Powered By Blogger

Jumat, Desember 02, 2011

"Wanita Bergaun Merah" di antologi BookOfCheat#1



Potongan gambar menyambar benakku, seperti tebaran puzzle. Yang kuingat cuma selembar gaun berwarna merah. Tak ada yang istimewa dengan modelnya. Hanya sebuah gaun berpotongan dada terbuka dan bertali kecil mengait di bahu. Warnanya merah menyala. Warna merah tua yang sanggup menusuk-nusuk mataku. Apa arti warna merah itu? Sebuah kenangan yang lama. Hanya saja kenapa saat kupikirkan itu, rasanya seluruh energiku habis? Sepotong gaun merah. Tampaknya penuh arti. Lalu apa artinya? Di mana aku pernah melihatnya? Siapa pemiliknya? Semuanya begitu buram.

Itu kutipan cerpen "Wanita Bergaun Merah" yang masuk ke dalam antologi cerpen "Book Of Cheat#1" yang diterbitkan oleh @nulisbuku, sebuah self-publishing service. Awalnya saya tertarik dengan tawaran mbak @yuska77 ketika membuat proyek BOOK OF CHEAT ini. Saya percaya bahwa setiap karya selalu memiliki singgasananya sendiri. Maka saya pilihlah cerpen ini, sebuah cerpen lama yang menunggu terbang ke nirwana menjemput singgasananya.

Ini cerita seorang wanita yang jatuh cinta. Bukankah cinta itu indah? Tapi masa lalunya menghantui dalam potongan-potongan imaji berupa "Wanita Bergaun Merah". Lebih lanjutnya, silakan klik di sini.

Aku menyesal sudah bertanya. Jawabannya pasti akan menyakitiku. Karena aku benci realita. Tidak dulu atau sekarang. Entahlah, aku tidak pernah berteman baik dengan kenyataan. Aku selalu bermusuhan, selalu mencoba berlari walau pun selalu gagal.

Terjemahan Baru : The Jungle Book


The Jungle Book
by Rudyard Kipling
Alih bahasa oleh Anggun Prameswari
Penerbit : Atria

Silakan baca terjemahanku yang terbaru. Sebuah karya cerita anak klasik karya Rudyard Kipling yang berjudul "The Jungle Book". Aku yakin kalian semua pernah satu atau dua kali mendengar kisahnya yang legendaris. Di dalam buku ini ada cerpen-cerpen Rudyard Kipling lainnya yang tak kalah menarik.

Waktu menerjemahkannya, aku benar-benar tertantang karena banyak main di rima dan diksi. Banyak puisi dan kata baru yang perlu dieksplorasi. Aku mulai jatuh cinta pada kamus rima dan tesaurus untuk membuat naskah lebih berwarna. Ternyata, metode ini juga bisa diterapkan dalam penulisan fiksi sehingga "rasa" bisa menjadi lebih kuat.

Terima kasih untuk mbak Jia Effendie yang sudah dengan baik hati memberikan saya kesempatan untuk mengolah buku ini. Ini pengalaman yang sungguh luar biasa. Monggo klik dan beli bukunya di toko buku terdekat atau belanja di sini : bit.ly/rEl5js

Jadi selamat membaca. Mari kembali terbang ke imajinasi tak terbatas untuk mengingatkan bahwa kita sebenarnya makhluk bebas, yang selama ini terjebak pada batasan yang kita buat sendiri.
Aku tunggu opini dari kalian semua.

Jumat, Juni 17, 2011

Devour - Horor Ganteng Agak Nanggung


Judul : Devour (2005)
Pemain : Jensen Ackles, Shannyn Sossamon, Dominique Swain, William Sadler
Sutradara : David Winkler
Penulis : Adam Gross, Seth Gross

Salahkan Jensen Ackles kalau akhirnya aku nonton film Devour ini sampe jam 2 pagi. Aku suka banget sama karakter Dean Winchester di Supernatural, makanya waktu lihat ada film horor berbintangkan dia, aku jadi berekspektasi tinggi sama film ini.

Jadi cerita dibuka oleh Jake Gray yang mulai berhalusinasi (dia sebutnya bermimpi) dalam keadaan sadar. Imaji pertama adalah ia memasuki sebuah pondok reyot di tengah hutan dan menemukan seorang wanita tak berbusana sedang menangis di sana. Saat membalikkan tubuh wanita itu karena ingin menolong, ia malah diserang seekor ular putih. (Sayangnya bukan drama Pai Su Chen ya?)

Jake Gray yang notabene seorang mahasiswa baik-baik dari keluarga Kristiani yang kuat punya dua teman kecil yang bermasalah yaitu Conrad, seorang pemadat yang setengah gila dan Dakota, seorang gadis dengan masa lalu pelecehan seksual. Mereka pun akhirnya terlibat permainan komputer, The Pathway. Selain itu, Jake rajin mengunjungi ibunya di sebuah nursery house karena ibunya yang lumpuh dirawat di sana. Ia pun menjalin hubungan dengan perawat cantik bernama Marisol yang suka membaca kartu Tarot.

Alur bergulir karena The Pathway ternyata sebuah permainan setan. Mereka akan mempermainkan isi benak mereka dengan mewujudkan keinginan terburuk mereka (baca:dosa). Satu persatu orang yang Jake kenal mati bunuh diri dengan mutilasi setelah menghabisi musuh pribadi mereka, mulai dari Conrad menghabisi teman kampusnya lalu bunuh diri, Dakota membunuh dosen yang melecehkannya lalu bunuh diri, dan Pamannya, Paman Ross mati misterius di kecelakaan mobil.

Jake curiga ada campur setan di dalam permainan The Pathway. Ia menemui Ivan Reisz, konsultan dunia mistis, yang mengantarkannya pada fakta bahwa Aidan Kater, mantan murid Ivan yang menjadi dalangnya. Istri Ivan, Anne Kilton yang sedang hamil tua dulu pernah dijadikan korban persembahan pada setan.

Dan sampailah di ujung cerita kalau ternyata Anne Kilton ternyata adalah setan itu sendiri dan menyamar menjadi Marisol. Waktu itu Anne ternyata sempat melahirkan (yup, literally giving birth to a human baby, which sounds ridiculous), dan anak itu dibawa kabur sepasang suami-istri Kristen taat, dan diberi namaJAKE GRAY. Si mama setan ini membunuh semua keluarga Jake yang tersisa dan memaksa Jake meminum darah mereka untuk bisa menjadi setan seperti dirinya. Walau dipaksa dengan mulut dibuka dan digelontorkan secawan darah, batin Jake tetap menolak. Mama Setan "terperanjat" dan "menatap nanar" (eh ini sungguhan ada di filmnya lho). Keesokan paginya, Jake terbangun dengan mulut bersimbah darah dan dijemput polisi karena kasus pembunuhan berantai.

Saat dimasukkan ke dalam mobil polisi, Jake merenung. Benarkah ini hukuman dari setan karena dirinya tetap ingin menjadi manusia atau sebenarnya itu cuma halusinasi pembenaran di kepalanya karena memang dialah yang melakukan semua pembunuhan itu.

Sebenarnya plotnya aneh, apalagi representasi "Setan" adalah makhluk hitam bertanduk dengan kostum kulit dan berkuku panjang. Menurutku setan tidak seharusnya seharfiah itu. Setan lebih cocok disebut simbol ketimbang sebentuk fisik makhluk tertentu. Dan ide setan melahirkan anak manusia, hmmm, terlalu absurd. Lebih masuk akal kayak di Supernatural (Setan meneteskan darah mereka ke dalam mulut bayi-bayi terpilih) deh, menurut aku ya,...

Si Kangmas Jensen okeh sih mainnya, cuman dia karakternya serius dan tegang, seperti karakter Sammy di Supernatural gitu. Agak beda dengan karakter Dean yang dimainkannya yang sarkastik dan over-pede (tapi kereeeen!) Kurang bikin deg-degan sih, selain deg-degan lihat si mas Jensen, mungkin suasanan horornya bisa sedikit dipercantik (tapi bukan dengan sundel bolong atau kuntilanak ya?) Boleh deh dikasih 2,5 bintang dari 5 bintang.

Senin, Juni 06, 2011

Nona Besar

Dia lagi. Kulihat matanya begitu sendu. Menatap merayu langit untuk menghiburnya. Meratap pada angin agar tak henti mempermainkan ujung-ujung rambutnya yang hitam berkilau. Kulitnya begitu bersih, cantik, seperti ada kristal terpental saat matahari menyentuhnya. Tangannya erat menggenggam boneka cantik berambut pirang dan berbola mata biru. Ada gaun lebar berenda membalut tubuh mungil yang tergamit lengan ramping itu. Seakan kiamat akan tumpah ruah saat boneka itu lepas dari genggamannya.

Aku masih berjongkok di sini. Berteduh pada tanaman yang layu di ujung kemarau. Kuning daunnya rontok satu menyentuh pelipisku. Nona besar itu tetap berdiri. Kukuh tangannya menggenggam seulir besi tempa balkon yang dicat tembaga. Gaun putihnya terkibar-kibar. Wajahku langsung memerah saat sepasang paha malu-malu tertangkap indera. Seperti karya cipta porselen, cantik tapi rapuh, menggoda untuk disentuh.

Wajahnya kenapa jadi semendung itu? Apa ia menantang matahari yang sedang cerah-cerahnya kini? Mengapa tak juga kulihat sedikit senyum? Semestinya ada seulas lekukan di bibir molek itu. Tapi semuanya seperti tersedot oleh pusaran gelap yang merajai hatinya. Entah apa itu.

Ah, aku jadi tertunduk. Matanya menghujamiku. Pasti dia marah karena aku berani diam-diam mengaguminya. Saat kulihat kembali, matanya bergeming dengan setitik kabut melayari. Ah, ada kesedihankah di sana? Bolehkah sepasang tanganku yang kotor dan kasar ini menarikmu keluar dari belitan gundah yang tak henti merajam? Dia tak putus membisu. Yang terdengar malahan sorak sorai nakal, suitan bandel, dan teriakan cabul. Aku makin merah padam. Sampai mati takkan kau dapatkan bidadari itu, celetuk salah satunya. Aku lirik dia, dia tetap diam.

Dasar orang kampung, umpatku pada mereka. Orang kampung tolol, pantas saja kalian jadi kuli bangunan! Teriakku dalam hati.

Ah, lihat, dia jadi tersinggung. Aku hanya sempat melihat ujung gaunnya meliuk ditelan pintu dorong kamarnya. Apakah dia marah? Jangan-jangan malah menangis? Atau cuma tertawa miris mendengar candaan kampung barusan? Ah, nona besar yang tinggal di rumah besar, kenapa pergi? Aku menelan bulat-bulat kecewaku, bahkan makin menajam saat mandor tambun itu tak henti memuntahkan perintahnya.

***

Bintang, kenapa selalu datang di kala aku sudah kehabisan tenaga untuk menikmati indahmu? Malam yang sunyi selalu jadi hiburanku setelah lelah dihajar oleh pekerjaan. Angin membelai tubuhku yang tipis tapi uratnya nyata bertonjolan, kelam dibakar garangnya lentera dunia.

Kerinduan menyusupiku. Kerinduan tentang apa? Kampung halaman? Kisah masa lalu? Kenangan yang tak pernah lekang? Aku tak pernah bisa menggambarkannya lagi sejak pertama kulangkahkan kaki di kota yang bengis ini. Aku dikejar waktu, serasa tak cukup detik mengertik, aku selalu tertinggal. Dan aku makin lelah.

Aku terduduk segera. Pintu dorong di balkon itu tergeser. Nona besar kembali menyapa malam. Gaunnya masih putih walau rendanya lebih sedikit dan kainnya lebih tipis. Lekuk pinggulnya sesekali terpahat kala gaunnya mengerjap diterpa angin malam. Matanya masih menatap langit. Entah apa yang dicarinya pada padang maha luas itu. Kedamaian. Jawaban atas pertanyaan. Curahan kesedihan. Gelegar kemarahan. Guratan kekecewaan. Ah, wajah itu terlalu cantik untuk menyimpan sejuta dilema.

Kalau saja tanganku bisa terulur menggapainya. Jika di antara aku dan dia tak ada jurang curam penuh onak, aku akan memanjat dinding rumahnya hanya untuk sekedar mengecup bibirnya yang mungil. Mengelus rambutnya. Menggenggam jemarinya. Menenggelamkannya pada satu pelukan yang melindungi. Tapi kenyataanku pedas menampar. Bajuku terlalu kotor dan lusuh, bau semen dan wangi cat tembok. Belum lagi sisa keringat yang sudah mengerak dan debu yang menaburi. Apa pantas menjamah sosok indah itu? Mengecup matanya agar kesedihan lenyap ditelan kelam.

Nona besar memandangku. Tangannya belum lepas dari boneka Eropa itu. Bahkan boneka itu lebih elok dariku. Dia membelai rambut sang boneka seperti aku yang sedang dibelainya. Memang khayalan bisa melempar kita jauh ke angkasa. Begitu ringan tanpa beban.

Nona besar memejamkan matanya sebentar. Menyerap seluruh energi di semesta yang terpusat, lalu pelan-pelan dihembuskan menyebar menjadi partikel-partikel kecil. Dia menatap langit sekali lagi. Mengeratkan pelukan bonekanya. Seperti ada satu niat yang telah dipatrikan di kalbu yang entah ada di mana.

Hatiku tergerus saat mata nona besar menghujam menjadi lembut. Bagaimana bisa kesedihan itu jadi sirna saat dirinya menatap langit? Atau jangan-jangan dirikulah yang membuatnya jauh lebih kuat? Ah, kacung rendahan seperti aku mana bisa mempesonakannya. Mengeja tulisan saja sudah menghabiskan seluruh tenagaku, apalagi meraih hati seorang nona besar. Mimpi! Pergilah jauh-jauh dariku, mimpi!

Dan pintu dorong itu sekali lagi menelannya kembali dalam singgasana. Mungkin dia kembali ke ranjangnya yang empuk, menciumi wangi seprai yang segar mawar, membelai bantal berbulu angsa dengan selimut yang menghangatkan tiap porinya. Dan aku jatuh terbanting di atas hamparan kardus di tanah kasar. Bau semen masih menyergap. Mengingatkanku besok pagi masih banyak tembok bata yang harus dilulur. Dingin pun makin menusuk walau sehelai sarung kupaksa menutup tubuh ringkih ini.

Semoga saja aku bermimpi tentang kerinduan yang belum bisa kujabarkan sampai saat ini.

***

Nafasnya wangi berhembus melambai hidungku. Bisikannya gemulai di telingaku. Mendorong syaraf-syaraf menggeliatkan kelopak mata. Jantungku menggedor-gedor rangka hampir menjebol keluar. Darahku menderas berkali-kali lebih cepat.

Nona besar berdiri di tanah tempatku berpijak, bukan lagi di sangga balkon angkuh itu. Wanginya semerbak. Wajahnya begitu membekukanku.

“Katakan kau mencintaiku,”

“Katakan kau menginginkanku,”

“Katakan tak sedetik pun kau bisa melupakanku,”

Nona besar menatapku lembut. Dengkulku kupaksa bangkit, getarnya tak juga mereda. Dia ada di hadapanku. Apa cuma mimpi? Tapi dinginnya tak kurang menggigit. Bibirnya mengucapkan serentetan kalimat seperti mantra yang mengikatku.

Bibirku hanya bergerak-gerak. Tenggorokan seperti kadaluarsa tanpa suara. Kulihat teman-temanku. Semua terlelap. Tak ada satu pun yang menyadarinya.

Satu persatu dilepaskannya semua. Jubah tidurnya yang terbuat dari satin. Aku tersentak. Tubuh moleknya ada di hadapanku. Aku menahan napas saat gaun tidur brokat warna gading itu luruh dicium bumi. Semuanya seperti terjebak dalam gerakan lambat. Bahkan aku bisa mendengar degup jantungnya. Juga jantungku. Tubuhnya seperti batu pualam yang dipahat dengan seksama. Benar-benar mahakarya sang pencipta.

“Apa kau tak ingin memilikiku?”

Ya! Aku mau! Gila kalau aku menolak! Tapi itu hanya tersendat sampai ujung lidah. Aku malah mundur selangkah. Kerinduan yang sedetik lalu tak henti untuk diartikan mulai menjeratku. Bayangan-bayangan dengan cepat silih berganti memenuhi benakku. Membuatnya sesak.

Aku jatuh terduduk. Tubuh polosnya menggigil diterpa angin. Dia menatapku penuh harap. Menatapku meminta iba. Jamahlah aku, sentuhlah aku! Mungkin itu arti tatapannya.

Dia menangis. Air matanya berleleran. Tubuhnya berguncang. Aku ingin menghiburnya. Badanku telanjur beku. Aku hanya diam menatapnya. Ia makin mengisak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar tolol. Bahkan aku tak mampu menggerakkan kaki untuk mengejarnya ketika sosoknya menjauh. Lenyap dalam sekejap. Ditelan pintu jati yang kokoh dengan gerendel emas.

***

Ah, matahari tak jua makin ramah. Sinarnya menyengat. Pasti sudah tengah hari. Kenapa tak ada yang membangunkanku? Kepalaku agak pening. Tubuhku serasa berat. Terhuyung-huyung aku mencari teman-temanku. Mereka bergerombol. Bercanda. Rupanya mandor bongsor itu absen. Kami jadi bisa bekerja lebih santai.

Aku tak memusingkan itu. Aku memikirkan semalam. Apakah itu mimpi? Atau kenyataan yang terwujud begitu ajaib? Nona besar datang menghampiriku. Menyerahkan seluruh dirinya tanpa kecuali. Apa artinya? Aku seperti dibebat oleh kerinduan di hati yang tak bisa disusun dalam runut aksara.

Rumah besar di hadapan proyek rumah yang sedang kukerjakan terlihat beberapa orang lebih banyak dari biasanya. Apa nona besar sedang mengadakan hajatan? Aku ingin menghambur ke sana. Mencari tahu apa.

Dan dalam sedetik semuanya menjadi jelas. Nona besar keluar gerbang yang selama ini mengungkungnya. Dengan balutan kebaya brokat sulaman benang emas, konde besar bertahta kembang goyang dan ronce melati. Di sebelahnya menggamit seorang lelaki setengah baya dengan beskap berwarna sama lengkap dengan blangkon dan keris di punggung. Matanya tak juga berhenti menatap mata nona besar seperti hendak melumatnya. Perutnya yang bergelambir ikut bergoyang senang menerima ucapan selamat. Mata nona besar yang lentik basah. Leleran sendunya melunturkan maskara hitamnya. Dia menatapku. Seperti ada sejuta penjelasan memberondongiku. Aku tertegun. Kenapa mata itu masih berteriak minta iba padaku?

Tangan nona besar terangkat. Masih menggenggam boneka berambut pirang yang bergaun renda putih. Dilemparnya ke arahku sekuat tenaga. Ujung hidungnya yang mancung mencium jempolku. Nona besar tak melihatku lagi saat jaguar hitam itu menelannya.

Kuraih boneka itu. Kulihat mobil itu yang terus menjauh. Kutatap keduanya bergantian. Ada sesak yang menghimpit dadaku. Namun, perlahan mulai melega kembali. Boneka ini cantik sekali. Pasti si Eneng suka jika kubawa pulang. Bukankah dia tak henti merengek minta dibelikan boneka? Upah kuliku belum tentu bisa membelikan yang sebagus ini. Semoga saja ibunya Eneng tak banyak tanya asal boneka ini. Langit di atas masih terik. Aku mulai menghitung hari untuk menjejakkan kaki di rumah petakku. Memeluk anak semata wayang yang kegirangan oleh hadiah dari kota. Itukah kerinduanku selama ini?

***

Tangerang, 26 November 2004
Muat Harian Riau Mandiri tgl. 28 November 2004

Bapak Pulang

Tak ada yang bisa melebihi keterkejutanku saat ini. Tak ada firasat apa pun. Sosok tinggi kurus itu entah bagaimana bisa berdiri di depan pintu rumahku. Tak cuma aku. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Kami terpana beberapa detik karenanya.

“Bapak? Bapak pulang?” cuma itu yang terlontar dari bibirku.

Akhirnya bapak pulang. Setelah enam belas tahun kakinya tak pernah menjejak lagi di rumah ini. Batang hidungnya tak pernah kulihat selama dua windu. Bahkan aku hampir lupa bagaimana wajah bapak.

Sekarang bapak tiba-tiba muncul. Kenangan lama yang sengaja kusimpan rapat seperti slide film berputar dengan cepat. Menatap wajah bapak membuat segala rasa yang selama ini kutahan tumpah ruah. Marah. Benci. Kecewa. Dendam. Entah bagaimana rupa hatiku saat ini.

“Nur?” bapak memanggilku.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Bapak terlihat sangat kurus. Cuma tinggal kulit membalut tulang. Wajahnya juga menyiratkan kelelahan luar biasa, seakan hidup bapak habis untuk merenda penderitaan. Aku cuma tertegun memandang bapak. Ya Allah, itu bapakku.

“Mau apa bapak pulang?”

Itulah yang akhirnya tercetus dari bibirku. Bibirku sempat membisu. Luka di hatiku kini berdarah lagi. Apa bapak pulang untuk menambah panjang daftar kekecewaanku lagi? Apa bapak pulang untuk menguras air mata ibu lagi?

“Nur, biarkan bapakmu masuk dulu. Istirahat dulu. Jangan galak begitu,” ibu berusaha menengahi. Menyambut bapak pulang. Mempersilakan bapak selayaknya tamu kehormatan.

Ah, ibu. Ibu rupanya sudah sembuh dari luka lama itu sampai bisa bersikap ramah pada bapak. Apa ibu lupa apa yang sudah bapak lakukan pada kita? Enam belas tahun lalu, aku masih kelas tiga SD, masih terlalu kecil untuk mengerti, bapak telah menyakiti kita. Apa ibu sudah memaafkan bapak yang tidak ada angin tak ada hujan meninggalkan kita? Kita ini kurang apa, bu? Kita menyayangi bapak. Aku selalu patuh. Ibu juga sudah menjadi istri yang baik. Tapi kenapa bapak lebih menyayangi perempuan muda yang membuka warung di seberang rumah kita itu? Apa ibu tidak sakit hati ketika bapak kabur dengan perempuan itu? Apa surat cerai yang bapak layangkan sanggup menyembuhkan luka hati ibu?

“Bagaimana kabar, mas?” tanya ibu. Aku melengos.

“Baik,”

Baik? Cuma itu? Apa bapak selama ini belum dapat ganjaran atas apa yang bapak lakukan padaku dan ibu? Kenapa Allah begitu baik pada bapak?

Tapi entah kenapa, bapak terlihat lain. Bapak kuyu. Sepertinya sangat lelah. Badan bapak juga menyusut drastis. Helai-helai uban juga mulai mengakar. Sosok bapak terlihat ringkih. Mengingatkanku pada sepotong ranting yang dipatahkan angin dan terbang entah ke mana.

“Kabar Siti bagaimana?”

Aku lebih terperangah. Buat apa ibu menanyakan kabar perempuan itu? Aku saja tidak sudi mendengar namanya. Namanya saja yang bagus, tapi kelakuannya jahat. Dia merebut bapak dariku dan ibu. Sikapnya yang ramah cuma akal bulus untuk menjerat bapak. Untuk menipu ibu dan aku. Seakan sudah habis lelaki di dunia sehingga perempuan itu mengambil bapak dari kami.

