Kalau saja waktu berputar kembali,...
Itu kata yang pernah kuucapkan padamu. Aroma lapuk ruang gudang itu semakin membuatku sesak. Bukan karena luasnya yang memang sempit, tapi ruang hatiku tiba-tiba disesaki dengan entah perasaan apa. Kau selalu tertawa bila kusebut ruang itu gudang. Itu hanya ruang kecil, ukuran empat kali empat. Dicat kuning gading, tapi entah menua atau ternoda asap rokok, warna melapuk dan menyuram. Ada meja besar dengan lima atau enam kursi coklat tua. Kau selalu duduk membelakangi jendela dan aku pasti duduk di hadapanmu. Selalu begitu. Tak pernah ada yang berubah.
"Kalau saja waktu berputar kembali, sembilan atau sepuluh tahun lalu, apa akhirnya akan berbeda?" aku terus saja mengulangi pertanyaan itu.
Kau hanya diam. Jawaban apa yang kau cari? Jawaban yang tentu tidak menyakiti hati. Tapi hati siapa? Hatimu? Hatiku? Hatinya?
"Aku mencintai istriku," ujarnya. "I very love my wife,"
"Salah, yang benar I love my wife very much." ujarku pahit. Dan senyummu melingkar legit.
"Iya, itulah. I love my wife very much."
"Tapi kan pertanyaanku bukan itu. Pertanyaanku, kalau kita bertemu sembilan atau sepuluh tahun lalu, apakah akhirnya akan berbeda?"
Dan kau tertunduk. Aku jadi tak bisa melihat sinar matamu. Aku pun juga mempertanyakan hal yang sama pada diriku. Padahal kita berdua sama-sama tahu kalau kita berdua tak tahu jawabannya. Seharusnya bukan padamu aku bertanya.
"Kita masih bisa berteman baik." ujarmu. seperti ingin menghiburku. Tapi aku tahu juga itu sebenarnya menghibur hatimu sendiri.
"Janji tidak akan ada yang berubah?" tanyaku berusaha menembus kabut di matanya.
"Janji."
"Kita masih bisa ngobrol seperti dulu?"
"Bisa."
"Masih boleh BBM-an sampai malam?"
"Boleh."
Tring tring, getaran Blackberry-ku itu jauh lebih pelan dibandingkan degup jantungku sendiri. Aku sampai tak bisa mendengarnya. Tapi suara itu seperti lengkingan sangkakala yang menampar wajah kami berdua. Membangunkan kami untuk kembali ke realita.
Cinta, aku sudah di depan. Kamu sudah siap-siap mau pulang kan?
Dan kita sama-sama tahu, di semua yang terjadi di ruang sempit ini hanya akan tersimpan di ruang ini. Begitu kakiku melangkah, begitu kakimu menjejak, begitu kami berdua meninggalkan ruangan ini, semuanya akan terkubur, tak tergali, tak terucap.
"Aku,..."
"Iya, kamu sudah dijemput kan?"
"Bye."
Dia hanya mengangguk. Tanganku seperti enggan membuka pintu ruang ini dan meninggalkan semua kisah manis di dalamnya.
"Tunggu!"
Satu kata itu membuat aku hampir melompat ke angkasa. Apa kau berubah pikiran? Apa kau ingin aku tetap di sini, di sisimu, walau,...
"Ya?"
"Kamu belum pakai cincinmu. Nanti dia tanya."
Kau tak menatapku. Tapi suaramu mampu menjadi lubang hitam yang menghisap semua harapan yang tadi membuncah. Aku membuang muka. Cukup dengan satu bantingan pintu. Bahkan selamat tinggal pun tak sanggup kuucapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar