Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari
#TiketBaliGratis.
oleh: Anggun Prameswari
Tersebutlah sebuah kota;
Kota Janji. Di sana, takkan kautemukan bangunan-bangunan
menjulang mencakar langit. Atau jalan-jalan beton melintang pukang. Di Kota Janji, yang bisa kautemui hanyalah harapan-harapan
yang bertumbuhan, mekar, mengayun-ayun ditiup angin. Harapan yang lahir dari
percintaan janji dengan waktu. Dan di sanalah
aku memutuskan, di Kota Janji, kita akan bertemu.
Keningmu berkerut saat tahu kita akan melepas rindu di Kota Janji, yang
seperti namanya, akan menjanjikan harapan-harapan yang mengembang wangi, persis
adonan roti di tungku bakar.
“Di Kota Janji selalu senja sepanjang
hari. Langitnya merah. Semburatnya kuning, kadang ungu atau jingga. Di Kota
Janji, kita menanam harapan supaya
nanti bisa kupetik,” ujarku malu-malu, menyelipkan rambut ke belakang telinga.
“Apa harapanmu?” Lengan kami bersinggungan. Kulitnya berkilat cokelat
madu.
“Kamu.”
Dalam debar yang bertubi-tubi, kubiarkan angin menerbangkan rambutku
menutupi wajah. Jarimu menyibak, merapikannya kembali. Napas hangat menyapu pipiku.
Kini aku tahu, kulitmu lebih mirip dingin embun di tanah bekas hujan. Lembap
menelusup bibirku, menggetarkan pundakku.
Aku terpejam. Lirih kutangkap suaramu, “maka tanamlah harapan itu, di
Kota Janji.”
Tepat saat kubuka mata, kau hanya berkata, “Aku harus pergi.”
“Kapan kembali?”
Kau tak menjawab.
“Kalau begitu, biar aku menanam harapan,” ujarku tersenyum. “Nanti kita sama-sama petik saat bertemu.”
Kupejamkan mata. Bibirmu mengecupku sekali lagi. Lebih lama, seakan berpesan,
bahwa perpisahan ini tak lebih lama dari sebuah ciuman.
***
Di Kota Janji, kutanam harapan. Kini bibitnya
menyeruak, tumbuh meliar, menjalarkan tunas-tunas menjadi kembang.
Kukenakan gaun terbaikku. Sebuah gaun bertali spaghetti, berbahan brokat
putih, yang kecil di pinggang, berlipit mengembang di bawah.
“Aku pasti datang, tapi tidak sekarang. Aku sedang bersamanya,”
“Tapi kau selalu bersamanya.”
“Karena dia terlalu mencintaiku.”
“Menurutmu, aku tidak cukup mencintaimu, sehingga hanya bisa menunggu?”
Kurasakan lembar kelopak harapan yang kutanam berguguran.
“Cintamu tak pernah kurang,” katamu. “Kadang cinta saja tidak cukup.”
“Cintaku cukup,” ujarku. “Kau yang selalu merasa kurang.”
***
Kau adalah harapan yang kutanam di Kota
Janji. Namun, di Kota Janji tak selalu senja sepanjang hari. Ada
kalanya akan turun malam-malam yang gelap. Saat harapan yang ditanam
berguguran, maka malam akan datang. Langit akan terlalu pekat untuk ditembus
cahaya. Bukankah seperti itulah hidup, gelap
bila harapan ternyata padam, pekat tak ternoda?
Aku tahu betul, di Kota Janji, pantang menangis. Bila ada air mata yang
tumpah, artinya ada harapan yang telah patah. Tapi aku telanjur menangis. Di
bulirnya, tersimpan rindu yang lama kutabung, untuk suatu hari kuhamburkan di
pelukmu.
Malam turun makin cepat. Kelamnya mengganti merah senja. Aku memeluk diri
sendiri yang menggigil kesepian. Kulihat harapan yang pernah kutanam, perlahan
menguncup, layu, merunduk menyambut malam.
Kelak, aku akan datang ke Kota Janji, bisikmu diantarkan angin.
Kapan?
Kau membisu. Air mataku meluncur lagi ke pucuk rerumputan yang menyapu telapak
kakiku. Kujumput sisa harapan. Kutanam sekali lagi. Seperti hukum di
Kota Janji, saat harapan kembali ditanam, maka hari kembali senja. Di
langit muncul warna jingga seperti titik noda, meluas, hingga senja datang
sepenuhnya.
Maka kau tetap kutunggu di Kota
Janji, kembali kutangkupkan tangan di atas paha. Kuatur gaunku
hingga menutupi dudukan bangku panjang. Kubiarkan kakiku mengayun tak terbalut apapun. Aku terus menunggumu di Kota
Janji, yang selalu senja sepanjang hari.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar