Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari
#TiketBaliGratis.
oleh: Anggun Prameswari
Tak ada yang tahu
bahwa di Kota Janji, menjulang sebuah patung perempuan. Jika kau pendatang
seperti diriku, maka tentu kau takkan tahu apa sejarah patung itu. Namun, kalau
kakek buyut dari kakekmu sempat menurunkan cerita, turun-temurun tak kurang
suatu apapun, maka kau akan tahu bahwa patung itu jelmaan seorang perempuan
yang menunggu kekasihnya.
“Berapa lama?”
“Jari siapa yang
bisa menghitung?”
“Cari saja angka
yang mudah.”
“Seribu tahun.”
“Kenapa seribu?
Buka sejuta?”
“Kenapa pula
bukan seratus?”
“Ah siapa yang
peduli? Intinya, ada perempuan yang jadi batu, dikutuk perasaan merananya
sendiri .”
“Apa kutukan itu
bisa dihilangkan?”
“Tentu. Tidak ada
kutukan yang abadi.”
“Caranya?”
Orang-orang yang
bergumam itu saling berpandangan. Mereka saling melemparkan sorot mata,
sebagian tak tahu, sisanya entah bermakna apa.
Aku yang
mematung, menyapukan tangan ke permukaan batu itu. Tingginya hanya beda dua
senti, dengan lumut nyaris melumuri setiap jengkal permukaannya. Tiap kusentuh, makin lekat di
telapakku, makin erat pula perasaan aneh yang menyelimutiku.
Ada lubang besar
yang menganga, yang tak tersentuh kedalamannya, mendadak muncul di hatiku. Begitu
tanganku tak lagi menyentuh permukaan batu itu, perasaan itu cepat menguap. Namun, sekejap kembali begitu aku
menyentuhnya.
Maka, aku
menekankan telapak tanganku, membiarkan dinginnya memboboti kulit, menarikku
lebih dalam. Kesedihan begitu mudah menarik hati siapapun yang tengah berduka.
Sejak itu, setiap
hari aku datang ke batu itu. Awalnya hanya untuk makan siang. Lama kelamaan,
aku makan tiga kali—sarapan, makan siang, dan makan malam—di samping batu itu.
Aku sering menawarinya macam-macam. Kadang bubur ayam, kue lapis, roti isi,
atau susu coklat. Kuharap makanan bisa membantunya kembali bahagia. Siapa tahu,
setelah bahagia, batu itu kembali menjelma menjadi perempuan yang dulu pernah
menunggu kekasihnya di Kota Janji. Sayangnya, batu itu bergeming, tetap
membatu.
“Kau lihat
perempuan itu?”
“Iya, aneh.
Setiap hari mengunjungi batu.”
“Penyembah
berhala?”
“Ah, dia sekedar
perempuan patah hati lainnya, senasib dengan legenda si batu.”
Aku diam saja,
berusaha abai. Tak ada yang memahamiku. Memahami betapa besarnya perasaan cinta
yang harus kupendam selama seribu tahun. Hanya batu berlekuk tubuh perempuan
inilah yang mengerti.
Maka, kami makin
akrab. Makin tak terpisahkan. Aku tidur di sana. Membaca, mengudap, melamun,
bahkan memeluknya minimal tiga kali sehari. Berbagi kesedihan tidaklah dosa,
bukan?
Sampai akhirnya
dia menemuiku. Kekasih yang selama ini kutunggu. Yang matanya bulat purnama
dengan kulit cokelat madu. Dia menjemputku, di Kota Janji yang berprasasti batu
perempuan merana.
Tanpa sadar
pipiku basah. Haru mengembangkan dadaku dengan harapan-harapan.
“Pa,” tanya gadis
cilik itu lagi. “Batunya aneh. Bentuknya mirip manusia.”
“Iya, batunya ada
sepasang. Dua-duanya perempuan.”
“Pa, lihat, yang
di sebelah kiri wajahnya basah.”
“Mungkin kena
hujan.”
“Mungkin
menangis?”
“Mana ada batu
perempuan menangis, Sayang?”
Lelaki itu
menjauh membawa putrinya yang berpipi bakpao merah jambu. Meninggalkan sepasang
patung batu perempuan, yang membatu karena merana. Dimakan rindu, digerus
cinta. Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa lama, mungkin seribu tahun lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar