Powered By Blogger

Rabu, Maret 28, 2007

TravelNote : Purwokerto

Liburan paket-tiga-hari dari tanggal 17-19 Maret kemarin lumayan termanfaatkan. Aku bareng sama Kangmasku, Om dan Tantenya serta si Adhe Fari yang lucu plus manja itu liburan ke Purwokerto.

Kenapa Purwokerto … ?

  1. Ayah-ibuku sekarang tinggal di Purwokerto, jadi liburan di sana enggak perlu pusing mikirin tinggal di mana dan makan apa hehe…
  2. Perjalanan dari Purwokerto itu lebih menyenangkan kalau mampir di Brebes buat beli telor asin yang dinilai-nilai memang lebih valuable karena rasanya lebih masir, asinnya pas, dibuat dari gerusan batu bata merah, secara fisik montok-montok, dan memang lebih murah dari yang dijual di Jakarta. Terus disambung makan sate kambing muda yang potongan dagingnya memang lebih kekar daripada sate kambing di Jakarta yang cenderung seperti daging diet. Belum lagi kalau menyeruput teh poci yang pahit-pahit gimana gitu,… Uuuuh, kenikmatan wong ndeso yang tak ada di kutho.
  3. Ini big plan-nya. Om Jaya berniat hapus tato. Sebuah tato mawar dan dedaunannya di lengan kiri, yang setia menemani sejak Om itu kelas 3 SMP, kini hendak dicerai. Konon kabarnya, sang Om hendak menjajaki karir baru sebagai seorang Imam di Masjid di kompleks perumahannya. Di daerah Pekuncen (kalo gak salah) dari Purwokerto ke arah Banyumas ada seorang ahli hapus tato yang konon katanya bisa menghilangkan tato tanpa rasa sakit. Daripada disetrika yang jelas bakalan merusak kulit atau operasi plastik yang enggak ramah di kantong, metode ini boleh dicoba.
  4. Ini rencana sampingan dari kangmasku yang hobi banget dipijat. Di Baturaden ada spot kesukaan kangmasku, yaitu di Lokawisata Baturaden, tepatnya Pancuran Tiga. Di situ dia bisa pijat badan dengan dilulur ramuan belerang, lalu berendam di pemandian air panas (air panas, bukan air hangat!)
  5. Buat aku ya yang penting dari sebuah liburan atau event apapun, adalah foto-fotonya! (Pasti semua yang kenal sama aku pasti mengamini,… dasar narsis!)

Sebenarnya aku sih enggak terlalu setuju dengan niat Om Jaya buat hapus tato. Dia bilang enggak afdol rasanya jadi Imam di Masjid tapi masih memelihara tato di lengan. Aku sih tidak akan mendebat dari segi religi denga melontarkan kutipan ayat-ayat atau hadis rasul. Aku menganalogikan tato sebagai foto-foto perjalanan hidup si empunya. Dari SMP mungkin sang Om telah melewati banyak catatan kehidupan yang kelam dan penuh kekerasan. Tato itulah saksi bisunya. Tato itulah yang merangkum betapa kehidupannya di masa lalu hanyalah kenangan yang cukup diceritakan tanpa perlu diciptakan ulang. Tato itu bisa menjadi sebuah buku dongeng yang kapan saja bisa menyajikan pesan-pesan moral dari sang ayah kepada anak-anaknya. Tato itulah sebuah reminder agar tetap menjaga hidupnya lurus-lurus saja. Toh, si om masih bisa sholat karena perjalanan air wudhu tak menyentuh area lengan atas. Entahlah, pengetahuan agamaku memang masih teramat dangkal jadi tidak bisa menjustifikasi apapun. Toh itu tato punya si om, mau dibuang, dipiara, atau dikembang biakkan sekalipun, semua di luar wewenangku. Ini Foto si Om yang masih bangga dengan tatonya,...

Akhirnya berangkatlah kita ke tempat si ahli hapus tato yang konon bisa menghapus tato tanpa rasa sakit dan cukup dioles ramu-ramuan. Namanya pak Leo. Rumahnya terletak di samping jalan yang berkelak-kelok menanjak yang cukup untuk 2 lajur mobil Tidak pas di samping jalan sih karena untuk mencapai rumahnya kita semua harus jalan kaki di tanjakan curam sepanjang 70 meter. Rumahnya sederhana dengan tanah diplester dan perabotan khas rumah-rumah jawa, dilengkapi dengan 3 motor bebek dan TV flat Samsung 29 Inci.

