Tepat 4 Juli 2011, itu
hari pertamaku jadi guru. Padahal, ketika masih bersekolah dulu, guru bukan
jadi profesi idamanku sama sekali. Kenapa? Karena dulu, belajar di sekolah
bersama guru itu tidak menyenangkan.
Waktu itu, aku masih
belajar di sebuah SLTP negeri sebuah kota kecil di Jawa Timur. Bahasa Inggris
adalah salah satu pelajaran favoritku (mungkin itu salah satu alasannya aku
sekarang mengajar bahasa Inggris). Kesukaanku mendengarkan musik dan film barat
membuat bahasa Inggrisku di atas rata-rata teman-temanku. Namun itu menjadi masalah,
karena aku cenderung bosan dan malas di kelas, karena materi pelajarannya
kurang menantang.
Buatku, belajar bahasa
dari lagu lebih asyik. Pembelajarannya mencakup listening (mendengarkan bagimana tiap kata dilafalkan), reading (membaca lirik, mengasosiasikan
makna tiap kata sehingga konteks lagu dipahami), speaking (menyanyikan liriknya sesuai pelafalan penyanyi aslinya),
dan writing (aku dulu punya kebiasaan
menyalin lirik-lirik itu di buku tulis, sehingga melatih ejaan dan tata bahasa
secara tidak langsung). Sedangkan proses yang sama tidak kudapatkan dari guruku
dan aktivitas belajar di kelas.
Ketika hari-hari
pertama aku menjadi guru, aku punya ketakutan.
Mau jadi guru yang
seperti apa?
Bagaimana kalau aku
punya murid seperti “aku” masa kecil dulu, terlalu pintar sehingga jadi
pembosan dan pemalas karena gurunya tidak bisa “memahami kebutuhan muridnya”?
Bagaimana kalau
ternyata muridku nanti lebih pandai dariku?
Ilustrasi diambil dari sini
Aku sempat mengajar
menggunakan kurikulum KTSP selama 3 tahun. 2014-2015 adalah tahun ajaran pertamaku
bersama Kurikulum 2013. Kebetulan, aku mengajar di sekolah nasional plus, di
mana fasilitas lengkap, terdapat integrasi kurikulum nasional dengan
internasional, serta murid-muridku punya dasar bahasa Inggris yang cukup kuat. Jangan
salah. Poin terakhir ini justru krusial, karena tugasku kini bertitik pada
mengembangkan skills mereka, bukan
malah menumpulkannya.
Teknologi jaman
sekarang memungkinkan anak mudah mengakses informasi seluas-luasnya. Terlepas
apapun polemik penerapan Kurikulum 2013, guru tetaplah salah satu ujung tombak
fasilitator pembelajaran. Kurikulum boleh tidak sempurna, tapi guru yang paling
memahami kondisi di lapangan. Maka benarlah kutipan Kepala Sekolahku, teaching is an art.
Kurikulum 2013 atau disingkat
K-13 merupakan pengembangan dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Di
KTSP, kegiatan inti proses belajar terbagi menjadi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Sedangkan kegiatan inti pembelajaran dalam K-13 diperluas menjadi observing, questioning, collecting
information, associating, dan communicating.
Maaak, itu bahasa dewa semua. Mana mengerti?
Singkat kata begini,
kegiatan inti pembelajaran K-13 dititikberatkan pada aktivitas siswa, sementara
guru merupakan fasilitator. Pada tahap observing,
siswa akan diajak mengamati topik yang hendak dipelajari. Di tahap ini, guru
bisa menggunakan banyak media misalnya buku, musik, film, video, artikel, foto,
dsb. Nah, saat mengamati ini, guru memberikan stimulus, sehingga siswa
terpancing untuk bertanya (tahap questioning).
Siswa belajar menjadi kritis. Segala bentuk pertanyaan ditampung, dipertajam,
tidak dihakimi, sekaligus diarahkan. Nah, dari pertanyaan-pertanyaan itu, siswa
dan guru mencari informasi (tahap collecting
information) dari buku dan sumber-sumber lain. Ingat, anak jaman sekarang
adalah generasi melek teknologi, jadi guru memberikan kebebasan mengakses
informasi, walau tetap diawasi sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. Dari
informasi tersebut, anak menghubungkan dan memilah informasi mana yang
diperlukan (tahap associating) dan
menerapkannya dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran (tahap communicating).
Hasil akhirnya pun
memiliki bentuk beragam. Misalnya pada bahasa Inggris SMP-SMA yang kuajar tahun
ajaran ini, murid-murid membuat booklet makanan
khas Indonesia dengan narasi pengantar bahasa Inggris menggunakan grammar point kata kerja to-infinitive, poster diri yang membahas
pengalaman unik di masa kecil yang merupakan penerapan penggunaan simple past tense dalam kehidupan
sehari-hari, presentasi badan
kemanusiaan yang ada di Indonesia setelah membahas artikel sebuah gerakan
kemanusiaan di dunia, menggambar peta dan petunjuk arah sederhana setelah
mempelajari prepositions and indirect
questions, atau membuat talk show
sederhana yang direkam (integrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan TIK). Masih
banyak hal-hal lain yang bisa membuat siswa bersemangat—belajar tapi seakan
tidak belajar—karena melalui aktivitas yang menyenangkan dan menantang, tentunya
sesuai dengan tujuan pembelajaran di awal.
Satu yang kupelajari setelah nyaris empat tahun mengajar, ketika di kelas siswa belajar, sesungguhnya sang gurupun juga tengah belajar.
Orang akan menyebutku
beruntung karena sekolah tempatku mengajar dan murid-murid yang kuajar memungkinkan
aku menerapkan hal-hal ini. Mungkin aku takkan bisa melakukannya di
sekolah-sekolah di desa-desa tertinggal di Indonesia. Namun, sekali lagi, teaching is an art. Kurikulum 2013
menyediakan panduannya, dan terlepas dari segala kekurangan dan polemiknya,
gurulah fasilitatornya untuk membuat proses pembelajaran menjadi lebih “hidup”.
Toh tujuannya tetap sama, memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar