Powered By Blogger

Rabu, Januari 01, 2014

AYAM BANGKOK

cerpen ini dimuat di Tabloid Nova edisi 16-22 Desember 2013



Pagi ini Rohim bersiul riang. Dinginnya air sumur yang baru mengguyur membuatnya makin bersemangat. Di depan cermin, ia berjoget sambil menyisir rambut tipis kelabunya. Alunan musik dangdut terdenger kemeresek dari radio tua. Istrinya mengeryit curiga, gelagatnya sepeti lelaki sedang jatuh cinta. Hanya saja, Rohim tak cukup tampan, apalagi kaya untuk mencari istri muda.
“Hari ini aku mau ke rumahnya Koh Endi,” ujar Rohim menjawab pertanyaan di wajah istrinya.
Mendengar nama Koh Endi, istri Rohim cuma menghela napas tanda paham.
“Koh Endi katanya baru dapat stok ayam Bangkok baru. Katanya ayamnya top, bodinya tegap, gede, kakinya kokoh. Petarung sejati pokoknya,”
Istri Rohim hapal betul sikap suaminya yang tergila-gila dengan ayam Bangkok aduan. Lebih baik ia tak berkata apa-apa, tapi Diro, anak semata wayang mereka bergegas keluar dari kamar. Rambutnya kusut berdiri di sana-sini dengan wajah cemberut. Lingkaran hitam menggelayut di bawah mata hasil semalam kurang tidur.
“Pokoknya, kalau bapak sudah beli ayam itu, terus diadu, terus menang, kamu pasti aku belikan gelang baru,” ujar Rohim pada istrinya.
“Pak, mana janji bapak?” tagih Diro tanpa basa-basi.
“Janji apa?” tanya Rohim setengah tersedak.
“Uang untuk daftar ulang sekolah,”
“Oh itu. Bapak nggak ada duit.”
“Bohong. Buktinya bapak mau beli ayamnya Koh Endi. Ayam Koh Endi kan enggak murah, pak,” Diro menjawab sengit, “lebih baik uangnya buat bayarin sekolah Diro,”
“Uang bapak cuma tujuh ratus ribu. Pas seharga ayam itu. Untuk bayar sekolahmu nggak ada,”
“Bayar daftar ulang itu juga tujuh ratus ribu, pak. Bapak nggak usah beli ayam dulu. Kalau nggak bayar uang daftar ulang, aku nggak bisa naik ke kelas tiga, pak.”
“Tapi di rapot kemarin kan kamu naik kelas.”
“Kalau nggak bayar juga nggak akan naik kelas,” bentak Diro. “Pantas keluarga kita melarat terus. Lha wong bapaknya sering sabung ayam.”
“Kamu ini kecil-kecil sudah bisa ngajarin bapak!” mata Rohim menatap nyalang, tapi Diro tidak gentar. Ia balas menatap tanpa berkedip.
“Bapak lebih sayang ayam daripada anak sendiri!”
Diro langsung keluar rumah tanpa banyak berkata. Rohim terengah-engah menahan marah dan menahan tangan untuk tidak menampar mulut Diro. Istrinya terduduk lesu sembari menahan mual melihat pertengkaran barusan. Anaknya baru empat belas tahun dan suaminya sudah kepala empat. Keduanya tidak ada yang berkepala dingin, sedangkan ia terjepit di tengah-tengah tanpa tahu harus membela siapa.
“Nafsu makanku jadi hilang. Siapa yang betah tinggal di rumah seperti ini.” Rohim membanting serbet makannya.
Istrinya hanya diam memandangi Rohim. Gundah yang ia simpan mulai luber meluncur di wajahnya yang lelah.
***
Rohim mengayuh sepeda tuanya dengan berat. Rodanya sedikit kempes dan jalanan sedikit berbatu. Sesekali Rohim menyeka peluh yang meleleh terbakar matahari. Hasratnya begitu menggebu. Jantungnya berdetak seakan hendak menjebol tulang rusuknya. Kualitas ayam Bangkok ternakan Koh Endi memang terkenal. Konon kabarnya Koh Endi mengambil bibitnya langsung ke Bangkok. Bagi Rohim itu bukan masalah. Sepanjang ayam itu selalu menang di arena sabung, selama ia terus bisa mereguk rupiah hasil sabung, ia tak peduli.
