikin depresi. Tidak harus selalu antara kekasih, tapi bisa kakak-adik, orangtua-anak, guru-murid, gadis kecil-bonekanya, dll. Cinta tak selalu antara sepasang kekasih kan? Semakin kamu eksplor dan berpikir out of the box, semakin menambah nilai plus.
4. Settingnya harus Indonesia. Kalau kalian mengangkat tema lokal, malah lebih bagus. Tapi jangan sampai jadi senjata makan tuan dan tempelan semata. Cek lagi. Budaya lokal itu harus menyatu dengan esensi cerita. Cara tahunya dari mana? Kalau budaya yang kalian gunakan itu diganti dengan budaya lain, kemudian tidak mengubah esensi cerita, itu artinya kalian gagal mengangkat budaya lokal.
5. Cerpen dikirim ke alamat emailku mbak.anggun@gmail.com cerpen dilampirkan, bukan diketik di bodi email dalam format MS Word (extension boleh .doc, .docx, .rtf). Setelah kirim, mention aku (@mbakanggun) di TL twitter dengan hashtag #KuisUltahAnggun
6. Tenggat 23 Mei 2014 pukul 23:59
7. Pengumuman pemenang 3 Juni 2014 pas ulang tahunku. Tapi jamnya entah hahahaha...
8. Lomba ini tertutup bagi keempat nama berikut: Yetti A.Ka, Guntur Alam, Faisal Oddang, Emil Amir *siap-siap ditoyor*
Oke. Sekarang siapkan cerpenmu. Tuliskan kado terbaikmu untukku.
Salam cium,
Anggun Prameswari
Rabu, Maret 19, 2014
WANITA DAN SEMUT-SEMUT DI KEPALANYA
dimuat di Kompas Minggu, 2 Maret 2014
Sungguh,
tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya
selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak
kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah
ribut besar dan berkata, lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya;
“otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
Para
tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap
mencari suaminya ke sepenjuru kota ;
jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Nam un,
ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum
matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di
universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di
beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci
pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan
makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun
berhenti bertaruh.
Sayangnya,
semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat
yang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma
datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita
itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke
arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh.
“Bu,
kok pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.
“Bik,
bagaimana caranya membunuh semut?”
“Hah?”
“Kudengar
ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”
“Belikan
selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”
“Banyak
betul. Buat apa?”
“Mengusir
semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”
Dengan
bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan
melipat surat
itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang
dicari. Pemba ntu itu sontak teringat sesuatu
saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas
bertengkar, “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
***
Wanita
itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua.
Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan
dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di
pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati
benar-benar.
Semut-semut
merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya.
Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular
sampai ke lubang kecil di dekat kusen.
Dalam
hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu.
Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang
membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu
terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang
beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.
Mendadak
ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil
kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam
mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta,
agar tak ada yang bisa menculiknya.
Sekilas
ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah
akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta?
Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan
menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.
Semalaman,
wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang
setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah
masuk semut.
Ia
pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan
habis kewarasannya.
***
Semut-semut
itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang
rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kama rnya,
sudah takluk dikepung semut.
Ia
suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue
untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan
berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin ketara, tiap
kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia
menjawab, “Di dalam banyak semut.”
“Apa
hubungannya?”
“Nan ti aku dikerubungi semut.”
“Masa
takut sama semut?”
“Pernah
hitung berapa ekor semut di dalam sana ?
Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,”
bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam.
Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.
Ia
pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya
di internet. Ada larutan cuka, potongan
mentimun, kan tong teh mint bekas, jus lemon,
air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya
berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin
rapat.
Terlampau
kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya,
mirip bazooka memborbardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani
dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak
bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan,
menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak
peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.
Tak
dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari bari san
semut, muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan
lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas.
Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan
kuat-kuat di dada.
Andai
suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua.
Semut-semut ini, juga kesepiannya.
***
Akhirnya
ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin
banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi,
dan taman depan komplek. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah.
Sengaja ia tebarkan butir-butir gula, agar mereka betah, beranak pinak,
menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta
berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.
Ternyata
semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria
itu begitu perhatian, telaten menden garkannya.
Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.
Pria
itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat
isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya.
Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai
kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.
“Kalian
tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut
itu hening menden garkan. “Aku merindukannya.
Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”
Tak
ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.
“Suatu
hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya,
apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana.
Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di
kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh
cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia
masih akan merindukanku? Diam-diam
membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”
Kini
dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan
dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan
remah makanan yang sengaja ia tebarkan.
“Awalnya
ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada?
Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang padanya, ia tampan dan pintar.
Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu,
mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia
akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah.
Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”
Wanita
itu terkekeh. Matanya nampa k lelah. Dengan
langkah gontai, ia berjalan menuju kama r dan
merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap
permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.
“Mungkin
wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan
karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”
Semut-semut
merangsek merambati ranjang.
“Mungkin
ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih
sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”
Mereka
terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, peru t,
entah bagian manalagi yang tersisa.
“Boleh
kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”
***
Esok
hari, komplek itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bern yawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar
berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya.
Suara-suara
tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul.
Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.
Wajahnya
pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia
tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia
tak jatuh cinta padanya.
Ia
memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering
dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak
menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.
***
GM, 9 November 2013
DEMI RINDU DAN SAKURA
Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014
Bunga
sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya
mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia
membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia
mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji
Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari
rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang
membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
***
Udara
musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju
lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam.
Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Darah
Ind onesia ku
terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta ,
sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul
sepuluh pagi dan Hongik
University Area sudah
begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura
sudah bermekaran. Aku selalu merasa oran g-orang Korea begitu
lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik
di televisi Indonesia .
Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang
merekah menunggu cinta.
Aku
berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang
– gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni,
juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan
tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang
ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal
nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan
itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi
cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku
teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga.
Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul
dari Jakarta ,
sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku.
Pertanyaan tentang cinta.
Aku
terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini
terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya
menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut
warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat
terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul . Maka aku cukup melihat-lihat saja.
Mataku
tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil
memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu
sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata
berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya
retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji
Won.
“I’m going home two days later,” aku teringat
kata-katanya. “My vacation is over.”
“I know. I overheard your convo with Kim.
Will you come back to Jakarta ?”
“It depends. Kim said you rejected the heart
donor. Why is it so, Sakura?”
“I had this heart problem since I was a
baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only
about 40%. Even if my body accepts
the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”
“You should!” Ji Won setengah membentak.
Aku terkesiap.
“Why should I?”
“Because I’ll be back soon to Jakarta , and I want you
to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason,
Sakura, for me to go back to Indonesia . Leaving
everything behind in Seoul ,
because I,…”
“Stop it, Ji Won!” aku ganti
membentaknya. “You have a perfect life in
Seoul . You’re
the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You
want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future
like me? That’s insane.”
“It’s not! You do the surgery and you’ll be
as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no
reason to be away from me.”
Aku
masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung.
Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang
teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari
untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan
penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi
seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau
cicipi.
Hanya
saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan
dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenya taan, karena jika dia tahu, dia akan
bersikeras menemaniku di Jakarta
dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan
seperti aku.
“Please promise me, Sakura.” Ji Won
menggenggam tanganku. “You’ll do the
surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul . I’ll bring you to my favorite place,
Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry.
Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?”
“I don’t
know, Ji Won.”
“Just promise me. Please.”
Tatap
mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku.
Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi
transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang
terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang
dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling
menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling
jatuh cinta.
Dan
aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik University
Area. Diam-diam aku ke Seoul
tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bern ama Sakura, datang membawakannya cinta,
tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.
Langkahku
terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang
berdiri di tengah sana .
Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji
Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampa nnya seperti
sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi.
Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?
Seakan
mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak
percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan
transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.
Aku
berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah.
Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat.
Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh
oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan
betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.
“I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya
aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan
aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.
***
Ji
Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini
terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik University
Area yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi.
Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon
Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya
pemandangan yang teramat ind ah.
Ind ah di kala tak ada oran g sebanyak ini.
Sekuntum
bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah
melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya
lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia
rindukan.
Ji
Won bahkan bisa menden gar
suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.
Ji Won, everytime you see cherry blossom,
please remember me.
Dia
memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan
dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya.
Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek
baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.
Hanya
ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri.
Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya,
tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya.
Senyum itu jauh lebih ind ah
dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya.
“Ji
Won,” ujar Sakura.
Gadis
itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa
dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah.
Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.
Sakura
mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak
luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi
begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.
“Aku,”
Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan
sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih
kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”
Ji
Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya
berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari
sebelumnya.
“I love you.”
“Ji
Won!”
Pemuda
itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya
kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik University
Area. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona
oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura.
“Ji
Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji
Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”
“Eun
Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha
mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam
pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.
“Ji
Won! Kamu tidak menden garkan
ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin
menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.
Biip
biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan
rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim
mengiriminya pesan singkat.
“Operasi
Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”
Kali
ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak
bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja
mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan
di Indonesia .
Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,…
Satu
lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang.
Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya,
lalu meremasnya kuat-kuat.
“Ayo
pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu.
Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau
pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya.
Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim
semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada
Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia
bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau
angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku
tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah
berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan , bibirnya lembut seperti lelehan madu.
Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti
berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku
jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini
sinar putih di ujung jalan sana
tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan.
Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau
gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon,
sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah,
maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam
yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
GM, 12-13 Mei 2012
Langganan:
Postingan (Atom)