sebuah cerpen duet karya Ade Yusuf dan Anggun Prameswari
dimuat di harian Tribun Jabar, Minggu, 20 Juli 2014
Dari kasak-kusuk yang kudengar, ada seorang pria yang suka bertandang,
mengunjungi pemakaman-pemakaman. Baginya, pemakaman adalah perayaan. Dia sering
mengunjungi pemakaman, upacara kremasi, atau ruang persemayaman. Datang paling
awal, berdiri di sudut terpisah dari pelayat lainnya, dan pulang paling akhir.
Selalu ada senyum penuh debar di wajahnya. Seakan ada yang dia tunggu. Dari
kasak-kusuk yang sama, aku tahu bahwa dia juru dongeng; dan yang
didongengkannya adalah dongeng kematian.
Kami tidak saling kenal, tapi punya satu persamaan. Kami sama-sama dekat
dengan kematian. Jika dia pendongeng kematian, maka aku tumbuh di antara
makam-makam dan wajah-wajah pelayat yang silih berganti. Rumah yang kutinggali persis di samping
pemakaman. Jika kupikir-pikir, entah
sejak kapan aku tinggal di sana. Waktu seperti mengabur di benakku. Hari persis
daun yang berguguran dan digantikan helai baru, terus berputar tanpa penanda.
Saat aku menyadari pagi
ini berganti, aku mendengar
suara-suara. Tangis. Hela napas. Gemerisik langkah. Kelopak kembang yang
melayang-layang. Aku bergegas
mendatangi tanah pekuburan. Jika ada yang meninggal hari ini, maka pria
itu datang. Sang pendongeng kematian.
Benar dugaanku. Di sana
dia berdiri. Di bawah bebatang kembang kamboja yang meranggas dan nyaris habis
daunnya, dia menatap lurus ke sebuah makam. Dari senyumnya, aku tahu dia tengah
merayakan kematian.
“Kenapa kau selalu datang setiap ada yang dimakamkan?” aku mendekat dan tak sanggup lagi mengunci
mulut.
“Karena aku pendongeng kematian.”
“Kenapa kau bisa menjadi
seorang pendongeng kematian? Itu bukan pekerjaan. Mana bisa kau menghasilkan
uang dengan mendongeng.”
Pendongeng tua itu tak menjawab. Mendadak
ia memutar kepalanya ke sisi kiri areal makam. Tangannya menunjuk saung kosong
yang biasanya dipakai Mbok Darmi berjualan kembang dan air dalam botol kemasan,
untuk para peziarah.
“Kasihan dia. Padahal kepalanya separuh gepeng, masih saja gelisah ingin menelepon isterinya.
Seharusnya malam itu ia pulang kampung, menemani isterinya bersalin. Tapi di tengah jalan, motornya
tersambar tronton.”
Aku memajamkan penglihatan ke arah saung Mbok Darmi. Tak ada lelaki yang
kepalanya gepeng. Hanya ada
saung butut beratap terpal rombeng.
“Tidak usah menakutiku. Aku
tinggal di sini. Bualanmu tidak akan mempan buatku,” aku mengernyitkan dahi.
“Asal kau tahu, kuburan
tidaklah sehening yang kau kira.
Entah bagaimana awalnya, aku mudah mendengar suara. Memilukan. Rintih
kesakitan. Raung kesepian. Isak kesedihan. Lalu, tanpa sempat kuijinkan, mereka
menyembul satu persatu. Mengerubungi aku. Berebut menitip pesan. Memaksaku
menyampaikan penyesalan mereka pada yang masih hidup.”
Sejenak aku menatapnya tak
percaya, tapi akhirnya kuputuskan, “kalau begitu, ceritakan satu dongeng buatku.”
Lelaki separuh baya berwajah tirus itu menoleh sambil tersenyum.
“Pilih saja satu makam yang ada di sini. Akan
kuceritakan dongeng kematian mereka,
khusus untukmu.”
Bola mataku berbinar. Kulayangkan pandangan ke areal makam yang tampak
seperti barak raksasa. Sekilas
seperti ranjang yang penuh oleh orang-orang yang tertidur pulas. Rumput-rumput gajah
di sekeliling makam meranggas akibat musim kemarau panjang. Hembusan angin ini
sedikit menyejukkan di tengah sorotan sinar matahari yang mulai terik.
Setelah bingung memilih, kuarahkan telunjuk pada rombongan yang sedang
berdoa sambil terisak, usai jenazah itu ditimbun tanah merah.
“Itu, yang baru dikuburkan saja.”
Mata sang pendongeng yang tertuju ke rombongan itu memicing sejenak.
Tangan kanannya mengelus janggutnya yang sebagian sudah memutih.
“Baiklah, kuceritakan bagaimana lelaki itu kini terbujur kaku di liang
lahat.”
Aku menegakkan tubuh, tanda
waspada.
“Almarhum seorang pengusaha kayu sukses. Budiman Sanjaya namanya. Dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun. Memiliki seorang isteri yang setia
dan dua anak yang dua-duanya
kuliah di luar negeri. Mereka menikah di usia
muda. Tiga tahun lalu baru saja merayakan ulangtahun pernikahan perak. Budiman
itu pendiam, gila kerja. Maklum, dulu dia miskin. Terlalu miskin sampai dendam pada
kehidupan. Dia tak sempat menjalin
cinta. Perempuan adalah makhluk asing baginya. Bahkan pernikahannya dengan Aida
adalah buah perjodohan orangtuanya.”
Ada yang berdesir di dadaku.
Aku melirik ke arah kerumunan pelayat. Wajah-wajah sembab memenuhi tanah yang
membusung. Seorang gadis muda, mungkin anak almarhum, histeris dan sedikit lagi
mungkin pingsan. Ah, serindu itukah dia pada ayahnya? Seperti menelan empedu,
pecah di dalam perut, aku merasa pahit. Bolehkah aku mencicip rindu itu? Tapi
buat apa, toh aku tak tahu siapa ayahku.
“Budiman dan Aida hidup
seperti di dalam dongeng. Tenang. Datar. Bahagia selamanya. Tapi siapa yang
tahu apa yang ada di dalamnya. Aidalah pemilik kehidupan Budiman sesungguhnya.
Persis gurita raksasa, Aida melilitkan tentakelnya, menjadikan Budiman boneka
bertali yang bisa dia kendalikan.”
Aku melirik lagi. Yang mana Aida
itu? Apakah wanita kurus jangkung di sisi makam Budiman, yang menatap kosong?
Tatapannya setengah lega, selebihnya mengutuk. Mana sorot kehilangan atau
merindu, kucari-cari di matanya. Aku menelan ludah. Mungkin cintanya ikut
dipendam di liang lahat.
“Lalu masuklah Rosie,
reporter majalah bisnis. Dia
mendapat tugas menulis profil Budiman untuk dimuat di majalah tempatnya
bekerja. Kau pernah dengar witing tresno jalaran soko kulino? Begitulah.”
“Aida tidak curiga?”
“Saat kau merasa sudah
mengendalikan seseorang sepenuhnya, kau akan lengah. Aida dengan santai
menepis setiap gosip Budiman dan
Rosie. Hingga suatu hari,...”
Nadanya menggantung di udara,
menarik bulu kudukku bangkit.
“Apa? Apa yang terjadi?”
“Ada paket pos. Tanpa
identitas pengirim.”
Sial, pendongeng ini
benar-benar menggiringku dalam penasaran yang berputar-putar.
“Dan hening malam itu digantikan lengking
pembantu tua yang menemukan tuannya terbujur. Kaku berlumuran darah. Sepertinya
sofa krem Da Vinci itu tuntas
memerah. Televisi LCD di depannya, memutar adegan panas.”
“Budiman dan Rosie?” aku
menelan ludah.
“Siapa lagi?”
Mata pendongeng kematian itu mengilat. Aku bergidik, entah ngeri
mendengar dongengnya, atau melihat bola mata yang yang seakan berpendar. Dia
membicarakan kematian, seakan
itu hal yang menyenangkan, seperti gula-gula. Kurapatkan baju hangat. Entah
dari mana angin kering berkesiur, menegakkan bulu-bulu kuduk. Aku tumbuh di
tanah pemakaman, seharusnya tidak gampang ditakuti.
“Terus bagaimana?” Aku
mengatur posisiku, menyamankan diri.
“Ah, kau masih ingin mendengar kelanjutannya?”
“Tentu. Setiap cerita ada
akhirnya. Apa mungkin dongeng tak memiliki akhir?”
“Apa mungkin manusia tidak mati?” dia balik menatapku dengan geletar
binar yang menyambar-nyambar.
“Jika tidak ada yang mati, maka kau tak lagi bisa mendongeng.”
“Dan itulah akhir hidupku.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa
yang akan terjadi kalau dongeng ini tamat?”
Seringainya merekah. Matanya
liat menatap.
“Baiklah, akan kulanjutkan,
seperti yang kau minta. Tentu dengan konsekuensi yang kau siap terima,”
lengkung senyumnya melebar. Aku bisa melihat isi mulutnya. Kelam persis
kedalaman lubang-lubang kubur yang nyaris menyentuh batas neraka.
Seketika itu juga intuisiku
menjerit. Memintaku menarik kembali permintaan itu. Perasaan tak enak, tak
nyaman, menggerayangi batinku. Namun, seperti manusia pada umumnya, rasa
penasaran selalu membungkamnya.
“Budiman ditemukan terbujur kaku di sofa itu dengan jantung tertancap
belati yang dihujamkan oleh isterinya. Persis dua minggu setelah Budiman
membunuh Rosie, karena dia bersikukuh tak mau menggugurkan kandungannya. ”
“Apa,... apa Rosie
sudah mati?” Ada yang menggeliat di
dadaku. Perih. Bara yang menyala. Duka yang berkepanjangan. Bertumpuk-tumpuk,
bertindihan. Padahal aku tak mengenal nama-nama dalam kisah pendongeng
kematian, kenapa terasa lekat? Kenapa jantungku seperti diikat kuat-kuat?
“Berarti bayi yang dikandungnya juga ikut mati?” tanyaku lirih.
Bagai menerima gelombang supersonik, kepalaku tiba-tiba merasakan sakit
yang sangat. Kutempelkan kedua tanganku di telinga yang mendengung usai
mendengar kisah si pendongeng. Kenapa pula kini tubuhku menggigil.
“Sekarang, apa kau siap dengan konsekuensi saat dongeng ini diakhiri?”
Sakitku kini mulai menjalar ke dada. Seperti dirajam ribuan jarum. Tubuhku
kian bergemeletak kala desir angin semakin kencang. Lalu samar kulihat butiran
pasir yang tersapu angin, perlahan membentuk bayangan lelaki separuh baya, serta seorang wanita cantik
berdiri di sampingku, dengan
raut wajah penyesalan yang sangat dalam.
Untuk pertama kalinya aku
didera rasa takut. Segera aku mencari si pendongeng. Aku membutuhkan akhir dari
cerita ini. Kupalingkan pandanganku ke seluruh penjuru areal makam, namun
sosoknya sudah tak nampak lagi. Hanya suara sayup di tengah heningnya tanah pekuburan yang terbakar terik
matahari.
“Kuanggap kau sudah tahu akhir dari kisahku. Selamat tinggal dan
maafkanlah kedua orangtuamu.”
***
Tangerang-Bekasi, 27 April – 7 Agustus 2013
*catatanku:
Menulis cerpen duet itu berat banget, terlebih gaya penulisanku dan Ade berbeda banget. Aku menulis dengan manis, romantis, lembut mendayu. Sedangkan Ade lebih lugas, gelap, dan meledak-ledak (sebagai penggiat Fiksimini, Ade terbiasa memasang bom di tulisannya). Jujur, aku yang beberapa kali menyerah dalam proyek penulisan ini. Namun, salut untuk Ade yang nggak rewel dan sabar menunggu, sampai aku merasa nggak enak sendiri dan akhirnya membulatkan tekad untuk menyelesaikannya. Proses penulisannya seperti ini: Aku membuka dengan fragmen pertama, sepanjang beberapa paragraf awal. Kemudian setelah aku "puas", aku memberikan tongkat estafet dan Ade melanjutkannya. Karena aku membuka, maka Ade yang menutup ceritanya. Kami sama sekali tidak merancang arah cerita. Tokohnya bercerita sesuai kehendaknya sendiri. Aku dan Ade hanya medium untuk menyampaikan. Selebihnya proses duet ini seru banget! Sayangnya, dalam waktu dekat baik aku dan Ade belum memutuskan membuat cerpen duet lagi. Mungkin segera. Mungkin duetnya bukan dalam bentuk cerpen. Enthalah. :)
Anyway, terima kasih telah membaca. Ditunggu komentarnya. :*