Powered By Blogger

Jumat, Oktober 18, 2013

LELAKI KARTU POS

Cerpen ini dimuat di harian Koran Tempo, Minggu, 13 Oktober 2013


Aku tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.
Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah, setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi orang ini. Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.
“Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.
“Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.
Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”
Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini?
Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar, disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya.
Tanpa sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Ada bilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana.
Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi berterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa.
Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan air mata.
“Kartu pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.
Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng, setengah ketakutan.
Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum bertanya siapa nama lelaki itu.
***
Kini setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya.
Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwich terakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah.
Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepala.
“Kali ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.
Dia tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sana kemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana.
Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sana tak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu.
Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku.
“Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?”
Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.
Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami.
Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama takkan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kusakralkan, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri.
“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana.
Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis seorang diri?
Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?
***
Di sana aku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.
Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.
Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.
Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu sendiri?
Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.
Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.
Kenapa aku?
Kenapa seperti ini hidupku?
Kenapa aku mencintai dengan cara ini?
Siapa lelaki kartu pos itu?
Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?
Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?
Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu saling mencintai, dan kini saling menyakiti.
Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.
***
Sebuah lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?
Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua.
“Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”
Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu?
“Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam…,”
Namun, pelan-pelan kuingat, wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan.
“Anda mendengarkan pertanyaan saya?”
Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.
“Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.”
Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”
Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu posku itu tidak lagi terasa asing.
“Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.
***
GM, 5 Juli 2013

Senin, Juli 22, 2013

Tentang Rahasia pada Hujan

Tak ada derak di atas langit, tapi ia sedang berkaca-kaca.
Sebentar lagi ada yang bertabuhan di wajah bumi. 
Menggenang mengambangkan kenangan.
Seorang gadis memintas gegas
Gerimis kecil ialah tangis langit yang hendak ia hindarkan.
Karena lirisnya selalu cepat temukan celah; 
menyelinap menyusup ke lubang-lubang di dada, belum sembuh benar. 
Mungkin tidak akan.


Harap barangkali sudah larap, api sudah sulit menyala. 
Mulut mungilnya berceracap yang entah apa artinya.
Mungkin dia perlu berdoa; 
Siapa tahu dia mestinya meminta; 
Hujan kali ini bukanlah air seperti biasa, 
melainkan bara yang meletupkan apa yang nyaris padam

Bertelimpuh ia, nyatanya mantera dan doa sudah tak ada guna; 
kepada belati di tangan kanan ia berkata-kata.
Mungkin jika darahnya lesap, napasnya kering, matanya meredup
Lukanya urung berdenyut-denyut.


Mati katanya, satu-satunya cara mendamaikan sempurnanya kecemasan. 
Tuhan merunduk, iblis tersenyum. 
Ia mulai meragu, kepada siapa kesetiaan akan ia berikan.


Setianya dititipkan pada semesta. 
Biar pohon menceritakannya pada angin yang membisikkan pada laut yang membasahi hati-hati yang berani;
Menjatuhkan diri pada cinta.

Ditulis bergantian oleh Diki Umbara dan Anggun Prameswari
Minggu, 21 Juli 2013

Kumcer ke-9, KEJUTAN TERBAIK SEBELUM RAMADHAN

Menyambung posting sebelumnya, di bulan Juli, aku juga ikut bergabung di #ProyekMenulis yang diadakan self-publishing company, @nulisbuku. Aku lupa tanggal pastinya, yang jelas, mereka menggelar proyek menulis yang bertema kejutan sebelum lebaran. Nah, akhirnya aku memilah dan memilih draf cerpen di folder, dan ketemu cerpen "Mengecup Engkau".

Cerpen ini sebenarnya cerpen lama. Kutulis saat aku masih sering menulis untuk @jejakubikel, sebuah wahana pelatihan menulis yang digawangi tiga momod unyu, Daniel Prasatyo (@daprast), Rendra Jakadilaga (therendra), dan Pramoe Aga (@PramoeAga). Waktu itu mereka melempar tema cinta beda agama, dan aku masih ingat, entah Mas Ren atau Mas Dan bilang, tulislah sesuatu yang berbeda.

Akhirnya aku teringat curhatan temanku. Seorang bapak berputri dua, yang setiap hari selalu bercerita tentang putri-putrinya yang menggemaskan. Aku selalu mudah terpesona dengan chemistry ayah dan anak perempuannya. Buatku, bapak yang sayang banget sama anaknya, terlebih anak perempuan, level kegantengan dan kekerenannya naik 100% ahahaha,... Di antara cerita-ceritanya, aku menemukan fakta bahwa temanku ini pernah hijrah dari Islam ke Katholik. Dari semua fakta ceritanya itu, tiba-tiba melesat sebuah plot di kepala. Akhirnya kutuliskan, dengan twist plot yang berbeda dari cerita aslinya, agar tidak kentara banget kalau itu modalnya sekadar sebuah curhatan hehe..., Dan jadilah cerpen "Mengecup Engkau".


Setelah melewati proses penyuntingan pribadi, untuk memastikan ini itu, termasuk kesesuaian tema yang diminta @nulisbuku, kukirimkan ke #ProyekMenulis itu. Dan nggak disangka, cerpen "Mengecup Engkau" ini jadi juara satu #ProyekMenulis Kejutan Sebelum Ramadhan di @nulisbuku, menyisihkan ratusan cerpen lainnya, woohoo...!

Jadi, kalau kalian penasaran seperti apa cerpen "Mengecup Engkau" ini, yuk segera meluncur ke web www.nulisbuku.com dan order langsung. Nah, sebelum order, silakan baca kutipannya dulu...,

Tiara, Tiara, kau adalah mutiara perhiasanku paling berharga.
Setiap kali kuingat kalimat itu, aku merasa hatiku remuk pelan-pelan. Begitulah kau selalu memanggilku. Tiara. Kependekan dari namaku, Mutiara. Entah sejak kapan, yang kuyakin sejak lama, kau selalu menganggapku perhiasanmu paling berharga. Mungkin sejak pertama kali kau menatap mataku. Kau dulu pernah bercerita bagaimana kau jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Saat itu, aku belum tahu apa-apa tentang cinta. Namun, dari binar matamu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana membuat yang kita cintai merasa berharga.

SELAMAT MEMBACA!

Kumcer bersama ke-8, #LOVEDICTION2



Di bulan Juli ini, ada satu cerpenku yang masuk kumpulan cerpen bersama (omnibook) terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Judul antologinya, #LOVEDICTION2.
Kumcer ini meneruskan kesuksesan kumcer #Lovediction1 yang terbit beberapa waktu sebelumnya.
Pertama kali dapat info untuk project #Lovediction2 ini dari twitter, kemudian diperkuat dorongan dari mbak Yuska Vonita untuk join di project ini. 


Di kumcer ini, aku menulis cerpen "Tompel si Tommy", sebuah kisah remaja tentang cowok ganteng dan kaya, tapi memiliki tompel di wajah. Pacar Tommy, Disha, sih sebenarnya nggak keberatan dengan tompel itu, tapi Tommy benar-benar nggak nyaman dan nggak pede dengan tompel ini. Lalu, dia melakukan satu tindakan ekstrem. Apa tindakannya? Lalu apa pengaruhnya pada hubungan Tommy dengan pacarnya?
Yuk mari dibaca saja, "Tompel si Tommy" di kumcer #lovediction2 ini.

Untuk cerita di balik layar cerpen "Tompel si Tommy" ini terinspirasi dari cerpen cerpenis tenar, mbak Ratih Kumala yang berjudul "Tahi Lalat di Punggung Istriku" yang terdapat di kumcer solonya, "Larutan Senja". Selepas baca cerpen mbak Ratih itu, terlintas satu plot "Tompel si Tommy" tersebut di kepalaku. Kutuliskan cerpen itu. setelah selesai, kusapa mbak Ratih dan meminta beliau membacanya. Ini sebagai bentuk penghormatan dan apresiasiku, sekaligus terima kasih, kepada mbak Ratih yang menulis cerpen yang begitu menarik sampai bisa menginspirasiku. Beruntungnya aku, mbak Ratih meresponsku dengan baik, bahkan memberi masukan untuk perbaikan cerpen tersebut. Duh, memang nggak salah kalau aku ngefans sama beliau, terlebih novelnya "Gadis Kretek" yang aku suka banget nget nget!

Jadi, penasaran dong sama cerpen "Tompel si Tommy" ini? Nah, sebelum beli bukunya, silakan baca sedikit kutipannya. 

Sering Tommy bertanya kenapa ia dinamai Tommy. Kenapa bukan Radit atau Dylan yang terdengar gagah. Memang tak ada yang salah dengan nama Tommy, tapi itu akan menjadi petaka bila ia terlahir dengan tompel di wajah. Tommy dan tompel. Rima yang tak enak didengar.

SELAMAT MEMBACA!

Rabu, Juli 03, 2013

MATA SERUNI

Marwan tak henti melirik jam dinding. Detiknya berirama. Jika didengarkan seksama, terdengar bersahutan dengan degup jantungnya sendiri. Jam sepuluh lewat. Makin jarum panjangnya bergeser, makin morat-marit batinnya. Selarut ini, Seruni belum pulang juga. Ke mana dia? Sudah enam jam sejak ia pamit keluar sebentar, tanpa bilang hendak ke mana.
Tak lagi sanggup Marwan menghitung batang rokok yang ia isap. Peduli apa umurnya memendek karena napas yang tersumpal asap. Gemuruh di batinnya perlu ditenangkan dari bayangan buruk berkelebatan silih berganti menghuni benaknya yang sempit.

Disibakkannya lagi tirai putih jendela depan yang menguning oleh usia. Jalanan sudah sepi sejak sejam lalu. Cuma ada suara jangkrik dan bisikan nalurinya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan menyedot dalam-dalam tembakaunya.

Seruni terlahir dengan wajah cantik luar biasa. Kulitnya seputih susu dengan bibir ranum strawberry. Matanya bulat besar, berbulu mata melentik, yang tiap kali mengibas, mengingatkannya pada mata seorang perempuan tak bernama, yang mati-matian Marwan coba lupakan.

Jack, teman premannya yang terlahir bernama asli Zakariya, pernah bilang Seruni kelak tumbuh menjadi gadis yang bisa mematahkan hati banyak lelaki. Marwan tersenyum kecut. Kecantikan Seruni diwarisi dari sang ibu yang memang kembang desa, begitu jawab Marwan. Jack hanya mencibir, menertawakan keberuntungan kawannya. Marwan tahu betul, Jack iri padanya. Semua orang tahu, Jack pernah menyukai ibu Seruni.

Marwan mendadak ingat pertama kali Seruni pulang terlambat. Kala itu ia masih empat belas tahun. Walau masih bau kencur, Seruni adalah kencur yang tumbuh di surga, hingga sanggup mengalihkan pandangan siapa saja. Termasuk yang selalu hidup di tempat tergelap, siap meloncat menerkam siapa saja.

Marwan selalu mengantar Seruni mengaji di surau selepas Ashar. Ia baru berani pergi setelah melihat Seruni duduk di barisan terdepan, persis di depan meja ustadzahnya. Lepas sholat Maghrib, baru ia akan menjemputnya. Selalu begitu.

Namun hari itu, Marwan tak mendapati Seruni duduk menunggu dijemput selepas sholat Maghrib. Ustadzahnya mengira Seruni sakit karena tak mengaji sore tadi. Segala pikiran buruk mendera batin Marwan. Ia menanyai tiap teman Seruni, setengah panik sisanya mengancam. Mereka mengkeret ngeri melihat bapak Seruni siap meledak seperti granat. Ah, semua orang tahu bapak Seruni mantan jawara penguasa terminal pinggir kota. Siapa berani melawannya?

Seruni main sama anak juragan batik ke hutan pinggir kali, celetuk seorang teman anaknya. Marwan pun mengumpulkan teman premannya dulu, membawa parang dan obor, hendak mencari Seruni. Namun, tepat selepas azan Isya, Seruni berjingkat-jingkat di beranda depan. Sekejap Marwan tak bisa mengendalikan diri. Hampir saja ditampar pipi tirus Seruni cilik, kalau tidak ditahan Jack.

Dia masih kecil, bisik Jack di telinganya. Yang salah bocah itu. Kamu tahu betul kan bagaimana liciknya lelaki membujuk perempuan.

Wajah Marwan memerah seketika. Dicengkeramnya bahu kurus Seruni, ”Kamu diapain sama dia? Kalau dia kurang ajar sama kamu, biar bapak potong kemaluannya.”

Wajah Seruni telanjur sembab oleh air mata dan keringat. Ia menggeleng lemah. Lagi-lagi di wajah Seruni, Marwan mendapati sepasang mata yang selalu berusaha ia lupakan.

Lelaki dan perempuan berdua di tempat gelap begitu, yang ketiganya setan, suara Marwan menggelegar, merobek nyali Seruni untuk membela diri. Tahu apa anak gadisnya itu tentang apa yang ada di balik kehidupan tergelap.

Suara Seruni lenyap, persis bulan purnama yang ditelan raksasa saat gerhana. Marwan menyeret Seruni layaknya kain kumal. Ditendangnya pintu kamar mandi. Seruni menjerit saat Marwan melemparnya seperti segumpal kertas, lalu mengunci pintu. Lampu pun dimatikan. Seruni makin histeris tak karuan. Tangan mungilnya menggedor-gedor pintu dan meraung mohon ampun. Dalam bayangannya, ada tangan-tangan keluar dari kegelapan, mencengkeramnya, dan melumatnya lamat-lamat.

”Di mana rumah bocah itu?” tanya Marwan pada istrinya yang sesenggukan di samping pintu kamar mandi. Sayup terdengar suara desing golok membentur sarungnya.

Ngeri merayapi tengkuk Seruni. Ia sungguh tak berani membayangkan. Apa bapak akan menghajarnya? Mencincang kemaluan bocah itu persis seperti rajangan tipis cabe rawit dalam tumisan yang sering dimasak ibu? Tangannya makin kuat menggedor pintu, tapi makin cepat pula tenaganya terkuras. Ia terkulai di ubin kamar mandi yang lembab dan dingin.

Seruni bangun keesokan paginya, di kamarnya sendiri, dengan handuk dingin menempel di dahi yang membara. Wajah ibu lelah, begitu pula dengan raut muka Jack. Seruni sesenggukan dan Jack menepuk kepalanya berulang kali. Marwan hanya melihat dari jauh. Bukannya tak ingin mendekat, tapi langkahnya tertahan. Mata Seruni kini berubah. Nyalang memerah, seakan merekah oleh benci.

Sejak itu, tak ada lagi yang sama. Bocah lelaki itu dan keluarganya pindah tiga hari kemudian. Tak ada lagi yang berani mengajak Seruni main. Tak ada pemuda yang berani menatap Seruni, secantik apa pun ia tumbuh dewasa. Tiap lampu kamar dimatikan atau tiba-tiba listrik padam, Seruni jadi sering menjerit-jerit. Gelap mengingatkannya pada ketidakberdayaan, persis saat ia dikurung bapaknya.

”Kasihan Seruni,” ujar Jack suatu hari, ”dia butuh disayangi bapaknya sendiri.”

”Aku lebih dari sekadar menyayanginya,” Marwan membela diri. ”Aku melindunginya.”

Jam sebelas dan belum ada suara langkah berjingkat di beranda seperti waktu itu. Sayup-sayup terdengar suara petir di kejauhan. Mendung pekat akan pecah menderas. Apa Seruni kabur? Toh kini ia sudah dewasa, sanggup menentukan arah hidupnya sendiri.

Istrinya pernah bertanya, kenapa Marwan begitu keras pada anak mereka.

”Seruni itu cantik luar biasa. Kamu tahu apa yang terjadi pada perempuan yang cantiknya luar biasa,” tanya Marwan. Istrinya menggeleng. ”Mereka akan mengundang lelaki-lelaki yang tak pernah puas.”

Istrinya tersenyum, ”Makanya kamu mengurungnya seperti ini?”

Marwan melotot protes, ”Aku melindunginya. Aku ini lelaki. Aku tahu betul lelaki bisa jauh lebih jahat dari setan.”

Istrinya mengernyitkan dahi, ”Tapi kamu lelaki terbaik yang kukenal. Kamu sama sekali bukan setan. Iya kan?”

Sekali lagi, diembuskannya asap rokok yang mengaburkan ingatan akan istrinya, yang keburu meninggal sebelum ia sempat menjawab pertanyaan itu. Istrinya tak tahu apa-apa. Mereka menikah setelah Marwan menutup erat masa lalunya di jalanan, bersama Jack, serta kehidupan tergelap mereka.

Di luar, hujan terus menderas. Pada kepekatan rinai seperti ini, Marwan dipaksa mengingat noda besar masa lalunya. Persis malam ini, malam itu juga hujan. Derasnya persis liris air mata yang membasahi pipi ranum seorang perempuan cantik tak bernama di sebuah gudang gelap di sudut pasar yang sepi. Bau anyir minuman menyeruak di sana-sini. Tawa dan isak memenuhi langit-langit gudang gelap itu. Marwan mestinya ikut tertawa, tapi ia malah bergidik melihat mata Jack memerah, persis mata setan. Isakan perempuan itu terbaurkan suara hujan. Namun, Marwan tak sanggup mengacuhkan nuraninya yang menjerit-jerit. Dan di pantulan mata perempuan cantik tak bernama itulah, Marwan mendapati dirinya sendiri berubah menjadi setan.

Jack meludahi perempuan itu. Tangan ringkih perempuan itu menggapai apa pun untuk menutupi tubuhnya yang telanjur tercabik. Seumur hidup, ia takkan bisa melupakan bagaimana Jack membekap mulutnya dari belakang dan Marwan mencengkeram kakinya, lalu melemparkannya ke sudut gudang tergelap. Seakan tak pernah puas pada perempuan cantik tak bernama itu, keduanya merobek-robek jiwanya yang setipis selaput dara.

Sepasang mata perempuan tak bernama itu basah oleh air mata; membuat sesak hati Marwan. Malam itu, malam selanjutnya, bertahun-tahun kemudian, sepasang mata itu menjelma menjadi sepasang mata cantik Seruni. Seakan untuk menghukum Marwan, Seruni selalu mengingatkannya pada perempuan cantik tak bernama, yang tak lama setelah malam itu, ditemukan mati gantung diri.

Marwan tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia menerobos menembus rinai hujan. Mungkin Jack bisa menemaninya mencari Seruni. Jack menyayangi Seruni. Saat Seruni sakit demam berdarah beberapa tahun lalu, Jack mendampinginya di rumah sakit. Menggenggam tangannya. Menyuapinya makan. Bahkan dalam igaunya, Seruni menyebut nama Jack. Tebersit rasa cemburu di hatinya. Namun, pria itu tahu, Jack hanyalah kepingan pelengkap kekosongan yang tak bisa Marwan isi di hati Seruni, karena anak gadisnya begitu membencinya. Bagi Seruni, Jacklah ayahnya, bukan Marwan.

Beranda rumah Jack sepi. Bagian dalamnya tampak gelap. Kawannya hidup sendiri, tak pernah mau menikah, bahkan tidak mencari kekasih. Mungkin hatinya telanjur remuk tak tersambung sejak Marwan menikahi gadis idamannya.

Tepat hendak ia mengetuk pintu, Marwan mendengar suara itu. Tawa perempuan, terdengar asing, sekaligus melekat di ingatan. Persis seperti kenangan lampau yang nyaris terhapus. Marwan berjingkat masuk. Rasa ingin tahu meletup-letup minta dipuaskan. Siapa perempuan yang ikut tertawa, sesekali menghela napas berat, diikuti derit kaki ranjang menggores lantai, itu?

Hanya tersisa sinar remang di kamar tidur Jack. Jantung Marwan berlompatan tidak karuan. Jack dan wanita itu saling bercakap di antara tarikan napas yang berat. Lirih sekali, nyaris ditelan sunyi.

”Pulanglah,” ayahmu menunggu.

”Tidak. Aku membencinya.”

Marwan menerjang pintu kuat-kuat. Sepasang mata indah menyambutnya. Matanya persis mata perempuan cantik tak bernama di suatu sudut gudang yang gelap di masa lalunya. Mata yang kini menjelma menjadi sepasang mata Seruni. Hanya bedanya, mata itu tak bersimbah air mata. Lidah api menjilat-jilat seraut sorotnya yang puas, karena kebenciannya akhirnya terbalas.

Marwan melintasi ruangan. Jack sibuk mengalungkan selimut di tubuh Seruni. Tapi gadis itu tetap duduk tegak. Tenang. Persis permukaan kolam, yang entah menyimpan apa di kedalamannya. Tangan Marwan terkepal erat, menahan panas menggelegak di dada.

Ada yang berdansa penuh kemenangan di balik kegelapan yang tak terjangkau bohlam-bohlam terbaik buatan manusia. Mereka terus bersukacita di ruang-ruang gelap tak tersentuh cahaya.

Termasuk hati Marwan yang gelap.


 dimuat di harian KOMPAS Minggu, 30 Juni 2013

Selasa, Maret 26, 2013

DUNIA DI DALAM MATA, omnibook ke-7



 Setelah  antologi cerpen bersama yang ke-enam, yaitu #Singgah terbit, kembali diluncurkan antologi bersamaku yang ketujuh, yaitu "Dunia Di Dalam Mata". Ini merupakan proyek omnibook komunitas @fiksimini yang begitu tenar di dunia maya. Beberapa bulan sebelumnya, komunitas tersebut mengadakan sayembara cerpen. Aku ingin mencoba peruntungan dengan mengirimkan dua cerpen, "Peri Bermata Biru" dan "Calon Presiden".


Nothing to lose, itulah perasaanku saat kukirimkan kedua cerpen itu. Aku pun tidak terlalu mengikuti perkembangannya, karena para penggiat fiksimini yang mengirimkan cerpen-cerpen mereka pun, kondang oleh kemampuan menulis dan diksi yang luar biasa. Aku yang lebih sering menulis "pop" jadi keder dan tidak berharap banyak. Lalu, beberapa teman menyebut namaku di linimasa, dan ternyata aku bagian dari 19 cerpen terpilih yang masuk di kumcer "Dunia di Dalam Mata". Cerpenku, "Peri Bermata Biru" terpilih! Sujud syukur.
 
Akhirnya #kumcerfm ini diluncurkan di Gathering Nasional Fiksimini ke-3 di Bandung, tepatnya di Kafe Siete tanggal 9 Maret 2013, lengkap drama aku terjungkal di pintu kafe dengan hidung nyaris membentur lantai kalau-kalau tidak ditolong oleh @baracoedaz di sana. Blame it on my 10-cm heels.

Oh well, it's life! Yang penting aku bahagia, karena satu "bayi"-ku akhirnya menemukan rumahnya. Oh ya, kumcer ini siap edar di toko-toko buku nasional di bulan April 2013. Sebagai gambaran, karena aku berhasil menamatkannya sehari sebelum aku menulis blog ini, kumcer ini berisi 23 cerpen terpilih, termasuk empat karya cerpenis cetar membahana seperti Agus Noor, Clara Ng, Aan Mansyur, dan Eka Kurniawan. Ada juga fiksimini-fiksimini terbaik dari tahun 2010-2012 yang dirangkum dengan apik dan beberapa ilustrasi yang keren. Cerpen-cerpen di dalamnya lebih beraroma "sastra" dan "filosofis", bukan "pop urban" seperti dua kumcer sebelumnya, Cerita Sahabat 2 dan Singgah.

Berikut kutipan "Peri Bermata Biru" karyaku di dalam "Dunia Di Dalam Mata":

 Apakah kau pernah bertemu peri bermata biru? Peri tampan dengan mata bulat biru langit. Saking birunya sampai kau bisa melihat seluruh semesta tiap kali menatap matanya? Bila iya, maka kuperingatkan. Jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Karena peri itu sanggup membunuhmu, pelan-pelan, menyakitkan. 

SELAMAT MEMBACA!

