Aku melewati lorong-lorong sempit yang diapit bangunan bata berpetak-petak mungil. Sinar matahari terhalang atap-atap yang disusun rapat. Yang tersisa cuma sorot-sorot yang teduh. Gantungan baju-baju yang baru dicuci sedikit mempersulit jalanku. Bau lembab air dan deterjen mengingatkanku pada setumpuk cucian yang belum tersentuh di rumah. Kulihat Siti yang duduk di depan rumahnya yang cat dindingnya mulai mengelupas. Jemarinya pelan-pelan menghitung lembaran lusuh ribuan. Wajahnya yang agak gelap sedikit terlihat kuyu.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam. Mbak mau ke mana?”
“Ke masjid. Ba’da dhuhur ada taklim. Ikut mbak, yuk. Ayo ambil mukenamu,”
Siti melirik ke dalam rumahnya. Ada sedikit rasa gelisah terlukis di matanya. Baru Siti bangkit dari duduknya, seorang wanita muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya murung dan suram. Ia memandangiku sambil mengipas-ngipaskan koran bekas ke tengkuk yang keringatan. Menebak-nebak apakah aku – dengan baju yang longgar dan jilbab yang lebar menutupi – merasa kepanasan seperti dirinya.
“Mana upah kerja konveksi lu? Kasih ke gue!” wanita itu melihat ribuan yang tergenggam di tangan Siti.
“Jangan Nyak, uang ini buat bayar sekolah,”
“Duit ini gue yang pegang, gue kan Nyak lu. Elu masih kecil, kagak bisa ngatur duit!”
Wajah Siti memucat. “Iya, terserah Nyak aje. Aye mau berangkat sholat di masjid dulu,”
“Kagak! Sholatnya entar aja. Elu kudu bantuin gue nganterin jahitan. Nyang plastik item buat Bu Wati di RT 10. Yang kecil ini lu antar buat Engkong Nimar di jalan Bandeng, yang rumahnya cat ijo. Terus yang di plastik bening ini buat bininya Bang Jampang yang rumahnya di belakang SD inpres. Jangan ketuker, lho.” Wanita itu mengangsurkan plastik-plastik berisi jahitan itu pada Siti. Aku bisa menangkap kepedihan di mata anak itu.
“Ibu, biar Siti sholat dhuhur dulu baru mengantar jahitan. Takut nggak keburu,” leraiku.
Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sinis. “Elu siapa? Berani-beraninya nasehatin gue. Gue lebih tahu gimana caranya ngurus anak. Kalo nganter jahitannya abis dhuhur, pelanggan gue ntar marah-marah. Kagak puas. Terus kagak ngejahitin baju di sini lagi. Gue mau makan apa?”
“Tapi Bu,…”
“Siti, berangkat sekarang!”
Dulu aku tidak percaya tentang dongeng ibu tiri. Sekarang aku melihat Siti tengah bergulat dengan kerasnya tabiat wanita yang dinikahi almarhum bapaknya itu. Siti menatapku seperti meminta pengertianku untuk memahami kondisinya dan amarah ibu tirinya. Aku makin tidak tega melihat hasrat Siti untuk bersua dengan penciptanya harus pupus demi mengais rupiah.
***
Matahari masih pucat. Hawa dingin masih menusuk, walaupun tidak membuat perih. Pagi tampak mulai penuh dengan kegiatan manusianya yang bergulat dengan nasib. Aku–membawa belanjaan dari tukang sayur keliling–melewati ibu-ibu yang berkumpul di rumah Siti. Mereka berbagi duduk di teras yang super sempit dengan dandanan tempat tidur. Berdaster, rambut masih dirol atau dijepit seadanya, bahkan ada yang sambil meneteki anak bayinya. Seperti tidak ada pekerjaan berguna selain bergosip dan bergunjing.
Langkahku berhenti saat sosok yang kukenal itu hendak memasuki rumah Siti. Siti baru pulang membawa sekantung ikan tongkol. Mungkin ia baru berbelanja juga sepertiku.
