cerpen ini dimuat di Tabloid Nova edisi 16-22 Desember 2013
Pagi ini Rohim bersiul riang. Dinginnya air sumur yang baru mengguyur
membuatnya makin bersemangat. Di depan cermin, ia berjoget sambil menyisir
rambut tipis kelabunya. Alunan musik dangdut terdenger kemeresek dari radio tua. Istrinya mengeryit curiga, gelagatnya
sepeti lelaki sedang jatuh cinta. Hanya saja, Rohim tak cukup tampa n, apalagi kaya untuk mencari istri
muda.
“Hari ini aku mau ke rumahnya Koh Endi,” ujar Rohim menjawab pertanyaan
di wajah istrinya.
Mendengar nama Koh Endi, istri Rohim cuma menghela napas tanda paham.
“Koh Endi katanya baru dapat stok ayam Bangkok baru. Katanya ayamnya top, bodinya
tegap, gede, kakinya kokoh. Petarung sejati pokoknya,”
Istri Rohim hapal betul sikap suaminya
yang tergila-gila dengan ayam Bangkok
aduan. Lebih baik ia tak berkata apa-apa, tapi Diro, anak semata wayang mereka
bergegas keluar dari kama r. Rambutnya kusut
berdiri di sana - sini
dengan wajah cemberut. Lingkaran hitam menggelayut di bawah mata hasil semalam
kurang tidur.
“Pokoknya, kalau bapak sudah beli ayam itu, terus diadu, terus menang, kamu
pasti aku belikan gelang baru,” ujar Rohim pada istrinya.
“Pak, mana janji bapak?” tagih Diro tanpa basa-basi.
“Janji apa?” tanya Rohim setengah tersedak.
“Uang untuk daftar ulang sekolah,”
“Oh itu. Bapak nggak ada duit.”
“Bohong. Buktinya bapak mau beli ayamnya Koh Endi. Ayam Koh Endi kan enggak murah, pak,” Diro
menjawab sengit, “lebih baik uangnya buat bayarin sekolah Diro,”
“Uang bapak cuma tujuh ratus ribu. Pas seharga ayam itu. Untuk bayar
sekolahmu nggak ada,”
“Bayar daftar ulang itu juga tujuh ratus ribu, pak. Bapak nggak usah beli ayam dulu. Kalau nggak bayar uang daftar ulang, aku nggak bisa naik ke kelas tiga, pak.”
“Tapi di rapot kemarin kan
kamu naik kelas.”
“Kalau nggak bayar juga nggak akan naik kelas,” bentak Diro.
“Pantas keluarga kita melarat terus. Lha
wong bapaknya sering sabung ayam.”
“Kamu ini kecil-kecil sudah bisa ngajarin bapak!” mata Rohim menatap
nyalang, tapi Diro tidak gentar. Ia balas menatap tanpa berkedip.
“Bapak lebih sayang ayam daripada anak sendiri!”
Diro langsung keluar rumah tanpa banyak berkata. Rohim terengah-engah menahan
marah dan menahan tangan untuk tidak menampar mulut Diro. Istrinya terduduk
lesu sembari menahan mual melihat pertengkaran barusan. Anaknya baru empat
belas tahun dan suaminya sudah kepala empat. Keduanya tidak ada yang berkepala
dingin, sedangkan ia terjepit di tengah-tengah tanpa tahu harus membela siapa.
“Nafsu makanku jadi hilang. Siapa yang betah tinggal di rumah seperti
ini.” Rohim membanting serbet makannya.
Istrinya hanya diam memandangi Rohim. Gundah yang ia simpan mulai luber
meluncur di wajahnya yang lelah.
***
Rohim mengayuh sepeda tuanya dengan berat. Rodanya sedikit kempes dan jalanan
sedikit berbatu. Sesekali Rohim menyeka peluh yang meleleh terbakar matahari. Hasratnya
begitu menggebu. Jantungnya berdetak seakan hendak menjebol tulang rusuknya.
Kualitas ayam Bangkok
ternakan Koh Endi memang terkenal. Konon kabarnya Koh Endi mengambil bibitnya
langsung ke Bangkok .
Bagi Rohim itu bukan masalah. Sepanjang ayam itu selalu menang di arena sabung,
selama ia terus bisa mereguk rupiah hasil sabung, ia tak peduli.