MAKAN MALAM TERAKHIR



Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini.
Sandy menatap ragu undakan menuju teras rumahnya. Bangunannya masih tetap sama, minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Ada pintu besar dari kayu meranti, berpulas pelitur mengkilat dengan sedikit ornamen ukir di beberapa sudut. Jendela-jendela mengapit pintu. Penampangnya berbatas dengan besi ulir teralis yang berjajar ritmis dengan helai-helai tirai putih bersih. Entah kenapa, detik ini rumahnya terasa dingin. Apa karena catnya? Apa karena teralis-teralis itu? Karena apa?
“Sandy, kok nggak masuk?”
Mama menyambut di depan pintu. Sosoknya terlihat lelah. Sepertinya garis-garis kerut di wajahnya menegas. Sandy mencari-cari bekas air mata di tiap lekuk sudut raut cantik mama, tapi sia-sia. Mungkin sekarang bukan waktunya mama menangis lagi.
Uluran tangan mama menanti jawaban. Jemari lentiknya kini terlihat kering. Mama sudah melepas cincin kawinnya.
“Papa menunggu di dalam.”
Sandy makin ragu. Untuk apa ia ada di sini? Menjadi saksi mata kalau kiamat itu memang ada? Mereka memintanya bersikap dewasa. Hanya saja, kedewasaan macam apa yang bisa dituntut dari anak berumur enam belas tahun seperti dirinya? Ia bahkan belum pernah jatuh cinta. Bagaimana ia bisa memahami rumitnya cinta papa mamanya?
Langkah kaki terasa berat. Bahkan, dinginnya marmer putih susu ini sanggup menembus sandal crocs­-nya, membekukan tiap jejak tapak kakinya.
“Kamu sudah makan? Mama sudah siapkan rawon kesukaanmu, dengan sambal terasi, kerupuk udang, dan telor asin. Ayo, mumpung rawonnya masih hangat.”
Mama menyambut Sandy layaknya tamu. Ini mama. Ini rumahnya sendiri. Memang ia baru saja menghabiskan akhir pekan di rumah nenek di Bandung. Namun, sambutan mama seakan menandakan Sandy sudah pergi sekian tahun lamanya. Ada nada getir di suara mama. Mana kehangatan mama yang seperti biasa? Mengapa ia terus diperlakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa?
Ada papa duduk di meja makan. Wajahnya sedikit tegang, pun juga lelah. Papa dan mama berbagi pedih yang sama. Namun, mereka sama-sama enggan membaginya dengan Sandy. Bukankah dirinya bagian dari keluarga ini?
Sandy tahu papa berusaha tenang. Sedikit senyum dan tatapan hangat itu masih belum sanggup menyembunyikan badai besar di hati papa. Gadis itu melirik ke tengah meja. Seluruh hidangan sempurna, dari aroma, warna, dan tentu rasa. Tapi, entah kenapa, Sandy merasa ia tak ingin menyantap menu ini. Selamanya.
“Kok diam? Ayo duduk. Kita bisa mulai makan sekarang?” tanya mama.
“Bagaimana liburanmu di rumah nenek?” tanya papa.
“Membosankan.”
“Tapi kamu bisa jalan-jalan di kebun kopi nenek.”
“Aku lebih suka di Jakarta.”
Percakapan ini ditutup oleh hening yang mencekik Piring-piring menyajikan masakan lezat mama yang semestinya menerbitkan air liur. Namun, perut Sandy bergolak hebat. Ada perih membekap jantungnya hingga nyaris sulit berdetak.
Gadis itu menatap mama. Mama menatap papa. Papa hanya tertunduk. Entah menatap apa. Entah menyembunyikan apa. Sandy akhirnya hanya menatap lilin. Nyalanya redup. Lidah apinya menari-nari. Mungkin api itu tahu kesedihan di hati ketiganya, sehingga bersusah payah meliuk menghibur ketiga manusia di hadapannya.
“Kamu mau nasinya satu atau separuh, sayang?” tanya mama lagi.
“Ma,…”
“Iya?”
“Kenapa kita semua berkumpul di sini?”
Mama terhenyak. Sandy juga sempet menangkap papa berhenti menarik napas. Tinggal menunggu waktu saja sebelum palu takdir diketuk. Mulai detik ini, kisah bahagia takkan pernah ada dalam hidup Sandy. Bahagia baginya hanya ilusi yang terperangkap di lembar-lembar buku dongeng.
“Kita keluarga kan? Wajar kalau kita makan malam bersama,” jawab mama parau, seakan ragu dengan kata-katanya sendiri.
Rasanya Sandy ingin berteriak. Sejak kapan mereka menjadi keluarga? Sandy sudah lupa terakhir kali mereka bercengkerama bersama. Mungkin ketika dia masih sepuluh atau sebelas tahun. Masih berambut panjang dengan pita merah jambu berkibar-kibar. Saat rambut papa masih hitam dan belum ada seutas kerut di wajah mama. Rasanya seperti seribu windu yang lalu. Sandy hampir lupa, entah bagaimana dengan papa mama. Apakah mereka masih bisa merasakan jejak-jejak kebahagiaan semacam itu?
“Bagaimana sidangnya, Ma?” tanya Sandy. “Pa?”
“Sandy,…”
“Pa, Ma, aku sudah enam belas. Perlakukan aku seperti anak enam belas tahun.”
“Sidangnya baik-baik saja,” ujar papa melelehkan keheningan.
“Pa,…” cegah mama.
“Biar. Sandy berhak tahu. Dia sudah besar,” sergah papa.
“Tapi,…”
“Besok sidang terakhir untuk membaca putusan.” Suara papa terdengar seperti gunung es yang berderak pecah.