Tilik sana cek sini, nego beberapa kali, akhirnya diputuskan biayanya sebesar 500ribu dari harga awal 650ribu, di luar obat-obatan yang diminum pasca proses eliminasi tato. Begitu uang diberikan, si bapak Leo ini menyuruh seorang pemuda untuk membeli jarum suntik steril dan obat bius lokal. Si Om terperanjat dengan terbersit satu perasaan tidak enak. Dan benarlah firasat itu. Om digiring ke kamar yang disediakan khusus, disuntik bius lokal, lalu “dirajah” kembali. “Dirajah” di sini maksudnya semua garis dan area di lengan yang telah terkontaminasi oleh tinta tato di-drill lagi dengan jarum khusus berbentuk pipih. Tujuannya untuk membuka pori-pori dan mengangkat tinta yang telanjur mengendap. Ya singkat kata, prosesnya kira-kira seperti membuat tato baru yang sama persis di atas tato yang lama. Meringis, menitikkan air mata, pasrah, menggeliat, U named it and he did it. Dia mengaku rasanya jauh-jauh lebih sakit daripada ketika ia membuat tato. Anak bungsunya yang baru berumur lima tahun dengan setia menunggui bapaknya sembari manggut-manggut nurut ketika Om Jaya mengingatkan agar si adhe untuk tidak mengulangi “kesalahan” yang dia buat. Selesai di”rajah” baru dioles ramuan yang warnanya hitam kental lalu diperban. Selama seminggu, si Om wajib mengkonsumsi sederet obat antibiotik dan vitamin untuk mencegah infeksi. Pupus sudah bayangan si Om tentang proses menghilangkan tato tanpa rasa sakit, cuma dioles ramu-ramuan, ditiup dengan baca-bacaan lalu sembuh. Hahaha Om,… No Pain No Gain dong ach!

Sesampainya di rumah, darahnya terus mengucur. Jadinya seperti prajurit perang yang terluka tembak. Darahnya mengucur cur cur terus. Diperban seperti apapun juga tetap tembus. Jadi kasihan deh,…

Dan besoknya, kita semua berangkat ke Lokawisata Baturaden. Ah, aku suka banget pergi ke tempat yang sifatnya megah. Megah di sini artinya dekat dengan alam dan ketika menatap sekeliling, kita merasa begitu mungil tak berdaya. Lalu di spot Pancuran Tiga si Om mengguyur luka “rajah”-nya dengan air panas yang mengandung konsentrat belerang. Lukanya jadi terlihat gosong dan keriput-keriput. Tuh ada fotonya lagi di salah satu pancuran air panas, bareng sama kangmasku.

Akhirnya kita pulang jam 3 pagi tanggal 19 Maret karena si tante ada reuni keluarga siangnya. Di perjalanan pulang, kita sempatkan dulu sarapan pagi dengan menu seadanya di pinggir sawah ditemani bayang-bayang Gunung Ciremai di kejauahan. Aaaah,… sebuah kenikmatan yang tidak bisa ditemukan di Jakarta. Lahan seluas itu di Jakarta pasti sudah ditawar kontraktor untuk dibangun mal atau ruko.

Agenda berikutnya mau liburan ke mana lagi ya…? Ada ide?

Senin, Maret 05, 2007

Seminggu oh Seminggu...

Sudah ada satu minggu berjalan di semester baru. Semester ini mungkin akan lebih mencekik dari semester sebelumnya yang bikin senewen karena ada satu nilai yang belum keluar. Tapi aku yakin IP semester ini turun dari yang kemaren. Memang ada rasa sesak, tapi waktu itu pernah baca artikelnya Mas Ringgo Agus Rahman. Lupa sih detilnya, tapi kesan yang aku tampak bahwa being smart could be sad… Dosen-dosen pasti pada protes dengan kesimpulan ini. Mas Ringgo bilang ada bagusnya dia tidak terlalu smart jadi dia bisa merasa lebih bahagia karena IP-nya naik dari 2,1 jadi 2,2 tapi temannya ada yang stress berat karena IP-nya terjun lima poin dari angka 3,5… Padahal IP temennya itu masih berkisar di angka 3 walaupun berkoma nol, tapi mas Ringgo merasa lebih berbahagia walaupun IP-nya (cuma) 2,2. Ternyata adil itu bukan mitos, hanya perlu perenungan yang sedikit lebih intens. Jadi tiap kali aku merasa nilaiku terjun bebas, aku selalu mengingat analogi ini. Toh protesnya temanku yang tak mau disebut namanya ini selalu membuntuti proses mengingat analogi ini,… Target itu cambuk, kalau kepala kebanyakan lihat yang ada di bawah, maka kita lama-lama jadi orang-orang kelas “bawah”,... Walah, berat amat jeng!

Semester ini banyak mata kuliah berbasis paper. Mungkin jurusan mau menggembleng supaya semuanya sukses di skripsi (Amin!!!). Tapi ada beberapa temen yang merasa tiba-tiba di pundak mereka digelayuti berton-ton beban. Satu paper aja bikinnya setengah hidup, kata salah satu dari mereka. Iya sih. Karena memang lebih asik memelototi layer komputer yang dijejali adegan-adegan dari dvd bajakan yang di dekat kos-ku harganya @6Ribu/keeping (Mahal ya?) daripada deretan huruf yang berbaris lebih rapi dari sekumpulan anak SD yang setiap senin selalu ikut upacara bendera.

Tapi yang bikin aku bahagia adalah aku dikelilingi oleh teman-teman yang “se-aliran”… Hehehe memang tidak bisa dipungkiri di dalam satu kelas bisa didiami oleh anak-anak yang membentuk cluster-cluster yang internalnya dihubungkan oleh benang merah yang diberi nama “kenyamanan”… Nyaman berbicara, nyaman berbagi cerita, nyaman bercanda, nyaman mencontek, nyaman mencela, nyaman meminjam uang, dan nyaman-nyaman lainya,…

Bicara tentang kenyamanan yang menurutku adalah kemewahan itu, aku jadi ingat seseorang. Kakang Prabu-ku ditawari mutasi kerja di cabang baru perusahaannya di Cikarang. Dia langsung desperate mendengar kata Cikarang itu yang sama dengan jauh dari mana-mana, jauh dari Jakarta, jauh dari banyak saudara yang memang berbasis massa di Tangerang, jauh dari bandara Soekarno-Hatta yang jadi tempat mendaratnya para saudara jauh, dan jauh-jauh lainnya,… Memang sih, membangun suatu bentuk kenyamanan di tempat yang masih asing memang butuh tenaga besar. Presentase keberhasilannya pun tidak 100%. Kalau gagal, yang namanya menyesal dan perandaian pasti tak pernah absen menghantui. Walaupun di Cikarang mungkin (sekali lagi mungkin) akan membawa dampak positif pada laju karir, tapi tetap saja di Tangerang sudah terbangun kenyamanan. Sekali lagi, kenyamanan adalah kemewahan. Untungnya enggak lama, kebijakan manajemen perusahaan pun diambil dengan solusi yang begitu melegakan. Perusahaan membebaskan lahan untuk dibangun proyek yang mestinya dibangun di Cikarang itu. Hehehe, masalah selesai dengan sendirinya,… cihuuuyy!!!

Super malas rasanya. Selesai aku mengetik semua entry ini,… ada tiga tugas menanti dari mata kuliah Research Methodology, Public Relations, dan Scientific Writing. Kalau boleh dibuat analogi nih, hubunganku dengan perkuliahan ini seperti hubungan sepasang suami istri yang dilanda kejenuhan karena telah terlalu lama menikah. Butuh yang namanya bulan madu yang kedua. Dan aku baru mempertanyakan kenapa bangku-bangku kayu di kelas-kelas berhembus pendingin ruangan menjadi begitu akrab dengan kulitku, apa karena begitu lekatnya aku mengencani mereka?

(kalau sok puitis gini, pasti diketawain sama Burung deh,…)