Kenapa Purwokerto … ?
- Ayah-ibuku sekarang tinggal di Purwokerto, jadi liburan di sana enggak perlu pusing mikirin tinggal di mana dan makan apa hehe…
- Perjalanan dari Purwokerto itu lebih menyenangkan kalau mampir di Brebes buat beli telor asin yang dinilai-nilai memang lebih valuable karena rasanya lebih masir, asinnya pas, dibuat dari gerusan batu bata merah, secara fisik montok-montok, dan memang lebih murah dari yang dijual di Jakarta. Terus disambung makan sate kambing muda yang potongan dagingnya memang lebih kekar daripada sate kambing di Jakarta yang cenderung seperti daging diet. Belum lagi kalau menyeruput teh poci yang pahit-pahit gimana gitu,… Uuuuh, kenikmatan wong ndeso yang tak ada di kutho.
- Ini big plan-nya. Om Jaya berniat hapus tato. Sebuah tato mawar dan dedaunannya di lengan kiri, yang setia menemani sejak Om itu kelas 3 SMP, kini hendak dicerai. Konon kabarnya, sang Om hendak menjajaki karir baru sebagai seorang Imam di Masjid di kompleks perumahannya. Di daerah Pekuncen (kalo gak salah) dari Purwokerto ke arah Banyumas ada seorang ahli hapus tato yang konon katanya bisa menghilangkan tato tanpa rasa sakit. Daripada disetrika yang jelas bakalan merusak kulit atau operasi plastik yang enggak ramah di kantong, metode ini boleh dicoba.
- Ini rencana sampingan dari kangmasku yang hobi banget dipijat. Di Baturaden ada spot kesukaan kangmasku, yaitu di Lokawisata Baturaden, tepatnya Pancuran Tiga. Di situ dia bisa pijat badan dengan dilulur ramuan belerang, lalu berendam di pemandian air panas (air panas, bukan air hangat!)
- Buat aku ya yang penting dari sebuah liburan atau event apapun, adalah foto-fotonya! (Pasti semua yang kenal sama aku pasti mengamini,… dasar narsis!)
Sebenarnya aku sih enggak terlalu setuju dengan niat Om Jaya buat hapus tato. Dia bilang enggak afdol rasanya jadi Imam di Masjid tapi masih memelihara tato di lengan. Aku sih tidak akan mendebat dari segi religi denga melontarkan kutipan ayat-ayat atau hadis rasul. Aku menganalogikan tato sebagai foto-foto perjalanan hidup si empunya. Dari SMP mungkin sang Om telah melewati banyak catatan kehidupan yang kelam dan penuh kekerasan. Tato itulah saksi bisunya. Tato itulah yang merangkum betapa kehidupannya di masa lalu hanyalah kenangan yang cukup diceritakan tanpa perlu diciptakan ulang. Tato itu bisa menjadi sebuah buku dongeng yang kapan saja bisa menyajikan pesan-pesan moral dari sang ayah kepada anak-anaknya. Tato itulah sebuah reminder agar tetap menjaga hidupnya lurus-lurus saja. Toh, si om masih bisa sholat karena perjalanan air wudhu tak menyentuh area lengan atas. Entahlah, pengetahuan agamaku memang masih teramat dangkal jadi tidak bisa menjustifikasi apapun. Toh itu tato punya si om, mau dibuang, dipiara, atau dikembang biakkan sekalipun, semua di luar wewenangku.
Akhirnya berangkatlah kita ke tempat si ahli hapus tato yang konon bisa menghapus tato tanpa rasa sakit dan cukup dioles ramu-ramuan. Namanya pak Leo. Rumahnya terletak di samping jalan yang berkelak-kelok menanjak yang cukup untuk 2 lajur mobil Tidak pas di samping jalan sih karena untuk mencapai rumahnya kita semua harus jalan kaki di tanjakan curam sepanjang 70 meter. Rumahnya sederhana dengan tanah diplester dan perabotan khas rumah-rumah jawa, dilengkapi dengan 3 motor bebek dan TV flat Samsung 29 Inci.
Tilik sana cek sini, nego beberapa kali, akhirnya diputuskan biayanya sebesar 500ribu dari harga awal 650ribu, di luar obat-obatan yang diminum pasca proses eliminasi tato. Begitu uang diberikan, si bapak Leo ini menyuruh seorang pemuda untuk membeli jarum suntik steril dan obat bius lokal. Si Om terperanjat dengan terbersit satu perasaan tidak enak. Dan benarlah firasat itu. Om digiring ke kamar yang disediakan khusus, disuntik bius lokal, lalu “dirajah” kembali. “Dirajah” di sini maksudnya semua garis dan area di lengan yang telah terkontaminasi oleh tinta tato di-drill lagi dengan jarum khusus berbentuk pipih. Tujuannya untuk membuka pori-pori dan mengangkat tinta yang telanjur mengendap. Ya singkat kata, prosesnya kira-kira seperti membuat tato baru yang sama persis di atas tato yang lama. Meringis, menitikkan air mata, pasrah, menggeliat, U named it and he did it. Dia mengaku rasanya jauh-jauh lebih sakit daripada ketika ia membuat tato. Anak bungsunya yang baru berumur lima tahun dengan setia menunggui bapaknya sembari manggut-manggut nurut ketika Om Jaya mengingatkan agar si adhe untuk tidak mengulangi “kesalahan” yang dia buat. Selesai di”rajah” baru dioles ramuan yang warnanya hitam kental lalu diperban. Selama seminggu, si Om wajib mengkonsumsi sederet obat antibiotik dan vitamin untuk mencegah infeksi. Pupus sudah bayangan si Om tentang proses menghilangkan tato tanpa rasa sakit, cuma dioles ramu-ramuan, ditiup dengan baca-bacaan lalu sembuh. Hahaha Om,… No Pain No Gain dong ach!
Sesampainya di rumah, darahnya terus mengucur. Jadinya seperti prajurit perang yang terluka tembak. Darahnya mengucur cur cur terus. Diperban seperti apapun juga tetap tembus. Jadi kasihan deh,…
Dan besoknya, kita semua berangkat ke Lokawisata Baturaden. Ah, aku suka banget pergi ke tempat yang sifatnya megah. Megah di sini artinya dekat dengan alam dan ketika menatap sekeliling, kita merasa begitu mungil tak berdaya. Lalu di spot Pancuran Tiga si Om mengguyur luka “rajah”-nya dengan air panas yang mengandung konsentrat belerang. Lukanya jadi terlihat gosong dan keriput-keriput. Tuh ada fotonya lagi di salah satu pancuran air panas, bareng sama kangmasku.
Akhirnya kita pulang jam 3 pagi tanggal 19 Maret karena si tante ada reuni keluarga siangnya. Di perjalanan pulang, kita sempatkan dulu sarapan pagi dengan menu seadanya di pinggir sawah ditemani bayang-bayang Gunung Ciremai di kejauahan. Aaaah,… sebuah kenikmatan yang tidak bisa ditemukan di Jakarta. Lahan seluas itu di Jakarta pasti sudah ditawar kontraktor untuk dibangun mal atau ruko.
Agenda berikutnya mau liburan ke mana lagi ya…? Ada ide?