Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Seren yang dulu, sekretaris divisi ekspor-impor di perusahaan Jepang, yang tak membiarkan ujung bajunya kusut atau terlipat, yang selalu rapi tanpa cela dengan blush on dan pulas lipstick menghiasi wajah. Aku sekarang Miss Seren, seorang guru baru yang sederhana, dengan seragam kemeja putih dan rok biru gelap bermake-up tipis. Aku boleh berubah, tapi hatiku tetap sama. Mungkin tak peduli seberapa jauh aku melarikan diri, sejauh apa pun kuubah penampilanku, aku tetap Seren yang dulu.
Seren yang masih mencintai Andhit.
“Nah,” ujar Elang memecah keheningan yang kubuat, tepat saat pintu lift berdenting terbuka. “Selamat datang, Miss Seren, di atap SMA Pusaka satu, tempat terbaik untuk menikmati senja.”
Angin berhembus menerpa wajahku. Helai-helai tipis rambutku berkibaran dan dalam sekejap aku menghirup aroma sore yang khas. Aroma hangat matahari yang siap-siap kembali ke peraduannya. Aku memejamkan mata berusaha menangkap semua yang inderaku bisa tangkap. Desir angin menggemerisik dedaunan. Kepak sayap burung-burung yang kembali pulang. Mentari yang pelan-pelan bergeser di horison barat.
Aku membuka mata. Di sanalah dia. Elang berdiri membelakangi langit yang kini berubah oranye gradasi merah muda dan ungu. Senja tiga warna, senja yang langka. Sosok Elang kini tampak seperti siluet hitam dengan latar warna-warni.
“Di sini,… bagus banget.”
Senyum Elang merekah lebar. “Aku sudah bilang, kan?”
“Aku suka senja ini.”
Elang melangkah ke bagian pinggir atap yang dibuat bersusun lebih tinggi. Disandarkannya tas gitar itu di sana. Dia merentangkan tangan, menghirup udara sore sampai memenuhi dada, lalu berteriak, “I am the King of the world!”
Aku tersenyum dan menyusulnya ke sana. Entah kenapa langkahku terasa mantap menyusulnya. Lalu tepat di sampingnya, kubentuk corong di mulutku, lalu menjawabnya bahkan dengan suara yang jauh lebih lantang, “I am the Queen of universe!”
Kami berdua semburat tertawa terpingkal-pingkal. Elang mengacak rambutnya sendiri yang sudah berantakan dipermainkan angin. Lalu tangannya disandarkan di susuran, jari-jemari saling menggamit. Tatapannya lurus ke depan. Senyum seperti masih enggan meninggalkan wajahnya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menatap wajahnya lebih erat, lebih dekat. Rahangnya yang ramping dan tegas, dihiasi bulu-bulu halus sampai ke cambang di sisi telinga. Bibirnya tebal dan sempurna melengkungkan senyum. Bibir itu, kapan terakhir memagut dan mencium? Apakah hangatnya sanggup menelusup, menderas bersama aliran darah? Apakah,…
“Kamu mikirin apa?” tanya Elang tiba-tiba.
Aku tergagap. Ditatapnya wajah Elang yang berkernyit. Menggemaskan, seperti anak kecil yang penuh ingin tahu. “Ehm, aku penasaran,…”
“Penasaran apa?”
Penasaran seperti apakah rasanya mencium bibirmu. “Kenapa kau bawa gitar ke atas sini?” ujarku bohong.
“Karena aku ingin melihat kamu ketawa.”
“Hah?” aku harus berhenti dengan segala Hah? ini. Sumpah, wajahku pasti kelihatan konyol dengan ungkapan melongo seperti itu.
“Sejak pertama kali kau masuk ke sekolah ini, aku belum pernah melihatmu tersenyum.”
“Masa?”
“Kalau sekadar senyum biasa sih, sering. Senyum menipu gitu. Senyum basa-basi, for the sake of courtesy. Tapi senyum lepas, belum pernah. Dan itu sangat menggangguku.”
“Kenapa mengganggumu? Itu kan cuma senyum,”
“Lalu,” Elang tak menghiraukan tanggapanku. “Lalu aku lihat di bio twittermu, kamu pecinta senja, aku ajak kamu ke sini. Melihat senja. Mendengarku bernyanyi.”
“Kamu nyanyi? Terus bisa bikin aku senyum, gitu?” aku tergelak sendiri membayangkannya.
“Tuh, kan? Belum nyanyi aja kamu sudah ketawa.”
“Oke, oke, monggo, silakan. Kita lihat sehebat apa kamu,” ujarku tersenyum. Rasanya mulai nyaman. Sepertinya aku akan baik-baik saja di atas sini.
“Oke, Miss Seren. Karena namamu Serenade Senja, dan pementasanku ini ada di tengah senja, maka untuk menggenapi, aku akan memainkan lagu dari Secondhand Serenade.”
“Secondhand Serenade? Aku belum pernah dengar lagu-lagu mereka.”
“Nah, kalau begitu kamu dengar pertama kali dariku. Judulnya Goodbye. Ini lagu favoritku.”
Elang mulai membongkar gitarnya. Lalu dengan bersandar di susuran tepi atap gedung, dia mulai mengambil nada. Denting-denting beningnya mulai terdengar di sunyi senja sore itu. Nada-nada intro pembuka melantun. Tatapan Elang kembali serius dengan sorot tajamnya. Jemarinya lincah bermain, melompat-lompat lihai di kunci-kuncinya. Aku bisa merasakan wajahku hangat ditimpa sorot senja, sekaligus karena tersipu malu.
Dengan ditemani senja sebagai pengiringnya, dia mulai bernyanyi.
It’s a shame that it had to be this way,
It’s not enough to say I’m sorry
Pikiranku langsung melayang ke malam itu. Malam di mana semestinya malam terindah antara aku dan Andhit. Di malam hari jadi kami yang ke sepuluh tahun. Diterangi redup temaram cahaya lilin. Dengan aroma udang bakar saus barbecue yang berebutan di udara bersama wangi kembang sedap malam yang lembut. Gaun terusan brokat hitam yang melambai dan parfum yang menggoda. Aku dan Andhit. Tapi semua dibuka dengan kata-katanya, “Maafkan aku, Seren. Maaf.”
All I had to say is good bye, were better off this way
Tanpa terasa air mataku mulai menggenang. Sedikit lagi, pertahananku akan runtuh, dan sekali lagi aku akan menangis demi dia yang kucintai.
I’m alive but I’m losing all my drive.
‘Cause everything we’ve been through, and everything about you
Seemed to be a lie
Jadi, selama ini kita apa, Andhit? Kau cinta pertamaku. Aku mencintaimu sejak umurku lima belas tahun. Sepuluh tahun, selama itu kita bersama, dan kau bilang kau tidak lagi mencintaiku? Lalu selama ini, apa yang kita lakukan? Apa aku tidak sedikit pun layak untuk diperjuangkan? Layak dipertahankan?
“Berhenti, Lang,” ujarku lirih. Tapi sepertinya dia masih menikmati permainannya.
“Aku bilang berhenti,”
Dia seakan tak mendengarnya.
Take my hand away, spell it out
Tell me I was wrong
Kenapa kau tidak mencintaiku lagi, Andhit? Katakan di mana salahku, akan kuperbaiki. Katakan kau salah, kau masih mencintaimu. Katakan, kau ingin kembali padaku, Andhit.
“BERHENTI!” Aku berteriak. Bahkan aku terkejut dengan suaraku sendiri. Elang sontak menghentikan genjrengannya. Dia menatapku tanpa kedip. Aku merasakan ada yang hangat mengalir di pipiku. Semua perih dan nyeri itu kembali merajamku tanpa henti.
“Berhenti! Jangan bernyanyi lagi. Aku benci lagu itu. Berhenti!”
“Seren,”
“Aku nyesel ke sini. Buang-buang waktu,”
“Kamu kenapa?” tanya Elang kebingungan.
Ada sejuta pertanyaan dan kata-kata yang ingin aku ungkapkan, tapi semua untuk Andhit. Di hadapannya hanya ada Elang, yang semata mengajakku kemari agar aku tersenyum. Senja makin bergulir, langit menggelap. Seperti hatiku yang ditelan mentah-mentah oleh gelap yang tak berujung.
“Maafkan aku Elang, maaf. Aku harus pulang sekarang.” Aku langsung berlari menuju lift tanpa berkata apa-apa lagi. Elang hanya terpaku menatapku yang membelakanginya. Bahkan sampai pintu lift menutup, menelan tubuhku, aku tak menatap wajahnya lagi. Aku sibuk menyembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. Tanpa ada seorang pun yang melihat, sendiri di dalam lift, lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Air mataku tak berhenti mengalir.
Andhit. Andhit. Aku tak bisa melupakannya. Bahkan sampai detik ini, sakitnya masih ada. Kenapa aku harus mengingat Andhit, saat bersama Elang? Kenapa? Kesunyian menelan bulat-bulat suara tangisku.