Muat di Harian Kompas, Minggu, 19 April 2015
Ilustrasi Cerpen oleh Yusuf Susilo Hartono
Kaulah
perempuan itu; perempuan yang bangun dari kematian. Entah untung atau buntung,
Tuhan mengembalikan ruhmu tak lama setelah mencabutnya paksa; seperti menyentak
gulma dari tanah, lalu menjejalkannya kembali sedemikian rupa.
Seminggu
sebelum kejadian itu, kau tengah berladang di sawah ibumu yang cuma sepetak.
Hujan deras membuatmu kuyup. Karena awalnya memang kau tak sehat betul, hawa
dingin dengan cepat membuat badanmu membara setiba di rumah. Bergelung jarik,
kau mengigau tak keruan. Segala obat kau telan, tetap sia-sia. Tepat di malam
purnama, hari ketujuh demammu, tiba-tiba tanganmu terulur ke udara, seakan
menahan sesuatu. Apakah malaikat datang merenggut paksa jiwamu, tapi kau teguh
memperjuangkannya?
Samar kau
ingat, air mata ibumu luruh saat melihatmu meregang nyawa. Tangisnya menyayat
ke seluruh penjuru dusun. Tetangga berdatangan. Sebagian besar karena tak tega
mendengar isak ibumu yang mendadak sebatang kara. Tubuhmu disemayamkan
berselimut jarik baru bermotif kawung yang aroma lilinnya belum luntur. Doa
para tamu dan tangis ibumu bersahut-sahutan; tak ada yang mau kalah.
Lalu, di
antara riuh itu, menyeruaklah suara batuk-batuk. Pertama lirih, lama-lama
melantang. Tahu-tahu kau bangkit, membuat jantung mereka setengah terlontar
lepas. Mulut-mulut menganga, persis ikan-ikan yang menggelepar. Kau yang
bangun-bangun bingung—masih pening oleh aroma kain penutup jenazah—ditubruk
peluk limbung ibumu.
Sejak itu kau
memiliki linuwih. Kemampuan ”lebih” tiba-tiba dijatuhkan begitu saja dari
langit. Kau bisa tahu siapa saja yang dijemput ajal. Pertanda itu menghampirimu
dalam bentuk aroma jarik baru, yang bau lilinnya masih pekat. Persis bau
pertama yang kau cium setelah bangun dari matimu. Awalnya samar serupa liukan
tangan penari yang menuntunmu ke atas panggung. Mau tak mau kau mengikutinya.
Jika aroma itu makin kuat, maka makin dekatlah kau pada si calon mayat.
Maka selelah
atau sesibuk apapun, bila aroma jarik baru mendatangimu, kau akan mencari
sumbernya dan mengunjunginya untuk tanda penghormatan. Bukankah itu inti hidup?
Perjalanan demi pencarian yang mengantar pada kepulangan sesungguhnya?
Hanya ibu yang
tahu linuwih ini. Padanya kau memberanikan diri bertanya kenapa kau dilimpahi
linuwih aroma jarik baru. Kelak akan ada satu kematian yang mengajarimu makna
linuwih itu sendiri, begitu katanya sambil melipat kain jarik yang baru dicuci.
Ah, jarik
selalu identik dengan ibu. Kain batik selalu membungkus tubuh mungilnya yang
mirip ranting; berkali-kali meliuk ditiup angin, tapi tak kunjung patah.
Suatu kali kau
menjulurkan kepala di ambang kamar ibu. Wanita itu bersimpuh. Hening dan
tenang, tangannya mewiru selembar jarik. Dilipat-lipatnya pinggiran kain dengan
telaten, rapi bertumpuk sama lebar. Garis putih pada ujungnya tak ditekuk ke
dalam.
”Temani ibu ngawiron
jarik dari bapak. Cium bau malamnya, masih baru.” Ibu mengangsurkan kain itu
padamu.
Kau menghirup
pekat aroma lilin. Kaubayangkan wajah bapak, tapi gagal. Bagaimana bisa
mengingat orang yang kepulangannya nyenyai?
”Ngawiron iku
aja nganti kleru. Lipatannya harus sama. Jangan sampai keliru, apalagi merusak
keseimbangan. Hidup tidak akan harmonis dan bahagia.”
