Powered By Blogger

Senin, April 20, 2015

[CERPEN] Linuwih Aroma Jarik Baru



Muat di Harian Kompas, Minggu, 19 April 2015
Ilustrasi Cerpen oleh Yusuf Susilo Hartono

 Kaulah perempuan itu; perempuan yang bangun dari kematian. Entah untung atau buntung, Tuhan mengembalikan ruhmu tak lama setelah mencabutnya paksa; seperti menyentak gulma dari tanah, lalu menjejalkannya kembali sedemikian rupa.
Seminggu sebelum kejadian itu, kau tengah berladang di sawah ibumu yang cuma sepetak. Hujan deras membuatmu kuyup. Karena awalnya memang kau tak sehat betul, hawa dingin dengan cepat membuat badanmu membara setiba di rumah. Bergelung jarik, kau mengigau tak keruan. Segala obat kau telan, tetap sia-sia. Tepat di malam purnama, hari ketujuh demammu, tiba-tiba tanganmu terulur ke udara, seakan menahan sesuatu. Apakah malaikat datang merenggut paksa jiwamu, tapi kau teguh memperjuangkannya?
Samar kau ingat, air mata ibumu luruh saat melihatmu meregang nyawa. Tangisnya menyayat ke seluruh penjuru dusun. Tetangga berdatangan. Sebagian besar karena tak tega mendengar isak ibumu yang mendadak sebatang kara. Tubuhmu disemayamkan berselimut jarik baru bermotif kawung yang aroma lilinnya belum luntur. Doa para tamu dan tangis ibumu bersahut-sahutan; tak ada yang mau kalah.
Lalu, di antara riuh itu, menyeruaklah suara batuk-batuk. Pertama lirih, lama-lama melantang. Tahu-tahu kau bangkit, membuat jantung mereka setengah terlontar lepas. Mulut-mulut menganga, persis ikan-ikan yang menggelepar. Kau yang bangun-bangun bingung—masih pening oleh aroma kain penutup jenazah—ditubruk peluk limbung ibumu.
Sejak itu kau memiliki linuwih. Kemampuan ”lebih” tiba-tiba dijatuhkan begitu saja dari langit. Kau bisa tahu siapa saja yang dijemput ajal. Pertanda itu menghampirimu dalam bentuk aroma jarik baru, yang bau lilinnya masih pekat. Persis bau pertama yang kau cium setelah bangun dari matimu. Awalnya samar serupa liukan tangan penari yang menuntunmu ke atas panggung. Mau tak mau kau mengikutinya. Jika aroma itu makin kuat, maka makin dekatlah kau pada si calon mayat.
Maka selelah atau sesibuk apapun, bila aroma jarik baru mendatangimu, kau akan mencari sumbernya dan mengunjunginya untuk tanda penghormatan. Bukankah itu inti hidup? Perjalanan demi pencarian yang mengantar pada kepulangan sesungguhnya?
Hanya ibu yang tahu linuwih ini. Padanya kau memberanikan diri bertanya kenapa kau dilimpahi linuwih aroma jarik baru. Kelak akan ada satu kematian yang mengajarimu makna linuwih itu sendiri, begitu katanya sambil melipat kain jarik yang baru dicuci.
Ah, jarik selalu identik dengan ibu. Kain batik selalu membungkus tubuh mungilnya yang mirip ranting; berkali-kali meliuk ditiup angin, tapi tak kunjung patah.
Suatu kali kau menjulurkan kepala di ambang kamar ibu. Wanita itu bersimpuh. Hening dan tenang, tangannya mewiru selembar jarik. Dilipat-lipatnya pinggiran kain dengan telaten, rapi bertumpuk sama lebar. Garis putih pada ujungnya tak ditekuk ke dalam.
”Temani ibu ngawiron jarik dari bapak. Cium bau malamnya, masih baru.” Ibu mengangsurkan kain itu padamu.
Kau menghirup pekat aroma lilin. Kaubayangkan wajah bapak, tapi gagal. Bagaimana bisa mengingat orang yang kepulangannya nyenyai?
Ngawiron iku aja nganti kleru. Lipatannya harus sama. Jangan sampai keliru, apalagi merusak keseimbangan. Hidup tidak akan harmonis dan bahagia.”
