Hujan semalam menyisakan hawa dingin. Aku menaruh tas di atas meja sembari melirik ke arah bangku seberang nomor empat dari depan. Ada Tyo di sana. Cowok berpotongan pelontos dan beralis tebal itu cuma duduk dan menulis sesuatu. Sepertinya ia tidak sadar aku datang.
Rasanya ingin sekali ngobrol dengannya.
“Boleh pinjam pensil?”
Hmm…
“Hai, udah ngerjain fisika belum?”
Atau…
“Gue udah ngerjain PR nih, loe mau liat?”
Mungkin…
“Gue boleh nonton latihan band loe nggak?”
Bahkan…
“Gimana kalo sabtu besok kita nonton, yuk?”
Hu,..uh! Tidak ada secuil keberanian pun untuk memulai pembicaraan dengan Tyo. Walaupun sekelas, kami seperti orang asing. Ingin deh seperti Muti yang bisa selalu ngobrol. Atau Gita yang selalu memiliki waktu panjang di studio band sepulang sekolah bersama Tyo.
Aku adalah aku.
Aku nggak jelek. Walau tidak seksi, aku tidak punya masalah berat badan. Aku cuma punya dua jerawat saja. Rambutku pendek berombak. Aku tidak berkacamata atau berkawat gigi. Sekali lagi, aku nggak jelek.
Kalimat itu selalu kusimpan untuk memompa rasa PD-ku.
Be Yourself! Tips itu nampak begitu ampuh setiap kali majalah-majalah memuatnya dan membahasnya berhalaman-halaman.
Tetapi aku tetap aku yang pemalu. Malu untuk berbicara. Takut akan penolakan Tyo karena aku tidak secantik Muti atau sekeren Gita atau cewek lain. Rasanya berat banget pas mau bilang “Pagi”, apalagi untuk mengatakan hal lain yang lebih penting.
Aku melirik sekali lagi. Kini matanya yang sayu itu beradu pandang denganku. Jantung ini berlompatan ingin menerobos keluar. Wajahku pasti memerah. Rasanya seluruh syarafku berhenti bekerja. Buru-buru kualihkan pandangan tanpa sempat tersenyum sama sekali.
Bodoh! Bagaimana Tyo bisa tahu kalau aku menyukainya.
Kalimat itu terus menggema di kepalaku.
Kelas mulai ramai. Satu persatu temanku datang dan riuh pun hadir. Aku duduk lemas di kursi. Untuk kesekian kalinya aku menerima rasa pahit di dada. Kudengar Tyo tertawa berbarengan dengan cekikikan centil penggemarnya yang berdatangan untuk mencari muka.
I hate myself!!!
Dan kejadian itu mulai menggelitik sel syarafku.
… …
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Ada sebuah jalan raya yang tidak pernah kudatangi sebelumnya. Langit menandakan petang. Cuma ada beberapa orang yang berjalan ditemani lampu sore yang menyorot menembus udara dingin.
Nafasku nyaris berhenti saat melihat sosok itu berjalan dengan penuh semangat di trotoar seberang jalan. Ia mendekatiku. PANIK! Aku tidak tahu harus berbuat apa? Demi Tuhan, aku kebingungan.
Tenang! Tarik napas,… aku harus menyapanya. Harus bisa ngobrol dengannya. Harus bisa membuatnya ingat padaku. Harus!
Teepp! Badanku mendadak terasa beku. Aku tak bisa menggerakkan kakiku, bahkan ujung jariku. Aku cuma bisa menggerakkan bola mataku. Cuma bisa melihatnya melangkahkan kaki untuk menyeberangi jalan.
Dan semuanya seperti slow motion. Selangkah demi selangkah Tyo berjalan. Tanpa menyadari dari arah kiri ada mobil sedan hitam melaju kencang ke arahnya. Tyo cuma bisa menengok. Dia tidak sempat mengelak sampai akhirnya mobil itu menghempaskannya di aspal dengan telak.
Aku memekik.
… …
Mimpi tadi pagi itu membuat moodku berubah. Aku masih meliriknya sambil berusaha mencerna apa arti mimpi itu. Mungkin cuma sekedar bunga tidur, tapi bagaimana kalau itu semacam pertanda. Suara guru biologi yang memasuki kelas memecahkan lamunanku. Murid-murid tergopoh-gopoh kembali ke bangkunya, termasuk Muti yang masih sempat membelai lembut lengan Tyo.
***
Sedan itu melaju dengan kencang. Kaca jendelanya gelap, tidak jelas siapa pengemudinya. Tyo tetap tidak sadar mobil itu melaju ke arahnya dalam hitungan detik. Sinar mobil menyorotnya. Saat ia menengok, ia cuma bisa terperangah dan mengangkat siku untuk melindungi wajahnya. Mobil itu menabrak tubuh Tyo diiringi decit rem yang memecah sunyi. Tubuhnya pun terpuruk di jalanan. Darah segar mengalir dari kepalanya serta sebagian tubuhnya.
… …
Aku tersentak bangun. Keringat membasahi seluruh tubuhku. Nafasku naik turun. Aku terengah-engah membayangkan mimpi barusan. Semua kelihatan jelas. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Jantungku masih berdetak kencang. Kutarik selimut sampai menutupi leherku dan berusaha menutup mata. Tapi mimpi tadi membuatku terjaga.
***
Mobil yang sama itu melaju seperti orang kesetanan. Entah berapa kecepatannya. Dan Tyo berjalan santai sekali. Langkahnya lambat-lambat. Mobil itu seperti tidak punya rem. Terus melaju. Tyo tetap berjalan dengan ringan. Sampai akhirnya ia menoleh. Ia terperangah, tapi cuma diam di tempat seakan hendak menyongsong mobil itu. Dalam hitungan detik, mobil itu meruntuhkan tulang-tulangnya dengan benturannya yang keras. Tyo nampak kesakitan. Ia sedikit terpental dan jatuh tersungkur di jalan. Ia berdarah. Tak sadarkan diri.
… …
Aku sedang terduduk di atas ranjang di kamarku. Ini mimpi yang ke tujuh atau delapan kalinya, aku tidak pernah menghitung. Semua semakin jelas dari mimpi ke mimpi. Setiap adegan seperti sengaja di-frame-kan sedetail mungkin.
Setitik air mata jatuh di pipi. Aku mengusapnya pelan. Ada semacam ketakutan menghimpit batinku. Apa sih maksud mimpi ini? Mimpi yang berulang-ulang pasti ada apa-apanya. Apakah ini pertanda? Pertanda agar aku tidak pengecut lagi. Atau,… buru-buru aku menghapus pikiranku. Semoga ini bukan pertanda tentang kepergian seseorang.
Kalau mimpi ini benar, kalau Tyo memang akan mengalami musibah, aku harus memperingatkannya. Aku harus membuang kepengecutanku demi orang yang aku sayangi.
Tapi apakah aku berani?
***
Ada Tyo di sana. Sedang berdiri di depan perpustakaan tanpa ada yang menemani. Tidak ada teman-teman bandnya. Tidak ada gadis-gadis centil itu. Waktu yang tepat untuk memulainya.
Selangkah demi selangkah, aku mendekatinya. Detak jantungku mulai tidak teratur. Mulai ada keringat dingin. Adrenalinku terpompa cepat sekali.
Huuh,… haahh!! Satu tarikan nafas panjang untuk menenangkan diriku.
Selangkah lagi dia sudah ada di depanku. Wajahnya langsung menoleh. Aku tak bisa mem-bayangkan bagaimana ekspresiku sekarang. Bibirku rasanya berat sekali. Tyo tersenyum padaku.
“Jam berapa sekarang?” kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibirku.
“Sepuluh kurang lima,” jawabnya enteng.
“Makasih,” aku langsung berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa lagi.
Bego,… Aku terus-terusan mengutuk kebodohanku. Apa susahnya sih bilang “Yo, belakangan gue mimpi loe ketabrak sedan. Kira-kira artinya apa ya?”. Kok malah cuma nanya jam. Aku ini tolol atau apa sih?
***
Bel pulang baru beberapa menit lalu berbunyi. Murid-murid sudah menghambur di depan gerbang sekolah. Setengah berlari aku berusaha mengejar Tyo. Jarak kami tinggal semeter lagi, tapi langkahku terasa berat untuk terus mendekatinya. Tanganku seakan tak sanggup menggapainya.
Tiba-tiba Tyo berhenti. Refleks ia menengok ke belakang.
Aku cuma bengong. Dag dig dheeer!
“Hai, pulang sendiri?” sapanya.
Gugupku berkurang perlahan.
“Eehmm, iya. Yo, tali sepatumu lepas, tuh” celetukku.
“Oh iya, makasih ya!” ujarnya sambil tersenyum.
Aku ikutan tersenyum. Rasanya hari ini indah sekali.
“Nah gitu dong. Kalo senyum kan lebih cakep,”
Pujian itu meresap di hati. Rasanya aku ingin melompat tinggi. Yang ada cuma lututku gemetar saking terharunya. Akupun tidak bisa bilang apa-apa lagi saat dia say bye menuju Muti yang melambaikan tangan ke arahnya.
***
“Jangan lupa jemput mami di studio senam Tante Linda, ya. Kamu lagi di jalan kan? Bawa mobilnya ati-ati lho,” ujar mami melalui handsfree yang kuhubungkan ke ponsel.
“Iya, mi!” Kutancap gas. Aku ingin mencoba mobil papi, feroza hitam 97, yang dibelinya dengan harga murah sekali.
Aku membelokkan mobil memasuki jalan di dekat persimpangan. Aku tersentak. Sepertinya jalan ini kukenal dengan baik. Padahal aku belum pernah ke sini sebelumnya. Seperti deja-Vu. Tubuhku langsung gemetar. Aku baru ingat. Lampu-lampu kuning pucat yang menyorot jalan. Mobil baru papi ini sedan hitam. Sedan hitam yang akrab dengan benakku. Termasuk jalan ini juga. Darahku mengalir cepat secepat mobil ini melaju melintasi jalan.
Semoga yang kutakutkan tidak terjadi.
Sosok itu muncul dengan cepat. Aku mengenalinya. Itu Tyo yang dengan santainya melenggang. Kutekan pedal rem, tapi mobil ini melaju cepat. Remnya blong. Tyo terus melangkah tanpa tahu mobil ini siap menghempasnya. Detik-detik terakhir, aku bisa menangkap raut wajah Tyo yang terkejut. Raut yang pasi itu tersimpan lekat di memoriku.
Aku nggak mau nabrak Tyo. Nggak mau! Nggak mau!
Kubanting setir ke arah kiri dengan cepat dan tajam. Mobilku seperti menukik dan lajunya kencang. Di depanku ada tiang listrik yang kokoh. Kuinjak rem berkali-kali.
Braakk! Benturan itu memecah kesunyian. Tulangku mungkin hancur di sana-sini. Kepalaku membentur kemudi dan kurasakan ada yang dingin, juga perih yang sangat, mengalir di kulitku. Bibirku terasa kaku. Mata ini rasanya tidak bisa untuk tetap terjaga.
Aku nggak mau begini. Masih adakah esok? Kalau ada, aku janji akan menjadi orang yang lebih berani. Masih adakah esok? Please,...
Gelap pun menyelimutiku.
***
Tangerang, 24 Desember 2002
Muat Majalah Kawanku no.47/XXXII tgl 19-25 Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar