Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
Tejo teringat kalimat Dinda. Istrinya
waktu itu pasti kecewa. Ia tak mendampinginya melahirkan di klinik bidan
seberang kompleks kawasan industri. Ia meringkuk semalam di kantor polisi
akibat berkelahi dengan atasan. Andai Dinda tahu, betapa Tejo merindukannya.
Dinda selalu bisa melembutkan hatinya yang keras. Saat Dinda menyerah di
ranjang rumah sakit karena demam berdarah, ia menitipkan Berlian, putri semata
wayang mereka, untuk meneruskan tugasnya melembutkan hati Tejo.
Semburat jingga menyebar di penjuru langit. Tejo sesekali berjalan miring
dan mengucap permisi agar tak menabrak orang saat melewati selasar sempit
menuju kontrakan. Samar tercium bau deterjen dari rentetan cucian yang
digantung sejajar pintu-pintu petakan.
Kontrakannya hanya empat kali enam meter. Ruang tamunya hanya diisi
televisi mungil dan tiga bingkai berdebu yang tergantung layu. Senyum manis
Dinda menyambutnya di balik kaca bingkai itu. Persis di balik ruang tamu, ada
kamar berisi ranjang susun, yang terbawah untuknya, yang teratas untuk Berlian.
Di samping ranjang, ada lemari kayu lapuk dan meja belajar usang.
“Ada teman-teman ayah mampir. Tolong bikin kopi ya?”
“Iya, tapi listriknya mati. Aku belum isi bak di kamar mandi.”
Tejo menghela napas. Sebulan
lalu, petugas PLN memergoki banyak yang mencuri listrik di sekitar sini. Sejak
itu listrik kadang menyala, lebih sering tidak. Pak Sunu, induk semangnya, malah
didenda enam juta karena ketahuan mencuri juga. Diliriknya buku-buku di meja
belajar Berlian. Kasihan Berlian kalau mengerjakan PR hanya ditemani lilin.
“Gampang, mandinya nanti saja.”
ujar Tejo kembali ke ruang tamu. Bang Hendi, Mas Pram, dan Gimin sudah selonjor
santai di sana.
“Rosyid sudah keterlaluan.” Gimin
menimpali. “Kita harus bertindak!”
“Jadi apa rencanamu, Jo?“
tanya Bang Hendi menyulut rokok.
“Mestinya diskusi dulu dengan
serikat pekerja. Semua
ada prosedurnya, jangan sembarangan.” Mas Pram berusaha menengahi.
“SP dikendalikan Rosyid.
Persis boneka. Nggak ada yang belain kita,” ujar Tejo.
“Mas Pram tahu sendiri banyak
tunjangan disunat. Waktu istri Romi di-caesar, cuma dapat ganti
lima ratus ribu. Padahal sesuai
aturan perusahaan, Romi bisa dapat penggantian enam juta. Banyak juga kasus
tunjangan keluarga ditilep,” ujar Gimin.
“Kalau waktu itu Rosyid nggak ngaku-ngaku,
aku yang dapat bonus itu. Aku bisa belikan Berlian sepatu dan baju baru,”
sergah Tejo teringat insidennya saat
membuat efisiensi sistem produksi dari output 50.000 unit rangka lampu motor
menjadi 80.000. Untuk diajukan ke bos besar, ia butuh tanda tangan Rosyid
sebagai manager utama. Ia taruh konsep itu di meja Rosyid. Tak lama, Rosyidlah
yang diberi bonus uang berkat rancangan efisiensi yang persis rancangan
Tejo. Tejo naik pitam. Adu mulut tak terhindarkan. Wajah Rosyid pias saat tinju
Tejo hampir mendarat di pipinya. Untung saja ia dihalangi buruh lainnya.
“Kalau kamu dipecat, apa Berlian
masih bisa sekolah?” sela Mas Pram.
Tejo terdiam. Anak
perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.
“Om-om, silakan kopinya,” Berlian membawa empat cangkir kopi. Tejo
menatap mata bening Berlian, lalu beralih menatap isi cangkir. Kopi hitam pekat
itu bergerak memutar karena sisa adukan. Seperti itukah masa depan Berlian?
Hitam dan berputar-putar mengulang pahit yang dicecap orang tuanya?
“Kita harus demo. Kumpulkan
bukti-bukti, termasuk dari anak training yang sering dimintai uang supaya
jadi karyawan tetap,” Gimin membuyarkan lamunan Tejo. “Slip-slip gaji bermasalah difotokopi. Bikin
petisi minta Rosyid mundur dan rencana lapangannya. Hati-hati, jangan bocor ke Sarno
si penjilat!”
“Jo, konsekuensinya berat. Kamu
bisa dipecat karena jadi korlap. Tahu
sendiri Rosyid sentimen sama kamu. Salah gerak, kamu bisa out,”
Mas Pram mengingatkan.
“Mas mau gaji kita cuma UMR tapi beban kerja tinggi. Lembur tanpa uang
lembur. Mati pelan-pelan namanya,” bantah Tejo, “Walau cuma kuli pabrik, kita bukan
kuli goblok yang bisa dikendalikan
seenaknya.”
“Oke, kamu bikin konsepnya, kita yang jalankan. Kita serahkan semuanya sama kamu,” ujar Bang Hendi.
Ada kilat semangat di mata Tejo saat menatap
mereka. Sepuluh sampai dua belas jam digerus kerja fisik tiap hari membuat
mereka lebih tua dari usia sebenarnya. Kelelahan memakan habis harapan mereka.
Hanya ia yang bisa mengubah keadaan.
“Ayah, lampunya sudah nyala!” teriak Berlian girang dari dalam kamar.
***
Anak perempuanlah yang bisa
melembutkan hati seorang bapak.
Kalimat itu mampu melirihkan gumaman teman-temannya yang bergerombol di
depan pabrik. Hampir saja megaphone di tangannya jatuh ke tanah. Ia seperti
melayang ke awan yang mendesak-desak langit, seperti kerumunan yang kini mendesak-desaknya.
Mereka membawa spanduk dan karton bertuliskan provokasi pemecatan Rosyid.
“Jo, belum telat untuk berdiplomasi.
Banyak yang dipertaruhkan,“ ujar Mas Pram.
Tejo tak mengangguk atau
menggeleng. Ia hanya ingat wajah Berlian saat menyodorkan surat dari sekolah.
Surat itu meminta Tejo menemui kepala sekolah untuk membahas kemajuan
pendidikan Berlian tanpa jelas apa masalahnya. Baru Tejo akan bertanya, Berlian
telanjur tertunduk. Ia jadi tak tega. Apa nilai Berlian merosot karena
lampu di kontrakan terlalu sering mati? Apa karena bayaran sekolahnya yang
sudah telat dua bulan?
“Hari ini ayah nggak bisa. Ada
demo di pabrik. Bilang sama kepala sekolah, ayah datang besok pagi. Gimana?”
“Janji ya Yah?”
“Jo!” ujar Mas Pram.Lamunannya
terbang ditiup angin.Tangannya terkepal kuat.
“Iya, Mas. Ini buat kita-kita
juga kan. Buat anak saya. Buat anak-anak Mas Pram juga,” jawabnya gemetar
seakan mempertanyakan keyakinannya sendiri.
Anak perempuanlah yang bisa
melembutkan hati seorang bapak.
Tejo menaiki undakan untuk
berorasi. Megaphone di tangannya kini mengacung di udara. Kata-katanya meluncur
menyirami semangat kawan-kawan seperjuangan. Spanduk dan karton teracung
tinggi, tak peduli matahari memanggang ubun-ubun mereka. Dari posisi yang lebih
tinggi, Tejo mendongak menjawab bisikan istrinya ke arah langit. Dinda,
mungkin seorang bapak harus keras hatinya demi masa depan putrinya.
Gerombolan buruh berubah
menjadi ombak panas yang menghantam kokohnya gerbang pabrik. Semuanya mulai tak
terkendali. Di kejauhan sirine truk polisi memuntahkan belasan petugas. Ketika
seragam cokelat susu buruh berbaur dengan seragam coklat polisi, Tejo tak
sanggup lagi membedakan wajah dan suara. Semuanya berteriak. Benda-benda
beterbangan. Spanduk dan karton melayang. Ada batu terpental membentur perisai
polisi. Entah siapa yang melempar. Tejo menjatuhkan megaphone-nya dan
berusaha memisahkan pergulatan di depannya.
Kerah bajunya ditarik. Tak
lama, ia didorong kuat dari belakang sampai terjerembab dan dagunya terparut
aspal. Sebuah laras hitam tak henti menumbuknya. Lengan kiri. Punggung atas. Pinggang.
Betis. Lalu lengannya lagi. Warna hitam pentungan itu tiba-tiba ikut melunturi
warna-warna di sekelilingnya.
Hanya suara “Janji ya Yah?” terngiang di telinga. Suara itu memudar seiring
ditelan pandangan hitam pekat.
***
Berlian bangkit dari tempat
tidurnya. Ia tak bisa tidur semalaman. Ranjang Ayah masih rapi tanpa ada kerut
bekas ditiduri. Sepatu kerja ayah yang biasa ditaruh di balik pintu juga tidak
ada. Ayah belum pulang.
Hari ini ayah janji akan ke sekolah bersamanya. Sengaja ia tak bercerita
bagaimana dirinya lolos ujian seleksi beasiswa sebuah bank swasta. Ia ingin
membuat kejutan untuk ayah. Ia ingin melihat wajah bangga ayah karena tak perlu
lagi membayar uang sekolah dan buku sampai lulus SD berkat beasiswa itu.
Berlian melongok ke arah gang
kecil di depan kontrakan. Ia ingin sekali meminta ayahnya untuk tidak berdemo
di pabrik. Tapi wajah ayah begitu keras, sekeras niatnya. Mana berani ia membujuk
ayah. Melunakkan hati ayah yang keras? Mana mungkin ia bisa. Ditemani ujung rok
merahnya yang mulai pudar, Berlian hanya bisa duduk di pintu menunggu ayahnya
pulang sambil ditemani suara detik jam yang terasa makin lambat.
***
Tangerang, 17 April 2008
Pemenang 1 Lomba Cerpen Ummi. Muat edisi November 2012