Kau membatin, apa ibu bahagia? Selembar kain batik dari bapak apa cukup mengisi kekosongan besar di hati ibu yang terlalu lama ditinggalkan? Bagimu, tidak.
”Jarik selalu ada dalam siklus hidup orang Jawa,” papar ibumu tanpa diminta. ”Alas tidur bayi, gendongan, kain basahan untuk mandi, semuanya memakai jarik. Menikah nanti, kamu dan suamimu akan berkain jarik. Bahkan ketika meninggal, jarik kawung akan menyelimutimu kembali ke alam suwung.”
Ada yang membuatmu pilu saat ibu menyebutkan kata suami. Namun kau belajar menyimpan gundah, karena itulah dada perempuan diciptakan. Ibu pun melanjutkan mewiru jarik, yang kau ketahui di kemudian hari, dikenakan ibu di pesta pernikahan bapakmu dengan istri mudanya.
”Kamu tahu kenapa bapak menghadiahi jarik ini?” bisik ibu di tengah kerumunan tamu bapak. ”Jarik artinya aja gampang serik. Mengingatkan ibu tidak boleh iri pada apa-apa yang bukan milik.”
Tersembul getir di nada ibu. Hatimu ikut teriris. Sepasang matamu merekam ibu yang berbalut jarik melangkah hati-hati, tanpa terburu; menghampiri kedua pengantin.
Begitukah keinginan bapak terhadap jalan hidup kalian? Tidak iri dan berjalan lambat menghayati tiap ketentuan yang dipilihkan, tanpa bisa menggugat?
Dan di sanalah kau mencium aroma itu. Pekat lilin baru di lembar kain mori. Samar awalnya, kemudian menguat di tiap langkahmu mendekat ke pelaminan bapak.
Kau tahu apa yang akan terjadi. Namun, kau memilih diam. Bahkan ketika lelaki itu harus tewas di atas pelaminan, ditancap perutnya berkali-kali oleh belati, karena amuk pemuda yang geram kekasihnya dinikahi bapak, kau bergeming. Bukankah itu yang dia telah tanamkan di hatimu dan ibu? Kepasrahan.
Termasuk pasrah menghayati tangis ibu; berkelindan dengan ruap aroma jarik baru yang perlahan memudar.
Ketika pagi itu kau menghirup aroma yang sama, ada rasa tak enak yang luar biasa. Tak pernah sebelumnya, rasa takut menderamu seperti itu. Kau menuju dapur, berusaha menenangkan diri dengan segelas air.
Betapa rusuh benak dan isi dadamu; aroma jarik baru itu menguat saat ibu melintas di depanmu. Nyaris saja gelas di tangan meluncur jatuh, persis jantungmu yang mencelus.
”Kau seperti baru melihat hantu,” ujar ibu berlalu menuju kamar.
Dua gelas air habis kau teguk untuk menutupi kebohongan. Dalam kepalamu, segala bayang buruk berlesatan. Apa kau sanggup hidup membayangkan hidup tanpa ibu? Sungguh, sepanjang kau memiliki linuwih ini, tak sekali pun terpikirkan ini.
Tak tahan lagi, kau terobos pintu bilik kamar ibu. Wanita itu menegakkan tubuh, menjauh dari tumpukan jarik yang tengah dirapikan.
”Mari ke kota, Bu. Membeli jarik baru,” begitu katamu tiba-tiba. ”Ada sedikit uang. Aku ingin memberi ibu hadiah.”
Sejenak mata sayu ibu mencoba membacamu. Jantungmu berderap, siap merancang kebohongan lainnya. Namun, ibu mengiyakan dan menyuruhmu menunggunya berganti baju.
Jarik terbaik dikenakannya. Rambutnya digelung rapi. Tak ada gincu atau bedak berlebihan. Dari rumah, kalian menyusuri setapak menuju jalan besar. Tak jauh dari sana ada perempatan dengan pos menunggu mobil angkutan menuju kota. Tak sedetik pun tangan ibu lepas menggamit lenganmu. Dadamu sesak. Udara yang kau hirup beraroma tajam, mengiris hatimu lamat-lamat.
