Tak ada yang bisa melebihi keterkejutanku saat ini. Tak ada firasat apa pun. Sosok tinggi kurus itu entah bagaimana bisa berdiri di depan pintu rumahku. Tak cuma aku. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Kami terpana beberapa detik karenanya.
“Bapak? Bapak pulang?” cuma itu yang terlontar dari bibirku.
Akhirnya bapak pulang. Setelah enam belas tahun kakinya tak pernah menjejak lagi di rumah ini. Batang hidungnya tak pernah kulihat selama dua windu. Bahkan aku hampir lupa bagaimana wajah bapak.
Sekarang bapak tiba-tiba muncul. Kenangan lama yang sengaja kusimpan rapat seperti slide film berputar dengan cepat. Menatap wajah bapak membuat segala rasa yang selama ini kutahan tumpah ruah. Marah. Benci. Kecewa. Dendam. Entah bagaimana rupa hatiku saat ini.
“Nur?” bapak memanggilku.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Bapak terlihat sangat kurus. Cuma tinggal kulit membalut tulang. Wajahnya juga menyiratkan kelelahan luar biasa, seakan hidup bapak habis untuk merenda penderitaan. Aku cuma tertegun memandang bapak. Ya Allah, itu bapakku.
“Mau apa bapak pulang?”
Itulah yang akhirnya tercetus dari bibirku. Bibirku sempat membisu. Luka di hatiku kini berdarah lagi. Apa bapak pulang untuk menambah panjang daftar kekecewaanku lagi? Apa bapak pulang untuk menguras air mata ibu lagi?
“Nur, biarkan bapakmu masuk dulu. Istirahat dulu. Jangan galak begitu,” ibu berusaha menengahi. Menyambut bapak pulang. Mempersilakan bapak selayaknya tamu kehormatan.
Ah, ibu. Ibu rupanya sudah sembuh dari luka lama itu sampai bisa bersikap ramah pada bapak. Apa ibu lupa apa yang sudah bapak lakukan pada kita? Enam belas tahun lalu, aku masih kelas tiga SD, masih terlalu kecil untuk mengerti, bapak telah menyakiti kita. Apa ibu sudah memaafkan bapak yang tidak ada angin tak ada hujan meninggalkan kita? Kita ini kurang apa, bu? Kita menyayangi bapak. Aku selalu patuh. Ibu juga sudah menjadi istri yang baik. Tapi kenapa bapak lebih menyayangi perempuan muda yang membuka warung di seberang rumah kita itu? Apa ibu tidak sakit hati ketika bapak kabur dengan perempuan itu? Apa surat cerai yang bapak layangkan sanggup menyembuhkan luka hati ibu?
“Bagaimana kabar, mas?” tanya ibu. Aku melengos.
“Baik,”
Baik? Cuma itu? Apa bapak selama ini belum dapat ganjaran atas apa yang bapak lakukan padaku dan ibu? Kenapa Allah begitu baik pada bapak?
Tapi entah kenapa, bapak terlihat lain. Bapak kuyu. Sepertinya sangat lelah. Badan bapak juga menyusut drastis. Helai-helai uban juga mulai mengakar. Sosok bapak terlihat ringkih. Mengingatkanku pada sepotong ranting yang dipatahkan angin dan terbang entah ke mana.
“Kabar Siti bagaimana?”
Aku lebih terperangah. Buat apa ibu menanyakan kabar perempuan itu? Aku saja tidak sudi mendengar namanya. Namanya saja yang bagus, tapi kelakuannya jahat. Dia merebut bapak dariku dan ibu. Sikapnya yang ramah cuma akal bulus untuk menjerat bapak. Untuk menipu ibu dan aku. Seakan sudah habis lelaki di dunia sehingga perempuan itu mengambil bapak dari kami.
“Suci baik. Dia di rumah. Sengaja tidak kuajak,” jawab bapak lirih.
Baguslah. Untung perempuan itu tidak ikut. Mungkin wajahnya sudah kutampar sekuat tenaga. Aku benci perempuan itu. Perempuan yang tega membuatku dan ibu jadi merana.
Ya Allah, kenapa aku begini jahat? Apa sakit hati telah menggerogoti kemanusiaanku? Mau dikata apa. Penderitaan selama ini membuat kenangan bapak adalah petaka di ingatanku. Dan kenangan ini menyulut nyala api kemarahan yang kujaga tetap redup di hati
“Nur, bagaimana sekolahmu? Kamu sekolah sampai tingkat apa?” tanya bapak, “maaf, bapak jarang memperhatikan sekolahmu.”
Darahku mulai mendidih. Apa bapak kira aku drop-out dan jadi gelandangan sepeninggal bapak? Tidak! Aku sanggup menyelesaikan semua sampai tamat kuliah. Semua kujalani. Belajar sampai tengah malam. Mengejar segala macam beasiswa dengan tertatih-tatih. Sampai hilang masa kanakku. Sampai aku tak tahu rasanya tawa anak remaja. Yang kutahu bagaimana meraih nilai terbaik, sekaligus terjun ke usaha katering ibu demi satu dua lembar rupiah. Semua demi ibu. Supaya penderitaan ibu lebih berkurang. Supaya ibu bisa tersenyum dan membanggakanku.
Tidak seperti bapak yang hanya bisa membuat ibu menangis.
“Tanpa bapak pun, aku bisa jadi insinyur.” Aku menjawab ketus. Tapi perih di hatiku lebih menyiksa.
“Alhamdulillah,” ucap bapak jauh lebih lirih.
Sebenarnya aku tidak tega. Sosok di hadapanku itu, tak dapat kupungkiri, memang sangat kurindukan. Tapi bila kuingat apa yang telah bapak lakukan,…
“Nur, maafkan bapak.”
Astaghfirullah, aku tak sanggup melihat sebutir air mata turun di pipi bapak yang cekung.
“Bapak pulang untuk minta maaf padaku?” tanyaku dengan sorot mata tajam.
Bapak menatap ibu. Dalam tatapan mereka, masih kutemukan sisa cinta yang nyalanya sangat redup. Entah di mataku sendiri masih ada cinta untuk bapak. Aku ingin mencintai bapak, tapi kesedihanku selama ini membentengiku dari rasa itu.
“Bapak pulang untuk jadi wali nikahmu,”
Gelegar petir serasa menyambar dan membelahku jadi dua. Jadi wali nikahku? Bapak tidak ingat apa yang telah dilakukan padaku dan ibu. Ke mana bapak ketika aku membutuhkan kasih sayangmu? Ke mana bapak ketika kami butuh perlindungan? Ke mana bapak selama ini? Bagaimana bisa bapak menagih hak itu? Hak itu telah lenyap tepat saat bapak melangkahkan kaki keluar dari kehidupan kami.
“Kamu mau, Nur?” tanya bapak. Memohon tepatnya.
Aku bangkit dari dudukku. Bibirku beku. Rasanya ingin marah. Tetapi menatap mata yang rapuh itu, aku tidak tega. Yang ada cuma air mata. Meluncur mulus membasahi pipiku. Harus kujawab apa? Aku cuma bisa tersuruk menangis di atas kasur, sendiri.