Tadi pagi, aku membahas topik menarik bersama
murid-muridku di kelas 11. Aku melemparkan pertanyaan begini:
Menurut kalian,
apa yang membentuk kepribadian seseorang, genetis atau lingkungan?
Tentu saja ada yang dengan yakin menjawab, “genetis,
Miss, soalnya kan biasanya perilaku anak nggak jauh-jauh dari orangtuanya.
Seperti watakku yang mirip watak papi.”
Lalu kutanya, “berarti, kalau Miss mengadopsimu,
kira-kira watakmu tetap sama seperti papimu?”
“Belum tentu juga sih, Miss.”
“Kan keturunan papi.”
“Tapi kan lingkungannya beda.”
“Berarti, faktor genetis nggak punya andil dalam
membentuk kepribadian seseorang?”
Dia tercenung sendiri. Lalu, kuminta para siswa
melanjutkan diskusi sesuai panduan yang tersedia.
Mungkin di antara yang membaca tulisan ini, akan ada
satu-dua yang merenung mencari jawaban yang sama dari pertanyaan di atas.
Idealnya memang ada kombinasi proporsional mengenai yang manakah yang paling
berperan dalam pembentukan karakter. Faktor genetis merupakan blue print manusia, tapi lingkungan tentu
juga berkontribusi dalam pengembangan karakter manusia.
Menurut kalian, apakah Clark Kent tetap menjadi
pahlawan pembela kebenaran bernama Superman jika kapal yang mendaratkannya di
bumi ditemukan bukan oleh Jonathan Kent, melainkan Lionel Luthor?
Seorang filsuf bernama John Locke di abad ke-17 mengenalkan
konsep tabula rasa, di mana dipahami bahwa
setiap manusia terlahir sebagai kertas kosong. Yang membentuk manusia
sedemikian rupa adalah melalui pengalaman-pengalaman empiris dalam hidupnya;
terkadang mengubah identitas naluriahnya sebagai manusia, ada pula yang tak
sanggup mengingkari kemanusiaannya.
Tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan salah satu
media atau alat yang lumrah digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, serta
intelektualitas. Pendidikan didesain sedemikian rupa. Dalam tatanan ideal,
strukturnya dirancang imbang antara pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku. Diharapkan,
dengan adanya pendidikan holistik yang menyentuh ketiga aspek ini,
manusia-manusia “kertas kosong” ini bisa menjadi sosok-sosok berkualitas yang
sanggup menjadi pribadi tangguh dalam hidupnya.
Semangat itulah yang kiranya mendasari perubahan
aspek penilaian dalam kurikulum 2013 atau #K13 ini. Dengan tidak lagi
dititikberatkan pada pengetahuan, pendidikan juga menyasar pada ketrampilan,
serta yang tak kalah pentingnya, sikap.
Tahun ajaran ini, sesuai dengan instruksi yang
tercantum dalam kurikulum 2013 atau #K13, aku dan semua guru di seluruh Indonesia yang sekolahnya menerapkan #K13 mulai melakukan penilaian sikap
secara menyeluruh. Di kelas, aku menyebutnya attitude assessment. Nilai sikap ini diambil dari beberapa sudut
pandang, yaitu siswa menilai diri sendiri, siswa menilai temannya, serta siswa
dinilai melalui observasi dan jurnal guru. Aspek-aspek yang dinilai antara
lain: aspek spiritual, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, disiplin,
tenggang rasa, toleransi, dan sopan santun.
Tentu saja tidak mudah menerapkan penilaian sedetail
ini. Waktu kegiatan belajar-mengajar bisa jadi habis hanya untuk melakukan
penilaian saja, bukan untuk penyampaian materi dan pengayaan bahan
pembelajaran. Nah, di sinilah peran guru sebagai manajer di kelas sangat
diperlukan.
Setidaknya, dengan adanya penilaian sikap ini, siswa
akan belajar untuk melakukan refleksi pada dirinya sendiri—apakah dia sudah
bersikap baik, menurut indikator penilaian sikap yang tadi disebutkan. Siswa
juga belajar untuk menilai orang, bercermin dari sikap orang lain dan
membandingkannya dengan sikapnya sendiri. Siswa akan “dipaksa” berlaku baik,
karena penilaian yang terus berkelanjutan, di mana pada akhirnya diharapkan
menjadi kebiasaan, bukan sekadar kepura-puraan di kelas demi nilai semata. Guru
pun lebih mengenal siswa-siswanya secara personal, sehingga mampu mengayomi dan
mendidik mereka sesuai dengan keunikannya sendiri.
Begitulah, seperti yang dikatakan oleh Albert
Einstein, “weakness of attitude becomes
weakness of character,” maka jadikanlah pengembangan sikap yang baik
sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan, yang nantinya berbuah manis
dalam bentuk manusia-manusia Indonesia yang tangguh, siap bersaing, sekaligus
berkarakter yang membanggakan.