“Suci baik. Dia di rumah. Sengaja tidak kuajak,” jawab bapak lirih.

Baguslah. Untung perempuan itu tidak ikut. Mungkin wajahnya sudah kutampar sekuat tenaga. Aku benci perempuan itu. Perempuan yang tega membuatku dan ibu jadi merana.

Ya Allah, kenapa aku begini jahat? Apa sakit hati telah menggerogoti kemanusiaanku? Mau dikata apa. Penderitaan selama ini membuat kenangan bapak adalah petaka di ingatanku. Dan kenangan ini menyulut nyala api kemarahan yang kujaga tetap redup di hati

“Nur, bagaimana sekolahmu? Kamu sekolah sampai tingkat apa?” tanya bapak, “maaf, bapak jarang memperhatikan sekolahmu.”

Darahku mulai mendidih. Apa bapak kira aku drop-out dan jadi gelandangan sepeninggal bapak? Tidak! Aku sanggup menyelesaikan semua sampai tamat kuliah. Semua kujalani. Belajar sampai tengah malam. Mengejar segala macam beasiswa dengan tertatih-tatih. Sampai hilang masa kanakku. Sampai aku tak tahu rasanya tawa anak remaja. Yang kutahu bagaimana meraih nilai terbaik, sekaligus terjun ke usaha katering ibu demi satu dua lembar rupiah. Semua demi ibu. Supaya penderitaan ibu lebih berkurang. Supaya ibu bisa tersenyum dan membanggakanku.

Tidak seperti bapak yang hanya bisa membuat ibu menangis.

“Tanpa bapak pun, aku bisa jadi insinyur.” Aku menjawab ketus. Tapi perih di hatiku lebih menyiksa.

“Alhamdulillah,” ucap bapak jauh lebih lirih.

Sebenarnya aku tidak tega. Sosok di hadapanku itu, tak dapat kupungkiri, memang sangat kurindukan. Tapi bila kuingat apa yang telah bapak lakukan,…

“Nur, maafkan bapak.”

Astaghfirullah, aku tak sanggup melihat sebutir air mata turun di pipi bapak yang cekung.

“Bapak pulang untuk minta maaf padaku?” tanyaku dengan sorot mata tajam.

Bapak menatap ibu. Dalam tatapan mereka, masih kutemukan sisa cinta yang nyalanya sangat redup. Entah di mataku sendiri masih ada cinta untuk bapak. Aku ingin mencintai bapak, tapi kesedihanku selama ini membentengiku dari rasa itu.

“Bapak pulang untuk jadi wali nikahmu,”

Gelegar petir serasa menyambar dan membelahku jadi dua. Jadi wali nikahku? Bapak tidak ingat apa yang telah dilakukan padaku dan ibu. Ke mana bapak ketika aku membutuhkan kasih sayangmu? Ke mana bapak ketika kami butuh perlindungan? Ke mana bapak selama ini? Bagaimana bisa bapak menagih hak itu? Hak itu telah lenyap tepat saat bapak melangkahkan kaki keluar dari kehidupan kami.

“Kamu mau, Nur?” tanya bapak. Memohon tepatnya.

Aku bangkit dari dudukku. Bibirku beku. Rasanya ingin marah. Tetapi menatap mata yang rapuh itu, aku tidak tega. Yang ada cuma air mata. Meluncur mulus membasahi pipiku. Harus kujawab apa? Aku cuma bisa tersuruk menangis di atas kasur, sendiri.

***

Aku melipat mukena sekenanya. Baru waktu maghrib mulai menjauh menjelang isya. Ibu berdiri di depan pintu kamarku. Beliau khawatir. Maklum, sejak bapak pulang, aku mengunci diri. Aku tak mampu berbohong pada ibu. Juga tak tahu apa lagi yang harus kulakukan.

“Nur, ibu minta maaf.” Ibu membelai kepalaku lembut.

“Maaf apa, bu?”

“Ibu yang kemarin mengirim undangan nikahmu ke rumah bapak,”

Aku terhenyak. Ibu?

“Ibu enggak tega, Nur, melihat kamu menikah tanpa didampingi wali yang seharusnya. Ibu enggak mau kamu mengingkari bapakmu sendiri. Bapak masih hidup, kamu tahu itu, kenapa kamu harus meminta wali hakim?”

“Tapi bapak sudah menyakiti aku, bu. Apa ibu lupa? Bapak meninggalkan ibu untuk perempuan lain. Bapak menceraikan ibu. Kita ditelantarkan. Apa ibu lupa gimana susahnya ibu kerja untuk menghidupi kita? Aku yang harus mati-matian hidup dari beasiswa. Baju pun menunggu sumbangan dari saudara. Kita ini hidup melarat karena bapak. Kita nelangsa begini ulah bapak. Kenapa sekarang aku enggak boleh marah? Kenapa sekarang aku enggak boleh menolak permintaan bapak?”

“Bapakmu khilaf. Namanya juga manusia. Kamu toh juga pernah berbuat dosa, kan? Nur, maafkan bapak. Ibu saja sudah ikhlas. Lagipula, biar kamu benci bapakmu seumur hidup, toh tidak akan mengubah nasib. Malah kamu sendiri yang capek,”

“Tapi di sini masih sakit,” ujarku sambil menunjuk dada, “aku enggak rela kalau bapak jadi waliku. Aku malu, bu. Mas Gunadi, calon suamiku, mau bilang apa aku sama dia?”

“Gunadi pasti ngerti, Nur. Dia menikahimu kan lillahi ta’ala. Saat dia bulat tekad untuk melamarmu, dia pasti sudah siap segala resikonya. Menerima kamu utuh apa adanya. Barusan ibu telepon dia. Dia mengerti dan maklum. Bahkan dia sangat senang mendengar bapakmu sendiri yang akan menjadi walimu,”

“Kenapa bapak menuntut haknya? Ke mana dia ketika harus menunaikan kewajibannya pada kita?”

“Ini juga termasuk kewajiban bapak terhadap anak perempuannya. Menjadi wali nikah. Maafkan bapakmu, Nur. Allah saja bisa mengampuni dosa umatnya. Kamu yang manusia biasa malah tidak mau. Maafkan bapakmu, ya? Ijinkan dia jadi walimu.”

Aku diam. Air mataku terus berleleran tanpa henti. Bapak benar-benar pulang tepat waktu. Lusa aku akan menikah. Lusa pula bapak akan melepaskanku. Mempercayakan kebaikanku pada Mas Gunadi. Setelah apa yang terjadi selama ini. Bapak, bapak, kenapa kepulanganmu membuat semuanya jadi serba salah?

***

Aku tak sanggup menatap para tamu. Bahkan aku tak sanggup menatap wajah calon suamiku. Seperti ada beban yang tengah kupanggul. Aku cuma menunduk menatap ujung kebaya putihku. Akhirnya bapak bersanding dengan kami semua. Kukabulkan keinginannya. Biarlah bapak menunaikan kewajiban terakhirnya. Walaupun ratusan kewajiban sempat lalai, tapi biarlah bapak menikahkanku. Toh memang itulah kewajibannya.

“Saya,… saya,…” bibir bapak gemetaran.

Kuberanikan melihatnya. Binar matanya terhalang selaput bening air mata yang hampir jatuh. Bapak menatapku. Bapak menitikkan air matanya untukku.

“Saya nikahkan,… Gunadi Bin Margono dengan,… Nurmi binti Aidin,… dengan,… mas kawin,… se,… seper,… seperangkat alat sholat dibayar,… tunai,”

Ada kelegaan luar biasa ketika bapak tuntas menyatakan kalimat itu. Jantungku makin berdegup kencang. Darahku mengalir dengan cepat. Aku bahkan tak sanggup menenangkan jemariku yang terus bergetar.

“Saya terima nikahnya Nurmi binti Aidin dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai,” jawab Mas Gunadi mantap.

Alhamdulillah. Suara bapak membacakan ijab dan mas Gunadi membaca kalimat kabul, merontokkan seluruh benteng besi yang menaungiku. Kutatap wajah bapak. Lagi-lagi ada air mata. Entah kenapa bapak menangis. Mungkin karena akhirnya bisa menunaikan kewajiban menikahkanku. Atau karena merasa bersalah padaku. Atau mungkin juga air mata penyesalan. Bapak tersenyum menatapku. Senyumnya tulus. Beban yang kulihat menggelayuti matanya mulai sirna. Mungkin bapak lega karena ada Mas Gunadi yang akan selalu menjagaku. Mungkin juga lega akhirnya bisa memberikan kewajiban terakhirnya.

Aku ikhlas, pak. Aku senang bapak pulang. Walau kelihatannya aku sangat membenci bapak, tapi tidak ada yang tahu seperti apa kerinduanku padamu. Bapak, semoga kepulangan ini membawa berkah untuk semuanya.

***

“Nurmi, anak ibu,…” ibu menggenggam erat tanganku. Menatapku penuh haru. Susah payah air matanya ditahan. Aku hanya bisa memeluknya.

“Kamu cantik sekali, nak.”

“Ibu,…”

“Terima kasih, kamu akhirnya ikhlas dinikahkan oleh bapakmu sendiri. Apa artinya kamu sudah memaafkan bapak?”

“Insya Allah, bu.”

Mataku berkeliling di antara tamu-tamu yang menghadiri walimah di rumah kecil ini. Sanak keluarga dan handai taulan datang ke acara sederhana ini. Tapi kenapa tak kutemukan sosok bapak? Ke mana bapak?

“Bu, bapak mana?”

“Bapak pulang, nak.”

“Pulang?”

“Iya, kewajibannya kan sudah selesai untuk menikahkanmu. Makanya bapak langsung pulang. Bapak masih merasa bersalah padamu. Ia tidak tega menghapus senyum kebahagiaan di hari pernikahanmu ini.”

“Tapi bapak belum pamit,”

“Tadi bapakmu sudah pamit sama ibu, juga Gunadi. Bapak enggak berani pamit sama kamu. Takutnya kamu emosional lagi.”

“Aku kan belum minta maaf sama bapak atas kelakuanku kemarin, bu.”

“Bapak akan selalu memaafkan kesalahanmu, sekecil apapun itu. Makanya maafkan bapak. Lupakan semua ulahnya dulu. Toh, selamanya bapak akan selalu jadi bapakmu, kan?”

Aku mengangguk. Kucari lagi sosok bapak di antara tamu. Tapi bapak lenyap bagai ditelan bumi. Padahal, aku belum sempat minta maaf. Padahal, aku belum sempat melepaskan rasa kangen yang sejak lama memelukku. Padahal, aku belum puas mereguk kasih seorang bapak. Aku ingin sekali mencium tangan beliau. Ingin memberitahu bapak betapa aku sangat menyayanginya.

Bapak, pulanglah kembali ke rumah. Nurmi kesayanganmu ini akan selalu menerimamu.

***

Entahlah. Dua minggu lewat, aku tak mendengar kabar apa pun dari bapak. Bapak yang entah ke mana tanpa bilang apa-apa. Biarlah. Aku terbiasa menahan kerinduanku pada bapak. Tapi entah sampai kapan aku sanggup menyembunyikan kerinduanku ini. Dalam darahku mengalir darah bapak juga. Sebesar apa pun dosanya takkan mungkin tidak kumaafkan. Aku hanya ingin bapak pulang. Pulang kembali ke rumah ini.

Aku baru saja menyiapkan sarapan untuk mas Gunadi. Belum ada jam enam pagi. Telepon sudah berdering memecah sunyi.

“Assalamu’alaikum,” sapaku.

Tidak ada jawaban. Yang di seberang cuma terisak-isak sedih. Aku mengernyitkan dahi. Mas Gunadi mengalihkan pandangan dari koran yang dipegangnya. Ibu juga ikut menatapku. Aku sendiri bingung.

“Assalamu’alaikum?” ulangku.

“Sa,… salam lekum,… ini mbak Mimin, ya?” jawabnya sembari terisak.

“Bukan, ini Nurmi, anaknya. Ini siapa?”

“Nurmi? Ini Siti, masih ingat sama saya?”

Aku terdiam. Harus kujawab apa? Apa harus kubentak-bentak, kucaci maki, lalu kubanting teleponnya? Atau harus kujawab penuh keriangan seolah tak pernah ada apa-apa?

“Ada apa?” tanyaku datar. Dingin.

“Mas Aidin, Nur,… bapakmu.”

Perasaan tidak enak menyergapku. Seperti firasat yang mengacaukan degup jantungku dan mulai mengacak-acak isi perutku.

“Kenapa bapak?”

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Nur, bapakmu pulang kembali ke rumah Gusti Allah.”

“Bohong!”

“Saya enggak bohong, Nur. Baru sejam yang lalu.”

“Bohong!”

Mas Gunadi dan ibu menghampiriku yang berteriak histeris. Memegangi lenganku yang gemetaran.

“Apa bapakmu enggak pernah cerita, Nur? Bapakmu lima tahun ini mengidap kanker paru-paru. Dokter memvonis tidak ada harapan. Makanya bapakmu ngotot,… nekad untuk jadi wali nikahmu,…”

Gagang telepon itu lunglai ke bawah. Seperti aku yang jatuh terduduk lemas. Pikiranku melayang entah ke mana.

“Halo? Halo?”

“Nur, kamu kenapa? Nur,…”

“Istighfar, Nur. Istighfar,…”

“Halo?”

Suara-suara meracau di telingaku. Aku menatap langit-langit yang kosong. Tiba-tiba wajah bapak timbul tenggelam. Mulai menari-nari memutar kembali memori. Bapak yang pernah kubenci. Bapak yang tak henti kusayangi.

Bapak pulang,…

***

(didedikasikan untuk keluarga yang pernah terluka : selamat atas kesembuhannya)

Tangerang, 25 Agustus 2004

Antologi “Sahabat Pelangi” terbitan Lingkar Pena Publishing House, 2005