Powered By Blogger

Sabtu, Maret 28, 2015

[CERPEN] - Kembang Pulang



Jika ada yang bertanya mana yang lebih dingin, udara malam atau hawa hatinya, Ros akan meraba dadanya. Ada gunung es tumbuh di sana. Sekarang pukul tiga dini hari. Yu Jum terkantuk-kantuk di meja kasir. Pendar papan iklan bir berneon merah-hijau di beranda wisma, tengah meregang kelip terakhir sebelum benar-benar padam. Tamu kelimanya di hari ini baru pulang dengan langkah terseok, setengah mabuk. Ros keburu lupa wajah tamunya itu. Baginya, lelaki selalu tak lebih dari sosok tak berwajah.
Termasuk lelaki itu, yang seharusnya dihukum karena telah mendinginkan dadanya. Dari cerita masa kecilnya, lelaki itu suka sekali pada rumpun kembang ros yang berayun-ayun di bawah jendela kamar tidur ibunya.
Masih nunggu tamu, Ros? Yu Jum menaikkan resleting jaketnya tinggi-tinggi. Kejar setoran ya. Jangan lupa, sisakan buat yang lain.
Tak mengacuhkan Yu Jum, matanya menatap neon box sebuah merk bir. Suaranya terdengar berderak-derak nyaris padam. Angin menjelang fajar semakin kejam. Jalanan di depan pintu wisma mulai sepi. Denting penggorengan tukang tahu tek beradu dengan sayup musik dangdut. Bahkan di masa seharusnya dunia terlelap, kehidupan masih berdenyut. Kalau hatinya sudah sedingin ini, biasanya Ros berlari ke pinggir jalan dan menatap ujungnya. Ada harap yang menggelembung, kalau-kalau lelaki itu––ayahnya––pulang.
Ke mana ayah?
Kapan pulang?
Kenapa ayah pergi tidak mengajak kita?
Ros kecil yang cerewet. Kata orang-orang dulu, bibir Ros serupa butir anggur ranum, menggemaskan. Kata orang-orang kini, bibir Ros layak disebut berpulas anggur merah, memabukkan. Bibir itu Ros warisi dari ibu, yang sepanjang ingatannya pula, tak pernah ia dapati bibir itu banyak berbicara.
Tak sekalipun Ros tahu apa ayahnya kurus atau tambun. Berkumis atau berjenggot. Beraroma kretek atau wangi parfum murahan. Yang ia tahu, ayah tak pernah. Kadang Ros berharap ibu sama cerewetnya seperti Yu Jum, yang selalu mengurusi hidup orang hingga ia tak perlu meraba sosok ayahnya dalam sosok lelaki yang berganti lebih cepat dari guguran daun meranggas.
Minggu depan wisma tutup, Ros, Yu Jum menyalakan rokoknya. Dapat uang kamu nanti. Tiga juta.
Derak tembakau di kiri Ros beradu dengan pendar neon box yang menyedihkan. Yu Jum ikut-ikutan menatap ke arah yang sama.
Apa rencanamu, Ros?
Pulang, Yu.
Ke mana? Memangnya punya rumah untuk pulang?
Ros diam.
Gang ini mau disapu, Ros. Biar bersih, katanya. Memangnya kita sampah ya, Ros? Padahal mereka menyebut kita perempuan harapan, yang masih bisa hidup lebih baik walau ditukar dengan uang tiga juta, asap embusan rokok Yu Jum melayang-layang lebih jauh. Kasihan papi-papimu nanti, Ros. Pasti mereka kangen kamu.
Dada Ros makin dingin. Entah berapa lelaki yang ia senangkan, tapi tak sebanding untuk menambal lubang di dadanya. Tak ada ayah yang bermain ayunan bersama, mengantarkannya ke sekolah, menepuk manja kepalanya. Menyelimutinya saat demam, memarahinya saat pulang pacaran terlalu malam.
Mungkin karena itu Ros lebih suka tamu lelaki yang lebih tua, yang sebenarnya lebih pantas ia sebut ayah. Seluruh penghuni wisma maklum itu. Mereka selalu menyodorkan lelaki setengah baya ke pangkuan Ros untuk disenangkan, berharap Ros juga bisa menyenangkan hatinya sendiri.
Tiap ada lelaki masuk ke wisma, melewati pintu yang dinaungi neon box bir itu, asa di dadanya menyerupai balon. Mengembang besar. Namun, Ros belajar sejak lama tentang cara lelaki menatap dirinya. Mereka yang datang tak pernah menatapnya penuh rindu, sebagaimana dirinya merindukan ayah. Ia hanya dianggap kembang, untuk dihirup wanginya, menghias sepi, lalu ditinggalkan bila waktunya tiba.
Dingin di dadanya menjadi-jadi. Ros tinggal menunggu hari di mana hatinya benar-benar mati. Persis wisma ini. Mirip neon box itu.
Aku pengin ketemu ayah, Yu.
Di mana dia? Ayahmu bahkan sudah pergi sebelum ibumu tahu dirinya hamil. Kamu lahir di sini, besar di sini, cari makan juga di sini. Gang ini boleh disapu, Ros, tapi ini kampungmu. Ibumu dulu kembang di sini. Sekarang kamu juga. Buat kita, inilah rumah. Mau ngapain ketemu lelaki itu lagi?
Ada skenario di kepalanya kalau ia bertemu ayah. Pertama, ia akan marah sebesar-besarnya. Bagaimana bisa ayah sekejam itu, meninggalkan anak perempuannya seorang diri, tanpa membekali pengetahuan tentang hidup. Bagaimana caranya naik sepeda. Bagaimana mengerjakan PR matematika. Bagaimana menghadapi teman sekolah yang centil. Bagaimana membedakan laki-laki yang benar-benar baik dari sekian banyak lelaki yang tampak baik.
Lalu ia akan menangis. Air matanya berjatuhan persis hujan di Desember. Segala momen yang hilang akan ia tangisi. Bukankah lelaki lemah pada air mata wanita? Ayah akan semakin sedih hatinya, lalu memeluknya. Maka, gunung es di dadanya akan pelan mencair, sehingga airmatanya menjadi air bah yang menenggelamkan mereka berdua.
Selanjutnya, Ros akan bercerita. Tentang luka di lututnya karena terjatuh saat belajar sepeda sendiri. Tentang pacar pertama yang diam-diam menciumnya di atas becak selepas nonton dangdut di kampung sebelah. Tentang ibu yang tak pernah berhenti menangis tiap tengah malam. Tentang sulitnya hidup perempuan yang bertahan seorang diri. Tentang lembar rupiah yang cepat menguap entah menjadi apa. Tentang tamu pertama yang menaiki tubuhnya, dengan dengus napas seperti kerbau mengamuk, tapi tak juga Ros bisa ingat seperti apa wajahnya. Tentang dingin di dadanya, yang tak bisa dihangatkan oleh lelaki yang silih berganti menghangatkan ranjangnya di wisma.
Sampai tiba akhirnya Ros memaafkannya, karena toh ia telanjur mencintai ayahnya. Bukankah cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya, dan konon cinta pertama itu takkan mati?
Kalau wisma ini tutup, kita bagaimana ya Ros?
Ya pindah. Pulang ke kampung, buka warung atau apalah.
Ngomongmu sudah seperti Walikota saja.
Ros membalikkan badan. Tubuhnya mendadak begitu lelah. Sendi-sendinya mulai berlepasan, entah karena tamu terakhir membolak-balik tubuhnya seperti adonan panekuk setengah matang atau karena tak ada lagi tenaga untuk berpikir. Derak neon box itu kini lebih cepat, tapi sekaligus melemah.
Pulang, Yu. Aku pengin pulang.
Pet!
Mata Yu Jum dan Ros bertautan tepat saat neon box itu padam, seakan menandai usainya kehidupan di sebuah lekuk jalanan yang disesaki wisma-wisma penuh kembang yang wangi, yang tinggal menunggu hari untuk hilang.
***
Ros menutup berkasnya sembari menghela napas. Setengah mati dia berusaha mengabaikan sorot mata dari ujung ruang tunggu. Padahal dia sudah berpakaian teramat sopan. Kemeja lengan panjang dan pantalon hitam. Pagi tadi dia malah menghabiskan setengah jam hanya untuk memutuskan apakah rambutnya diurai atau digelung. Mana yang terlihat tak terlalu “mengundang”. Namun, prasangka buruk memang selalu lebih mudah dilakukan.
Mantan “itu” ya?
Nyari dana katanya. Buat LSM tempatnya sekarang kerja.
Sekalian jualan?
Ngawur!
Sayang sekali, padahal cantik.
Jangan-jangan masih terima order.
Kalau sama aku, dia mau nggak ya?
Wani piro kowe, Mas, hahaha?
Pagi tadi, sebelum Ros tiba di kantor institusi swasta yang konon mengajaknya meeting untuk urusan pendanaan, Ros melewati gang itu. Jalanan di sana tak lagi sama ramainya. Lokalisasi itu memang resmi ditutup. Gang yang dulu begitu hidup kini mati. Kembang-kembang yang dulu tumbuh merekah, dicabut paksa kemudian mati. Atau tertatih-tatih mencari tanah, untuk kembali menancapkan akar di tanah lain yang masih sudi menerimanya.
“Mbak Ros ini mantan penghuni gang ya? Sekarang kerja di LSM pemberdayaan perempuan?” tanya pimpinan itu dengan sorot menyelidik. Tadinya Ros kira, begitu masuk ruang pimpinan, dia terbebas dari tatapan menghakimi di ruang tunggu. Sayangnya tidak. Ros menggenggam tangannya erat-erat.
“Iya. Saya ditawari kerja di sana.”
“Kalau mantan penghuni lainnya, pada ke mana, Mbak?”
“Ada yang pulang ke keluarganya, membuka usaha, pergi ke kota lain, dan ada juga yang meneruskan profesi lama diam-diam.”
“Wah, percuma dong lokalisasinya ditutup.”
“Oleh karenanya, LSM kami membantu mengedukasi mereka, terutama kesehatan seksual dan kemandirian ekonomi. Bantuan dana dari perusahaan bapak sangat berarti.”
“Angkanya besar juga ya,” pria itu mengalihkan pandangan dari berkas proposal ke arah Ros. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Bisa dong kita bahas ini di tempat yang lebih privat. Kamu tahulah maksud saya.”
Ros hapal betul itu. Raut wajah lelaki yang mencari persinggahan, bukan rumah untuk pulang. Dadanya memanas. Kembali menggelegak kenangan tentang ayah yang asing, tentang ibu yang mati pelan-pelan oleh kesedihan, tentang kembang-kembang lain yang dicerabut paksa tanpa bisa dicarikan tempat untuk tumbuh merekah indah, tanpa dipandang sebelah mata.
Dia perempuan. Mereka perempuan. Apa begitu sulit menjadikan perempuan sebagai rumah untuk pulang, bukan hanya tempat persinggahan. Bahkan ketika Ros mencoba jalan yang berbeda, orang-orang di sekelilingnya terus kembali mendorongnya kembali ke taman yang sama. Taman yang mereka anggap cocok untuk kembang seperti dirinya.
Termasuk pesan pendek dari Yu Jum tadi pagi.
Sudah ketemu ayahmu? Kujamin belum. Nggak usah mimpi-mimpi tentang ayahmu atau hidup benar. Ayo balik. Tak ada ayah, papi pun jadi. Telepon aku, nanti kukasih tahu alamat hotelnya.
“Bagaimana, Mbak Ros?” tanya lelaki itu sekali lagi.
Ros merasakan dadanya ditumbuhi gunung es. Lebih besar. Makin kokoh. Yang terbayang di matanya hanya pendar neon box sebuah merk bir yang sekarat, nyaris mati. Mengingatkannya pada diri sendiri
Ros langsung menarik kembali berkas proposal, dengan sekali sentakan paksa. Wajah pimpinan itu memerah, nyaris meletus oleh penolakannya. Ros tak menoleh ke belakang. Sudah lama dia menyerah akan masa lalu yang lebih sulit dihapus ketimbang sebuah tato atau tanda lahir. Apapun yang dia lakukan, mereka akan selalu memandangnya sama.
Maka, kalau Ros tak bisa menemukan rumahnya untuk pulang, maka biar dia yang membangunnya sendiri.[]



Catatan: Karena miskomunikasi, cerpen ini dimuat ganda di majalah Femina no.12/XLIII (edar 21-27 Maret 2015) dan tabloid Nova no.1412/XXVIII (edar 16-22 Maret 2015). Bukan sesuatu yang membanggakan karena pemuatan ganda adalah kesalahan besar. Masalah pemuatan ganda ini sudah selesai antara aku dan kedua media yang bersangkutan. Lihatlah dari sisi positifnya. Lebih banyak orang yang membaca cerpen ini. Semoga bermanfaat.

Jumat, Maret 27, 2015

[CERPEN] - Papa Untuk Anakku



 Dimuat di Majalah Good Housekeeping edisi November 2014
 
Tanganku ragu membuka pintu berhiaskan poster Ben 10 itu dan hiasan gantung kayu bertulis Nizam’s Room. Kuusap wajahku beberapa kali sampai tak ada air mata tersisa lagi. Kupasang senyum terbaik yang kupunya. Kusuguhkan hanya wajah bahagia padanya.
“Belum bobo, sayang?” sapaku.
Nizam menatapku dari balik selimut. Binar sepasang mata, senyum yang merekah, dan uluran tangan memohon pelukan, semuanya kurekam erat-erat. Itulah pemandangan yang mengusir semua lelah dan menyirami hatiku dengan asa. Nizamlah yang membuat hidupku jauh lebih berharga sepeninggal mantan suamiku.
“Bunda kok baru pulang jam segini?”
“Maaf ya. Kamu nungguin Bunda?”
Nizam mengangguk cepat beberapa kali. Pipi gembilnya naik turun mengikuti irama kepala. Langsung kupeluk dia dan kuserang dengan ciuman bertubi-tubi di seluruh wajahnya. Nizam terkekeh kegelian dan meronta-ronta. Kuhirup habis wangi tubuhnya seperti pecandu yang mengisap bakaran daun kanabis.
“Bunda diantar sama Om Denis?” tanya Nizam polos. Sejenak aku menatapnya sembari menimbang apakah harus mengatakan yang sebenarnya. Baiklah. Jujur saja. Aku pun mengangguk cepat.
“Kenapa Om Denis nggak mampir ke kamar Nizam dan bacakan dongeng?”
“Om Denis harus buru-buru pulang. Sudah malam, kan?” aku melirik ke arah jam dinding. Jam sembilan lebih sedikit.
“Bun, kapan Om Denis jadi papa Nizam?” ujarnya tiba-tiba. Pandangannya mengunci mataku. Sorot itu mampu membendung niatku untuk berbohong. Aku tak sanggup mendustai sepasang mata malaikat di depanku.
“Teman-teman Nizam di sekolah bilang Bunda akan menikah sama Om Denis. Nizam akan punya papa baru. Kapan, Bun? Masih lama ya?”
Sepasang mata itu langsung menyayat hatiku. Aku langsung memeluknya. Diam-diam air mataku merembes perlahan.
“Nizam mau punya papa sebaik Om Denis, Bun. Cepat nikah ya, biar Om Denis bisa pindah kemari. Jadi Bunda sama Nizam nggak kesepian lagi.”
Sekuat apa pun aku menahan suara, isakan itu sanggup menyelinap keluar dari bibirku. Air mataku semakin deras mengalir. Kupeluk Nizam makin erat. Bocah lima tahun itu sedikit meronta, tapi ia seakan paham, akhirnya memilih diam.
“Bunda, kenapa nangis? Nizam nakal, ya?” tanyanya sambil mengelus punggungku.
Tenggorokanku tercekat. Tak ada kata yang keluar. Seharusnya padakulah Nizam mencari ketenangan. Namun, aku seakan mencari kekuatan pada pelukan rapuh ini. Nizam terus mengelus punggungku. Kubiarkan malam yang makin tua di sana membawa bayang-bayang Denis menjauh. Biarkan aku berbagi hangat sejenak di ranjang Nizam.
“Cup cup, Bunda, jangan nangis ya. Cup cup,” ujar Nizam polos.
***
Parsel buah di tanganku bergetar hebat. Tanpa banyak bicara, Denis mengambilnya dariku dengan satu tangan, lalu tangan lainnya menggenggam tanganku. Bisa kurasakan perbedaan kedua kulit kami. Tangannya besar dan hangat. Seperti selimut, tangan itu menangkup penuh pada tangan mungilku yang dingin. Ia pasti bisa menyadari badai yang bergemuruh di dadaku.
“Operasi jantung ibu berhasil. Ibu akan baik-baik saja,” hiburnya. Siapa yang tengah dia hibur? Dirinya sendirikah lantaran sang ibu akhirnya lolos dari maut? Atau menghiburku yang sejak beberapa hari lalu tenggelam dari rasa bersalah?
“Kamu yakin sakit jantung ibu nggak akan kambuh kalau melihatku?”
“Tadinya kupikir begitu. Tapi ibu sendiri yang ingin ketemu kamu.”
Aku menghela napas perlahan. Ini di luar dugaan. Ibu akhirnya mau menemuiku setelah drama panjang kami beberapa waktu lalu. Aku tak bisa menebak apa yang ada di kepala ibu.
“Ibumu nggak pernah suka sama aku,” jawabku lirih.
“Ibu cuma belum kenal sama kamu. Selama ini aku coba bujuk ibu. Mungkin setelah operasi itu, pikiran ibu jadi lebih terbuka. Siapa tahu ibu merestui kita?”
“Ibu mana yang rela anak bujangnya menikah sama janda cerai beranak satu?”
Denis tersentak menolehku. Ting! Denting lift terbuka dan percakapan kami berhenti sampai di sana. Sejenak aku ragu keluar dari sana untuk bertemu ibunya. Namun, tangannya menarik pelan. Seakan-akan hangatnya enggan melepasku pergi.
Ibu duduk di kursi roda. Perawat tengah membawanya berjalan-jalan ke taman rumah sakit. Duduknya tenang dengan tiang infus menjulang di belakang. Wajahnya nampak segar. Mungkin darah sudah mengalir sempurna di tubuhnya berkat operasi itu. Namun tetap saja, tak ada senyum yang menyambutku. Hatiku langsung dicengkeram perasaan dingin. Kami semua sejenak memandangi pepohonan dan air mancur dalam diam. Kulirik ibu. Wajahnya tenang, sesekali terpejam. Tak ada tanda beliau akan menyerangku dengan kata-kata pedasnya seperti terakhir kami bertemu.
“Den, tolong belikan ibu air putih. Kamu juga mau?” tawarnya padaku. Aku tersentak kaget dan menggeleng cepat. Denis sedikit ragu, tapi aku tersenyum. Kuyakinkan kalau kami berdua akan baik-baik saja di sini, walau sebenarnya diriku sendiri meragukannya.
Aku melihat punggung Denis yang menjauh. Ada keheningan yang tumbuh di antara aku dan sang ibu. Aku memberanikan diri menatapnya.
“Kamu masih ingat terakhir kita ketemu?” tanya ibu seakan tahu aku tengah mengamatinya. Aku mengangguk. “Denis bilang sama ibu kalau dia mau nikah sama kamu.”
Kata-kata itu membawaku kembali pada pertemuan minggu lalu. Aku, Denis, dan sang ibu duduk melingkar di meja makan. Ibu memang sudah lama tak menyukaiku, tapi hari itu Denis sanggup membujuknya untuk makan malam bersama, dengan satu tujuan.
“Bu, aku dan Ayu sudah setahun lebih menjalin hubungan.” Denis tiba-tiba bersuara. Mata ibu membeliak gusar seakan bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. “Di usia kami, rasanya pacaran terlalu lama pun tidak ada gunanya. Aku ingin menikahi Ayu, Bu. Kuharap ibu merestuinya.”
“Tidak,” jawab sang ibu cepat.
“Bu,” Denis berusaha membujuk.
“Ayu. Lebih baik kamu pulang sekarang. Anggap saja pembicaraan ini tidak ada.”
Aku menatap kedua orang di depanku bergantian. Dadaku mendadak sesak. Sorot mata itu tajam menguliti hatiku. Napasnya memburu menahan geram. Sebenci itukah dia padaku? Salahku apa padanya?
“Denis, kamu ganteng. Sukses. Pintar. Apa perlu ibu yang mencarikanmu istri?” tanyanya sambil tetap melihatku. Aku mendapati bayanganku sendiri pias di sepasang bola mata yang nyalang itu. “Ayu bukan perempuan yang tepat buat kamu.”
“Kenapa saya tidak pantas untuk Denis, Bu? Apa karena saya pernah menikah dan punya anak?” entah dari mana kudapatkan keberanian itu. Denis meremas lembut tanganku, seakan memintaku tenang. Namun, ibu telanjur menyulut sesak yang kutimbun menjadi kobaran api yang tak terkendali.
“Saya cinta Denis. Denis cinta saya dan dia juga mau menerima Nizam, anak saya. Apa yang salah dengan itu?”
“Salah. Ibu nggak mau punya mantu janda.”
“Apa hanya karena status janda itu ibu mengorbankan kebahagiaan Denis?”
“Tahu apa kamu tentang bahagianya Denis? Ibu yang membesarkan dia. Kamu baru setahun kenal dia sudah berani menceramahi ibu? Seperti ini perempuan yang mau kamu nikahi, Den?”
“Bu, tenang. Ingat, ibu ada sakit jantung.” Denis mengelus tangan ibunya, sementara tangan lainnya masih menggenggamku erat.
“Pokoknya sampai mati, ibu nggak mau punya mantu Ayu.” Dalam sekejap, amarah itu merobek jantungnya. Ibu terkesiap memegangi dada. Di tengah usahanya menarik napas yang begitu menyakiti jantungnya, ia masih menatapku penuh benci.
“Ayu,” suara ibu memanggilku kembali dari kenangan menyakitkan itu. Aku menoleh dan berusaha tersenyum. “Ibu bukannya benci sama kamu. Kamu anaknya baik. Cantik. Denis juga cerita bagaimana usaha kamu membagi waktu antara kerja dan anak. Kamu perempuan yang kuat. Tapi untuk menjadi istri Denis,…”
Aku diam menanti kata-kata ibu selanjutnya. Jantungku berlompatan tak keruan, tapi berusaha tersenyum.
“Ibu memohon dengan sangat,” ujarnya lirih. “Tinggalkan Denis. Tolak lamarannya. Ibu nggak akan bisa ikhlas kalau mantu ibu seorang janda beranak satu. Ibu rela melakukan apa saja. Kamu boleh minta apa saja, asal tinggalkan Denis. Jangan menikah dengan Denis.”
“Kenapa, Bu?”
“Apa salah kalau ibu ingin punya mantu wanita lajang? Apa salah kalau ibu tidak ingin Denis terjebak dalam tanggung jawab besar membesarkan anakmu? Denis belum siap untuk itu. Kamu tahu apa cibiran orang tentang janda? Menurutmu apa Denis layak diperlakukan seperti itu?”
Hatiku teriris habis tak tersisa mendapati kata-kata itu. Sehina itukah aku di mata ibu? Aku tertunduk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.
“Janji sama ibu, Ayu. Jangan nikahi Denis.” Ibu berujar lirih. Nadanya penuh iba dan ratap. Sebagai sesama ibu, aku berusaha mengerti keinginannya untuk membahagiakan putranya. Aku punya anak. Aku pun ingin anakku bahagia. Namun, bahagia atas nama siapa?
Denis datang dengan dua botol air mineral di kedua tangan. Dua botol itu seperti aku dan ibu. Sama-sama membawa kebahagiaan untuk Denis, tapi hanya satu yang bisa dipilih. Aku atau ibu. Denis menatap kami cerah seakan tak sanggup menyembunyikan girang melihat kami bersanding dalam tenang. Namun, tahukah dia apa yang baru kami bahas?
“Ayu, ibu mohon. Janji sama ibu.”
“Iya,” jawabku lirih menyerah. “Saya janji. Saya tidak akan menikahi Denis.”
***
Aku melangkah gontai menuju ruang tengah. Ada Nizam tergolek nyenyak di sofa di depan televisi. Inah, pembantuku, buru-buru menghampiri seakan takut aku meledak marah.
“Dek Nizam katanya mau nungguin ibu pulang,” ujarnya takut-takut. “Tadi sudah saya suruh tidur di kamar, tapi nggak mau.”
“Nggak apa-apa,” jawabku lemah. Aku menghampiri tubuh mungil itu. Tangannya menggenggam selembar kertas yang hampir lunglai jatuh ke lantai. Perlahan kuambil kertas itu, berharap Nizam tidak terbangun. Hatiku mencelos kala kulihat yang tertera di sana.
Sebuah lukisan krayon warna warni. Sebuah rumah dengan pagar kayu dan diapit pohon apel besar. Di depannya ada tiga orang. Masing-masing dinamai Nizam, Bunda, dan Ayah Denis. Aku langsung membekap mulut menahan suara terisak. Hatiku tercabik-cabik kecil. Perihnya menjalar sampai ke ujung kepala.
