Marwan tak henti melirik jam dinding. Detiknya
berirama. Jika didengarkan seksama, terdengar bersahutan dengan degup
jantungnya sendiri. Jam sepuluh lewat. Makin jarum panjangnya
bergeser, makin morat-marit batinnya. Selarut ini, Seruni belum pulang
juga. Ke mana dia? Sudah enam jam sejak ia pamit keluar sebentar, tanpa
bilang hendak ke mana.
Tak lagi sanggup Marwan menghitung batang
rokok yang ia isap. Peduli apa umurnya memendek karena napas yang
tersumpal asap. Gemuruh di batinnya perlu ditenangkan dari bayangan
buruk berkelebatan silih berganti menghuni benaknya yang sempit.
Disibakkannya lagi tirai putih jendela depan yang menguning oleh usia.
Jalanan sudah sepi sejak sejam lalu. Cuma ada suara jangkrik dan bisikan
nalurinya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan
menyedot dalam-dalam tembakaunya.
Seruni terlahir dengan wajah
cantik luar biasa. Kulitnya seputih susu dengan bibir ranum strawberry.
Matanya bulat besar, berbulu mata melentik, yang tiap kali mengibas,
mengingatkannya pada mata seorang perempuan tak bernama, yang
mati-matian Marwan coba lupakan.
Jack, teman premannya yang
terlahir bernama asli Zakariya, pernah bilang Seruni kelak tumbuh
menjadi gadis yang bisa mematahkan hati banyak lelaki. Marwan tersenyum
kecut. Kecantikan Seruni diwarisi dari sang ibu yang memang kembang
desa, begitu jawab Marwan. Jack hanya mencibir, menertawakan
keberuntungan kawannya. Marwan tahu betul, Jack iri padanya. Semua orang
tahu, Jack pernah menyukai ibu Seruni.
Marwan mendadak ingat
pertama kali Seruni pulang terlambat. Kala itu ia masih empat belas
tahun. Walau masih bau kencur, Seruni adalah kencur yang tumbuh di
surga, hingga sanggup mengalihkan pandangan siapa saja. Termasuk yang
selalu hidup di tempat tergelap, siap meloncat menerkam siapa saja.
Marwan selalu mengantar Seruni mengaji di surau selepas Ashar. Ia baru
berani pergi setelah melihat Seruni duduk di barisan terdepan, persis di
depan meja ustadzahnya. Lepas sholat Maghrib, baru ia akan
menjemputnya. Selalu begitu.
Namun hari itu, Marwan tak
mendapati Seruni duduk menunggu dijemput selepas sholat Maghrib.
Ustadzahnya mengira Seruni sakit karena tak mengaji sore tadi. Segala
pikiran buruk mendera batin Marwan. Ia menanyai tiap teman Seruni,
setengah panik sisanya mengancam. Mereka mengkeret ngeri melihat bapak
Seruni siap meledak seperti granat. Ah, semua orang tahu bapak Seruni
mantan jawara penguasa terminal pinggir kota. Siapa berani melawannya?
Seruni main sama anak juragan batik ke hutan pinggir kali, celetuk
seorang teman anaknya. Marwan pun mengumpulkan teman premannya dulu,
membawa parang dan obor, hendak mencari Seruni. Namun, tepat selepas
azan Isya, Seruni berjingkat-jingkat di beranda depan. Sekejap Marwan
tak bisa mengendalikan diri. Hampir saja ditampar pipi tirus Seruni
cilik, kalau tidak ditahan Jack.
Dia masih kecil, bisik Jack di
telinganya. Yang salah bocah itu. Kamu tahu betul kan bagaimana
liciknya lelaki membujuk perempuan.
Wajah Marwan memerah
seketika. Dicengkeramnya bahu kurus Seruni, ”Kamu diapain sama dia?
Kalau dia kurang ajar sama kamu, biar bapak potong kemaluannya.”
Wajah Seruni telanjur sembab oleh air mata dan keringat. Ia menggeleng
lemah. Lagi-lagi di wajah Seruni, Marwan mendapati sepasang mata yang
selalu berusaha ia lupakan.
Lelaki dan perempuan berdua di
tempat gelap begitu, yang ketiganya setan, suara Marwan menggelegar,
merobek nyali Seruni untuk membela diri. Tahu apa anak gadisnya itu
tentang apa yang ada di balik kehidupan tergelap.
Suara Seruni
lenyap, persis bulan purnama yang ditelan raksasa saat gerhana. Marwan
menyeret Seruni layaknya kain kumal. Ditendangnya pintu kamar mandi.
Seruni menjerit saat Marwan melemparnya seperti segumpal kertas, lalu
mengunci pintu. Lampu pun dimatikan. Seruni makin histeris tak karuan.
Tangan mungilnya menggedor-gedor pintu dan meraung mohon ampun. Dalam
bayangannya, ada tangan-tangan keluar dari kegelapan, mencengkeramnya,
dan melumatnya lamat-lamat.
”Di mana rumah bocah itu?” tanya
Marwan pada istrinya yang sesenggukan di samping pintu kamar mandi.
Sayup terdengar suara desing golok membentur sarungnya.
Ngeri
merayapi tengkuk Seruni. Ia sungguh tak berani membayangkan. Apa bapak
akan menghajarnya? Mencincang kemaluan bocah itu persis seperti rajangan
tipis cabe rawit dalam tumisan yang sering dimasak ibu? Tangannya makin
kuat menggedor pintu, tapi makin cepat pula tenaganya terkuras. Ia
terkulai di ubin kamar mandi yang lembab dan dingin.
Seruni
bangun keesokan paginya, di kamarnya sendiri, dengan handuk dingin
menempel di dahi yang membara. Wajah ibu lelah, begitu pula dengan raut
muka Jack. Seruni sesenggukan dan Jack menepuk kepalanya berulang kali.
Marwan hanya melihat dari jauh. Bukannya tak ingin mendekat, tapi
langkahnya tertahan. Mata Seruni kini berubah. Nyalang memerah, seakan
merekah oleh benci.
Sejak itu, tak ada lagi yang sama. Bocah
lelaki itu dan keluarganya pindah tiga hari kemudian. Tak ada lagi yang
berani mengajak Seruni main. Tak ada pemuda yang berani menatap Seruni,
secantik apa pun ia tumbuh dewasa. Tiap lampu kamar dimatikan atau
tiba-tiba listrik padam, Seruni jadi sering menjerit-jerit. Gelap
mengingatkannya pada ketidakberdayaan, persis saat ia dikurung bapaknya.
”Kasihan Seruni,” ujar Jack suatu hari, ”dia butuh disayangi bapaknya sendiri.”
”Aku lebih dari sekadar menyayanginya,” Marwan membela diri. ”Aku melindunginya.”
Jam sebelas dan belum ada suara langkah berjingkat di beranda seperti
waktu itu. Sayup-sayup terdengar suara petir di kejauhan. Mendung pekat
akan pecah menderas. Apa Seruni kabur? Toh kini ia sudah dewasa, sanggup
menentukan arah hidupnya sendiri.
Istrinya pernah bertanya, kenapa Marwan begitu keras pada anak mereka.
”Seruni itu cantik luar biasa. Kamu tahu apa yang terjadi pada
perempuan yang cantiknya luar biasa,” tanya Marwan. Istrinya menggeleng.
”Mereka akan mengundang lelaki-lelaki yang tak pernah puas.”
Istrinya tersenyum, ”Makanya kamu mengurungnya seperti ini?”
Marwan melotot protes, ”Aku melindunginya. Aku ini lelaki. Aku tahu betul lelaki bisa jauh lebih jahat dari setan.”
Istrinya mengernyitkan dahi, ”Tapi kamu lelaki terbaik yang kukenal. Kamu sama sekali bukan setan. Iya kan?”
Sekali lagi, diembuskannya asap rokok yang mengaburkan ingatan akan
istrinya, yang keburu meninggal sebelum ia sempat menjawab pertanyaan
itu. Istrinya tak tahu apa-apa. Mereka menikah setelah Marwan menutup
erat masa lalunya di jalanan, bersama Jack, serta kehidupan tergelap
mereka.
Di luar, hujan terus menderas. Pada kepekatan rinai
seperti ini, Marwan dipaksa mengingat noda besar masa lalunya. Persis
malam ini, malam itu juga hujan. Derasnya persis liris air mata yang
membasahi pipi ranum seorang perempuan cantik tak bernama di sebuah
gudang gelap di sudut pasar yang sepi. Bau anyir minuman menyeruak di
sana-sini. Tawa dan isak memenuhi langit-langit gudang gelap itu. Marwan
mestinya ikut tertawa, tapi ia malah bergidik melihat mata Jack
memerah, persis mata setan. Isakan perempuan itu terbaurkan suara hujan.
Namun, Marwan tak sanggup mengacuhkan nuraninya yang menjerit-jerit.
Dan di pantulan mata perempuan cantik tak bernama itulah, Marwan
mendapati dirinya sendiri berubah menjadi setan.
Jack meludahi
perempuan itu. Tangan ringkih perempuan itu menggapai apa pun untuk
menutupi tubuhnya yang telanjur tercabik. Seumur hidup, ia takkan bisa
melupakan bagaimana Jack membekap mulutnya dari belakang dan Marwan
mencengkeram kakinya, lalu melemparkannya ke sudut gudang tergelap.
Seakan tak pernah puas pada perempuan cantik tak bernama itu, keduanya
merobek-robek jiwanya yang setipis selaput dara.
Sepasang mata
perempuan tak bernama itu basah oleh air mata; membuat sesak hati
Marwan. Malam itu, malam selanjutnya, bertahun-tahun kemudian, sepasang
mata itu menjelma menjadi sepasang mata cantik Seruni. Seakan untuk
menghukum Marwan, Seruni selalu mengingatkannya pada perempuan cantik
tak bernama, yang tak lama setelah malam itu, ditemukan mati gantung
diri.
Marwan tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia menerobos
menembus rinai hujan. Mungkin Jack bisa menemaninya mencari Seruni.
Jack menyayangi Seruni. Saat Seruni sakit demam berdarah beberapa tahun
lalu, Jack mendampinginya di rumah sakit. Menggenggam tangannya.
Menyuapinya makan. Bahkan dalam igaunya, Seruni menyebut nama Jack.
Tebersit rasa cemburu di hatinya. Namun, pria itu tahu, Jack hanyalah
kepingan pelengkap kekosongan yang tak bisa Marwan isi di hati Seruni,
karena anak gadisnya begitu membencinya. Bagi Seruni, Jacklah ayahnya,
bukan Marwan.
Beranda rumah Jack sepi. Bagian dalamnya tampak
gelap. Kawannya hidup sendiri, tak pernah mau menikah, bahkan tidak
mencari kekasih. Mungkin hatinya telanjur remuk tak tersambung sejak
Marwan menikahi gadis idamannya.
Tepat hendak ia mengetuk
pintu, Marwan mendengar suara itu. Tawa perempuan, terdengar asing,
sekaligus melekat di ingatan. Persis seperti kenangan lampau yang nyaris
terhapus. Marwan berjingkat masuk. Rasa ingin tahu meletup-letup minta
dipuaskan. Siapa perempuan yang ikut tertawa, sesekali menghela napas
berat, diikuti derit kaki ranjang menggores lantai, itu?
Hanya
tersisa sinar remang di kamar tidur Jack. Jantung Marwan berlompatan
tidak karuan. Jack dan wanita itu saling bercakap di antara tarikan
napas yang berat. Lirih sekali, nyaris ditelan sunyi.
”Pulanglah,” ayahmu menunggu.
”Tidak. Aku membencinya.”
Marwan menerjang pintu kuat-kuat. Sepasang mata indah menyambutnya.
Matanya persis mata perempuan cantik tak bernama di suatu sudut gudang
yang gelap di masa lalunya. Mata yang kini menjelma menjadi sepasang
mata Seruni. Hanya bedanya, mata itu tak bersimbah air mata. Lidah api
menjilat-jilat seraut sorotnya yang puas, karena kebenciannya akhirnya
terbalas.
Marwan melintasi ruangan. Jack sibuk mengalungkan
selimut di tubuh Seruni. Tapi gadis itu tetap duduk tegak. Tenang.
Persis permukaan kolam, yang entah menyimpan apa di kedalamannya. Tangan
Marwan terkepal erat, menahan panas menggelegak di dada.
Ada
yang berdansa penuh kemenangan di balik kegelapan yang tak terjangkau
bohlam-bohlam terbaik buatan manusia. Mereka terus bersukacita di
ruang-ruang gelap tak tersentuh cahaya.
Termasuk hati Marwan yang gelap.
dimuat di harian KOMPAS Minggu, 30 Juni 2013
6 komentar:
Setelah baca dari koran, akhirnya di sinilah lahan yang tepat untuk berkomentar.
Pertama, cerpen ini layak diberi aplaus selama 3x Lebaran. Keren!
1. Judul
Singkat dan menarik. Pemilihan nama "Seruni" yg sekaligus ada di dalam judul, entah kenapa terkesan seksi dan kontradiksi. Lembut, tapi menipu pada akhirnya. "Mata Seruni" judul yang tepat karena "roh"-nya berkelindan dari awal hingga akhir cerita.
2. Produksi Kata
Indah, tapi tidak sok puitis memanis-maniskan suasana. Contoh: "...suara Marwan menggegelar, merobek nyali Seruni untuk membela diri." Saya terhantui, membayangkan suara robekan itu.
3. Tema dan Plot
Sepertiga awal, saya khawatir ceritanya akan berakhir klise. Tapi selanjutnya, konflik sederhana yang di awal mulai terasa mencurigakan, membuat saya pasrah akan menerima kejutan yang tidak biasa. Plot terbangun terbangun dengan baik. Mendukung situasi yang penuh teka-teki.
Karena ketiga kesan utama tadi, saya sampai bingung mencari bagian mana yang saya tidak suka. Walau penulisnya saya kenal, saya merasa perlu mengkritisi, bukan sekadar memuji-muji hingga ke ujung mimpi. Sebel banget, cerpen ini menyisakan tugas rumah yang nakal!
Akhirnya ketemu juga. Yang saya kurang menikmati:
1. Ada beberapa kalimat yang terlalu panjang. Padahal ini kebiasaan saya juga. Duh, keciduk hidung sendiri :)
2. Kenapa harus Om Jack??? Eh, ini justru gong ceritanya ya? Kok saya yang cemburu? Hehehe
Sudah ah, nanti kelihatan terlalu "menggemari" #umpan. Sebagai pembaca, saya punya harga diri juga, kan? Hehehe
An***g Keren..!!!
@ mas Oddie..., Makasih ya atas komentar unyunya. Kapan kita ketemu dan saling melempar #umpan nih?
@Anonymous..., makasih buat komentarmu. Btw, kamu siapa?
mbak keren loh mbak,, aku pengen jadi penulis hebat jugaaaaa :(((
nice story ms.anggun :D
di tunggu updated selanjutnya
ampunnn.. ceritanya bagus pisann! Saya nahan napes sampai akhir cerita :D
Posting Komentar