Kepala Rohim mendadak berdenyut-denyut. Bayangan Diro juga tak kunjung pergi dari benaknya. Diro anak satu-satunya. Umurnya masih baru empat belas. Tahun depan sudah mau masuk STM. Tapi itu terancam gagal karena tak bisa membayar uang daftar ulang syarat kenaikan kelas. Semakin dipikirkan semakin terbelit-belit isi otak Rohim yang cuma mengeyam bangku SD.
Dari kejauhan ada keramaian. Keramaian itu seperti gumpalan bola salju yang meluncur dari atas gunung. Mulanya satu dua orang, lama-lama sekian puluh jumlahnya. Rohim heran, bagaimana bisa ada kerumunan orang di depan rumah Koh Endi. Kerumunan itu terus meluber sampai ke halaman belakang, tempat bisnis Koh Endi. Apalagi kalau bukan rentetan kandang ayamnya.
Rohim menggaruk-garuk kepala. Kasak-kusuk orang begitu berisik. Kerumunan begitu padat untuk ditembus. Ada apa ini? Rohim lompat jinjit dua kali, lalu menelusup di antara bahu dan punggung, mencari Koh Endi. Tapi pria setengah baya itu entah kenapa tak terlihat.
“Kasihan Koh Endi,”
“Iya, kan ayamnya bagus-bagus. Kok apes ya?”
“Siapa sih yang tega?”
“Gila, lima ayam Bangkok yang baru digorok semua!”
“Jangan-jangan saingannya si Kokoh yang melakukan,”
“Padahal, ayamnya kan kualitas impor.”
“Mati aku! Nanti sore aku mau adu sama kampung sebelah. Cari ayam di mana lagi?”
Orang-orang tak henti bicara. Rohim mendengarkannya sampai merinding. Apa benar ayam Bangkok baru Koh Endi digorok orang? Lima-limanya? Rohim mulai menyikut sebelahnya, menyeruak ke depan. Ia mencari jalan untuk sampai ke kandang ayam Koh Endi.
Itu dia Koh Endi. Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu jongkok menatap ayam-ayamnya. Semua kesayangannya itu tergeletak tak beraturan di tanah. Leher mereka hampir putih. Darah membanjir menodai coklatnya bumi. Bau amis darah samar-samar menguar di udara. Rohim mengelus dada. Satu di antara ayam-ayam itu pasti pesanannya. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ayam kualitas nomor satu.
“Oalah, mimpi apa aku? Si Burik, si Jabrik, si Cebol, si Bohai, terus andalanku si Bantam, semuanya mati. Siapa yang tega begini?” ratap Koh Endi
Koh Endi sibuk mengelap air matanya. Pria kurus kering itu bahkan tak mengenali Rohim yang berdiri di sebelahnya. Diambilnya sebuah sekop besar. Ia menggali tanah di samping jajaran kandangnya. Dalam beberapa saat, Koh Endi menyiapkan lima lubang kecil. Rohim langsung paham. Koh Endi dengan rapi memasukkan ayam-ayam itu ke liang kuburnya masing-masing. Tidak sampai setengah jam lima gundukan tanah itu berbaris rapi. Rohim semakin mengurut dada. Air mata yang terus berleleran mewakili gemuruh apa yang ada di hati Koh Endi.
“Oalah, oalah, ayam-ayamku,…”
Kerumunan orang tidak berkurang. Mereka masih bergumam. Gumaman yang terus membumbung tinggi ke udara seperti gerombolan lebah. Tak satu pun turun tangan mem-bantu Koh Endi. Menghiburnya. Membantunya mengubur bangkai-bangkai itu. Mereka cuma melihat dan berkasak-kusuk. Termasuk Rohim. Semuanya masih terpana oleh kejadian ini.
Pikiran Rohim melayang. Akhirnya benaknya membentur bayangan wajah Diro. Anak sulungnya yang dua hari lalu mendatanginya. Tanpa bicara. Cuma menyodorkan selembar kertas berstempel. Di dalamnya terdapat rincian biaya, mulai dari biaya uang daftar ulang, uang sekolah bulan pertama, iuran OSIS, iuran koperasi, sumbangan a, sumbangan b, semuanya runtun rapi terperinci. Totalnya tujuh ratus ribu. Harus dibayar segera, tepatnya hari ini, supaya Diro bisa melanjutkan tahun ketiga menengah pertamanya.
Hanya saja, Rohim lebih sayang hobinya. Rohim lebih memilih pada ayam Bangkok Koh Endi seharga tujuh ratus ribu yang ternyata hari ini terkapar dan membusuk di liang karena ulah entah siapa.
Rohim menghela napas. Siapa yang tega melakukannya? Biasanya ayam-ayam Bangkok dicuri, bukan dieksekusi lalu digeletakkan begitu saja. Orang usil mana yang punya waktu seperti itu. Rohim tetap tak habis pikir.
Wajah Diro kembali terbayang. Ia harus segera pulang dan segera membayarkan uang ini ke sekolah. Rohim baru saja memutar langkahnya. Tangannya merogoh saku celana. Saku itu kempes. Uang pecahan seribu, lima ribu, dan sepuluh ribu yang terkumpul selama lima bulan itu ke mana? Rohim merogoh saku satunya. Mencari di saku bajunya. Matanya berkeliling ke sekitar jalan yang baru dilewatinya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tak ada amplop coklat yang sejak tadi diselipkan di sakunya itu. Ke mana jatuhnya?
Ditatapnya mata-mata kerumunan orang yang sejak tadi menggerombol. Mata-mata mereka melukiskan banyak arti. Tak sanggup Rohim artikan. Apa mungkin jatuh di jalan? Tidak mungkin. Saku celananya sudah dikancingkan, amplop itu tak mungkin merosot jatuh.
 Apa jangan-jangan,…
“Ya Allah, aku kecopetan!”
***
Rohim membanting topinya di meja. Rasanya lelah menyeret kaki yang seperti enggan untuk digerakkan. Di meja sudah terhidang secangkir kopi yang sudah dingin. Sebentar lagi maghrib. Istrinya mungkin masih dalam perjalanan pulang kerja di pabrik garmen di pinggir kota. Lalu ke mana anaknya?
Rohim menemukannya sedang duduk di undakan anak tangga pintu dapur. Diro sedang mengelap parang kesayangannya. Sesaat lalu, parang itu dia cuci bersih dan diasah agar tidak tumpul. Parang besar itu modalnya kerja memotong rumput di komplek perumahan di tengah kota. Biasanya seminggu sekali dia keliling untuk menawarkan jasa tukang kebun dadakan dengan berbekal parang itu.
“Kamu baru potong rumput di rumah juragan siapa?” tanya Rohim.
Diro mendongak. Ia tak menyangka bapaknya akan pulang secepat ini. Ia sedikit gugup. Apalagi ia tak sempat menyembunyikan parang itu. Tapi begitu melihat tangan bapaknya tidak membopong seekor ayam pun, matanya langsung berbinar.
“Enggak, pak. Cuma dibersihkan saja,”
“Diro, masalah uang daftar ulang sekolahmu itu,” tenggorokan Rohim seperti tercekat. Ia tak tega menatap mata anaknya yang bening, yang penuh harap.
Diro girang menatap bapaknya. Pasti bapak akan segera menyerahkan uang itu.
“Maaf, Diro, ” ujar Rohim lirih, “bapak baru kecopetan di rumah Koh Endi,”
Jantung Diro seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak. Parangnya pun meluncur mulus dari pegangannya dan jatuh membentur lantai.
“Bapak enggak bisa bayar biaya daftar ulangmu,” Rohim tertunduk. Ia tak kuasa menatap Diro yang syok. Matanya terbeliak seakan terguncang. Rohim maklum. Kesempatan anaknya untuk menyelesaikan SMP-nya yang kurang setahun lagi mulai samar.
“Jadi?”
“Maafkan bapak, Dir.” Rohim meratap.
“Jadi sia-sia tadi malam ayam-ayam itu aku gorok?”
Rohim tersentak kaget. Diro tak percaya apa yang baru keluar dari mulutnya.
Mereka cuma saling pandang.
***