“Bunda?” Nizam seperti menyadari kedatanganku. Buru-buru kuhapus air mata yang siap jatuh. Sepasang mata itu mengerjap tanpa dosa, lalu buru-buru ia memelukku. “Gambarnya jelek ya Bunda? Besok Nizam gambarin yang lebih bagus. Nanti Nizam gambarin dua. Satu ditaruh sini, satu lagi ditaruh rumah Om Denis ya? Terus kapan Nizam bisa panggil Om Denis papa?”
Celotehan itu menderas, sederas pilu yang mencacah kepalaku. Aku hanya bisa memeluknya. Lagi-lagi aku mencari kekuatan pada tubuh mungil yang seharusnya kulindungi. Air mata jatuh satu-satu, terus menerus beriringan membasahi punggung Nizam.
“Bunda, Nizam nggak sabar punya ayah seperti Om Denis.”
Oh anakku,… maafkan bunda, sayang.
***
GM, 5 Juli 2012

[CERPEN] - Sepotong Rindu

Cerpen ini masuk ke dalam antologi "Yang Dibalut Lumut" sebagai karya 
30 besar Lomba Kreativitas Pemuda 2003 kategori Cerpen 
yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
Aku menulisnya saat masih kelas 3 SMA. 
Berkat cerpen ini, aku diajak masuk ke dunia sastra dan bertemu para penggiatnya. 





     Malam selarut ini. Dingin diantarkan oleh hujan. Kehangatan pun dinanti. Teguh cuma duduk sambil termangu-mangu memandangi sisa pekerjaannya. Letihnya menggunung, sedari pagi berkutat dengan mesin dan oli. Ada sebongkah kerinduan memeluk batinnya. Detik-detik terus berlalu. Sepuluh menit lagi jam berdentang sebelas kali. Telepon berdering memecah keheningan yang diciptakan malam. Teguh setengah berlari meraihnya. Berdoa semoga yang dirindukannya merasakan kerinduan ini.
     “Halo?” Teguh menyapa penuh harap.
     “Teguh ya? Ini ibu, nak. Bagaimana kabarmu? Sehat? Sudah makan? Lalu anak-anakmu, bagaimana Gino, Iin, dan Lisa? Mereka baik-baik saja?” suara serak itu menyerocos.
     Teguh menghela napas. Harapannya pupus.
     “Kami baik-baik saja, bu, pokok’e sehat semua. Ada apa ibu telepon malam-malam?”
     “Lho, ndak salah tho ibu kangen sama anak sendiri. Kamu lagi ngapain?”
     “Saya sedang mengurus surat-surat order buat bengkel, bu. Anak-anak sudah tidur,” bohongnya. Ibu pasti senewen bila tahu anaknya duduk di ranjang sendiri di tengah hujan lebat sambil memeluk sepi.
“Rumi? Piyé kabar istrimu?” tanya ibu agak menyelidik.
     “Baik-baik saja. Baru saja dia menelepon. Dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Saya bangga, bu, punya istri seperti Rumi. Cerdas, cita-citanya tinggi, dan energik,”
     “Walah, ibu malah nggak setuju kalau dia kuliah lagi. Terlalu tinggi. Toh dia wanita yang punya kodrat mengurus rumah tangga. Ibu pingin punya mantu yang sederhana, keibuan, pintar masak, dan tinggal di rumah. Rumi terlalu modern buat ibu,”
Teguh kembali diam. Ia sangat malas meladeni ibunya berdebat. Sampai tiga belas tahun pernikahannya dengan Rumi, ibu tetap memendam kekecewaan. Ibu memang tidak terlalu suka Rumi. Untung saja, ibu terus berusaha menerimanya. Walau itu akan memakan waktu lama.
 “Kok rasanya hati ibu ini nggak enak. Seperti mau ada sesuatu. Benar kan semua baik-baik saja? Rumi masih sering telepon kamu, kan? Ibu kok jadi takut dia kecantol bule Singapura,”
 “Enggak ada apa-apa, bu. Ibu tenang saja. Kalau ada apa-apa, saya kabari.”
Yo wis, kamu istirahat. Ojo kecapekan,”
Inggih,
Teguh memandang foto Rumi yang bersanding dengan pesawat telepon yang gagangnya baru ia letakkan. Rumi memang muda dan cantik. Teguh mendadak merasa tua sekali karena usianya yang terpaut sebelas tahun. Rumi juga pandai. Sekarang ia mendapat tawaran studi S2 di Singapura oleh perusahaan tempat dia bekerja. Memang berat melepaskan istri secantik itu ke luar negeri sendirian. Tapi Teguh tahu, inilah cita-cita Rumi. Pendidikan dan jabatan yang cemerlang. Itulah yang membuat Teguh mengkeret. Bayangkan! Dia cuma lulusan STM. Walaupun dua bengkel di bawah kepemimpinannya, apakah cukup pantas bersanding dengan seorang manajer pemasaran perusahaan ekspor-impor? Teguh malas menjawabnya.
Dia merasa tidak enak membohongi ibunya. Rumi sudah dua minggu tidak meneleponnya. Teguh juga tidak tahu nomor telepon Rumi di Singapura. Rumi menolak memberikannya. Biarlah saya yang menelepon mas, nanti tagihan telepon rumah membengkak, begitu pesannya. Teguh juga bingung kalau anak-anak mulai menanyakan Rumi. Dia tidak terbiasa berbohong. Tapi kini kebohongan mulai akrab dengan bibirnya.
Telepon kembali berdering. Teguh masih mengharap Rumi yang meneleponnya.
“Halo? Teguh ya? Ini Mami,”
Rasanya mata Teguh menjadi berat. Kantuk mulai menyerbunya. Ia dua kali lebih malas menerima telepon dari mertuanya. Mami Rumi tidak kalah cerewetnya dengan ibu. Bila kedua besan itu bertemu, Teguh harus membiasakan telinganya dengan nada berisik.
“Teguh, bagaimana kabar Rumi? Dia belum telepon mami,”
“Rumi baik-baik saja, mi. Dia baru saja telepon saya. Katanya lagi sibuk dengan tugas kuliah. Makanya belum sempat telepon mami. Tapi tadi dia titip salam kangen buat mami,”
“Oh ya? Itu baru anak mami,”
Teguh merasa tengkuknya lelah.
“Kamu sudah siapkan hadiah apa untuk kepulangan dia dua bulan nanti?”
“Belum, mi.”
“Masak Rumi nggak dikasih sesuatu atas kesuksesannya. Mestinya kamu bangga punya istri cerdas seperti Rumi. Dengan kemampuan seperti itu, Rumi bisa mendapatkan lelaki manapun yang dia mau. Kamu harus berusaha menjaga dia, menyenangkan hatinya, melindungi, dan menyayanginya. Jangan sampai dia tertarik pria lain,”
Teguh menghela napas selirih mungkin. Mami memang sedikit tidak suka dengannya. Mungkin di mata mami, Teguh cuma montir yang kebetulan punya dua bengkel lalu berhasil menikahi bidadari berotak cemerlang. Mami juga sedikit cemberut melihat rumah pemberian Teguh yang tidak berlantai dua. Sering pula Teguh merasa mami sedikit meremehkan VW tahun 70annya. Mungkin menurut mami, Rumi lebih pantas menikah dengan orang yang punya rumah mewah lengkap dengan BMW.
“Jangan bilang Rumi, ya. Mami sudah belikan kalian sepasang tiket ke Lombok plus akomodasi supaya kalian bisa berduaan. Bulan madu kedua, gitu.”
Bulan madu? Tawaran ini lebih terdengar seperti pamer kekayaan di telinga Teguh.
“Terima kasih, mi. Mami baik sekali,” pujinya datar.
“Bukan apa-apa. Anggap saja hadiah,”
Teguh meletakkan gagang telepon dengan malas setelah mami mengucapkan selamat malam. Detik ini dia merasa pernikahannya dengan Rumi terasa berat. Ibu sedikit tidak suka dengan “kecanggihan” Rumi, sedangkan mami agak kurang berkenan dengan Teguh yang “konservatif”. Mungkin pernikahan ini salah. Mungkin seharusnya ia menikah dengan Siti, anak pak RT kampung ibunya tinggal. Dan Rumi menikah dengan dokter gigi yang dulu sempat melamarnya.
Hebatnya, Rumi selalu membuktikan kesetiaannya. Tak terhitung eksekutif muda sampai bos bangkotan yang mengejarnya. Namun, dengan bangga ia menunjukkan cincin kawin di jari manisnya. Teguh pun selalu diajak dalam tur kantor atau gala dinner menemani Rumi. Itu usaha Rumi membuat Teguh eksis. Yang terjadi, pria itu malah semakin terperosok dengan rasa mindernya.
Bagaimana bila di sana-di negara yang penuh impian itu-Rumi bertemu dengan pria yang lebih baik? Makmur dalam segala aspek kehidupan. Mungkinkah Rumi berpaling dari cintanya? Bagaimana jika terjadi sedikit perselingkuhan? Apa yang harus dilakukan? Dalam sedetik, Teguh merasa bukan apa-apa.
Malam terus beranjak. Pria itu merasa semakin sumpek. Ia membuka agendanya. Ia ingin menuangkan kegundahannya. Berpuisi atau berprosa. Mungkin terdengar agak cengeng, tapi Teguh tidak tahu harus berujar pada siapa.
Aku ingin Rumi bahagia. Aku cuma berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku wanita paling hebat. Keluarga kami sempurna dan bahagia. Aku justru takut kesempurnaan ini malah mengantarkan pada sesuatu yang cacat.
Rasa kantuk mulai menyeret Teguh untuk bermimpi. Dan kini ia menemukan Rumi dalam tidurnya.
***
Ciuman kecil di pipi itu membuat Teguh tersenyum lega. Dua bulan tepat sejak malam itu, Rumi kini berdiri di hadapannya. Wajahnya lebih segar dan berseri. Rambutnya dipotong pendek dan tubuhnya sedikit berisi. Nampaknya hidup Rumi tidak terlantar di sana. Teguh jadi malu melihat tubuhnya sendiri. Bobotnya susut delapan kilo sejak kepergian Rumi.
“Mas Teguh agak kurus. Pasti susah makan, ya? Atau kangen ya sama Rumi?”