Sandy bersumpah ia bisa mendengar hatinya sendiri meluncur jatuh dan semburat berkeping-keping. Ia tak tahu harus bagaimana. Marah. Sedih. Kecewa. Tertawa. Merana.
Tak ada sepatah kata apa pun. Semua rasa terkunci rapat di hati. Sandy sekuat tenaga berusaha tidak menangis. Kalau tidak, ia yakin sebentar lagi ia akan mati tenggelam oleh air matanya sendiri.
“Kenapa, Pa? Ma? Kenapa kalian harus pisah?” Sandy bangkit dari kursinya. Nafsu makannya menguap seketika. Ada hening yang kuat mencuat di antara ketiganya.
Setengah berlari, ia menuju sofa besar di depan televisi. Dulu, ketika masih kecil, ia sering meringkuk merajuk di sana. Terlebih saat papa memarahinya karena terlalu lama bermain game atau saat mama memaksanya makan brokoli. Ia biasanya tenggelam di antara bantal kursi isi bulu angsa agar tak ada siapa pun mendengarkan suara tangisnya. Tapi itu dulu. Ketika masih ada aroma bahagia menguar di rumah ini.
Mama ikut merebahkan diri di sofa itu. Samar Sandy mencium wangi lembut parfum mama. Ah, betapa ia akan merindukan wangi mama. Suara mama. Helai-helai rambut yang menempel di leher jenjang mama.
Sandy tak mengatakan apa-apa. Pun mama diam. Mereka hanya saling menyandarkan kepala di sandaran sofa. Sandy memejamkan mata. Mama menatap lampu gantung kristal yang bening berkilauan.
“Sayang, masih ingat Barbie?” ujar mama tiba-tiba. “Kucing anggoramu dulu?”
Sandy tak menjawab. Ia hanya berusaha membungkam gemuruh pedih di dadanya.
“Kamu dulu sibuk ikut les ini itu, OSIS, macam-macam. Akhirnya lupa memberi makan Barbie atau mengajaknya bermain. Barbie jadi kurus dan sakit-sakitan. Masih ingat apa yang akhirnya kamu lakukan?”
Sandy membuka mata. Silau cahaya lampu gantung menusuk matanya. “Aku kasih Barbie ke Melati, anaknya om Jono.”
“Kenapa?”
“Karena Melati sayang kucing dan bisa merawat Barbie dengan baik. Buktinya beberapa bulan setelah itu, Barbie gendut dan sehat. Lincah. Nggak seperti kucing yang hampir mati.”
“Terus? Pelajaran apa yang kamu bisa ambil?”
“Mama menyamakan pernikahan mama papa dengan Barbie? Barbie cuma kucing, Ma. Beda dong.”
“Mungkin memang sama, sayang. Mungkin. Kadang bahagia itu tidak selalu dengan bersama-sama.”
“Tapi aku bahagia kalau bersama papa dan mama,” nada bicara Sandy meninggi. “Kenapa papa mama berhenti mencintai?”
Mama menatapnya lekat. Sandy tahu mamanya terkejut. Mungkin memang mama juga tak tahu jawabannya.
Papa ikut mendekat dan duduk di sisi Sandy. Lengan besar papa terasa dingin, sekaligus hangat. Sedikit lagi pertahanan Sandy hampir jebol.
“Kami tidak berhenti mencintai, sayang. Kami masih saling cinta.”
“Terus kenapa papa mama pisah?”
“Kamu tahu pohon mangga yang kita tanam di halaman depan? Coba lihat dahannya. Dari satu batang yang kokoh, rantingnya bisa tumbuh ke arah yang berbeda.”
“Aku nggak ngerti, Pa.”
“Mungkin seperti itulah cinta papa dan mama. Tumbuh ke arah yang berbeda. Tapi masih satu. Berkat kamu. Kamulah penyatu kami, walau akhirnya kami berpisah.”
“Iya sayang. Kami tidak mungkin saling benci. Kalau mama benci papa, mama akan ikut membenci kamu. Karena ada papa di dalam dirimu. Begitu juga sebaliknya.”
Runtuhlah dinding-dinding pertahanan di batin Sandy. Luruh juga air matanya. Ia hanya melipat lutut dan membenamkan wajahnya. Semoga isakannya tak nyaring terdengar. Ia sudah enam belas tahun, tak seharusnya ia menangis lantang seperti balita.
“Aku nggak mau papa mama pisah.”
“Kamu mau papa mama terus-terusan bertengkar?” tanya papa. “Itu bikin kamu bahagia?”
“Tapi aku juga nggak akan bahagia kalau papa mama pisah.”
“Ini yang terbaik, sayang.” Mama mengelus rambut Sandy.
“Terus aku gimana? Aku nggak mau disuruh milih antara papa atau mama.”
“Kami nggak akan memintamu milih, karena kamu anak kami, bukan anak papa atau anak mama. Anak kami berdua, sayang.”
“Aku pasti akan kangen saat-saat seperti ini, Pa, Ma.”
“Papa juga.”
“Mama juga.”
“Malam ini, papa sama mama, sama-sama nemenin aku di sofa ini. Sampai aku tidur. Sampai pagi. Sebelum kita bertiga berangkat ke pengadilan besok pagi. Untuk terakhir kalinya.”
Bukan jawaban yang Sandy harapkan. Tapi lengan mama yang menggamit erat. Juga hangat sentuh tangan papa membelai rambut putri tunggalnya.
Di sofa cokelat susu itu, papa, Sandy, lalu mama saling meringkuk. Saling menghangatkan. Diam-diam dingin mulai merambati dinding-dinding hati. Juga rasa takut. Takut kehilangan. Takut tak bisa lagi bahagia. Di luar sayup-sayup terdengar deru hujan berangin yang mengempas segala. Sandy berharap, semoga hujan ikut menyapu semua rasa sakit di dadanya.
Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini. Aku ingin bersama mereka. Utuh. Selamanya.

GM, 5-6 Februari 2012
Dimuat Gadis no.07/2013 edar tgl 8-18Maret2013