dimuat di harian Media Indonesia, Minggu, 16 Agustus 2015
DI pagi yang lembap oleh hujan semalam, seorang lelaki tergantung di sudut pasar.
Kucoba memperhalus bahasanya. Setidaknya agar masih terdengar beradab ketimbang ucapan bibik
berkeranjang kosong yang tergopoh panik saat menemukan lelaki itu.
“Ada yang mati gantung diri. Bunuh diri!”
Sisi barat dan sisi tengah
pasar, pusat bongkar muat bahan pangan, sudah ramai sejak pukul tiga
pagi. Sedangkan sayap timur, tempat pedagang pakaian, perabotan dapur,
dan perhiasan, baru menggeliat selepas pukul enam. Di sana berjajar
lapak tak beratap, dan tanpa penghuni. Senyap. Sesekali menjadi tempat tidur oleh para gelandangan, atau lahan
jemur pakaian penghuni pasar. Di sudut paling sepi itulah, lelaki itu
memilih tempat meregang nyawa.
Saat orang-orang sudah berkerumun di tempat kejadian, aku baru saja masuk pasar. Belakangan istriku gampang sekali tak enak badan. Jadi, akulah yang berbelanja ke pasar. Istriku hamil muda. Mual parah di bulan ketiga. Ia harus banyak istirahat. Bila terlalu lelah, janinnya bisa lepas dari rahim, seperti anak-anak kami sebelumnya.
“Bikinkan aku sup ceker ayam lagi,” pintanya beberapa malam terakhir, setengah merajuk dan mengusap perutnya yang belum buncit. “Anakmu cuma mau makan itu.”
Sejak hamil, ia gemar makan sup ceker. Nyaris tiap hari
aku ke pasar membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Penjualnya sampai
hafal wajahku. Mungkin ia berpikir lelaki tak pantas belanja ke pasar. Padahal,
menurutku memasak satu-dua kali untuk istri setelah setengah umurnya
habis di dapur karena memasak untukku, tidaklah salah. Toh, yang
dikandungnya anakku juga. Anak yang kami idamkan sejak lama. Yang untuk mendapatkannya, tak
terhitung dokter dan ahli pengobatan alternatif, yang telah kami
kunjungi.
Kulihat lelaki itu bertelanjang dada, membelakangiku. Ia seakan bersandar ke dinding kios yang tak beratap. Rangka bangunannya tak menyunggi genting sama sekali, mirip panggung teater dengan sinar matahari sebagai lampu sorotnya. Kematian tak pernah gagal menjadi atraksi bagi yang hidup. Ngeri bercampur penasaran membuat kerumunan makin padat. Kulihat kulitnya putih pucat. Tubuhnya sudah kaku. Celana cokelatnya tergulung setengah betis, menegaskan kaki yang melayang dari tanah. Matanya terpejam. Kepala plontosnya mengingatkanku pada pentol korek api. Sekilas ia mirip manekin yang tergantung di dinding. Tapi, manekin tentu tak punya kerut keriput dan bulu kaki. Lehernya terjerat tali cokelat, dan warnanya senada dengan celananya.
Erangan terkejut dan terhenyak berlesatan dari mereka yang masih punya nyali untuk melihat.
Apa yang terlintas di kepala yang hidup saat mendapati yang mati di hadapannya? Tak bisa kubayangkan diriku mati. Bagaimana istriku nanti? Ia tak bisa bekerja karena tubuhnya terus melemah, sementara kami butuh banyak biaya.
Kontrol ke bidan.
Biaya persalinan.
Beli popok, susu formula, ini dan
itu.
Untuk bisa hamil saja, aku berutang ke sana-sini.
Orangtua.
Mertua.
Kakak ipar.
Sampai ke tukang kredit pasar, yang bunganya makin lama
mencekik.
Ini demi seorang anak. Simbol harapan masa depan bagi kami.
Dan, laki-laki ini memilih menyerahkan hidupnya pada seutas tali?
Pandanganku terganggu oleh ulah orang yang mengambil beberapa foto
dengan ponsel. Heran, apa menariknya memotret rupa orang mati? Seperti potret korban
insiden maut yang berseliweran di televisi pada jam-jam makan siang atau
makan malam. Perasaan macam apa yang sedang mereka gugah?
Bulan lalu
aku melayat tetanggaku yang meninggal terkena serangan jantung.
Jenazahnya disemayamkan dalam peti putih mengkilat berhias lukisan
perjamuan terakhir. Ia terlihat tampan dengan setelan jas. Kami
dipisahkan oleh sehelai kain tile berajut tanda salib saat aku
mengucapkan doa perpisahan. Namun, tetangga lain yang ikut melayat malah
sibuk memotret jasad kaku almarhum. Pasti beberapa saat lagi, foto itu
beredar di media sosial, lengkap dengan salam perpisahan dan doa
penghiburan. Setengah menyeret, kusuruh ia memotret foto almarhum di meja
persemayaman, bersanding dengan sepasang lilin putih dan kembang sedap
malam.
“Coba kau mati, lalu ada yang memotret jenazahmu dan menyebarkannya di
media sosial. Kita lihat apa kau tetap bisa meninggal dengan tenang dan
keluargamu masih bisa berduka dengan perasaan terhormat,” ujarku.
Kerumunan orang mulai bercakap-cakap. Membuat hipotesa sendiri-sendiri.
Menakjubkan. Betapa orang mudah sok tahu tentang banyak hal yang tak
diketahuinya.
“Kasihan, ya, anak-anaknya.”
“Memangnya punya anak?”
“Ah, di tangannya
ada tato.”
“Bunuh diri dosa yang tak terampuni!”
“Itu kalau bunuh diri.
Kalau dibunuh?”
“Panggil polisi!”
“Turunkan mayatnya.”
“Nanti merusak
TKP.”
“Jadi bunuh diri atau dibunuh?”
“Kalau benar gantung diri, pasti
ada feses dan sperma keluar sebab talinya menjerat bagian otak yang
mengatur saraf gerak. Begitulah yang kubaca di majalah.”
“Duh Gusti,
semoga tak jadi arwah penasaran.”
“Tatonya gambar kucing hitam, ya?”
Sontak aku menatap arah yang sama. Tanpa sadar, kuraba pergelangan tanganku sendiri, persis tempat tato lelaki itu berada. Di antara jutaan gambar di dunia, kenapa kucing hitam? Kenapa bukan naga atau perempuan seksi seperti beberapa preman yang pernah kulihat di pasar?
Dua minggu lalu, istriku melihatnya. Seekor kucing hitam melintas di depan rumah, tiga hari berturut-turut. Ia tak henti-henti memikirkannya. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Kucing hitam dianggap simbol kematian. Banyak mitos dan takhayul tentang itu. Sebut saja kucing hitam dan penyihir sesat. Lalu, ada mitos menabrak kucing sampai mati akan membawa sial bagi pengendara manapun. Selain nyawanya sembilan, kucing juga dipercaya menjaga makam Firaun. Sebagai wakil Dewa Osiris, kucing pun perantara di dunia kematian untuk menghukum para pendosa.
Pikiran yang kuat akan mudah menggerogoti tubuhnya yang makin lemah. Ia jadi mudah berdarah. Sehari mimisan, beberapa hari kemudian darah pun merembes melewati pahanya. Wajahnya pucat seakan tak tersisa lagi darah di sana. Sepulang dari dokter, ia menangis hebat. Meminta maaf karena ia gagal sekali lagi. Hanya bisa kubelai rambutnya. Kubilang, semua akan baik-baik saja. Tak peduli tabungan habis. Masa bodoh dengan utang yang menjelma menjadi seutas tali yang liat. Kami akan punya anak lagi. Segera! Entah anak laki-laki atau perempuan, kami akan mendidiknya. Membuatnya jadi hebat. Tuhan memilihku menjadi ayah, karena aku bisa diandalkan. Bersamaku anak itu memiliki masa depan. Sesulit apapun, aku takkan menyerah seperti lelaki itu.
Suara-suara berdengung, membubung ke angkasa mirip segerombolan lebah yang keluar dari sarang. Kata-kata mereka berubah menjadi gumaman yang menderu, lebih seru dari pemandangan lelaki gantung diri. Semuanya berlomba menjadi yang maha tahu. Namun, tak ada yang berani mendekat, apalagi menurunkan jenazahnya. Sampai kapan mayat si bapak dibiarkan di sana?
“Minggir, minggir, polisi datang!” Kerumunan menyeruak. Beberapa orang berseragam berderap. Angin berembus kencang. Tangan si bapak jadi bergoyang. Tato kucing hitam itu seperti bergerak, bagai hendak melarikan diri.
Polisi akan menurunkan jasadnya. Membawanya pulang pada istri yang cemas di rumah. Lelaki itu pasti tak memikirkan istrinya saat mengalungkan tali seliat itu ke rangka bangunan. Isi kepala manusia serupa palung tergelap. Hanya Tuhan yang tahu jalan menyelaminya. Kematian memang nampak lebih indah dari kehidupan. Terlebih ketika perkawinanmu tak bahagia atau uangmu tak cukup membeli kebahagiaan. Bahkan saat masa depan ditutup paksa oleh takdir, kematian bak jalan pembebasan. Kau mudah lupa seberapa banyak uangmu, seberapa luas masa depanmu (itu juga kalau kau bertahan), atau seberapa cantik istrimu.
“Itu kan pemilik rental PS di utara pasar,” celetuk anak muda, penjual kios buah langgananku. “Dia pernah beli mangga muda di lapakku.”
“Mungkin bunuh diri karena stres.”
“Kasihan istrinya. Kudengar kandungan istrinya lemah, makanya beberapa kali keguguran.”
“Bukannya rentalnya juga nyaris bangkrut?”
“Oh, dia juga sering dicari
Bang Samin. Utangnya numpuk!”
“Utangnya banyak, terus gelap mata. Makanya bunuh diri.”
“Atau, jangan-jangan bunuh diri karena mandul.”
“Hus! Nanti hantunya datang mencarimu karena bicara sembarangan.”
“Ya
ampun!” pekik seseorang. “Dia hampir tiap hari beli ceker padaku. Raut
mukanya selalu tegang. Setiap ditanya, ia bilang istrinya ngidam sup ceker.”
Aku mengedarkan
pandangan sekali lagi. Wajah istriku, tato kucing hitam, dan raut pasi
lelaki gantung diri. Silih berganti melintas di kepalaku. Lalu, aku
ingat sesuatu.
Kenapa si bibik berkeranjang kosong itu yang menemukan jasadnya?
Entahlah. Aku mengedikkan bahu, berusaha meredakan nyeri yang meremang di tengkuk, sambil terus melangkah, dan menggenggam pergelangan tanganku yang bertato kucing hitam.