Powered By Blogger

Selasa, Maret 26, 2013

MAKAN MALAM TERAKHIR



Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini.
Sandy menatap ragu undakan menuju teras rumahnya. Bangunannya masih tetap sama, minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Ada pintu besar dari kayu meranti, berpulas pelitur mengkilat dengan sedikit ornamen ukir di beberapa sudut. Jendela-jendela mengapit pintu. Penampangnya berbatas dengan besi ulir teralis yang berjajar ritmis dengan helai-helai tirai putih bersih. Entah kenapa, detik ini rumahnya terasa dingin. Apa karena catnya? Apa karena teralis-teralis itu? Karena apa?
“Sandy, kok nggak masuk?”
Mama menyambut di depan pintu. Sosoknya terlihat lelah. Sepertinya garis-garis kerut di wajahnya menegas. Sandy mencari-cari bekas air mata di tiap lekuk sudut raut cantik mama, tapi sia-sia. Mungkin sekarang bukan waktunya mama menangis lagi.
Uluran tangan mama menanti jawaban. Jemari lentiknya kini terlihat kering. Mama sudah melepas cincin kawinnya.
“Papa menunggu di dalam.”
Sandy makin ragu. Untuk apa ia ada di sini? Menjadi saksi mata kalau kiamat itu memang ada? Mereka memintanya bersikap dewasa. Hanya saja, kedewasaan macam apa yang bisa dituntut dari anak berumur enam belas tahun seperti dirinya? Ia bahkan belum pernah jatuh cinta. Bagaimana ia bisa memahami rumitnya cinta papa mamanya?
Langkah kaki terasa berat. Bahkan, dinginnya marmer putih susu ini sanggup menembus sandal crocs­-nya, membekukan tiap jejak tapak kakinya.
“Kamu sudah makan? Mama sudah siapkan rawon kesukaanmu, dengan sambal terasi, kerupuk udang, dan telor asin. Ayo, mumpung rawonnya masih hangat.”
Mama menyambut Sandy layaknya tamu. Ini mama. Ini rumahnya sendiri. Memang ia baru saja menghabiskan akhir pekan di rumah nenek di Bandung. Namun, sambutan mama seakan menandakan Sandy sudah pergi sekian tahun lamanya. Ada nada getir di suara mama. Mana kehangatan mama yang seperti biasa? Mengapa ia terus diperlakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa?
Ada papa duduk di meja makan. Wajahnya sedikit tegang, pun juga lelah. Papa dan mama berbagi pedih yang sama. Namun, mereka sama-sama enggan membaginya dengan Sandy. Bukankah dirinya bagian dari keluarga ini?
Sandy tahu papa berusaha tenang. Sedikit senyum dan tatapan hangat itu masih belum sanggup menyembunyikan badai besar di hati papa. Gadis itu melirik ke tengah meja. Seluruh hidangan sempurna, dari aroma, warna, dan tentu rasa. Tapi, entah kenapa, Sandy merasa ia tak ingin menyantap menu ini. Selamanya.
“Kok diam? Ayo duduk. Kita bisa mulai makan sekarang?” tanya mama.
“Bagaimana liburanmu di rumah nenek?” tanya papa.
“Membosankan.”
“Tapi kamu bisa jalan-jalan di kebun kopi nenek.”
“Aku lebih suka di Jakarta.”
Percakapan ini ditutup oleh hening yang mencekik Piring-piring menyajikan masakan lezat mama yang semestinya menerbitkan air liur. Namun, perut Sandy bergolak hebat. Ada perih membekap jantungnya hingga nyaris sulit berdetak.
Gadis itu menatap mama. Mama menatap papa. Papa hanya tertunduk. Entah menatap apa. Entah menyembunyikan apa. Sandy akhirnya hanya menatap lilin. Nyalanya redup. Lidah apinya menari-nari. Mungkin api itu tahu kesedihan di hati ketiganya, sehingga bersusah payah meliuk menghibur ketiga manusia di hadapannya.
“Kamu mau nasinya satu atau separuh, sayang?” tanya mama lagi.
“Ma,…”
“Iya?”
“Kenapa kita semua berkumpul di sini?”
Mama terhenyak. Sandy juga sempet menangkap papa berhenti menarik napas. Tinggal menunggu waktu saja sebelum palu takdir diketuk. Mulai detik ini, kisah bahagia takkan pernah ada dalam hidup Sandy. Bahagia baginya hanya ilusi yang terperangkap di lembar-lembar buku dongeng.
“Kita keluarga kan? Wajar kalau kita makan malam bersama,” jawab mama parau, seakan ragu dengan kata-katanya sendiri.
Rasanya Sandy ingin berteriak. Sejak kapan mereka menjadi keluarga? Sandy sudah lupa terakhir kali mereka bercengkerama bersama. Mungkin ketika dia masih sepuluh atau sebelas tahun. Masih berambut panjang dengan pita merah jambu berkibar-kibar. Saat rambut papa masih hitam dan belum ada seutas kerut di wajah mama. Rasanya seperti seribu windu yang lalu. Sandy hampir lupa, entah bagaimana dengan papa mama. Apakah mereka masih bisa merasakan jejak-jejak kebahagiaan semacam itu?
“Bagaimana sidangnya, Ma?” tanya Sandy. “Pa?”
“Sandy,…”
“Pa, Ma, aku sudah enam belas. Perlakukan aku seperti anak enam belas tahun.”
“Sidangnya baik-baik saja,” ujar papa melelehkan keheningan.
“Pa,…” cegah mama.
“Biar. Sandy berhak tahu. Dia sudah besar,” sergah papa.
“Tapi,…”
“Besok sidang terakhir untuk membaca putusan.” Suara papa terdengar seperti gunung es yang berderak pecah.
Sandy bersumpah ia bisa mendengar hatinya sendiri meluncur jatuh dan semburat berkeping-keping. Ia tak tahu harus bagaimana. Marah. Sedih. Kecewa. Tertawa. Merana.
Tak ada sepatah kata apa pun. Semua rasa terkunci rapat di hati. Sandy sekuat tenaga berusaha tidak menangis. Kalau tidak, ia yakin sebentar lagi ia akan mati tenggelam oleh air matanya sendiri.
“Kenapa, Pa? Ma? Kenapa kalian harus pisah?” Sandy bangkit dari kursinya. Nafsu makannya menguap seketika. Ada hening yang kuat mencuat di antara ketiganya.
Setengah berlari, ia menuju sofa besar di depan televisi. Dulu, ketika masih kecil, ia sering meringkuk merajuk di sana. Terlebih saat papa memarahinya karena terlalu lama bermain game atau saat mama memaksanya makan brokoli. Ia biasanya tenggelam di antara bantal kursi isi bulu angsa agar tak ada siapa pun mendengarkan suara tangisnya. Tapi itu dulu. Ketika masih ada aroma bahagia menguar di rumah ini.
Mama ikut merebahkan diri di sofa itu. Samar Sandy mencium wangi lembut parfum mama. Ah, betapa ia akan merindukan wangi mama. Suara mama. Helai-helai rambut yang menempel di leher jenjang mama.
Sandy tak mengatakan apa-apa. Pun mama diam. Mereka hanya saling menyandarkan kepala di sandaran sofa. Sandy memejamkan mata. Mama menatap lampu gantung kristal yang bening berkilauan.
“Sayang, masih ingat Barbie?” ujar mama tiba-tiba. “Kucing anggoramu dulu?”
Sandy tak menjawab. Ia hanya berusaha membungkam gemuruh pedih di dadanya.
“Kamu dulu sibuk ikut les ini itu, OSIS, macam-macam. Akhirnya lupa memberi makan Barbie atau mengajaknya bermain. Barbie jadi kurus dan sakit-sakitan. Masih ingat apa yang akhirnya kamu lakukan?”
Sandy membuka mata. Silau cahaya lampu gantung menusuk matanya. “Aku kasih Barbie ke Melati, anaknya om Jono.”
“Kenapa?”
“Karena Melati sayang kucing dan bisa merawat Barbie dengan baik. Buktinya beberapa bulan setelah itu, Barbie gendut dan sehat. Lincah. Nggak seperti kucing yang hampir mati.”
“Terus? Pelajaran apa yang kamu bisa ambil?”
“Mama menyamakan pernikahan mama papa dengan Barbie? Barbie cuma kucing, Ma. Beda dong.”
“Mungkin memang sama, sayang. Mungkin. Kadang bahagia itu tidak selalu dengan bersama-sama.”
“Tapi aku bahagia kalau bersama papa dan mama,” nada bicara Sandy meninggi. “Kenapa papa mama berhenti mencintai?”
Mama menatapnya lekat. Sandy tahu mamanya terkejut. Mungkin memang mama juga tak tahu jawabannya.
Papa ikut mendekat dan duduk di sisi Sandy. Lengan besar papa terasa dingin, sekaligus hangat. Sedikit lagi pertahanan Sandy hampir jebol.
“Kami tidak berhenti mencintai, sayang. Kami masih saling cinta.”
“Terus kenapa papa mama pisah?”
“Kamu tahu pohon mangga yang kita tanam di halaman depan? Coba lihat dahannya. Dari satu batang yang kokoh, rantingnya bisa tumbuh ke arah yang berbeda.”
“Aku nggak ngerti, Pa.”
“Mungkin seperti itulah cinta papa dan mama. Tumbuh ke arah yang berbeda. Tapi masih satu. Berkat kamu. Kamulah penyatu kami, walau akhirnya kami berpisah.”
“Iya sayang. Kami tidak mungkin saling benci. Kalau mama benci papa, mama akan ikut membenci kamu. Karena ada papa di dalam dirimu. Begitu juga sebaliknya.”
Runtuhlah dinding-dinding pertahanan di batin Sandy. Luruh juga air matanya. Ia hanya melipat lutut dan membenamkan wajahnya. Semoga isakannya tak nyaring terdengar. Ia sudah enam belas tahun, tak seharusnya ia menangis lantang seperti balita.
“Aku nggak mau papa mama pisah.”
“Kamu mau papa mama terus-terusan bertengkar?” tanya papa. “Itu bikin kamu bahagia?”
“Tapi aku juga nggak akan bahagia kalau papa mama pisah.”
“Ini yang terbaik, sayang.” Mama mengelus rambut Sandy.
“Terus aku gimana? Aku nggak mau disuruh milih antara papa atau mama.”
“Kami nggak akan memintamu milih, karena kamu anak kami, bukan anak papa atau anak mama. Anak kami berdua, sayang.”
“Aku pasti akan kangen saat-saat seperti ini, Pa, Ma.”
“Papa juga.”
“Mama juga.”
“Malam ini, papa sama mama, sama-sama nemenin aku di sofa ini. Sampai aku tidur. Sampai pagi. Sebelum kita bertiga berangkat ke pengadilan besok pagi. Untuk terakhir kalinya.”
Bukan jawaban yang Sandy harapkan. Tapi lengan mama yang menggamit erat. Juga hangat sentuh tangan papa membelai rambut putri tunggalnya.
Di sofa cokelat susu itu, papa, Sandy, lalu mama saling meringkuk. Saling menghangatkan. Diam-diam dingin mulai merambati dinding-dinding hati. Juga rasa takut. Takut kehilangan. Takut tak bisa lagi bahagia. Di luar sayup-sayup terdengar deru hujan berangin yang mengempas segala. Sandy berharap, semoga hujan ikut menyapu semua rasa sakit di dadanya.
Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini. Aku ingin bersama mereka. Utuh. Selamanya.

GM, 5-6 Februari 2012
Dimuat Gadis no.07/2013 edar tgl 8-18Maret2013

2 komentar:

Ray mengatakan...

Suka sama yang ini. Keren, ceritanya ngalir *lap air mata* :))

kekata wanita mengatakan...

Hanyut dalam suasana di sofa itu *nangis*