Kau membatin,
apa ibu bahagia? Selembar kain batik dari bapak apa cukup mengisi kekosongan
besar di hati ibu yang terlalu lama ditinggalkan? Bagimu, tidak.
”Jarik selalu
ada dalam siklus hidup orang Jawa,” papar ibumu tanpa diminta. ”Alas tidur
bayi, gendongan, kain basahan untuk mandi, semuanya memakai jarik. Menikah
nanti, kamu dan suamimu akan berkain jarik. Bahkan ketika meninggal, jarik kawung
akan menyelimutimu kembali ke alam suwung.”
Ada yang
membuatmu pilu saat ibu menyebutkan kata suami. Namun kau belajar menyimpan
gundah, karena itulah dada perempuan diciptakan. Ibu pun melanjutkan mewiru
jarik, yang kau ketahui di kemudian hari, dikenakan ibu di pesta pernikahan
bapakmu dengan istri mudanya.
”Kamu tahu
kenapa bapak menghadiahi jarik ini?” bisik ibu di tengah kerumunan tamu bapak.
”Jarik artinya aja gampang serik. Mengingatkan ibu tidak boleh iri pada apa-apa
yang bukan milik.”
Tersembul
getir di nada ibu. Hatimu ikut teriris. Sepasang matamu merekam ibu yang
berbalut jarik melangkah hati-hati, tanpa terburu; menghampiri kedua pengantin.
Begitukah
keinginan bapak terhadap jalan hidup kalian? Tidak iri dan berjalan lambat
menghayati tiap ketentuan yang dipilihkan, tanpa bisa menggugat?
Dan di sanalah
kau mencium aroma itu. Pekat lilin baru di lembar kain mori. Samar awalnya,
kemudian menguat di tiap langkahmu mendekat ke pelaminan bapak.
Kau tahu apa
yang akan terjadi. Namun, kau memilih diam. Bahkan ketika lelaki itu harus
tewas di atas pelaminan, ditancap perutnya berkali-kali oleh belati, karena
amuk pemuda yang geram kekasihnya dinikahi bapak, kau bergeming. Bukankah itu
yang dia telah tanamkan di hatimu dan ibu? Kepasrahan.
Termasuk pasrah
menghayati tangis ibu; berkelindan dengan ruap aroma jarik baru yang perlahan
memudar.
Ketika pagi
itu kau menghirup aroma yang sama, ada rasa tak enak yang luar biasa. Tak
pernah sebelumnya, rasa takut menderamu seperti itu. Kau menuju dapur, berusaha
menenangkan diri dengan segelas air.
Betapa rusuh
benak dan isi dadamu; aroma jarik baru itu menguat saat ibu melintas di
depanmu. Nyaris saja gelas di tangan meluncur jatuh, persis jantungmu yang
mencelus.
”Kau seperti
baru melihat hantu,” ujar ibu berlalu menuju kamar.
Dua gelas air
habis kau teguk untuk menutupi kebohongan. Dalam kepalamu, segala bayang buruk
berlesatan. Apa kau sanggup hidup membayangkan hidup tanpa ibu? Sungguh,
sepanjang kau memiliki linuwih ini, tak sekali pun terpikirkan ini.
Tak tahan
lagi, kau terobos pintu bilik kamar ibu. Wanita itu menegakkan tubuh, menjauh
dari tumpukan jarik yang tengah dirapikan.
”Mari ke kota,
Bu. Membeli jarik baru,” begitu katamu tiba-tiba. ”Ada sedikit uang. Aku ingin
memberi ibu hadiah.”
Sejenak mata sayu
ibu mencoba membacamu. Jantungmu berderap, siap merancang kebohongan lainnya.
Namun, ibu mengiyakan dan menyuruhmu menunggunya berganti baju.
Jarik terbaik
dikenakannya. Rambutnya digelung rapi. Tak ada gincu atau bedak berlebihan.
Dari rumah, kalian menyusuri setapak menuju jalan besar. Tak jauh dari sana ada
perempatan dengan pos menunggu mobil angkutan menuju kota. Tak sedetik pun
tangan ibu lepas menggamit lenganmu. Dadamu sesak. Udara yang kau hirup
beraroma tajam, mengiris hatimu lamat-lamat.
Ada keakraban
yang tiba-tiba muncul. Sepanjang perjalanan, ibu bercerita banyak, termasuk
bagaimana kau dulu nyaris tak berhasil dilahirkan.
”Ibu sudah
ikhlas, tapi ibu tetap berjuang.”
Hatimu
menghangat mendengarnya.
”Persis ketika
kamu sempat mati. Ibu ikhlas.”
Namun jika hal
itu dibalik, kau tak yakin apa juga bisa ikhlas.
”Yang sudah
ditulis takdir, tak mungkin dicurangi.”
Kau curiga ibu
mengintip isi pikiranmu. Selanjutnya, ibu tak berkata apa-apa lagi. Kalian hanya
diam sampai angkutan berhenti di depan pasar. Di sebuah kios, seorang emak
tambun berwajah lembap keringat dan bertangan kemerincing gelang emas sepuhan
menyambut kalian. Ibumu meminta diambilkan selembar batik kawung. Hatimu
langsung terjun bebas.
Emak tambun
itu membentangkan lembar batik motif kawung. Tak lagi bisa kau bedakan aroma
linuwih atau kain pilihan ibu. Dominan hitam dan coklat tua membuat pandanganmu
sekejap menggelap. Bentuk-bentuk lonjong sama besar dengan garis bersinggungan,
mengingatkanmu pada lengkung kolang-kaling dengan motif serupa keping uang sen
kuno. Batik kawung memang terkenal sebagai lurup—kau ingat dulu kain inilah
yang menutupi jasadmu.
”Yang ini
saja,” ujarnya mantap.
Kau tersenyum
sekenanya, menutupi rasa gamam di dada. Ibu selalu tahu gundah apa di hatimu,
binar riang di matamu, bahkan hela napasmu yang mendadak lain. Kau adalah buku
yang tak pernah gagal dibaca ibu. Namun, pernahkah kau bertanya, kematian
seperti apa yang diinginkan ibu?
”Kenapa jarik
kawung, Bu?”
”Apa seharusnya
ibu pilih truntum atau sidomukti? Memangnya sudah ada yang melamarmu?”
Seharusnya
pipimu memerah. Mestinya kau salah tingkah. Namun, kau makin susah bernapas.
Udara di sekelilingmu dipenuhi aroma, yang untuk pertama kalinya sejak memiliki
linuwih itu, sangat kau benci.
”Bayarlah,
lalu kita pulang,” ujar ibu.
Kata terakhir
itu membuatmu bergidik. Pulang ke mana? Tentu saja ke rumah yang telah kalian
huni bertahun-tahun. Bukan menuju keabadian.
Saat menunggu
angkutan ke dusun, di depanmu ada selembar daun tertiup angin. Kau genggam
tangan ibu kuat-kuat. Kau takut ibu seperti daun itu; tahu-tahu terbawa pergi.
Saat angkutan
menghampiri, kau hitung detik yang tersisa. Sembari mendekap bungkusan berisi
batik kawung itu, ibu memiringkan kepala menyuruhmu lekas naik.
”Ayo pulang,”
ujar ibu tersenyum, seakan tahu segala rahasia yang berimpitan di kepalamu.
Walau ragu,
tetap saja kau naik. Kau pejamkan mata sambil terus menggenggam tangan ibu.
Iya, Bu. Kita pulang sekarang. Mobil itu melaju, sesekali berguncang melintasi
jalan bergelombang. Di luar, kau lihat langit menggelap. Seakan apa yang kau
punya di dada, tertular ke semesta. Kau menatap wajah ibu sekali lagi. Matanya
terpejam, damai sekali. Mungkin bungkusan jarik barunya memberikan ketenangan.
Kau makin takut, kalau-kalau mata itu tak terbuka lagi.
Langit pecah
jadi hujan. Jalan basah makin rawan. Saat mobil berbelok di tikungan tajam, kau
hendak mengingatkan sopir untuk hati-hati. Lelaki tua bertopi lebar dan
berkalung handuk itu menoleh sekilas. Namun, kau takkan lupa sorot di sudut
matanya. Kelam dan kosong. Kalian pernah jumpa, kau bisa merasakan itu.
Mengingatkanmu pada hening alam suwung yang pernah kau kunjungi, di suatu masa.
Kembali kau
disergap sesuatu. Aroma itu.
Tunggu! Ya,
aku juga menciumnya. Bau lilin batik di kain yang masih baru. Makin lama makin
kuat…