Ada keakraban yang tiba-tiba muncul. Sepanjang perjalanan, ibu bercerita banyak, termasuk bagaimana kau dulu nyaris tak berhasil dilahirkan.
”Ibu sudah ikhlas, tapi ibu tetap berjuang.”
Hatimu menghangat mendengarnya.
”Persis ketika kamu sempat mati. Ibu ikhlas.”
Namun jika hal itu dibalik, kau tak yakin apa juga bisa ikhlas.
”Yang sudah ditulis takdir, tak mungkin dicurangi.”
Kau curiga ibu mengintip isi pikiranmu. Selanjutnya, ibu tak berkata apa-apa lagi. Kalian hanya diam sampai angkutan berhenti di depan pasar. Di sebuah kios, seorang emak tambun berwajah lembap keringat dan bertangan kemerincing gelang emas sepuhan menyambut kalian. Ibumu meminta diambilkan selembar batik kawung. Hatimu langsung terjun bebas.
Emak tambun itu membentangkan lembar batik motif kawung. Tak lagi bisa kau bedakan aroma linuwih atau kain pilihan ibu. Dominan hitam dan coklat tua membuat pandanganmu sekejap menggelap. Bentuk-bentuk lonjong sama besar dengan garis bersinggungan, mengingatkanmu pada lengkung kolang-kaling dengan motif serupa keping uang sen kuno. Batik kawung memang terkenal sebagai lurup—kau ingat dulu kain inilah yang menutupi jasadmu.
”Yang ini saja,” ujarnya mantap.
Kau tersenyum sekenanya, menutupi rasa gamam di dada. Ibu selalu tahu gundah apa di hatimu, binar riang di matamu, bahkan hela napasmu yang mendadak lain. Kau adalah buku yang tak pernah gagal dibaca ibu. Namun, pernahkah kau bertanya, kematian seperti apa yang diinginkan ibu?
”Kenapa jarik kawung, Bu?”
”Apa seharusnya ibu pilih truntum atau sidomukti? Memangnya sudah ada yang melamarmu?”
Seharusnya pipimu memerah. Mestinya kau salah tingkah. Namun, kau makin susah bernapas. Udara di sekelilingmu dipenuhi aroma, yang untuk pertama kalinya sejak memiliki linuwih itu, sangat kau benci.
”Bayarlah, lalu kita pulang,” ujar ibu.
Kata terakhir itu membuatmu bergidik. Pulang ke mana? Tentu saja ke rumah yang telah kalian huni bertahun-tahun. Bukan menuju keabadian.
Saat menunggu angkutan ke dusun, di depanmu ada selembar daun tertiup angin. Kau genggam tangan ibu kuat-kuat. Kau takut ibu seperti daun itu; tahu-tahu terbawa pergi.
Saat angkutan menghampiri, kau hitung detik yang tersisa. Sembari mendekap bungkusan berisi batik kawung itu, ibu memiringkan kepala menyuruhmu lekas naik.
”Ayo pulang,” ujar ibu tersenyum, seakan tahu segala rahasia yang berimpitan di kepalamu.
Walau ragu, tetap saja kau naik. Kau pejamkan mata sambil terus menggenggam tangan ibu. Iya, Bu. Kita pulang sekarang. Mobil itu melaju, sesekali berguncang melintasi jalan bergelombang. Di luar, kau lihat langit menggelap. Seakan apa yang kau punya di dada, tertular ke semesta. Kau menatap wajah ibu sekali lagi. Matanya terpejam, damai sekali. Mungkin bungkusan jarik barunya memberikan ketenangan. Kau makin takut, kalau-kalau mata itu tak terbuka lagi.
Langit pecah jadi hujan. Jalan basah makin rawan. Saat mobil berbelok di tikungan tajam, kau hendak mengingatkan sopir untuk hati-hati. Lelaki tua bertopi lebar dan berkalung handuk itu menoleh sekilas. Namun, kau takkan lupa sorot di sudut matanya. Kelam dan kosong. Kalian pernah jumpa, kau bisa merasakan itu. Mengingatkanmu pada hening alam suwung yang pernah kau kunjungi, di suatu masa.
Kembali kau disergap sesuatu. Aroma itu.
Tunggu! Ya, aku juga menciumnya. Bau lilin batik di kain yang masih baru. Makin lama makin kuat…