Kepala Rohim mendadak berdenyut-denyut. Bayangan Diro juga tak kunjung
pergi dari benaknya. Diro anak satu-satunya. Umurnya masih baru empat belas.
Tahun depan sudah mau masuk STM. Tapi itu terancam gagal karena tak bisa
membayar uang daftar ulang syarat kenaikan kelas. Semakin dipikirkan semakin
terbelit-belit isi otak Rohim yang cuma mengeyam bangku SD.
Dari kejauhan ada keramaian. Keramaian itu seperti gumpalan bola salju
yang meluncur dari atas gunung. Mulanya satu dua orang, lama-lama sekian puluh
jumlahnya. Rohim heran, bagaimana bisa ada kerumunan orang di depan rumah Koh
Endi. Kerumunan itu terus meluber sampai ke halaman belakang, tempat bisnis Koh
Endi. Apalagi kalau bukan rentetan kandang ayamnya.
Rohim menggaruk-garuk kepala. Kasak-kusuk orang begitu berisik. Kerumunan
begitu padat untuk ditembus. Ada
apa ini? Rohim lompat jinjit dua kali, lalu menelusup di antara bahu dan
punggung, mencari Koh Endi. Tapi pria setengah baya itu entah kenapa tak
terlihat.
“Kasihan Koh Endi,”
“Iya, kan
ayamnya bagus-bagus. Kok apes ya?”
“Siapa sih yang tega?”
“Gila, lima ayam Bangkok yang baru digorok semua!”
“Jangan-jangan saingannya si Kokoh yang melakukan,”
“Padahal, ayamnya kan
kualitas impor.”
“Mati aku! Nanti sore aku mau adu sama kampung sebelah. Cari ayam di mana
lagi?”
Orang-orang tak henti bicara. Rohim mendengarkannya sampai merinding. Apa
benar ayam Bangkok
baru Koh Endi digorok orang? Lima-limanya? Rohim mulai menyikut sebelahnya,
menyeruak ke depan. Ia mencari jalan untuk sampai ke kandang ayam Koh Endi.
Itu dia Koh Endi. Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu jongkok
menatap ayam-ayamnya. Semua kesayangannya itu tergeletak tak beraturan di
tanah. Leher mereka hampir putih. Darah membanjir menodai coklatnya bumi. Bau
amis darah samar-samar menguar di udara. Rohim mengelus dada. Satu di antara
ayam-ayam itu pasti pesanannya. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ayam
kualitas nomor satu.
“Oalah, mimpi apa aku? Si Burik, si Jabrik, si Cebol, si Bohai, terus
andalanku si Bantam, semuanya mati. Siapa yang tega begini?” ratap Koh Endi
Koh Endi sibuk mengelap air matanya. Pria kurus kering itu bahkan tak
mengenali Rohim yang berdiri di sebelahnya. Diambilnya sebuah sekop besar. Ia
menggali tanah di samping jajaran kandangnya. Dalam beberapa saat, Koh Endi
menyiapkan lima
lubang kecil. Rohim langsung paham. Koh Endi dengan rapi memasukkan ayam-ayam
itu ke liang kuburnya masing-masing. Tidak sampai setengah jam lima gundukan tanah itu berbaris rapi. Rohim
semakin mengurut dada. Air mata yang terus berleleran mewakili gemuruh apa yang
ada di hati Koh Endi.
“Oalah, oalah, ayam-ayamku,…”
Kerumunan orang tidak berkurang. Mereka masih bergumam. Gumaman yang
terus membumbung tinggi ke udara seperti gerombolan lebah. Tak satu pun turun
tangan mem-bantu Koh Endi. Menghiburnya. Membantunya mengubur bangkai-bangkai
itu. Mereka cuma melihat dan berkasak-kusuk. Termasuk Rohim. Semuanya masih
terpana oleh kejadian ini.
Pikiran Rohim melayang. Akhirnya benaknya membentur bayangan wajah Diro.
Anak sulungnya yang dua hari lalu mendatanginya. Tanpa bicara. Cuma menyodorkan
selembar kertas berstempel. Di dalamnya terdapat rincian biaya, mulai dari
biaya uang daftar ulang, uang sekolah bulan pertama, iuran OSIS, iuran
koperasi, sumbangan a, sumbangan b, semuanya runtun rapi terperinci. Totalnya tujuh
ratus ribu. Harus dibayar segera, tepatnya hari ini, supaya Diro bisa
melanjutkan tahun ketiga menengah pertamanya.
Hanya saja, Rohim lebih sayang hobinya. Rohim lebih memilih pada ayam
Bangkok Koh Endi seharga tujuh ratus ribu yang ternyata hari ini terkapar dan
membusuk di liang karena ulah entah siapa.
Rohim menghela napas. Siapa yang tega melakukannya? Biasanya ayam-ayam Bangkok dicuri, bukan
dieksekusi lalu digeletakkan begitu saja. Orang usil mana yang punya waktu
seperti itu. Rohim tetap tak habis pikir.
Wajah Diro kembali terbayang. Ia harus segera pulang dan segera membayarkan
uang ini ke sekolah. Rohim baru saja memutar langkahnya. Tangannya merogoh saku
celana. Saku itu kempes. Uang pecahan seribu, lima
ribu, dan sepuluh ribu yang terkumpul selama lima bulan itu ke mana? Rohim merogoh saku
satunya. Mencari di saku bajunya. Matanya berkeliling ke sekitar jalan yang
baru dilewatinya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tak ada amplop coklat yang
sejak tadi diselipkan di sakunya itu. Ke mana jatuhnya?
Ditatapnya mata-mata kerumunan orang yang sejak tadi menggerombol. Mata-mata
mereka melukiskan banyak arti. Tak sanggup Rohim artikan. Apa mungkin jatuh di
jalan? Tidak mungkin. Saku celananya sudah dikancingkan, amplop itu tak mungkin
merosot jatuh.
Apa jangan-jangan,…
“Ya Allah, aku kecopetan!”
***
Rohim membanting topinya di meja. Rasanya lelah menyeret kaki yang
seperti enggan untuk digerakkan. Di meja sudah terhidang secangkir kopi yang sudah
dingin. Sebentar lagi maghrib. Istrinya mungkin masih dalam perjalanan pulang kerja
di pabrik garmen di pinggir kota .
Lalu ke mana anaknya?
Rohim menemukannya sedang duduk di undakan anak tangga pintu dapur. Diro
sedang mengelap parang kesayangannya. Sesaat lalu, parang itu dia cuci bersih
dan diasah agar tidak tumpul. Parang besar itu modalnya kerja memotong rumput
di komplek perumahan di tengah kota . Biasanya
seminggu sekali dia keliling untuk menawarkan jasa tukang kebun dadakan dengan
berbekal parang itu.
“Kamu baru potong rumput di rumah juragan siapa?” tanya Rohim.
Diro mendongak. Ia tak menyangka bapaknya akan pulang secepat ini. Ia sedikit
gugup. Apalagi ia tak sempat menyembunyikan parang itu. Tapi begitu melihat
tangan bapaknya tidak membopong seekor ayam pun, matanya langsung berbinar.
“Enggak, pak. Cuma dibersihkan saja,”
“Diro, masalah uang daftar ulang sekolahmu itu,” tenggorokan Rohim
seperti tercekat. Ia tak tega menatap mata anaknya yang bening, yang penuh
harap.
Diro girang menatap bapaknya. Pasti bapak akan segera menyerahkan uang
itu.
“Maaf, Diro, ” ujar Rohim lirih, “bapak baru kecopetan di rumah Koh
Endi,”
Jantung Diro seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak. Parangnya pun
meluncur mulus dari pegangannya dan jatuh membentur lantai.
“Bapak enggak bisa bayar biaya daftar ulangmu,” Rohim tertunduk. Ia tak
kuasa menatap Diro yang syok. Matanya terbeliak seakan terguncang. Rohim
maklum. Kesempatan anaknya untuk menyelesaikan SMP-nya yang kurang setahun lagi
mulai samar.
“Jadi?”
“Maafkan bapak, Dir.” Rohim meratap.
“Jadi sia-sia tadi malam ayam-ayam itu aku gorok?”
Rohim tersentak kaget. Diro tak percaya apa yang baru keluar dari
mulutnya.
Mereka cuma saling pandang.
***