Powered By Blogger

Senin, Desember 14, 2015

[Perfect Pain] Di Balik Luka yang Sempurna



Jika ada yang bertanya, mana yang lebih sulit, menulis After Rain atau merampungkan Perfect Pain, maka aku akan menjawab...,
Perfect Pain jauh, teramat sangat lebih menantang.



Aku menulis kisah Seren dalam After Rain dengan perasaan ringan dan riang. Tak ada ekspektasi. Tidak membawa beban pesan atau perasaan tertentu (walaupun banyak yang menganggap Seren itu sebenarnya aku sendiri, padahal BUKAN).

Sesungguhnya, aku memiliki ketertarikan khusus tentang isu-isu perempuan, mulai dari kesetaraan gender, kesamaan hak dasar perempuan, hingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam perjalanannya, aku mendapati banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi di kehidupan sehari-hari, baik dari berita di televisi, artikel di koran dan majalah, bahkan curhatan beberapa kenalan. Cerita-cerita itu berkelindan, menjalin sebuah perasaan kuat.
Aku merasa, ini harus dituliskan.
Harus!
Saking kuatnya perasaan itu, aku seperti membayangkan diriku tengah “dihampiri” sesosok perempuan kurus semampai, dengan gaun putih yang ujungnya selalu meliuk dipermainkan angin. Dia mengenalkan dirinya bernama Bi dan memintaku menuliskan kisahnya. Kisah tentang lukanya yang sempurna; luka karena mencintai.
Absurd sih, dan agak horor, tapi kuanggap saja itu bagian dari proses kreatif.

Akhirnya aku mulai menyusun premisnya. Dari premis itu, kukembangkan menjadi sinopsis, lalu terus kupaparkan detailnya dalam bentuk outline.

Seperti yang tadi kusampaikan, ada tantangan lebih besar saat menuliskan Perfect Pain. Tantangan pertama adalah ketakutanku sendiri tentang naskah ini. Bayang-bayang kesuksesan After Rain begitu kuat, sehingga ekspektasi pembaca terhadap novel keduaku ini begitu tinggi. Mereka tentu ingin cerita yang lebih menarik, yang ditulis dengan teknik penceritaan yang lebih baik, serta karakter yang lebih memikat.
Tantangan kedua adalah emosi cerita yang terlalu kuat. Tidak bisa dipungkiri, beberapa adegan dalam novel Perfect Pain begitu intens. Saking pekatnya, sampai menyeretku menjadi pribadi yang emosional juga. Aku jadi gampang sedih, mudah menangis, sedikit lebih temperamental; sampai-sampai aku harus berhenti menulis dan menjaga jarak dengan cerita yang kutulis ini.

Di satu titik, aku merombak total alur Perfect Pain. Saat itu draf ini sudah selesai sampai sekitar bab ke sepuluh.  Aku mengubahnya dengan plot yang sama sekali baru, tokoh-tokoh yang berbeda, walaupun fokusnya tetap mengenai kekerasan terhadap perempuan. Beruntung, aku memiliki editor yang paham kegundahanku, Jia Effendie. Bukannya mendesak atau menasehati ini itu, dia membiarkanku bermain-main plot baru itu. Namun, dalam perjalanannya, aku hanya sanggup menuliskannya sampai bab empat atau lima, lalu mandek begitu saja. Mau kuutak-atik, tetap saja cerita baru itu jalan di tempat. Pasrah! Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke plot awal dan melanjutkannya sampai selesai.

Yang membantuku melewati proses “menyakitkan” menulis Perfect Pain adalah dukungan tim first readers-ku, teman-teman sesama penulis lainnya, serta editor-editor Gagas Media. Mereka tak henti memberikan suntikan energi positif. Aku sadar, tak peduli sekelam apapun cerita Bi ini, dia harus sampai di garis finish. Memang benar, setelah membulatkan tekad, segalanya seperti dipermudah. Aku pun tiba di kata TAMAT.

Aku selalu ingat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang penulis senior padaku: Kenapa kau menulis sebuah cerita?
Buatku, menulis Perfect Pain, sesuai dengan namanya adalah sebuah luka yang sempurna. Namun, aku menikmati prosesnya. Aku tumbuh beserta cerita ini; karena pada akhirnya aku berhasil menaklukkan diriku sendiri, mengalahkan ketakutanku, serta menjadi lebih kuat. Kurasa, pada titik-titik tertentu kehidupan kita, sesungguhnya ada Bi dalam diri kita.

Aku tidak berani menggantungkan impian terlalu muluk tentang Perfect Pain ini. Biarkan kalian yang membacanya menilai sendiri.
Selamat membaca.
Selamat mengenang lukamu sendiri; luka yang sempurna karena mencintai.

Salam,
Anggun Prameswari

PS: Jangan lupa mampir ke blog-blog di bawah ini ya. Ada lebih banyak cerita menarik mengenai Perfect Pain, plus ada giveway-nya juga. Penasaran, kan? Yuk, ramaikan.

Aku punya satu novel Perfect Pain bertandatangan, GRATISSS, spesial buatmu. Jawab pertaanyaan berikut di kolom komentar:
Kalau kamu bisa mengucapkan sesuatu untuk orang yang kau cintai, sekaligus menyakitimu, apa yang ingin kau katakan?
Sampaikan jawabanmu di kolom komentar di bawah ini, disertai dengan nama lengkap dan alamat email (wajib) dan akun media sosial yang kamu miliki (bisa FB/twitter).

Ayo, mari merayakan luka yang paling sempurna!