Teguh tersipu sendiri.
“Bunda! Bunda pulang! Bawa oleh-oleh apa?” ketiga anak itu mengerumuni Rumi seperti serombongan lebah yang menemukan sebotol madu.
Rumi membongkar bawaannya. Banyak oleh-oleh yang ia beli. Entah berapa dollar Singapura yang dihabiskan Rumi untuk barang sebanyak itu. Rumi menyodorkan seperangkat perkakas mobil yang disimpan dalam kotak aluminium metalik sebesar boks sepatu untuk suaminya. Gino girang bukan main saat bundanya membawakan discman keluaran terbaru. Untuk Iin dan Lisa, Rumi menghadiahkan sebuah gaun cantik warna hijau yang modelnya berbeda. Tidak lupa dia membawa tasbih wangi untuk bik Iyem, sehelai kain sutra untuk ibu, dan parfum elit buat mami.
“Pasti habis uang banyak ya Rum?”
Rumi menggeleng. “Oleh-oleh nggak boleh dilihat harganya, mas. Pamali,”
Teguh berusaha tersenyum. Kepalanya mulai berdenyut-denyut membayangkan berapa uang yang dihabiskan istrinya. Mungkin itu tidak seberapa untuk penghasilan seorang manajer, tapi buat Teguh? Ia bergidik pelan.
Rumi membereskan baju-bajunya di lemari. Baju kotor sudah ditumpuk di mesin cuci. Perasaannya sedikit lega. Belakangan ini ada kegalauan yang sempat singgah. Ia takut juga kalau Mas Teguh berpaling hati pada yang lain. Setahun studi di luar negeri bukan waktu yang sebentar. Apa saja bisa terjadi. Siapa tahu Mas Teguh kesepian dan ingin mencari hiburan. Perselingkuhan? Rumi terbiasa dengan itu. Lingkungan kerjanya membuat fenomena ini tumbuh dengan subur. Untung saja, Mas Teguh tetap seperti dulu. Tidak berubah. Memang seharusnya dia tidak meragukan kesetiaan Mas Teguh.
Saat meletakkan sweter birunya di bagian lemari paling atas, ada yang jatuh. Sebuah agenda yang diselipkan di sudut atas dekat tumpukan handuk. Rumi tergoda untuk membukanya. Suaminya sedang sibuk dengan anak-anak. Tidak ada salahnya membuka agenda Mas Teguh. Toh mereka suami istri. Tidak sepantasnya ada rahasia di antara mereka berdua.
Rumi tersenyum sendiri. Rupanya di agenda itu tertoreh puisi-puisi singkat sebagai wujud kerinduan Mas Teguh padanya selama Rumi pergi studi. Rupanya suaminya memiliki sisi romantis. Ingin menangis rasanya.
Matanya pun tertuju pada tulisan Mas Teguh yang dibuat tepat dua bulan lalu. Sebuah tulisan yang menohok hatinya.
Aku ingin Rumi bahagia. Aku cuma berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku wanita paling hebat. Keluarga kami sempurna dan bahagia. Aku justru takut kesempurnaan ini malah mengantarkan pada sesuatu yang cacat.
Rumi merasakan matanya basah. Hatinya seakan terimpit. Tulisan ini begitu mengena di batinnya. Ia bertanya-tanya, sedang apakah aku saat Mas Teguh menulis ini?
Deeggg,… Rumi baru ingat. Malam itu dia sedang di Singapura. Dia sedang di sebuah apartemen, di sebuah penthouse kelas elit. Betapa sulitnya menampik undangan dari seorang konglomerat Perancis. Tampan, tegap, muda, modis, energik, dan memiliki sebuah limo pribadi. Belum lagi mata dan sikap yang romantis, pria itu menarik perhatiannya.
Rumi baru ingat. Saat itu nama Mas Teguh tidak ada dalam ingatannya. Pesona pria itu menghapus bayang-bayang suaminya dalam hitungan detik. Belum lagi saat pria itu menggandengnya, membelainya,… Malam itu ia menikmati ciuman dan pelukan pria itu. Siapa namanya ya? Oh ya, namanya Louis. Rumi pun dibawa Mr. Louis ke dalam kenikmatan baru yang belum pernah ia rasakan dengan Mas Teguh. Variasi intim yang mungkin tidak terlintas di benak Mas Teguh. Apalagi saat itu ia benar-benar membutuhkan kasih sayang. Mas Teguh ada di lintas negara yang berbeda. Bisikan setan yang selama ini dihindarinya, akhirnya hinggap dan meresap.
Air matanya meleleh. Berdosakah dia melewatkan malam itu dengan Mr. Louis? Bukankah istri yang baik tidak akan mengkhianati suaminya? Rumi malah berbagi ranjang dengan pria yang baru dia kenal melalui makan malam bisnis. Bagaimana kalau suaminya tahu?
Dari kamar, ia mendengar suara tawa Mas Teguh bercanda dengan ketiga anaknya. Rumi ketakutan. Badannya menggigil. Ia mendengar suara napas yang terhembus lemah dalam rongga tubuhnya,… bergerak pelan di dalam rahimnya.
***
Tangerang, 13 Juni 2003