“Heh, lu bawa apa?” Ibu tirinya menunjuk belanjaan Siti. “Dasar anak kurang ajar! Elu tau gue alergi ikan. Elu mau bikin gue mati, hah? Cuma gue yang boleh nentuin hari ini makan apa.”
Siti tersentak dengan hardikan itu. Wajahnya menunduk. Belasan mata melihat adegan itu.
“Buang ikannya!”
“Jangan, Nyak. Mubadzir,”
Plaaak! Tamparan itu telak terbanting di pipi Siti yang kurus. Astaghfirullah. Bayangan lebam terpatri di wajahnya.
“Anak durhaka! Gue ini Nyak elu! Lu bisanya ngebantah aja. Percuma lu pake jilbab!”
Tangan yang kasar itu menarik ujung jilbab putih Siti. Dengan refleks, Siti menahan tangan ibu tirinya yang terlanjur menarik jilbabnya. Entah seperti mendapat tenaga dari mana, Siti sanggup membuat jilbab itu tetap di kepalanya. Wanita itu geram. Terus-terusan ia menarik jilbab Siti, mencubitinya. Teriakan kesakitan itu meluncur dari bibir Siti.
“Nyak, ampun. Jangan, Nyak,… jangan. Ampun. Sakit, Nyak. Jangan,…”
“Durhaka lu. Lepas jilbab lu! Percuma lu berjilbab. Ngaji. Sholat. Jilbab lu kagak bisa bikin kaya. Buang aja!”
Tangannya terus mencubit, sesekali memukul punggung Siti, sambil tangan satunya menarik jilbab itu. Orang-orang terkesima melihat pemandangan ini. Mereka tidak bersuara. Seperti sedang disuguhkan tontonan apik. Subhanallah, aku sendiri ikut diam. Apa yang ada di pikiranku sampai-sampai aku tega melihat Siti dianiaya seperti itu?
“Bu, bu! Jangan, bu!” aku panik melihatnya hampir mengayunkan gagang sapu ke tubuh Siti. “Sabar, bu. Istighfar. Masak gara-gara ikan saja jadi begini. Malu kan dilihatin orang,”
Gadis itu terduduk menangis sambil membenahi jilbabnya yang mencong-mencong. Tak satu orang pun yang berani mendekat. Atau menunjukkan simpatinya dengan menghibur Siti.
“Heh, ngapain elu ngebelain Siti?”
“Kasihan Siti. Dia ini anak yatim, bapak ibunya sudah meninggal, sudah sepantasnya kita lindungi. Bukannya dianiaya,”
“Tapi gue ini juga ibunya! Surga ada di kaki gue, tau!”
Aku diam. Apa kalimat itu masih berlaku? Benarkah surga ada di telapak kaki seorang ibu yang tega menganiaya anaknya, walau cuma anak tiri yang bukan lahir dari rahimnya sendiri?
“Hiiih, kalo elu bukan anaknya almarhum laki gue,… udah gue usir. Gue buang ke jalanan. Kalo perlu, elu gue jual!”
Astaghfirullah. Siti tersentak. Matanya sembab dan memerah.
“Mulai sekarang, elu kudu nurutin perintah gue. Sekarang ikan itu lu buang!”
Siti terperangah.Apalagi aku yang terapit di antara mereka. Ikan itu masih diperdebatkan?
“Mubadzir Nyak,”
“Elu ngebantah lagi, kan!” gagang sapu itu terayun sekali lagi.
“Sudah, bu.” cegahku sebelum ia memukul Siti. “Ikannya buat saya aja. Ini, saya bayarin.”
Wanita itu langsung menyabet selembar uang sepuluh ribuan dari tanganku. Lalu ia menarik Siti masuk ke dalam rumah dengan paksa. Klekk. Suara kunci telah memisahkan sepasang manusia itu dengan aku dan tetangga yang masih terkesima. Sayup-sayup aku dengar bisikan-bisikan lirih penuntas adegan pagi ini.
“Kasihan Siti,”
“Mpok Nining memang tabiatnya jelek,”
“Ah, udahlah. Nggak usah ngurusin orang,”
***
Matahari belum terbit. Sayup-sayup orang mengaji terdengar lirih dari musholla. Mas Akbar sedang momong Ibnu – anak kami yang belum genap setahun – di depan rumah. Aku mengintip dari jendela. Sesekali tawanya berpadu geli karena Mas Akbar sedikit mengelitikinya. Kadang juga suamiku melagukan tembang jawa yang fasih dinyanyikannya mengingat darahnya kental dengan adat jawa. Dan Ibnu terlihat sangat menikmatinya.
“Slamat pagi Mas Akbar,” sapaan itu mengejutkan lamunanku. “Duilee rajin bener, pagi-pagi udeh momong anak.”
Aku melongokkan kepala ke luar. Ibu tiri Siti mengajukan diri untuk bersosialisasi dengan suamiku pada pagi yang hawa dinginnya masih lekat ini. Dandanannya lengkap pagi ini. Bibirnya dipulas merah terang dan alisnya dilukis tinggi dengan warna gelap. Baju ketat warna merah tua membalut tubuhnya. Sampai-sampai aku bisa melihat tiga lipatan di perutnya. Dan aku baru menyadari Siti menempel di belakangnya. Wajahnya tertunduk seperti tenggelam dalam jilbabnya yang lebar. Ia menenteng tas – mungkin isinya baju – seperti hendak pergi jauh.
“Pagi, Mpok. Apa kabar?” sapanya ketika melihatku.
Aku buru-buru membenahi kerudung bertaliku dan keluar menyambut mereka. Rasa heran membuncah-buncah. Aku sedikit kurang terbiasa dengan keramahan wanita itu. Biasanya ia berkata kasar pada setiap orang. Siapa tahu pagi ini sedikit hidayah turun untuknya. Tapi melihat wajah Siti yang murung, perasaan tidak enak mulai merayapi.
“Mau ke mana, Bu? Pagi-pagi sudah rapi?”
“Aye mau ke Tanjung Priok. Ke rumah sodara. Di sono ade nyang nawarin Siti pekerjaan. Kalo di sono sebulan bise diupah gede. Malah kalo rajin, bise nyampe jutaan. Lumayan kan?”
“Kerja apa, bu? Sekolah Siti bagaimana?”
“Buat orang kecil kayak kite gini, sekolah kagak penting. Yang penting Siti pulang bawa duit banyak. Supaye kite bisa tetep idup,”
Aku cuma manggut-manggut saja. Siti masih tertunduk. Tangan kirinya memainkan ujung jilbabnya. Pertanda kegelisahan tengah mengusik batinnya.
“Hati-hati ya, Siti. Kerja yang halal. Jangan lupa sholat,” nasehatku sambil menepuk lembut bahunya. Ia mendongak. Subhanallah. Matanya seperti mengisyaratkan ketakutan yang amat besar. Seakan berujar meminta pertolongan.
“Mari Mas, Jeng, aye berangkat dulu. Assalamu’alaikum,”
“Alaikumsalam,” jawabku dan Mas Akbar berbarengan. Kepalaku masih rumit meng-artikan sikap Siti pagi ini. Namun sebelum kutemukan jawaban, nasib telah membawa Siti pergi.
***
Aku mengusap peluh yang satu dua menetes. Ibnu baru saja selesai disuapi. Kini jejakaku itu menemaniku menyeterika baju-baju yang menggunung.
“Assalamu’alaikum,”
Aku mendongak melihat sosok yang terhuyung-huyung memasuki ruangan kecil yang mencakup ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan ini. Astaghfirullah! Aku masih mengenalinya. Walau debu dan sinar matahari telah melusuhkan baju dan wajahnya. Kulitnya berubah menjadi lebih gelap. Siti tetaplah gadis polos sebelah rumah yang tak bisa kulupakan.
“Siti?” aku buru-buru memapahnya duduk. Pipinya terlihat cekung dan melekuk. Matanya rapuh dan lelah.
“Air, mbak. Air,”
Masih bercampur panik dan bingung di hatiku, segelas air pelan-pelan keminumkan. Siti tampak seperti musafir yang tidak pernah tersentuh air. Beberapa tetes meluber dari bibirnya yang kering karena ia terlalu buru-buru.
“Kenapa kamu, Siti? Apa yang terjadi?”
“Saya lelah, mbak. Boleh saya tidur sebentar?” matanya memelas padaku. Sebuah permintaan yang tak sanggup kutolak.
“Mari,… ke kamar mbak. Istirahatlah,”
Siti setengah membanting diri di ranjangku. Decit dipan terdengar halus. Ia mengelus-elus kasur yang terbalut seprai putih itu. Seperti mencari kehangatan dan kenyamanan sebelum akhirnya yakin untuk mengatupkan mata. Wajah itu terlihat damai. Guratan ketakutan dan kelelahan tadi langsung sirna. Aku mengusap lengannya. Aku masih menyimpan pertanyaan. Dua minggu sejak keberangkatan Siti mencari pekerjaan, tiada kabar yang terdengar. Baik dari Siti atau ibu tirinya. Tapi biarlah. Aku akan menunggu sampai Siti siap bercerita.
Sudah dua jam Siti terbaring pulas. Aku baru membawakan Mas Akbar yang baru pulang kerja secangkir kopi. Tapi suamiku sedang menyambut tamu di depan. Ada dua orang petugas kepolisian tengah berbincang dengan Mas Akbar. Hatiku langsung merasa tidak enak.
“Ada apa ini?” aku langsung menghampiri mereka.
“Kami kemari ingin membawa saudari Siti ke kantor. Siti adalah tersangka atas percobaan pembunuhan terhadap ibu Nining. Ada saksi yang melihat Siti datang ke rumah ibu.”
“Enggak mungkin, pak. Siti itu anak baik. Enggak mungkin dia mau membunuh ibunya,”
“Iya, pak.” Mas Akbar ikut membela, “Siti bukan orang seperti itu,”
“Tapi bukti dan saksi mata menunjukkan seperti itu. Siti menusuk ibunya sendiri. Kita harus memeriksa Siti dan menunggu ibunya yang sedang koma di rumah sakit untuk memberi pernyataan lebih lanjut,”
“Tapi pak,…”
“Maaf, mbak.” Siti terhuyung-huyung menghampiri kami. “Polisi benar, mbak. Saya menusuk nyak. Tapi saya cuma membela diri.”
“Kenapa Siti?”
“Mungkin mbak akan melakukan hal yang sama ketika ibu tiri mbak akan menjual mbak pada lelaki mabok demi beberapa lembar rupiah. Saya terdesak, mbak. Saya kalap,” jawabnya lirih. Wajahnya penuh air mata. Sangat ketakutan. “Saya harus menebus dosa saya, mbak.”
“Astaghfirullah,” aku dan Mas Akbar berpandangan. Sekujur persendianku lemas Mas Akbar memegangi tubuhku yang hampir jatuh.
“Baik pak, saya ikut ke kantor polisi.” Siti dengan tegar menyerahkan diri. Sepasang pergelangannya diborgol seperti seorang kriminal kelas berat. Padahal Siti anak baik. Dia cuma membela dirinya. Aku ingin mencegah Siti pergi, tapi Mas Akbar memegangi tanganku.
“Biar Allah yang mengatur. Allah Maha Tahu,” ujar suamiku.
Tiba-tiba aku merindukan air wudhu. Aku ingin menikmati wanginya mencium sajadah. Aku rindu. Aku ingin mengadu.
***
Tangerang, 17 Juli 2003Muat Majalah Muslimah no. 34/III/Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar