Aku tahu kau hampir memuntahkan potongan apel saat menatapku di ujung pintu. Aku paham betul tatapanmu yang seakan bicara, “sedang apa kau di sini?”. Tapi toh kamu tidak akan bersikap sekasar itu.
“Hai Rin,” aku menyapa dengan senyum terbaik yang kupunya.
Dan seperti itulah kau menanggapinya. Dingin. Seakan tidak ada cerita apa-apa di antara kita.
Memang tidak ada, bukan? Hampir saja ada. Tapi kita memilih jalan untuk membuatnya tidak ada.
Wanita yang ada di sebelahmu tersenyum. “Hai. Aduh makasih udah repot-repot kemari,”
Aku mencium pipinya. Satu di kanan. Satu lagi di kiri. Sekilas kulirik kau. Apa kau inginkan ciumanku juga? Aku tahu itu pasti. Kau hanya tidak berani.
“Gimana keadaan kamu?”
“Dokter bilang harus bed rest 2 minggu,”
Ada nada sedih yang mengakar di suaranya. Kami bertiga terdiam. Dia diam karena duka masih membekap mulutnya. Kau diam karena tak tahu harus bagaimana lagi menghapus dukanya. Aku juga diam. Antara senang dan kasihan, tapi bukan untukmu. Senang untukku. Dan kasihan padanya.
Aku menggenggam tangannya. Tangannya kurus, sepertinya beratnya turun 3 kg. Pucat dan hampir mongering. Mungkin hilang karena terlalu banyak air mata.
“Yang sabar Rin,”
“Makasih ya,”
“Kamu masih muda,”
“Iya,”
“Kalian masih punya banyak waktu,”
“Iya, ibuku juga bilang begitu.”
Aku tersenyum. Dia baik-baik saja. Tapi kenapa wajahmu seperti ketakutan setengah mati.
Kau takut?
Kau takut padaku?
Kau takut padaku karena aku mungkin saja,…
Bodoh,…
Di antara kita memang tidak ada apa-apa. Memang hampir saja ada, tapi kita memilih untuk menjadikannya tiada.
Kau meninggalkanku dan aku membiarkanmu meninggalkanmu.
Dia tak perlu tahu itu.
Aku menyentuh perutnya. Sedikit bergelombang, tapi tanpa nyawa.
“Nanti juga ada lagi,”
“Iya, nanti.”
“Yang penting sabar,”
Dan kau tak berani berucap sepatah kata pun.
Kau takut dia tahu apa yang kau dan aku ketahui.
“Waktu itu,” Rini tersenyum pahit. “Pagi-pagi aku terbangun. Ada kupu-kupu cantik sekali terbang di dalam kamar. Aneh, kan? Padahal jendela dan pintu tertutup. Lalu dia mendarat di perutku. Sebentar, lalu terbang lagi. Aku melompat dari ranjang untuk mengejarnya dan itulah saat,…”
“Ssstt,, nggak usah diingat.” Aku memeluknya. Tubuhnya dingin. Pantas hatimu mulai membeku untuknya. Atau memang tubuhku lebih hangat karena sentuhanmu di saat kisah kita hampir ada?
Kau tertunduk. Aku tahu apa yang ada di pikiranku.
Tapi dia tak tahu.
Bahkan kau pun takkan pernah tahu.
Betapa sakitnya aku saat kau meninggalkanku. Begitu sakit sampai aku melumpuh tak mampu mencegahmu. Begitu pedih sampai airmataku menghujan. Begitu pilu sampai dukaku memanggil kupu-kupu datang di pagi itu, tepat setelah kau meninggalkanku. Ia mendarat di atas perutku. Menari menggemulai begitu indah. Begitu indah. Begitu hidup. Sampai-sampai aku merasa ada yang hidup jauh ke dalam tubuhku, tepat di bawah pijakan tarian kupu-kupu.
Aku menatapmu.
Kau boleh saja meninggalkanku. Kau boleh saja terus berada di sisinya. Kau boleh saja melupakanku. Tapi kau takkan bisa lepas dariku. Aku tersenyum padamu. Dan diam-diam ada gerakan lembut di balik perutku, menggeliat pelan, tanpa suara.
Maaf. Aku tak bisa menjadikan tiada apa memang mestinya ada, walau kau memilih untuk menganggapnya tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar