20 Januari 2003, 11:03:16, di rumah Asti.
Rumah Asti sekarang ramai. Banyak tamu berdatangan. Karangan bunga tertata rapi di teras dan ruang tengah. Tapi bukan suasana gembira yang mewarnai. Para tamu datang dengan pakaian serba hitam. Karangan bunganya selalu dihias ucapan bela sungkawa. Terdengar tangisan, isakan , dan suara-suara orang tahlilan membaur menjadi satu.
Aku, yang berdiri di pojok ruangan, mengamati tamu-tamu yang datang. Mereka berusaha menguatkan hati mama Asti yang dari tadi menangis tersedu-sedu. Mukanya merah dan sembab. Matanya sayu menatap jenazah anaknya yang siap dikuburkan. Papa Asti juga berusaha terlihat tegar, tapi aku tahu beliau sama hancurnya seperti istrinya.
Asti tergolek di sana. Mukanya pucat dan dibungkus dengan kain kafan. Ia pergi terlalu cepat. Semua orang tahu kenapa Asti meninggal.
Andaikan semua itu nggak terjadi.
18 Januari 2003, 19:56:22, di rumah sakit.
“Kenapa bisa jadi begini?” teriak papa memecahkan keheningan.
“Pa, jangan teriak. Ini di rumah sakit,” bisik mama. “Mama juga baru tahu,”
“Mama lihat kan?”
Tangannya menunjuk ke arah Asti yang tertidur karena obat bius di ranjang rumah sakit. Ada selang yang menghubungkannya dengan infus. Kondisinya lemah. Suara cardiograph terdengar lemah dan lambat. Asti bagai hilang di tengah rimba kegelisahan yang ia buat sendiri.
“Keadaannya kritis, ma. Kata dokter, kemungkinan Asti sembuh kecil. Tapi bagaimana bisa, ma? Dia masih SMU, masih kecil,” ujar papa memelas. “Akan papa cari laki-laki yang nggak bertanggung jawab itu, ma. Juga dokter gadungan yang mengaborsi kandungan Asti. Akan papa tuntut!”
Mama bergantian memandangi papa dan Asti tanpa tahu harus bilang apa. Yang ia harapkan cuma Asti bisa membuka matanya. Asti bisa memanggilnya mama lagi. Tidak seperti ini. Keheningan Asti mengiris hatinya tipis-tipis dan hanya menyisakan air mata saja.
Andai Asti tidak mengaborsi kandungannya,…
15 Januari 2003, 16:28:09, di sebuah klinik kecil.
Asti tak bisa melukiskan perasaannya. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk. Rasanya mual. Dokter sekitar 40 tahun itu menatapnya lekat. Kacamatanya tebal dan agak gelap membuat Asti susah menangkap apa arti pandangan itu. Asti terpaksa sedikit tersenyum. Perutnya agak sedikit perih.
“Bagaimana rasanya?” tanya dokter.
“Kacau dok,” jawab Asti lirih, “badan saya nggak enak,”
“Nanti juga akan sembuh,”
Dokter mengatakannya dengan enteng sekali. Asti merasa makin bersalah. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Andaikan ia tidak datang ke klinik ini,…
15 Januari 2003, 14:51:23, di klinik itu.
Jantungnya berdetak kencang. Asti terus mengamati sekelilingnya. Ada beberapa orang, nampaknya usia mereka sebaya, juga di ruang tunggu itu.
Apakah mereka kemari dengan alasan yang sama denganku? Kalau begitu, mereka mengalami ketakutan yang sama denganku, dong. Ia makin gugup.
Asti melihat seorang gadis duduk di hadapannya. Mungkin gadis itu seusia dengannya. Ia ditemani seorang laki-laki, mungkin pacarnya. Lelaki itu menggenggam tangan gadisnya, seperti berusaha menguatkan hatinya. Asti tahu gadis itu ketakutan. Sama seperti dirinya.
“Mbak Asti,” panggil suster.
Asti tersentak dan langsung bangun dari duduknya. Lututnya lemas. Tapi tetap ia paksakan berjalan menuju ruang praktek dokter. Semua mata tertuju padanya. Asti tidak tahu harus berbuat apa. Saat hendak memutar kenop pintu, ia meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja walau Aldo tidak bersamanya.
Andai Aldo ada di sini,…
28 Desember 2002, 18:09:44, di rumah Aldo
Hujan turun lebih deras dari biasanya. Angin menghembus kencang. Hawa menjadi dingin. Asti berusaha tegar menghadapi pemuda di depannya. Aldo menatapnya acuh. Tidak ada lagi tatapan penuh kasih yang dulu sering Aldo tunjukkan pada Asti.
“Ada apa lagi sih? Kita kan udah putus,” ujarnya. “Apa lagi yang bisa kamu harapkan dari aku, Ti?”
“Banyak!” Asti kesal atas sambutan Aldo. Ia melemparkan benda itu ke muka Aldo. Sebuah test pack dengan tanda positif besar di tengahnya. Mata Aldo terbelalak dan wajahnya pucat seperti kertas.
“Kamu tahu artinya itu kan, Do?” Asti berteriak. “Aku hamil, tau!”
Aldo melotot tidak percaya. Suara petir menggelegar di luar sana.
“Nggak mungkin, Ti. Kita cuma sekali, kan? Masa kamu hamil, sih?”
“Tapi buktinya aku hamil, Do. Mana tanggung jawabmu?”
“Tanggung jawab? Nikah maksudmu? Aku masih SMU, Ti. Kamu juga. Kita masih kecil. Apa kata orang-orang nanti? Lalu gimana kuliahku? Masa depanku? Nggak! Aku belum siap, Ti!”
“Terus aku gimana? Aku lebih malu, Do. Pokoknya kamu harus tanggung jawab!”
“Aku nggak mau!”
“Apa?”
“Gugurin aja, Ti. Mumpung masih hamil muda. Daripada nanti kita malu dan nggak punya masa depan lagi,”
“Tapi,”
“Ayolah, Ti. Demi aku, demi kamu, demi kita. Lalu kita akan menata kembali hubungan kita,” tambah Aldo.
Asti menggigiti ujung bibirnya. Matanya menatap Aldo yang memelas. Ia tidak tega melihat Aldo memohon seperti itu padanya. Ia terlalu sayang pada Aldo.
“Iya,…” jawabnya lirih.
Air muka Aldo menjadi cerah. Asti semakin gamang atas keputusannya.
Andai Asti tidak mengiyakan permintaan Aldo,…
27 Desember 2002, 05:18:56, di kamar mandi rumah Asti
“Tidaaakk!!!” Asti menjerit memecah keheningan pagi. Menggema di dinding-dinding sunyi di rumahnya yang besar tanpa ada yang mendengar.
Ia mulai menangis. Bahunya berguncang. Dadanya sesak. Asti memandangi bayangannya di cermin. Yang ada cuma bayangan wajahnya yang basah karena air mata. Seakan-akan dunia sedang mentertawakan kebodohannya. Atau menatap rendah padanya. Ia tak tahu dengan siapa harus membagi kesedihannya. Pikirannya bercampur aduk tak karuan. Tapi bukan kebahagiaan.Ia bisa merasakan ketakutan di hatinya. Juga kegelisahan yang sangat.
Di tengah wastafel tergolek sebuah benda. Benda yang baru pertama kali dia pegang. Sebuah test pack. Ada tanda positif tertera besar di tengahnya. Asti menatapnya tidak percaya. Ia melemparnya dan membentur dinding kamar mandi.
“Tidaaakk!!!”
15 November 2002, 21:56:09, di rumah Aldo
Aldo membelai rambut Asti yang tergerai. Gadis itu menangis kecil. Tubuhnya gemetar ketakutan. Wajahnya pucat dan sembab. Ia menatap Aldo lekat.
“Kita mestinya nggak melakukan ini, Do? Kalau aku,… ehm, hamil?”
“Nggak akan, sayang. Semuanya akan baik-baik aja. Percaya deh sama aku,”
“Tapi,…”
“Kenapa lagi?”
“Kamu jangan ninggalin aku, ya?” ujarnya memelas. “Pliiis,…”
“Nggak akan,”
“Janji?”
“Janji!”
“Demi apa?”
“Demi kamu, sayang,”
Asti tetap merasa nggak enak. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Ia terlalu menyayangi Aldo. Tapi ia tahu ini salah. Ia tahu ini seharusnya tidak dilakukan.
Andai dia nggak sebodoh ini,…
Awal bulan Oktober,
Semua terasa indah. Aldo adalah pacar terbaik. Dia benar-benar sayang Asti. Aldo selalu mengantar jemput Asti sekolah dengan motornya yang dimodifikasi dengan detail-detail unik. Aldo rajin membawa Asti jalan-jalan dan tak pernah lupa untuk meneleponnya. Selalu ada kejutan kecil muncul di hadapan Asti. Entah itu teddy bear mungil, dinner spesial, atau tiket konser gratis. Belum lagi Aldo yang selalu tampil cool di depan teman-temannya. Istilahnya, Aldo selalu up to date terhadap segala hal. Ini membuatnya sempurna di mata Asti.
Walaupun banyak slentingan yang masuk ke telinga Asti bahwa Aldo playboy kelas berat, tetapi Asti menganggapnya cuma angin lalu. Meski banyak yang bilang Aldo cowok nggak bener, Asti menutup telinga. Bagi Asti, Aldo adalah the greatest man. Ia tahu bahwa Aldo adalah ksatria yang tidak mungkin menyakiti hatinya. Asti yakin itu.
Andai Asti mau mendengarkan orang lain,…
Kembali k e setting awal,
Aku membuyarkan lamunanku. Terlalu banyak cerita sedih tersimpan di benakku. Terakhir kudengar, Aldo kabur ke Kanada. Orang tuanya bilang ia melanjutkan studi di sana. Tapi aku nggak percaya. Itu cuma alasan Aldo untuk menghindari tanggung jawab.
Ah, Aldo,… mana sosokmu yang jagoan? Yang sering berdiri paling depan kalau ada tawuran antar sekolah. Yang paling pandai meletakkan perempuan di tempat tertinggi kemudian menghempaskannya ke bawah sampai berkeping-keping. Ternyata kamu cuma pandai lempar batu sembunyi tangan. Mungkin seharusnya kamu yang terbaring di sana dan dibacakan oleh ayat-ayat suci, bukannya Asti.
Aku melihat teman-teman sekelasku memasuki ruang tamu. Ada Poppy, Hana, Ita, Vivi, semuanya teman baikku. Mereka menyalami mama Asti tanpa menyadari kehadiranku yang masih berdiri di pojok ruangan. Mungkin mereka sudah lupa padaku. Bahkan mereka mungkin malu mengenalku. Karena semua kebodohanku. Aku juga terlalu malu menyapa mereka. Aku sudah tidak punya muka lagi.
Tamu-tamu hilir mudik, satu pulang berganti yang lain. Mereka semua seakan sibuk akan urusannya sendiri tanpa tahu aku telah datang. Mereka sibuk berbela sungkawa. Aku tidak tahu apa itu benar-benar ungkapan kesedihan atau sekedar simpati. Tidak ada yang peduli tentang perasaan Asti saat ini. Cuma aku seorang yang tahu.
Mungkin aku perlu memperkenalkan diri agar ada yang memperhatikanku. Karena cuma aku yang tahu cerita sebenarnya. Mungkin aku perlu menyebutkan namaku. Ya, namaku Rindyasti Anjani. Tapi aku cukup dipanggil Asti saja.
Tangerang, 30 Desember 2002
Muat Majalah Kawanku no.50/XXXII tgl. 9-15 Juni 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar