Powered By Blogger

Minggu, Desember 09, 2012

Berlian di Hati Tejo


Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Tejo teringat kalimat Dinda. Istrinya waktu itu pasti kecewa. Ia tak mendampinginya melahirkan di klinik bidan seberang kompleks kawasan industri. Ia meringkuk semalam di kantor polisi akibat berkelahi dengan atasan. Andai Dinda tahu, betapa Tejo merindukannya. Dinda selalu bisa melembutkan hatinya yang keras. Saat Dinda menyerah di ranjang rumah sakit karena demam berdarah, ia menitipkan Berlian, putri semata wayang mereka, untuk meneruskan tugasnya melembutkan hati Tejo.
Semburat jingga menyebar di penjuru langit. Tejo sesekali berjalan miring dan mengucap permisi agar tak menabrak orang saat melewati selasar sempit menuju kontrakan. Samar tercium bau deterjen dari rentetan cucian yang digantung sejajar pintu-pintu petakan.
Kontrakannya hanya empat kali enam meter. Ruang tamunya hanya diisi televisi mungil dan tiga bingkai berdebu yang tergantung layu. Senyum manis Dinda menyambutnya di balik kaca bingkai itu. Persis di balik ruang tamu, ada kamar berisi ranjang susun, yang terbawah untuknya, yang teratas untuk Berlian. Di samping ranjang, ada lemari kayu lapuk dan meja belajar usang.
“Ada teman-teman ayah mampir. Tolong bikin kopi ya?”
“Iya, tapi listriknya mati. Aku belum isi bak di kamar mandi.”
Tejo menghela napas. Sebulan lalu, petugas PLN memergoki banyak yang mencuri listrik di sekitar sini. Sejak itu listrik kadang menyala, lebih sering tidak. Pak Sunu, induk semangnya, malah didenda enam juta karena ketahuan mencuri juga. Diliriknya buku-buku di meja belajar Berlian. Kasihan Berlian kalau mengerjakan PR hanya ditemani lilin.
“Gampang, mandinya nanti saja.” ujar Tejo kembali ke ruang tamu. Bang Hendi, Mas Pram, dan Gimin sudah selonjor santai di sana.
“Rosyid sudah keterlaluan.” Gimin menimpali. “Kita harus bertindak!”
“Jadi apa rencanamu, Jo?“ tanya Bang Hendi menyulut rokok.
“Mestinya diskusi dulu dengan serikat pekerja. Semua ada prosedurnya, jangan sembarangan.” Mas Pram berusaha menengahi.
“SP dikendalikan Rosyid. Persis boneka. Nggak ada yang belain kita,” ujar Tejo.
“Mas Pram tahu sendiri banyak tunjangan disunat. Waktu istri Romi di-caesar, cuma dapat ganti lima ratus ribu. Padahal sesuai aturan perusahaan, Romi bisa dapat penggantian enam juta. Banyak juga kasus tunjangan keluarga ditilep,” ujar Gimin.
“Kalau waktu itu Rosyid nggak ngaku-ngaku, aku yang dapat bonus itu. Aku bisa belikan Berlian sepatu dan baju baru,” sergah Tejo teringat insidennya saat membuat efisiensi sistem produksi dari output 50.000 unit rangka lampu motor menjadi 80.000. Untuk diajukan ke bos besar, ia butuh tanda tangan Rosyid sebagai manager utama. Ia taruh konsep itu di meja Rosyid. Tak lama, Rosyidlah yang diberi bonus uang berkat rancangan efisiensi yang persis rancangan Tejo. Tejo naik pitam. Adu mulut tak terhindarkan. Wajah Rosyid pias saat tinju Tejo hampir mendarat di pipinya. Untung saja ia dihalangi buruh lainnya.
 “Kalau kamu dipecat, apa Berlian masih bisa sekolah?” sela Mas Pram.
Tejo terdiam. Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
“Om-om, silakan kopinya,” Berlian membawa empat cangkir kopi. Tejo menatap mata bening Berlian, lalu beralih menatap isi cangkir. Kopi hitam pekat itu bergerak memutar karena sisa adukan. Seperti itukah masa depan Berlian? Hitam dan berputar-putar mengulang pahit yang dicecap orang tuanya?
“Kita harus demo. Kumpulkan bukti-bukti, termasuk dari anak training yang sering dimintai uang supaya jadi karyawan tetap,” Gimin membuyarkan lamunan Tejo.  “Slip-slip gaji bermasalah difotokopi. Bikin petisi minta Rosyid mundur dan rencana lapangannya. Hati-hati, jangan bocor ke Sarno si penjilat!”
“Jo, konsekuensinya berat. Kamu bisa dipecat karena jadi korlap. Tahu sendiri Rosyid sentimen sama kamu. Salah gerak, kamu bisa out,” Mas Pram mengingatkan.
“Mas mau gaji kita cuma UMR tapi beban kerja tinggi. Lembur tanpa uang lembur. Mati pelan-pelan namanya,” bantah Tejo, “Walau cuma kuli pabrik, kita bukan kuli goblok yang bisa dikendalikan seenaknya.”
“Oke, kamu bikin konsepnya, kita yang jalankan. Kita serahkan semuanya sama kamu,” ujar Bang Hendi.
Ada kilat semangat di mata Tejo saat menatap mereka. Sepuluh sampai dua belas jam digerus kerja fisik tiap hari membuat mereka lebih tua dari usia sebenarnya. Kelelahan memakan habis harapan mereka. Hanya ia yang bisa mengubah keadaan.
“Ayah, lampunya sudah nyala!” teriak Berlian girang dari dalam kamar.
***

Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Kalimat itu mampu melirihkan gumaman teman-temannya yang bergerombol di depan pabrik. Hampir saja megaphone di tangannya jatuh ke tanah. Ia seperti melayang ke awan yang mendesak-desak langit, seperti kerumunan yang kini mendesak-desaknya. Mereka membawa spanduk dan karton bertuliskan provokasi pemecatan Rosyid.
“Jo, belum telat untuk berdiplomasi. Banyak yang dipertaruhkan,“ ujar Mas Pram.
Tejo tak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya ingat wajah Berlian saat menyodorkan surat dari sekolah. Surat itu meminta Tejo menemui kepala sekolah untuk membahas kemajuan pendidikan Berlian tanpa jelas apa masalahnya. Baru Tejo akan bertanya, Berlian telanjur tertunduk. Ia jadi tak tega. Apa nilai Berlian merosot karena lampu di kontrakan terlalu sering mati? Apa karena bayaran sekolahnya yang sudah telat dua bulan?
“Hari ini ayah nggak bisa. Ada demo di pabrik. Bilang sama kepala sekolah, ayah datang besok pagi. Gimana?”
“Janji ya Yah?”
“Jo!” ujar Mas Pram.Lamunannya terbang ditiup angin.Tangannya terkepal kuat.
“Iya, Mas. Ini buat kita-kita juga kan. Buat anak saya. Buat anak-anak Mas Pram juga,” jawabnya gemetar seakan mempertanyakan keyakinannya sendiri.
Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Tejo menaiki undakan untuk berorasi. Megaphone di tangannya kini mengacung di udara. Kata-katanya meluncur menyirami semangat kawan-kawan seperjuangan. Spanduk dan karton teracung tinggi, tak peduli matahari memanggang ubun-ubun mereka. Dari posisi yang lebih tinggi, Tejo mendongak menjawab bisikan istrinya ke arah langit. Dinda, mungkin seorang bapak harus keras hatinya demi masa depan putrinya.
Gerombolan buruh berubah menjadi ombak panas yang menghantam kokohnya gerbang pabrik. Semuanya mulai tak terkendali. Di kejauhan sirine truk polisi memuntahkan belasan petugas. Ketika seragam cokelat susu buruh berbaur dengan seragam coklat polisi, Tejo tak sanggup lagi membedakan wajah dan suara. Semuanya berteriak. Benda-benda beterbangan. Spanduk dan karton melayang. Ada batu terpental membentur perisai polisi. Entah siapa yang melempar. Tejo menjatuhkan megaphone-nya dan berusaha memisahkan pergulatan di depannya.
Kerah bajunya ditarik. Tak lama, ia didorong kuat dari belakang sampai terjerembab dan dagunya terparut aspal. Sebuah laras hitam tak henti menumbuknya. Lengan kiri. Punggung atas. Pinggang. Betis. Lalu lengannya lagi. Warna hitam pentungan itu tiba-tiba ikut melunturi warna-warna di sekelilingnya.
 Hanya suara Janji ya Yah?” terngiang di telinga. Suara itu memudar seiring ditelan pandangan hitam pekat.
***
Berlian bangkit dari tempat tidurnya. Ia tak bisa tidur semalaman. Ranjang Ayah masih rapi tanpa ada kerut bekas ditiduri. Sepatu kerja ayah yang biasa ditaruh di balik pintu juga tidak ada. Ayah belum pulang.
Hari ini ayah janji akan ke sekolah bersamanya. Sengaja ia tak bercerita bagaimana dirinya lolos ujian seleksi beasiswa sebuah bank swasta. Ia ingin membuat kejutan untuk ayah. Ia ingin melihat wajah bangga ayah karena tak perlu lagi membayar uang sekolah dan buku sampai lulus SD berkat beasiswa itu. 
Berlian melongok ke arah gang kecil di depan kontrakan. Ia ingin sekali meminta ayahnya untuk tidak berdemo di pabrik. Tapi wajah ayah begitu keras, sekeras niatnya. Mana berani ia membujuk ayah. Melunakkan hati ayah yang keras? Mana mungkin ia bisa. Ditemani ujung rok merahnya yang mulai pudar, Berlian hanya bisa duduk di pintu menunggu ayahnya pulang sambil ditemani suara detik jam yang terasa makin lambat.
***
 Tangerang, 17 April 2008
Pemenang 1 Lomba Cerpen Ummi. Muat edisi November 2012

Kamis, September 13, 2012

2 Cerpenku di #CeritaSahabat2


Cerita Sahabat 2 adalah rangkaian kedua dari proyek menulis yang digawangi oleh Mbak Alberthiene Endah. Setelah KumCer Cerita Sahabat 1 terbit di tahun 2011 dan menuai kesuksesan luar biasa, di tahun 2012 dilanjutkanlah proyek #CeritaSahabat2. Kali ini tema yang diusung adalah Cinta dan Kesetiaan.

#Wordisme adalah awal perkenalan "fisik" pertama saya dengan Mbak AE, begitu beliau biasa disebut. #Wordisme adalah acara jumpa penulis di mana para penulis senior terlibat dalam berbagai sesi berbagi pengalaman. Nah, dalam acara itu saya berkenalan "fisik" dengan Mbak AE, Alex Thian, Jia Effendie, dan banyak penggiat dunia menulis yang cukup aktif di linimasa.

Singkat kata, Mbak AE menghubungi saya, lagi-lagi via twitter untuk bergabung dalam project ini. Kalo ditanya bagaimana perasaan saya waktu itu, tentu senang girang bukan kepalang dong! Dengan berbekal satu cerpen yang masih tersimpan manis dalam folder laptop - Lelaki yang Dicintai Istriku - dan satu cerpen baru yang sengaja ditulis untuk meramaikan antologi ini - Meja Rias Mama, maka awal Juli lalu terbitlah Kumpulan Cerpen #CeritaSahabat2 - Asmara Dini Hari by Alberthiene Endah and friends. Selain saya, ada banyak penulis lama dan baru yang terlibat di buku ini. Jadi nggak diragukan lagi, buku ini kaya warna, tapi napas romantisnya tetap terjaga.

Berikut kutipan cerpen Lelaki yang Dicintai Istriku di Kumpulan Cerpen ini.
Tamu istimewa. Dialah alasan kenapa aku enggan pulang. Entah sudah berapa lama aku dan dia tenggelam dalam persaingan ini. Aku tidak ingat pastinya. Mungkin kami sudah bersaing sejak aku bertemu dengan Ema, gadis yang telah menjadi semestaku seumur hidup.
Siapa pun yang mengenal Ema pasti akan jatuh cinta. Pernahkah kau merasa, saat kau  seorang melihat wanita, duniamu terasa berhenti. Seakan udara berjejalan memasuki rongga hidung, seakan kau hampir mati kehabisan napas. Dia tersenyum dan sekejap kau merasa ada di surga. Bukankah memang di sana bidadari tinggal? Dan dari surga, kau langsung terjatuh, jatuh limbung tanpa peduli di mana kau akan mendarat atau sesakit apa kau nanti jadinya.
Ema seperti bunga kapas yang mengayun ringan tertiup angin, begitu rapuh dan lembut. Ia juga serupa embun yang bergulir dari daun yang tak lagi kuat menahan beratnya, lalu jatuh ke bumi. Memberikan wangi segar di tengah tanah yang basah oleh hujan semalam.
Hanya saja, masalahnya kepada siapa Ema menitipkan hatinya.


Berikut kutipan cerpen kedua yang dimuat di Kumcer ini, judulnya Meja Rias Mama
Sebuah meja rias. Meja rias kayu jati tua dan antik. Ada masing-masing tiga laci sorong di sebelah kanan dan kiri. Cermin besarnya dibingkai kayu jati. Di sekelilingnya bertatahkan bohlam-bohlam putih. Aroma tua dan lapuk makin terasa menyengat, tapi lelaki tua itu tak peduli. Meja itu bersih tanpa ada benda apa pun diletakkan di atasnya.
Setiap hari lelaki tua itu mengelapnya sendiri. Dengan kain lap lembut dan cairan pengilap khusus mebel antik, ia menyeka setiap celah yang tersembul atau tersembunyi. Seakan ia mencurahkan semua perasaan cinta yang ada di hatinya pada meja rias itu. Bukankah itu mengerikan? Perasaan cinta seharusnya dicurahkan pada seseorang, bukan benda. Entahlah, sejak kepergian istrinya, rasanya lebih mudah merawat dan menyayangi benda-benda. Setidaknya benda-benda, termasuk meja rias ini, tetap ada di sini menemaninya selama lebih dari dua puluh tahun. Sedangkan manusia, bisa datang dan pergi. Saat pergi, mereka akan meninggalkan lubang di hati yang butuh entah berapa tahun cahaya untuk bisa menggenapinya kembali seperti semula.
Termasuk putri tunggalnya. Takdir manusia memang menikah dan mendirikan kerajaannya sendiri. Putrinya sudah membeli istananya sendiri,  dan siap mengarungi hidup bersama suaminya. Tanpa dirinya. Tanpa sang ayah yang diam-diam mencintainya, tapi tak sanggup menjabarkannya dalam kata.

Penasaran sama kelanjutan ceritanya? Yuk beli bukunya dan nikmati indahnya kisah-kisah cinta yang sebenarnya sederhana, tapi kebutuhan akan kesetiaan memperumitnya. Saya menunggu komen dan ulasannya ya? ;)

Senin, Maret 26, 2012

Holiday Writing Challenge - Rooftop Sunset

Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Seren yang dulu, sekretaris divisi ekspor-impor di perusahaan Jepang, yang tak membiarkan ujung bajunya kusut atau terlipat, yang selalu rapi tanpa cela dengan blush on dan pulas lipstick menghiasi wajah. Aku sekarang Miss Seren, seorang guru baru yang sederhana, dengan seragam kemeja putih dan rok biru gelap bermake-up tipis. Aku boleh berubah, tapi hatiku tetap sama. Mungkin tak peduli seberapa jauh aku melarikan diri, sejauh apa pun kuubah penampilanku, aku tetap Seren yang dulu.

Seren yang masih mencintai Andhit.

“Nah,” ujar Elang memecah keheningan yang kubuat, tepat saat pintu lift berdenting terbuka. “Selamat datang, Miss Seren, di atap SMA Pusaka satu, tempat terbaik untuk menikmati senja.”

Angin berhembus menerpa wajahku. Helai-helai tipis rambutku berkibaran dan dalam sekejap aku menghirup aroma sore yang khas. Aroma hangat matahari yang siap-siap kembali ke peraduannya. Aku memejamkan mata berusaha menangkap semua yang inderaku bisa tangkap. Desir angin menggemerisik dedaunan. Kepak sayap burung-burung yang kembali pulang. Mentari yang pelan-pelan bergeser di horison barat.

Aku membuka mata. Di sanalah dia. Elang berdiri membelakangi langit yang kini berubah oranye gradasi merah muda dan ungu. Senja tiga warna, senja yang langka. Sosok Elang kini tampak seperti siluet hitam dengan latar warna-warni.

“Di sini,… bagus banget.”
Senyum Elang merekah lebar. “Aku sudah bilang, kan?”
“Aku suka senja ini.”

Elang melangkah ke bagian pinggir atap yang dibuat bersusun lebih tinggi. Disandarkannya tas gitar itu di sana. Dia merentangkan tangan, menghirup udara sore sampai memenuhi dada, lalu berteriak, “I am the King of the world!”

Aku tersenyum dan menyusulnya ke sana. Entah kenapa langkahku terasa mantap menyusulnya. Lalu tepat di sampingnya, kubentuk corong di mulutku, lalu menjawabnya bahkan dengan suara yang jauh lebih lantang, “I am the Queen of universe!”

Kami berdua semburat tertawa terpingkal-pingkal. Elang mengacak rambutnya sendiri yang sudah berantakan dipermainkan angin. Lalu tangannya disandarkan di susuran, jari-jemari saling menggamit. Tatapannya lurus ke depan. Senyum seperti masih enggan meninggalkan wajahnya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menatap wajahnya lebih erat, lebih dekat. Rahangnya yang ramping dan tegas, dihiasi bulu-bulu halus sampai ke cambang di sisi telinga. Bibirnya tebal dan sempurna melengkungkan senyum. Bibir itu, kapan terakhir memagut dan mencium? Apakah hangatnya sanggup menelusup, menderas bersama aliran darah? Apakah,…

“Kamu mikirin apa?” tanya Elang tiba-tiba.
Aku tergagap. Ditatapnya wajah Elang yang berkernyit. Menggemaskan, seperti anak kecil yang penuh ingin tahu. “Ehm, aku penasaran,…”
“Penasaran apa?”
Penasaran seperti apakah rasanya mencium bibirmu. “Kenapa kau bawa gitar ke atas sini?” ujarku bohong.

“Karena aku ingin melihat kamu ketawa.”
“Hah?” aku harus berhenti dengan segala Hah? ini. Sumpah, wajahku pasti kelihatan konyol dengan ungkapan melongo seperti itu.
“Sejak pertama kali kau masuk ke sekolah ini, aku belum pernah melihatmu tersenyum.”
“Masa?”
“Kalau sekadar senyum biasa sih, sering. Senyum menipu gitu. Senyum basa-basi, for the sake of courtesy. Tapi senyum lepas, belum pernah. Dan itu sangat menggangguku.”

“Kenapa mengganggumu? Itu kan cuma senyum,”
“Lalu,” Elang tak menghiraukan tanggapanku. “Lalu aku lihat di bio twittermu, kamu pecinta senja, aku ajak kamu ke sini. Melihat senja. Mendengarku bernyanyi.”
“Kamu nyanyi? Terus bisa bikin aku senyum, gitu?” aku tergelak sendiri membayangkannya.
“Tuh, kan? Belum nyanyi aja kamu sudah ketawa.”

“Oke, oke, monggo, silakan. Kita lihat sehebat apa kamu,” ujarku tersenyum. Rasanya mulai nyaman. Sepertinya aku akan baik-baik saja di atas sini.
“Oke, Miss Seren. Karena namamu Serenade Senja, dan pementasanku ini ada di tengah senja, maka untuk menggenapi, aku akan memainkan lagu dari Secondhand Serenade.”
“Secondhand Serenade? Aku belum pernah dengar lagu-lagu mereka.”
“Nah, kalau begitu kamu dengar pertama kali dariku. Judulnya Goodbye. Ini lagu favoritku.”

Elang mulai membongkar gitarnya. Lalu dengan bersandar di susuran tepi atap gedung, dia mulai mengambil nada. Denting-denting beningnya mulai terdengar di sunyi senja sore itu. Nada-nada intro pembuka melantun. Tatapan Elang kembali serius dengan sorot tajamnya. Jemarinya lincah bermain, melompat-lompat lihai di kunci-kuncinya. Aku bisa merasakan wajahku hangat ditimpa sorot senja, sekaligus karena tersipu malu.

Dengan ditemani senja sebagai pengiringnya, dia mulai bernyanyi.

It’s a shame that it had to be this way,
It’s not enough to say I’m sorry

Pikiranku langsung melayang ke malam itu. Malam di mana semestinya malam terindah antara aku dan Andhit. Di malam hari jadi kami yang ke sepuluh tahun. Diterangi redup temaram cahaya lilin. Dengan aroma udang bakar saus barbecue yang berebutan di udara bersama wangi kembang sedap malam yang lembut. Gaun terusan brokat hitam yang melambai dan parfum yang menggoda. Aku dan Andhit. Tapi semua dibuka dengan kata-katanya, “Maafkan aku, Seren. Maaf.”

All I had to say is good bye, were better off this way

Tanpa terasa air mataku mulai menggenang. Sedikit lagi, pertahananku akan runtuh, dan sekali lagi aku akan menangis demi dia yang kucintai.

I’m alive but I’m losing all my drive.
‘Cause everything we’ve been through, and everything about you
Seemed to be a lie

Jadi, selama ini kita apa, Andhit? Kau cinta pertamaku. Aku mencintaimu sejak umurku lima belas tahun. Sepuluh tahun, selama itu kita bersama, dan kau bilang kau tidak lagi mencintaiku? Lalu selama ini, apa yang kita lakukan? Apa aku tidak sedikit pun layak untuk diperjuangkan? Layak dipertahankan?

“Berhenti, Lang,” ujarku lirih. Tapi sepertinya dia masih menikmati permainannya.
“Aku bilang berhenti,”
Dia seakan tak mendengarnya.

Take my hand away, spell it out
Tell me I was wrong

Kenapa kau tidak mencintaiku lagi, Andhit? Katakan di mana salahku, akan kuperbaiki. Katakan kau salah, kau masih mencintaimu. Katakan, kau ingin kembali padaku, Andhit.

“BERHENTI!” Aku berteriak. Bahkan aku terkejut dengan suaraku sendiri. Elang sontak menghentikan genjrengannya. Dia menatapku tanpa kedip. Aku merasakan ada yang hangat mengalir di pipiku. Semua perih dan nyeri itu kembali merajamku tanpa henti.

“Berhenti! Jangan bernyanyi lagi. Aku benci lagu itu. Berhenti!”
“Seren,”
“Aku nyesel ke sini. Buang-buang waktu,”
“Kamu kenapa?” tanya Elang kebingungan.

Ada sejuta pertanyaan dan kata-kata yang ingin aku ungkapkan, tapi semua untuk Andhit. Di hadapannya hanya ada Elang, yang semata mengajakku kemari agar aku tersenyum. Senja makin bergulir, langit menggelap. Seperti hatiku yang ditelan mentah-mentah oleh gelap yang tak berujung.

“Maafkan aku Elang, maaf. Aku harus pulang sekarang.” Aku langsung berlari menuju lift tanpa berkata apa-apa lagi. Elang hanya terpaku menatapku yang membelakanginya. Bahkan sampai pintu lift menutup, menelan tubuhku, aku tak menatap wajahnya lagi. Aku sibuk menyembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. Tanpa ada seorang pun yang melihat, sendiri di dalam lift, lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Air mataku tak berhenti mengalir.
Andhit. Andhit. Aku tak bisa melupakannya. Bahkan sampai detik ini, sakitnya masih ada. Kenapa aku harus mengingat Andhit, saat bersama Elang? Kenapa? Kesunyian menelan bulat-bulat suara tangisku.

Minggu, Februari 12, 2012

@jejakubikel dan "AKAD NIKAH"

Bulan Februari ini aku sibuk banget. Selain tugas-tugas yang harus diselesaikan sebagai seorang guru di sebuah sekolah, ada beberapa proyek menulis yang kuikuti. Suka tidak suka, aku harus memaksa diriku keluar dari belenggu mood dalam menulis. Itu sebabnya aku mulai "memaksa" diri untuk menulis. Untungnya ada mas Daniel dan program jejakubikel yang mendorongku untuk terus menulis.

Pada bulan Februari ini, mereka mengadakan tema #Troublove yaitu menulis cerpen selama satu bulan penuh dengan tema-tema yang silih berganti setiap tiga hari sekali. Pada tiga hari pertama, tema yang diusung adalah "Beda Etnis". Maka aku pun menulis cerpen "Akad Nikah" sebagai perwujudan tema itu. Kalau ingin baca, silakan baca di sini. Jangan lupa tinggalkan komen di sana. Masukan seperti apa pun akan kutunggu.

Thank you, guys. Looking forward for your comments!

Jumat, Februari 10, 2012

10 Tahun Perjalanan Cerpen "Cantik"

Sekitar lebih dari sembilan tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Oktober 2002, aku menyelesaikan sebuah cerpen berjudul "Cantik". Waktu itu aku baru berumur 17 tahun, dengan gaya penulisan masih sangat mentah. Sebenarnya tema cerpen ini sederhana tentang percintaan remaja dengan bumbu rendahnya rasa kepercayaan diri.

Akhirnya aku kirimkan cerpen itu ke sebuah majalah remaja tahun 2002, tapi ditolak. Kemudian tahun 2004, aku mencoba peruntungan lagi dengan mengirimkannya ke majalah remaja lainnya, tapi sama-sama ditolak. Dan akhirnya tahun 2005, tepatnya 13 Agustus, kuirimkan ke Majalah Aneka Yess!

Tunggu menunggu, tak ada kabar. Pikiran pertama yang terlintas di kepalaku adalah "Ah, cerpen ini pasti ditolak lagi." Oleh karena itu, akhirnya aku menyerah dan berhenti mengirimkan cerpen "Cantik" itu ke majalah lainnya.

Suatu hari di bulan Februari 2012, aku sedang bengong dan iseng mengetik keyword "Cerpen Anggun Prameswari" di Google. Dan di tautan pertama yang muncul adalah alamat situs majalah AnekaYess! berisi cerpen "Cantik" yang ditulis oleh Anggun Prameswari. Silakan cek tautannya di sini. Dari keterangan yang tercantum di situs itu, tanggal pemuatannya 12 Februari 2010.

Kaget dong! Tentu saja termasuk senang karena ada satu cerpenku, my baby, yang menemukan rumah bernaungnya. Nggak ada rasa kesal atau jengkel, tapi excited. Tapi kemudian, tanda tanya mulai bermunculan. "Kok aku nggak tahu cerpenku dimuat di majalah sebesar majalah Aneka Yess! Di mana nih missing link-nya?"

Seperti anak muda jaman sekarang, aku berbagi kisah di linimasa. Salah satu respons yang kuterima dari mbak Jia yang ternyata juga mengalami hal yang sama. Justru beberapa kali ia tahu kalau cerpennya dimuat dari teman atau followernya. Aku pun mention ke akun twitter Majalah Aneka Yess! dan ternyata mereka memberikan respons yang sangat baik. Mereka berjanji akan mengusut hal ini.

Keesokan harinya, mereka memberitahu via Direct Message kalau cerpenku memang dimuat di Majalah Aneka Yess! edisi 19 tahun 2005. Sedangkan tanggal pemuatan via situs adalah 12 februari 2010. Aku baru tahu kalau cerpen itu dimuat berkat Google tanggal 2 Februari 2012. Lucu ya. Jadi ada jeda hampir sepuluh tahun sejak cerpen itu selesai sampai blog ini ditulis. Sebuah perjalanan yang panjang! Tentang honor pemuatan pun sedang ditelusuri oleh pihak majalah Aneka Yess! Semoga aku masih bisa mendapatkan hak saya itu. Sekaligus majalah aslinya untuk arsip pribadi. Maklum, aku memiliki record yang cukup rapi untuk inventarisasi cerpen-cerpen itu. They are my babies, so I treat them carefully and nicely.

Sampai sekarang belum ada berita apa-apa lagi dari pihak majalah tersebut. Tapi semoga akan ada jalan terang tentang ini, setidaknya copy majalah Aneka Yess! yang memuat cerpenku supaya aku bisa melengkapi catatan cerpen di folder pribadiku.